• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Body Image Terhadap Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Body Image Terhadap Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

FERA

111301037

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)
(3)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul :

Pengaruh Body Image Terhadap Self-Esteem

Pada Remaja Penderita Skoliosis

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Agustus 2015

(4)

ABSTRAK

Masa remaja menjadi salah satu tahap dalam rentang kehidupan yang harus dilalui individu. Selama menjalani masa pubertas, remaja rentan dengan berbagai masalah fisik, mulai dari munculnya jerawat, bertambahnya lemak di bagian tubuh tertentu, dan sebagainya (Wertheim & Paxton, dalam Cash & Smolak, 2011). Selain masalah-masalah tersebut, remaja yang sedang mengalami maturasi tulang juga beresiko mengalami kelainan tulang belakang, salah satunya skoliosis (Mukaromah, 2011). Skoliosis merupakan kondisi lekukan tulang belakang yang abnormal (Anderson, 2007). Tampilan fisik yang berbeda membuat remaja penderita skoliosis merasa berbeda dan terlihat aneh. Pada penderita skoliosis, khususnya di usia remaja, isu body image menjadi salah satu hal yang esensial. Masalah body image ini akan semakin berkembang dan dapat mempengaruhi kehidupan penderita skoliosis, yang salah satunya adalah bagaimana individu menghargai dirinya sendiri (self-esteem).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh body image terhadap self-esteem pada remaja penderita skoliosis. Penelitian ini melibatkan 32 orang dengan kriteria usia 12-21 tahun, mengalami skoliosis dan berdomisili di Medan. Pengambilan sampel dilakukan dengan incidental sampling dan diolah dengan uji regresi. Alat ukur yang digunakan adalah skala body image dan skala self-esteem yang disusun oleh peneliti.

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh body-image terhadap self-esteem pada remaja penderita skoliosis, yang mana variasi self-esteem sebesar 66,5% dapat dijelaskan body image. Saran peneliti bagi para remaja penderita skoliosis adalah agar lebih memperhatikan dan meningkatkan body image karena penilaian terhadap tubuh dapat mempengaruhi self-esteem.

(5)

ABSTRACT

Adolescence is one of the stage in individuals’ life-span. During puberty, adolescents are vulnerable to any physical problems; for instance, acnes, fat in particular body areas, etc (Wertheim & Paxton; Cash & Smolak, 2011). Beside those problems, adolescents who are having bone maturation are also at risk to have deformity of spine, like scoliosis (Mukaromah, 2011). Scoliosis is abnormal curve of spine (Anderson, 2007). Having different physical appearance resulted from scoliosis, adolescents feel different and weird comparing to others. During adolescence, body image is one of the most essential issues for scolioser. This body image issue could develop and affect scoliosers’ lives. One of them is how they esteem themselves (self-esteem).

This study aims to look at the influence of body image on self-esteem in adolescents who have scoliosis. This study involved 32 samples with criteria of range age 12-21 years old, having scoliosis, and living in Medan. Sampling was done by using incidental technique and simple regression analysis. The instruments of this research are body image and self-esteem scale which were done by the researcher.

The result showed that there is influence of body image to self-esteem in adolescents who have scoliosis. Body image contributes for 66.5% of self-esteem. Advice from the researcher for subjects is to pay more attention and improve body image because how you evaluate your body can affect your self-esteem.

(6)

telah memberikan rahmat hidayat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala jalan yang dimudahkan dan kekuatan yang diberikan kepada peneliti.

Orangtua menjadi pendukung terbesar dalam hidup peneliti. Mama dan Alm. Ayah yang sangat saya sayangi. Setiap langkah terasa lebih ringan ketika bisa membanggakan kalian. Kakak yang tidak pernah berhenti bertanya kapan saya sidang. Terima kasih. Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi pada waktunya, yaitu kepada:

1. Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas waktu, ilmu dan kesabarannya dalam membimbing peneliti. Beliau banyak memberikan masukan yang sangat berarti.

2. Zulkarnain, Ph.D, psi selaku dosen pembimbing akademik.

3. Para dosen departemen klinis, yaitu Arliza J Lubis, M.Si., Psikolog, Juliana I Saragih, M.Psi., Psikolog., Josetta Maria R. Tuapatinaja, M.Si., Psikolog., dan Rahma Fauzia, M.Psi., Psikolog yang telah memberikan masukan-masukan dan bantuan kepada peneliti.

4. Para dosen Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terima kasih atas setiap ilmu yang diberikan.

(7)

7. Teman-teman psycho saya yang tidak terukur kewarasannya, Vilya, Chindy, Fonds, Naomi, Puspa, Merry. Semoga kita punya lebih banyak waktu untuk tertawa bersama lagi. Tidak lupa teman-teman Psychotroops 2011 yang selalu saling mendukung.

8. Teman-teman yang tidak pernah saya duga akan menjadi bagian penting dalam hidup saya, Vivian, Angeline, Fona, Mariana dan Delviana. Bermula dari satu kepanitiaan hingga teman saling berbagi.

9. Skripsi ini disusun berawal dari pengalaman pribadi peneliti sendiri sebagai penderita skoliosis. Seluruh teman sesama skolioser baik di Indonesia maupun di luar Indonesia serta dr. Otman Siregar, SpOT (K) Spine, terima kasih atas dukungan dan inspirasinya.

