• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

C. Remaja

Hurlock (1980) menjelaskan masa remaja sebagai masa dimana individu sedang tumbuh dan dalam proses mencapai kematangan emosional, mental dan fisik. Monks (1998) membagi usia remaja dalam tiga tahap, yaitu remaja awal (12-14 tahun), remaja pertengahan (15-18 tahun) dan remaja akhir (19-21 tahun).

Grogan (2006) menjelaskan masa remaja juga merupakan masa terjadinya perubahan fisik, dimana dalam periode ini, penampilan fisik merupakan hal yang penting. Baik pria dan wanita, diketahui menghabiskan waktu untuk penampilan

mereka, khususnya untuk menyesuaikan penampilan mereka dengan norma dalam kelompok mereka. Di sisi lain, mereka juga ingin memiliki gaya sendiri yang unik, dan mereka mungkin menghabiskan waktu berjam-jam di kamar mandi atau di depan kaca untuk mencapai tujuan tersebut.

Papalia dkk (2007) menjelaskan bahwa perjalanan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan ditandai tidak dengan satu hal saja, melainkan periode panjang yang disebut masa remaja. Peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11, atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir, serta melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan. Secara umum, masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas, proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual, atau fertilitas (kemampuan untuk melakukan reproduksi).

Santrock (2009) menambahkan bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Identitas adalah self-portrait yang mencakup hal-hal berikut ini:

1. Vocational/ Career Identity, yaitu karir atau jalur kerja mana yang akan dijalani.

2. Political Identity, apakah seseorang itu konservatif, liberal, atau di tengah- tengah saja.

3. Religious Identity, berkaitan dengan kepercayaan spiritual seseorang.

4. Relationship Identity, apakah seseorang hidup sendiri, menikah, bercerai, dsb. 5. Achievement, Intellectual Identity, berkaitan dengan motivasi untuk

6. Sexual Identity, apakah seseorang itu heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.

7. Cultural/ Ethnic Identity, dari mana seseorang berasal, dan bagaimana seseorang itu mengidentifikasikan dirinya dengan warisan budayanya.

8. Interests, berkaitan dengan apa yang disukai orang tersebut, termasuk olahraga, musik, hobi, dsb

9. Personality, yaitu karakteristik kepribadian individu, seperti introvert atau ekstrovert, pencemas atau tenang, dll.

10.Physical Identity, yaitu body image individu itu sendiri.

Selama perubahan fisik pada masa pubertas, remaja lebih memperhatikan tubuh mereka dan mengembangkan gambaran (images) mengenai bagaimana tubuh mereka terlihat (Allen dkk, 2008; Jones, Bain & King, 2008 dalam Santrock 2009). Ketidakpuasan remaja perempuan terhadap tubuh mereka meningkat pada awal hingga pertengahan masa remaja (Feingold & Mazella, 1998; Rosenblum & Lewis, 1999; Swarr & Richards, 1996 dalam Papalia dkk, 2007).

D. Skoliosis

1. Definisi Skoliosis

Menurut APTA (1986), skoliosis merupakan kurva tulang belakang yang melengkung dari satu sisi ke sisi lain. Anderson (2007) menjelaskan skoliosis sebagai kondisi lekukan tulang belakang yang abnormal. Deutchman & Lamantia (2008) menambahkan bahwa bentuk tulang belakang skoliosis menyerupai huruf

menunjukkan bentuk lekukan tulang belakangnya, yang biasanya berbentuk huruf

“C” atau “S” (NIAMS, 2008).

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa skoliosis merupakan kondisi lekukan tulang belakang dari satu sisi ke sisi lain yang

menyerupai huruf “C” atau “S” bila dilihat dari belakang.

2. Penyebab Skoliosis

Dilihat dari penyebabnya, skoliosis dibagi menjadi 2 (dua), yaitu skoliosis genetika dan skoliosis idiopatik. Berdasarkan data dari National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases (NIAMS) US, sebanyak 80% orang mengalami skoliosis idiopatik, yaitu skoliosis yang tidak diketahui penyebabnya. Skoliosis idiopatik biasanya muncul pada usia remaja.

Beberapa skoliosis disebabkan oleh faktor genetika atau turunan, namun para ilmuwan sendiri juga masih belum dapat menemukan gen apa yang mempengaruhi skoliosis. Pada keluarga yang memiliki anggota penderita skoliosis, kemungkinan anggota keluarga lainnya untuk mengembangkan skoliosis adalah 30%. Skoliosis juga lebih sering terjadi ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Ditambah lagi, skoliosis pada perempuan lebih progresif daripada skoliosis pada laki-laki (Deutchman & Lamantia, 2008).