10.Tidak lupa untuk para pembaca, terima kasih. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Medan, Agustus 2015

(8)

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B.Perumusan Masalah ... 7

C.Tujuan Penelitian ... 7

D.Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teorits ... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

E.Sistematika Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A.Body Image ... 10

1. Definisi Body Image ... 10

2. Dimensi Body Image ... 10

3. Faktor yang Mempengaruhi Body Image ... 11

B.Self-Esteem ... 12

1. Definisi Self-Esteem ... 12

2. Komponen Self-Esteem ... 14

3. Faktor yang Mempengaruhi Self-Esteem ... 15

C.Remaja ... 16

D.Skoliosis ... 18

1. Definisi Skoliosis ... 18

2. Penyebab Skoliosis... 19

3. Gejala Skoliosis ... 19

(9)

F. Hipotesa ... 25

BAB III METODE PENELITIAN... 26

A.Identifikasi Variabel Penelitian ... 26

B.Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 26

1. Body Image... 26

2. Self-Esteem ... 27

C.Populasi Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 27

1. Populasi dan Sampel ... 27

2. Teknik Pengambilan Sampel... 28

D.Metode Pengambilan Data ... 28

1. Skala Body Image ... 30

2. Skala Self-Esteem ... 31

E.Uji Instrumen Penelitian ... 33

1. Uji Validitas Alat Ukur ... 33

2. Uji Reliabilitas Alat Ukur ... 33

3. Uji Daya Beda Aitem ... 34

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 35

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 37

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 37

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 38

3. Tahap Pengolahan Data... 38

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 39

1. Usia ... 39

2. Jenis Kelamin ... 40

3. Derajat Kemiringan Skoliosis ... 42

(10)

1. Hasil Uji Asumsi ... 47

2. Hasil Penelitian ... 48

3. Hasil Tambahan ... 52

C. Pembahasan ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 58

A.Kesimpulan... 58

B.Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61

(11)

Tabel 3.3 Blue Print Skala Body Image Setelah Uji Coba ... 35

Tabel 3.4 Blue Print Skala Self-Esteem Setelah Uji Coba ... 36

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 39

Tabel 4.2 Gambaran Body Image Dan Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis Berdasarkan Usia ... 40

Tabel 4.3 Kategorisasi Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis

Berdasarkan Usia ... 40

Tabel 4.4 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 41

Tabel 4.5 Gambaran Body Image Dan Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis Berdasarkan Jenis Kelamin ... 41

Tabel 4.6 Kategorisasi Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis

Berdasarkan Jenis Kelamin ... 41

Tabel 4.7 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Derajat Kemiringan

Skoliosis ... 42

Tabel 4.8 Gambaran Body Image Dan Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis Berdasarkan Derajat Kemiringan Skoliosis ... 42

Tabel 4.9 Kategorisasi Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis

Berdasarkan Derajat Kemiringan Skoliosis ... 43

Tabel 4.10 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Didiagnosa

Skoliosis ... 43

Tabel 4.11 Gambaran Body Image Dan Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis Berdasarkan Usia Didiagnosa Skoliosis ... 44

Tabel 4.12 Kategorisasi Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis

Berdasarkan Usia Didiagnosa Skoliosis... 44

Tabel 4.13 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Treatment Skoliosis yang Sedang Dijalani ... 45

(12)

Tabel 4.17 Hasil Uji Linearitas ... 47

Tabel 4.18 Hasil Uji F ... 48

Tabel 4.19 Hasil Uji t ... 48

Tabel 4.20 Koefisien Determinasi ... 49

Tabel 4.21 Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Body Image ... 49

Tabel 4.22 Perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik Self-Esteem ... 50

Tabel 4.23 Kategorisasi Body Image ... 51

Tabel 4.24 Kategorisasi Self-Esteem ... 52

(13)

Lampiran 2 Hasil Uji Daya Beda Aitem ... 69

Lampiran 3 Hasil Uji Asumsi ... 79

Lampiran 4 Hasil Uji Regresi ... 83

(14)

ABSTRAK

Masa remaja menjadi salah satu tahap dalam rentang kehidupan yang harus dilalui individu. Selama menjalani masa pubertas, remaja rentan dengan berbagai masalah fisik, mulai dari munculnya jerawat, bertambahnya lemak di bagian tubuh tertentu, dan sebagainya (Wertheim & Paxton, dalam Cash & Smolak, 2011). Selain masalah-masalah tersebut, remaja yang sedang mengalami maturasi tulang juga beresiko mengalami kelainan tulang belakang, salah satunya skoliosis (Mukaromah, 2011). Skoliosis merupakan kondisi lekukan tulang belakang yang abnormal (Anderson, 2007). Tampilan fisik yang berbeda membuat remaja penderita skoliosis merasa berbeda dan terlihat aneh. Pada penderita skoliosis, khususnya di usia remaja, isu body image menjadi salah satu hal yang esensial. Masalah body image ini akan semakin berkembang dan dapat mempengaruhi kehidupan penderita skoliosis, yang salah satunya adalah bagaimana individu menghargai dirinya sendiri (self-esteem).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh body image terhadap self-esteem pada remaja penderita skoliosis. Penelitian ini melibatkan 32 orang dengan kriteria usia 12-21 tahun, mengalami skoliosis dan berdomisili di Medan. Pengambilan sampel dilakukan dengan incidental sampling dan diolah dengan uji regresi. Alat ukur yang digunakan adalah skala body image dan skala self-esteem yang disusun oleh peneliti.

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat pengaruh body-image terhadap self-esteem pada remaja penderita skoliosis, yang mana variasi self-esteem sebesar 66,5% dapat dijelaskan body image. Saran peneliti bagi para remaja penderita skoliosis adalah agar lebih memperhatikan dan meningkatkan body image karena penilaian terhadap tubuh dapat mempengaruhi self-esteem.

(15)

ABSTRACT

Adolescence is one of the stage in individuals’ life-span. During puberty, adolescents are vulnerable to any physical problems; for instance, acnes, fat in particular body areas, etc (Wertheim & Paxton; Cash & Smolak, 2011). Beside those problems, adolescents who are having bone maturation are also at risk to have deformity of spine, like scoliosis (Mukaromah, 2011). Scoliosis is abnormal curve of spine (Anderson, 2007). Having different physical appearance resulted from scoliosis, adolescents feel different and weird comparing to others. During adolescence, body image is one of the most essential issues for scolioser. This body image issue could develop and affect scoliosers’ lives. One of them is how they esteem themselves (self-esteem).

This study aims to look at the influence of body image on self-esteem in adolescents who have scoliosis. This study involved 32 samples with criteria of range age 12-21 years old, having scoliosis, and living in Medan. Sampling was done by using incidental technique and simple regression analysis. The instruments of this research are body image and self-esteem scale which were done by the researcher.

The result showed that there is influence of body image to self-esteem in adolescents who have scoliosis. Body image contributes for 66.5% of self-esteem. Advice from the researcher for subjects is to pay more attention and improve body image because how you evaluate your body can affect your self-esteem.

(16)

A. Latar Belakang

Masa remaja menjadi salah satu tahap dalam rentang kehidupan yang harus dilalui individu. Masa remaja merupakan masa dimana seorang anak mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Papalia dkk, 2007). Santrock (2009) menjelaskan masa remaja sebagai masa pencarian identitas seorang remaja, dengan berbagai pertanyaan mengenai identitas diri muncul

dalam benak mereka, seperti “Who am I?”, “Apa yang membuat saya berbeda dengan yang lainnya?”, dan lain sebagainya.

Identitas diri mencakup identitas karir, agama, hubungan, pencapaian, seksual, budaya atau etnis, minat, kepribadian, dan identitas fisik, yaitu body image individu (Santrock, 2009). Body image merupakan persepsi, perasaan, dan

pikiran seseorang mengenai tubuhnya dan biasanya dikonsepkan sebagai perkiraan ukuran tubuh, evaluasi terhadap daya tarik, dan emosi yang berkaitan dengan bentuk tubuh (Grogan, 1999; Muth & Cash, 1997 dalam Grogan, 2006) Menurut Papalia dkk (2007), body image merupakan keyakinan (belief) yang evaluatif dan deskriptif mengenai penampilan diri sendiri.

(17)

tubuhnya, misalnya wajah, kulit, otot, berat badan, dan bentuk tubuhnya (Wertheim & Paxton, dalam Cash & Smolak, 2011). Penampilan fisik menjadi hal yang tampak dari luar dan hal pertama yang dinilai oleh orang lain dalam berinteraksi sehingga remaja berusaha membentuk identitas fisik yang ideal agar diterima oleh lingkungan sosialnya (Cash & Smolak, 2011).

Selama menjalani masa pubertas, remaja rentan dengan berbagai masalah fisik, mulai dari munculnya jerawat, bertambahnya lemak di bagian tubuh tertentu, dan sebagainya (Wertheim & Paxton, dalam Cash & Smolak, 2011). Selain masalah-masalah tersebut, remaja yang sedang mengalami maturasi tulang juga beresiko mengalami kelainan tulang belakang, salah satunya skoliosis (Mukaromah, 2011). Menurut Shah (2009), skoliosis hampir selalu muncul pada saat sebelum atau selama masa pertumbuhan di usia remaja.

Scolioser. Itulah istilah yang sering digunakan oleh para penderita

skoliosis untuk menyebut diri mereka. Situs RS Bina Sehat (2012) dalam artikel

berjudul “Solusi Atas Skoliosis” menjelaskan bahwa pada masyarakat Indonesia

sendiri, skoliosis masih belum begitu dikenal, baik mengenai jenis kelainannya, penyebab, gejala, dan penanganannya. Secara sederhana, Anderson (2007) menjelaskan skoliosis sebagai kondisi lekukan tulang belakang yang abnormal. Namun, sebenarnya terjadi perubahan yang cukup signifikan pada tulang belakang akibat perubahan bentuk tulang belakang secara 3 (tiga) dimensi.

(18)

National Scoliosis Foundation di situsnya, terdapat 12 juta orang di dunia mengalami skoliosis. Soetedjo (2014) mengungkapkan bahwa angka kasus skoliosis adalah 2% dari jumlah populasi. Skoliosis juga lebih sering terjadi ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Ditambah lagi, skoliosis pada perempuan lebih progresif daripada skoliosis pada laki-laki (Deutchman & Lamantia, 2008).