3. Gejala Skoliosis

Anderson (2007) mengemukakan gejala skoliosis berupa posisi tubuh yang asimetris, dan juga bisa disertai dengan tulang belakang yang berotasi. Satu sisi tubuh penderita skoliosis menjadi terlihat lebih menjorok lebih ke dalam dan satu sisi tubuh lainnya lebih menonjol. Ketika badan membungkuk ke depan, bagian

punggung penderita skoliosis akan terlihat seperti memiliki sebuah punuk seperti orang bungkuk, namun hanya di satu sisi (yang menonjol).

Skoliosis juga dapat mempengaruhi fungsi kerja organ lainnya. Dikarenakan bentuk tulang belakang yang membengkok ke satu sisi, ruang paru- paru penderita skoliosis juga menjadi lebih kecil dan jantung yang agak tertekan (Deutchman & Lamantia, 2008). Hal ini biasanya mengakibatkan penderita skoliosis memiliki nafas yang pendek dan rasa sakit pada dada sebelah kiri (posisi jantung). Ketidaknormalan posisi tulang belakang ini juga memberikan rasa nyeri pada punggung bagian bawah atau yang sering disebut low back pain (NIAMS, 2008).

4. Klasifikasi Skoliosis

Berdasarkan derajat kemiringannya, maka skoliosis dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu skoliosis ringan, sedang, dan parah (New York Chiropractic College, 2008).

a. Skoliosis ringan (mild), yaitu skoliosis dengan kurva 11o-19o b. Skoliosis sedang (moderate), yaitu skoliosis dengan kurva 20o-29o c. Skoliosis parah (severe), yaitu skoliosis dengan kurva di atas 30o

5. Treatment Skoliosis

Menurut Deutchman & Lamantia (2008), terdapat beberapa pilihan dalam menangani skoliosis, yaitu:

a. Pemasangan brace (ortosis)

Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pemasangan brace dapat mencegah bertambahnya kemiringan tulang belakang pada remaja yang

sedang mengalami pertumbuhan. Terdapat 2 (dua) jenis brace, yaitu brace yang terbuat dari bahan plastik padat yang membatasi gerakan pemakai dan brace elastis yang memungkinkan pemakai untuk bergerak lebih fleksibel. Brace elastis memiliki potensi untuk mengurangi derajat kemiringan tulang belakang pada remaja yang sedang tumbuh sebelum kemiringan tersebut menjadi permanen.

b. Operasi (surgery)

Pada kebanyakan kasus kesehatan, operasi merupakan opsi terakhir yang akan diambil. Namun, hal ini berbeda pada kasus skoliosis. Kebanyakan dokter justru menawarkan opsi operasi sebagai opsi pertama. Operasi pada penderita skoliosis bertujuan untuk mengurangi derajat kemiringan dan mencegah bertambahnya derajat kemiringan di masa yang akan datang. Keputusan untuk operasi biasanya bervariasi pada setiap penderita. Tidak hanya untuk kepentingan kosmetika, tetapi khususnya pada penderita skoliosis dengan derajat di atas 800, ruang paru-paru dan jantung harus dimonitor karena semakin besar derajat kemiringan dapat mempengaruhi organ-organ tubuh lainnya. Operasi skoliosis tentu memiliki resiko tersendiri, seperti kelumpuhan atau bahkan kegagalan.

c. Treatment alternatif

Beberapa usaha dilakukan oleh para ilmuwan agar skoliosis dapat ditangani tanpa melalui operasi. Treatment alternatif yang sering dipakai adalah pull-up, chiropractic, yoga, terapi fisiologis, berenang, dan sebagainya.

E. Pengaruh Body Image dengan Self-Esteem pada Remaja Penderita Skoliosis

Masa remaja merupakan masa dimana seorang anak mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Papalia dkk, 2007). Masa remaja juga merupakan masa pencarian dan pembentukan identitas diri. Identitas diri ini mencakup identitas karir, agama, hubungan, pencapaian seksual, budaya atau etnis, minat, kepribadian, dan identitas fisik, yaitu body image (Santrock, 2009). Body image merupakan persepsi, perasaan, dan pikiran seseorang mengenai tubuhnya dan biasanya dikonsepkan sebagai perkiraan ukuran tubuh, evaluasi terhadap daya tarik, dan emosi yang berkaitan dengan bentuk tubuh (Grogan, 1999; Muth & Cash, 1997 dalam Grogan, 2006).