Deteksi penderita skoliosis oleh dokter biasanya dilakukan dengan melihat riwayat medis, pemeriksaan fisik, hasil X-Ray, dan pengukuran kurva. Riwayat medis akan diperiksa apakah penderita pernah memiliki masalah medis yang berakibat pada lekukan tulang belakang. Lalu pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat bagaimana tinggi rendahnya bahu, posisi kepala apakah tepat berada di tengah, sisi-sisi tubuh dari berbagai sudut pandang, apakah tulang rusuk sama tinggi. Hasil X-Ray pada penderita skoliosis akan menunjukkan bentuk lekukan tulang belakangnya, yang biasanya berbentuk huruf C atau S. Setiap lekukan memiliki derajat kemiringan tergantung dari tingkat keparahannya (National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases US, 2008). Derajat

kemiringan skoliosis terbagi 3 (tiga), yaitu ringan (kurva 11o-19o). sedang (kurva 20o-29o) dan parah (kurva di atas 30o). Besarnya kurva ini dapat terus bertambah apabila tidak diberikan treatment (New York Chiropractic College, 2008).

(19)

bagian punggung penderita skoliosis akan terlihat seperti memiliki sebuah punuk seperti orang bungkuk, namun hanya di satu sisi (yang menonjol).

Skoliosis juga dapat mempengaruhi fungsi kerja organ penderitanya. Dikarenakan bentuk tulang belakang yang membengkok ke satu sisi, ruang paru-paru penderita skoliosis juga menjadi lebih kecil dan jantung yang agak tertekan (Deutchman & Lamantia, 2008). Hal ini biasanya mengakibatkan penderita skoliosis memiliki nafas yang pendek dan rasa sakit pada dada sebelah kiri (posisi jantung). Ketidaknormalan posisi tulang belakang ini juga memberikan rasa nyeri pada punggung bagian bawah atau yang sering disebut low back pain (National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases US, 2008).

Masalah kesehatan pada penderita skoliosis berbeda dengan penderita masalah fisik lainnya. Penderita skoliosis terlahir dengan kondisi tulang belakang yang normal. Perubahan fisik pada penderita skoliosis kebanyakan dimulai dari usia remaja yang tulang belakangnya semakin membengkok seiring dengan berjalannya waktu (Deutchman & Lamantia, 2008). Blog pribadi seorang remaja scolioser menceritakan pengalamannya semasa SMA ketika dia mulai menyadari bahwa dirinya mengalami skoliosis. Gejala skoliosis seperti tulang rusuk yang lebih maju sebelah, memang sudah sedikit tampak ketika kelas SD. Namun hal itu diabaikan hingga duduk di bangku SMA, pertumbuhan tulang semakin terlihat jelas, dan ditambah lagi itu merupakan usia seorang anak perempuan mulai memperhatikan penampilannya.

(20)

...Saya mulai merasa saya aneh, saya jelek. Orang-orang sering memandangi punggung saya seolah saya monster yang sangat aneh. Saya tidak suka tatapan itu."

(Leo, F., kutipan blog pribadi penderita skoliosis, 11 Maret 2013) Tampilan fisik yang berbeda membuat remaja penderita skoliosis merasa berbeda dan terlihat aneh. Apalagi, mengingat persentase penderita skoliosis yang rendah, bentuk fisik pada penderita skoliosis bukan hal yang lazim ditemui di masyarakat. Hal ini akan berdampak pada body-image pada penderita skoliosis itu sendiri.

Salah satu hasil penelitian Agata & Testor (2012) pada remaja penderita skoliosis idiopatik menunjukkan bahwa remaja penderita skoliosis idiopatik memiliki body image yang negatif dan hal ini berdampak pada isu psikososial penderita skoliosis. Penelitian mengenai body image akan relevan pada individu yang memiliki penyakit atau masalah dengan bentuk fisik tubuhnya. Isu utama pada remaja penderita skoliosis idiopatik adalah buruknya body image (Payne dkk, 1997 dalam Agata & Testor, 2012).

Hal tersebut didukung oleh Mukaromah (2011) yang melakukan studi fenomenologi mengenai pengalaman psikososial pada remaja penderita skoliosis di Jawa Tengah. Skoliosis menjadi stressor yang tinggi pada penderita, khususnya terkait dengan body image. Remaja penderita skoliosis mengalami kekhawatiran akan masa depannya. Hal ini dikarenakan ketidakpastian dari keadaan skoliosis yang dialaminya, yaitu kurva yang terus bertambah, ketidakberdayaan, dan gangguan dalam membentuk identitas dirinya.

(21)

bengkok kalo nggak diapa-apain. Nanti, makin lama gue dijauhin karena

fisik gue gak sempurna.”

(.,S, kutipan blog pribadi penderita skoliosis, 2014)

“...bukan mereka yang berbeda. tapi aku. Aku yang skoliosis. Aku anak yang nggak kuat lari. Aku anak yang payah. Aku yang nggak bisa bertingkah seperti anak yang lain.

…ketakutanku cuma satu. aku takut Allah mengambil nyawaku

secepatnya hanya gara gara skoliosis ini. Skoliosis dapat menyebabkan berkurangnya tinggi badan jika tidak diobati. Kurva sebesar lebih dari 80 hingga 90 derajat berkaitan dengan sesak serta risiko gagal jantung dan

kematian.”

(.,G, kutipan blog pribadi penderita skoliosis, 20 Juni 2013) Kedua kutipan di atas menunjukkan bagaimana remaja penderita skoliosis merasa tidak berdaya atas keadaannya. Hal ini dapat berdampak pada self-esteem remaja penderita skoliosis. Dikarenakan skoliosisnya, remaja merasa takut akan dijauhi oleh teman-temannya karena tampilan fisiknya yang berbeda dan merasa tidak bisa melakukan apa yang kebanyakan orang lain dapat lakukan. Perubahan fisik yang tidak diinginkan akibat penyakit, kecelakaan, dan bertambahnya usia dapat berpengaruh kepada body image individu. Hal ini kemudian dapat berdampak pada menurunnya kualitas hidup dan self-esteem (Anderson, 2000; Gannon, 2000; Rumsey & Harcourt, 2004; Thomas Mc-Clean, 2000, dalam Grogan, 2006).

(22)

self-esteem yang rendah, maka individu akan merasa inferior, helpless, kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya Maslow (dalam Schultz & Schultz, 1994).

Berdasarkan uraian di atas, terdapat hubungan antara body image dengan self-esteem. Pada penderita skoliosis, khususnya di usia remaja, isu body image

menjadi salah satu hal yang esensial. Masalah body image ini akan semakin berkembang dan dapat mempengaruhi kehidupan penderita skoliosis, yang salah satunya adalah bagaimana individu menghargai dirinya sendiri (self-esteem). Oleh sebab itu, peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh body image terhadap self-esteem pada remaja penderita skoliosis.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang sebelumnya, maka rumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada pengaruh body image terhadap self-esteem pada remaja penderita skoliosis?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh body image terhadap self-esteem pada remaja penderita skoliosis.

(23)

D. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini, diharapkan akan diperoleh manfaat antara lain: 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan di bidang psikologi klinis, khususnya mengenai body image dan self-esteem pada remaja penderita skoliosis.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat menjadi wacana bagi penderita skoliosis, masyarakat umum maupun yang memiliki anggota keluarga penderita skoliosis untuk mengetahui aspek psikologis pada penderita skoliosis berkaitan dengan body image dan self-esteem.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi masyarakat untuk lebih sadar dengan kasus skoliosis yang ada di Indonesia.

c. Hasil penelitian ini dapat menjadi saran bagi penelitian selanjutnya mengenai body image, self-esteem, maupun penderita skoliosis.

d. Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi konselor ketika berhadapan dengan klien remaja penderita skoliosis terkait dengan body image dan self-esteem.

E. Sistematika Penulisan

(24)

Pada bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. 2. Bab II Landasan Teori

Pada bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian, antara lain body image, self-esteem, remaja, skoliosis, dan pengaruh body image terhadap self-esteem pada penderita skoliosis.

3. Bab III Metode Penelitian

Pada bab ini berisi penjelasan mengenai identifikasi variabel penelitian, definisi operasional dari masing-masing variabel, populasi dan teknik pengambilan sampel, alat ukur penelitian, uji coba alat ukur, prosedur penelitian, dan metode analisa data.

4. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pada bab ini, akan diuraikan keseluruhan hasil analisa data penelitian, diawali dengan gambaran umum subjek penelitian, hasil uji hipotesa, kemudian pembahasan mengenai hasil penelitian.

5. Bab V Kesimpulan dan Saran

(25)

A. Body Image

1. Definisi Body Image

Menurut Cash & Smolak (2011), body image merupakan hasil dari berbagai pengalaman psikologis individu berkaitan dengan tubuhnya, khususnya tampilan fisik. Pengalaman psikologis tersebut mencakup pikiran, belief, perasaan, dan perilaku yang berhubungan dengan persepsi dan sikap individu terhadap tubuhnya.

Body image merupakan persepsi, perasaan, dan pikiran seseorang mengenai

tubuhnya dan biasanya dikonsepkan sebagai perkiraan ukuran tubuh, evaluasi terhadap daya tarik, dan emosi yang berkaitan dengan bentuk tubuh (Grogan, 1999; Muth & Cash, 1997 dalam Grogan, 2006). Menurut Papalia dkk (2007), body image merupakan keyakinan (belief) yang evaluatif dan deskriptif mengenai

penampilan diri sendiri.

2. Dimensi Body Image

Cash (2000, dalam Kates, 2007) menjelaskan lima dimensi body image yaitu: a. Appearance evaluation (evaluasi penampilan), merupakan evaluasi

penampilan dan keseluruhan tubuh. Evaluasi ini mencakup apakah individu menilai dirinya menarik atau tidak, serta apakah individu puas terhadap penampilannya atau tidak.

(26)

mengubah penampilannya. Individu yang tingkat orientasi penampilannya rendah menunjukkan bahwa individu tidak berusaha untuk terlihat menarik dan penampilan bukan merupakan hal yang terlalu penting.

c. Body area satisfaction (kepuasan terhadap bagian tubuh tertentu), merupakan kepuasan individu terhadap bagian tubuh tertentu, seperti wajah, rambut, tubuh bagian atas (bahu, lengan, dada), tubuh bagian tengah (punggung, pinggang, perut), tubuh bagian bawah (pinggul, bokong, paha, kaki), dan keseluruhan penampilan.

d. Overweight preoccupation (kekhawatiran berkaitan dengan berat badan berlebih), merupakan kekhawatiran memiliki berat badan berlebih, kewaspadaan terhadap berat badannya, cenderung melakukan diet untuk mengurangi berat badan, dan membatasi pola makan.

e. Self-classified weight (pengkategorian berat badan), merupakan bagaimana individu mengklasifikasikan dan mempersepsikan berat badannya dari rentang sangat kurus hingga sangat gemuk.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Body Image