Penampilan fisik menjadi hal pertama yang dapat dinilai pada diri seseorang sehingga penampilan fisik menjadi sumber yang fundamental dalam pembentukan identitas diri. Remaja berusaha membentuk identitas fisik yang ideal agar diterima oleh lingkungan sosialnya (Cash & Smolak, 2011). Baik remaja perempuan maupun laki-laki mulai memberi perhatian kepada penampilan fisiknya di usia remaja (APA, 2002).

Remaja mulai memperhatikan karakteristik spesifik tubuhnya, misalnya wajah, kulit, otot, berat badan, dan bentuk tubuhnya. Selama menjalani masa pubertas, remaja rentan dengan berbagai masalah fisik, mulai dari munculnya jerawat, bertambahnya lemak di bagian tubuh tertentu, dan sebagainya (Wertheim & Paxton, dalam Cash & Smolak, 2011). Selain itu, usia remaja juga merupakan usia dimana tulang sedang mengalami proses pertumbuhan dan proses maturasi.

Pada proses ini maturasi tulang, remaja beresiko mengalami kelainan tulang belakang, yaitu skoliosis (Mukaromah, 2011). Menurut Shah (2009), skoliosis hampir selalu muncul pada saat sebelum atau selama masa pertumbuhan di usia remaja.

Skoliosis merupakan lekukan tulang belakang yang abnormal, yang mana tulang belakang tumbuh berbentuk huruf “S” atau huruf “C” (Anderson, 2007). Di saat remaja penderita skoliosis yang sedang melalui masa pencarian dan pembentukan identitas diri, mereka juga melalui masa-masa pembentukan dan kemunculan skoliosisnya. Penderita skoliosis memiliki bentuk fisik yang berbeda dan hal ini dapat memicu body image yang negatif. Salah satu hasil penelitian Agata & Testor (2012) menunjukkan bahwa remaja penderita skoliosis memiliki body image yang negatif dan remaja penderita skoliosis juga memiliki isu psikososial. Hal ini didukung oleh studi Mukaromah (2011) mengenai pengalaman psikososial pada remaja penderita skoliosis di Jawa Tengah. Remaja penderita skoliosis mengalami kekhawatiran akan masa depannya, ketidakberdayaan, dan gangguan dalam membentuk identitas dirinya.

Perubahan fisik yang tidak diinginkan akibat penyakit, kecelakaan, dan bertambahnya usia dapat berpengaruh kepada body image individu. Hal ini kemudian dapat berdampak pada menurunnya kualitas hidup dan self-esteem (Anderson, 2000; Gannon, 2000; Rumsey & Harcourt, 2004; Thomas Mc-Clean, 2000; Grogan, 2006). Pernyataan Santrock (1998) bahwa penampilan fisik merupakan salah satu penyumbang yang besar pada self-esteem seseorang. Terdapat beberapa penelitian yang juga telah menyatakan bahwa ada hubungan

antara body image dan self-esteem pada remaja (Cash & Smolak, 2011). Hasil penelitian Ermanza (2008) menemukan bahwa terdapat hubungan antara self- esteem dengan body image pada remaja putri yang mengalami obesitas dari sosial ekonomi menengah atas. Senada dengan Ermanza, penelitian oleh Sari (2012) yang dilakukan dengan subjek dewasa awal tuna daksa yang memiliki cacat setelah kelahiran menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara body image dan self-esteem. Subjek dalam penelitian tersebut kebanyakan mengalami kecacatan pada usia remaja sehingga membuat mereka tidak percaya diri, berhenti sekolah, dan menarik diri dalam pergaulan.

Coopersmith (1967, dalam Emler 2001) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauhmana individu mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Dengan adanya self-esteem, maka individu akan merasa lebih percaya diri pada kelebihannya dan merasa lebih berharga. Ketika individu memiliki self-esteem yang rendah, maka individu akan merasa inferior, helpless, kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya Maslow (dalam Schultz & Schultz, 1994).

Dengan tampilan fisik yang berbeda, remaja penderita skoliosis mengalami masalah terhadap body image. Mereka mulai takut dijauhi oleh teman- temannya karena penampilannya yang tidak sempurna. Dengan memandang skoliosis sebagai kekurangan fisik, remaja penderita skoliosis merasa dirinya tidak berdaya dan tidak bisa melakukan apa yang orang lain bisa lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa body image remaja penderita skoliosis dapat berdampak

pada self-esteem mereka. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh body image terhadap self-esteem remaja penderita skoliosis.

Dokumen terkait