Levine & Smolak (dalam Cash & Pruzinsky, 2002) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi body image antara lain:

a. Orangtua

(27)

pakaian dan penampilan anak, atau menganjurkan anak untuk berpenampilan dengan cara tertentu dan menghindari makanan tertentu.

b. Teman Sebaya

Individu cenderung menilai dirinya dengan membandingkan dirinya dengan teman-teman sebayanya. Jika individu terlihat berbeda dengan teman sebayanya maka individu dapat merasa ada yang salah dengan dirinya atau ada yang kurang pada dirinya.

c. Media massa

Media massa berperan sangat besar dalam menyebarkan informasi mengenai standar tubuh yang ideal. Media tidak hanya memberikan informasi mengenai bentuk tubuh yang ideal tapi juga memberitahukan cara mencapainya melalui artikel-artikel mengenai diet dan olahraga.

d. Tahap perkembangan

Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja akan berdampak pada kepuasan body image mereka karena belum tentu perubahan yang terjadi sesuai dengan keinginan mereka yang bahkan bisa menimbulkan rasa malu.

B. Self-Esteem

1. Definisi Self-Esteem

(28)

self-esteem, maka individu akan merasa lebih percaya diri pada kelebihannya dan

merasa lebih berharga. Ketika kebutuhan individu akan self-esteem masih belum cukup terpenuhi, maka individu akan merasa inferior, helpless, kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya.

Branden (2001) menekankan self-esteem sebagai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh individu tentang diri mereka sendiri, bukan mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang diri kita. Branden (2001) menambahkan bahwa self-esteem merupakan gabungan antara kepercayaan diri (self-confidence) dan penghormatan diri (self-respect).

Coopersmith (1967, dalam Emler 2001) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauhmana individu mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Definisi ini lebih menekankan kepada evaluasi yang dilakukan oleh individu sendiri yang mencakup sejumlah penilaian terhadap diri sendiri berdasarkan kriteria tertentu. Secara ringkas, self-esteem merupakan penilaian individu mengenai seberapa berharga dirinya yang diungkapkan dalam bentuk sikap (attitude) individu terhadap dirinya sendiri.

Menurut Plotnik (2005), self-esteem adalah sejauhmana kita menyukai dan menghargai diri sendiri, kepentingan diri sendiri, daya tarik diri sendiri dan kompetensi sosial diri sendiri. Sedangkan Santrock (2009) memberikan definisi self-esteem yang lebih luas, yaitu sebagai evaluasi terhadap diri sendiri secara

(29)

2. Komponen Self-Esteem

Menurut Coopersmith (dalam Burn, 1998), komponen harga diri terdiri dari: a. Feeling of Belonging (Perasaan Diterima)

Perasaan individu sebagai bagian dari kelompok dan merasa dirinya diterima, diinginkan, serta diperhatikan oleh kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa keluarga, kelompok teman sebaya, dan sebagainya. Individu akan memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya merasa diterima sebagai bagian dari

kelompok. Namun individu akan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya merasa tidak diterima atau ditolak dalam suatu kelompok.

b. Feeling of Competence (Perasaan Mampu)

Perasaan individu bahwa dirinya yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya dalam mencapai hasil yang diharapkan serta dalam menghadapi permasalahan. Individu akan memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya serta yakin dirinya dapat menghadapi permasalahan yang ada. Sebaliknya, individu akan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya tidak yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya, serta tidak yakin dirinya dapat menghadapi permasalahan yang ada.

c. Feeling of Worth (Perasaan Berharga)

(30)

memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya merasa berharga dengan hal-hal yang ada pada dirinya. Namun, individu dikatakan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya tidak merasa berharga dan merasa dirinya tidak memiliki kelebihan.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Self-Esteem

Menurut Wirawan dan Widyastuti (dalam Sari, 2010), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi self-esteem, antara lain:

a. Faktor Fisik

Penampilan fisik seperti karakteristik wajah, bentuk tubuh, dan sebagainya dapat mempengaruhi self-esteem individu. Beberapa orang yang memiliki wajah yang menarik cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi.

b. Faktor Psikologis

Faktor psikologis yang dimaksud misalnya kepuasan kerja, persahabatan, kehidupan romantis, dan lain-lain. Seorang wanita yang diperlakukan dengan romantis oleh pasangannya cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi. c. Faktor Lingkungan Sosial

(31)

d. Faktor Tingkat Inteligensi

Semakin tinggi tingkat intelijensinya, maka individu cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi.

e. Faktor Status Sosial-Ekonomi

Secara umum, individu yang berasal dari status sosial-ekonomi yang lebih tinggi cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi juga.

f. Faktor Ras dan Kebangsaan

Individu yang berasal dari ras minoritas cenderung memiliki self-esteem yang lebih rendah ketika berada di tengah ras mayoritas. Misalnya, saat seorang pelajar kulit hitam menjalani pendidikan di sekolah yang mayoritas kulit putih, pelajar kulit hitam tersebut cenderung memiliki self-esteem yang lebih rendah. g. Faktor Urutan Keluarga

Anak tunggal cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi daripada anak-anak yang memiliki saudara kandung.

C. REMAJA

Hurlock (1980) menjelaskan masa remaja sebagai masa dimana individu sedang tumbuh dan dalam proses mencapai kematangan emosional, mental dan fisik. Monks (1998) membagi usia remaja dalam tiga tahap, yaitu remaja awal (12-14 tahun), remaja pertengahan (15-18 tahun) dan remaja akhir (19-21 tahun).

(32)

mereka, khususnya untuk menyesuaikan penampilan mereka dengan norma dalam kelompok mereka. Di sisi lain, mereka juga ingin memiliki gaya sendiri yang unik, dan mereka mungkin menghabiskan waktu berjam-jam di kamar mandi atau di depan kaca untuk mencapai tujuan tersebut.

Papalia dkk (2007) menjelaskan bahwa perjalanan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan ditandai tidak dengan satu hal saja, melainkan periode panjang yang disebut masa remaja. Peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11, atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir, serta melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan. Secara umum, masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas, proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual, atau fertilitas (kemampuan untuk melakukan reproduksi).

Santrock (2009) menambahkan bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Identitas adalah self-portrait yang mencakup hal-hal berikut ini:

1. Vocational/ Career Identity, yaitu karir atau jalur kerja mana yang akan dijalani.

2. Political Identity, apakah seseorang itu konservatif, liberal, atau di tengah-tengah saja.

3. Religious Identity, berkaitan dengan kepercayaan spiritual seseorang.

4. Relationship Identity, apakah seseorang hidup sendiri, menikah, bercerai, dsb. 5. Achievement, Intellectual Identity, berkaitan dengan motivasi untuk

(33)

6. Sexual Identity, apakah seseorang itu heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.

7. Cultural/ Ethnic Identity, dari mana seseorang berasal, dan bagaimana seseorang itu mengidentifikasikan dirinya dengan warisan budayanya.

8. Interests, berkaitan dengan apa yang disukai orang tersebut, termasuk olahraga, musik, hobi, dsb

9. Personality, yaitu karakteristik kepribadian individu, seperti introvert atau ekstrovert, pencemas atau tenang, dll.

10.Physical Identity, yaitu body image individu itu sendiri.

Selama perubahan fisik pada masa pubertas, remaja lebih memperhatikan tubuh mereka dan mengembangkan gambaran (images) mengenai bagaimana tubuh mereka terlihat (Allen dkk, 2008; Jones, Bain & King, 2008 dalam Santrock 2009). Ketidakpuasan remaja perempuan terhadap tubuh mereka meningkat pada awal hingga pertengahan masa remaja (Feingold & Mazella, 1998; Rosenblum & Lewis, 1999; Swarr & Richards, 1996 dalam Papalia dkk, 2007).

D. Skoliosis

1. Definisi Skoliosis

Menurut APTA (1986), skoliosis merupakan kurva tulang belakang yang melengkung dari satu sisi ke sisi lain. Anderson (2007) menjelaskan skoliosis sebagai kondisi lekukan tulang belakang yang abnormal. Deutchman & Lamantia (2008) menambahkan bahwa bentuk tulang belakang skoliosis menyerupai huruf

(34)

menunjukkan bentuk lekukan tulang belakangnya, yang biasanya berbentuk huruf

“C” atau “S” (NIAMS, 2008).

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa skoliosis merupakan kondisi lekukan tulang belakang dari satu sisi ke sisi lain yang

menyerupai huruf “C” atau “S” bila dilihat dari belakang.

2. Penyebab Skoliosis

Dilihat dari penyebabnya, skoliosis dibagi menjadi 2 (dua), yaitu skoliosis genetika dan skoliosis idiopatik. Berdasarkan data dari National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases (NIAMS) US, sebanyak 80% orang mengalami skoliosis idiopatik, yaitu skoliosis yang tidak diketahui penyebabnya. Skoliosis idiopatik biasanya muncul pada usia remaja.

Beberapa skoliosis disebabkan oleh faktor genetika atau turunan, namun para ilmuwan sendiri juga masih belum dapat menemukan gen apa yang mempengaruhi skoliosis. Pada keluarga yang memiliki anggota penderita skoliosis, kemungkinan anggota keluarga lainnya untuk mengembangkan skoliosis adalah 30%. Skoliosis juga lebih sering terjadi ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Ditambah lagi, skoliosis pada perempuan lebih progresif daripada skoliosis pada laki-laki (Deutchman & Lamantia, 2008).

3. Gejala Skoliosis

(35)

punggung penderita skoliosis akan terlihat seperti memiliki sebuah punuk seperti orang bungkuk, namun hanya di satu sisi (yang menonjol).

Skoliosis juga dapat mempengaruhi fungsi kerja organ lainnya. Dikarenakan bentuk tulang belakang yang membengkok ke satu sisi, ruang paru-paru penderita skoliosis juga menjadi lebih kecil dan jantung yang agak tertekan (Deutchman & Lamantia, 2008). Hal ini biasanya mengakibatkan penderita skoliosis memiliki nafas yang pendek dan rasa sakit pada dada sebelah kiri (posisi jantung). Ketidaknormalan posisi tulang belakang ini juga memberikan rasa nyeri pada punggung bagian bawah atau yang sering disebut low back pain (NIAMS, 2008).

4. Klasifikasi Skoliosis

Berdasarkan derajat kemiringannya, maka skoliosis dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu skoliosis ringan, sedang, dan parah (New York Chiropractic College, 2008).

a. Skoliosis ringan (mild), yaitu skoliosis dengan kurva 11o-19o b. Skoliosis sedang (moderate), yaitu skoliosis dengan kurva 20o-29o c. Skoliosis parah (severe), yaitu skoliosis dengan kurva di atas 30o

5. Treatment Skoliosis

Menurut Deutchman & Lamantia (2008), terdapat beberapa pilihan dalam menangani skoliosis, yaitu:

a. Pemasangan brace (ortosis)

(36)

sedang mengalami pertumbuhan. Terdapat 2 (dua) jenis brace, yaitu brace yang terbuat dari bahan plastik padat yang membatasi gerakan pemakai dan brace elastis yang memungkinkan pemakai untuk bergerak lebih fleksibel. Brace elastis memiliki potensi untuk mengurangi derajat kemiringan tulang belakang pada remaja yang sedang tumbuh sebelum kemiringan tersebut menjadi permanen.

b. Operasi (surgery)

Pada kebanyakan kasus kesehatan, operasi merupakan opsi terakhir yang akan diambil. Namun, hal ini berbeda pada kasus skoliosis. Kebanyakan dokter justru menawarkan opsi operasi sebagai opsi pertama. Operasi pada penderita skoliosis bertujuan untuk mengurangi derajat kemiringan dan mencegah bertambahnya derajat kemiringan di masa yang akan datang. Keputusan untuk operasi biasanya bervariasi pada setiap penderita. Tidak hanya untuk kepentingan kosmetika, tetapi khususnya pada penderita skoliosis dengan derajat di atas 800, ruang paru-paru dan jantung harus dimonitor karena semakin besar derajat kemiringan dapat mempengaruhi organ-organ tubuh lainnya. Operasi skoliosis tentu memiliki resiko tersendiri, seperti kelumpuhan atau bahkan kegagalan.

c. Treatment alternatif

(37)

E. Pengaruh Body Image dengan Self-Esteem pada Remaja Penderita Skoliosis

Masa remaja merupakan masa dimana seorang anak mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Papalia dkk, 2007). Masa remaja juga merupakan masa pencarian dan pembentukan identitas diri. Identitas diri ini mencakup identitas karir, agama, hubungan, pencapaian seksual, budaya atau etnis, minat, kepribadian, dan identitas fisik, yaitu body image (Santrock, 2009). Body image merupakan persepsi, perasaan, dan pikiran seseorang mengenai tubuhnya

dan biasanya dikonsepkan sebagai perkiraan ukuran tubuh, evaluasi terhadap daya tarik, dan emosi yang berkaitan dengan bentuk tubuh (Grogan, 1999; Muth & Cash, 1997 dalam Grogan, 2006).

Penampilan fisik menjadi hal pertama yang dapat dinilai pada diri seseorang sehingga penampilan fisik menjadi sumber yang fundamental dalam pembentukan identitas diri. Remaja berusaha membentuk identitas fisik yang ideal agar diterima oleh lingkungan sosialnya (Cash & Smolak, 2011). Baik remaja perempuan maupun laki-laki mulai memberi perhatian kepada penampilan fisiknya di usia remaja (APA, 2002).

(38)

Pada proses ini maturasi tulang, remaja beresiko mengalami kelainan tulang belakang, yaitu skoliosis (Mukaromah, 2011). Menurut Shah (2009), skoliosis hampir selalu muncul pada saat sebelum atau selama masa pertumbuhan di usia remaja.

Skoliosis merupakan lekukan tulang belakang yang abnormal, yang mana tulang belakang tumbuh berbentuk huruf “S” atau huruf “C” (Anderson, 2007). Di saat remaja penderita skoliosis yang sedang melalui masa pencarian dan pembentukan identitas diri, mereka juga melalui masa-masa pembentukan dan kemunculan skoliosisnya. Penderita skoliosis memiliki bentuk fisik yang berbeda dan hal ini dapat memicu body image yang negatif. Salah satu hasil penelitian Agata & Testor (2012) menunjukkan bahwa remaja penderita skoliosis memiliki body image yang negatif dan remaja penderita skoliosis juga memiliki isu psikososial. Hal ini didukung oleh studi Mukaromah (2011) mengenai pengalaman psikososial pada remaja penderita skoliosis di Jawa Tengah. Remaja penderita skoliosis mengalami kekhawatiran akan masa depannya, ketidakberdayaan, dan gangguan dalam membentuk identitas dirinya.

(39)

antara body image dan self-esteem pada remaja (Cash & Smolak, 2011). Hasil penelitian Ermanza (2008) menemukan bahwa terdapat hubungan antara self-esteem dengan body image pada remaja putri yang mengalami obesitas dari sosial

ekonomi menengah atas. Senada dengan Ermanza, penelitian oleh Sari (2012) yang dilakukan dengan subjek dewasa awal tuna daksa yang memiliki cacat setelah kelahiran menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara body image dan self-esteem. Subjek dalam penelitian tersebut kebanyakan mengalami

kecacatan pada usia remaja sehingga membuat mereka tidak percaya diri, berhenti sekolah, dan menarik diri dalam pergaulan.

Coopersmith (1967, dalam Emler 2001) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauhmana individu mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Dengan adanya self-esteem, maka individu akan merasa lebih percaya diri pada kelebihannya dan merasa lebih berharga. Ketika individu memiliki self-esteem yang rendah, maka individu akan merasa inferior, helpless, kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya Maslow (dalam Schultz & Schultz, 1994).

(40)

pada self-esteem mereka. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh body image terhadap self-esteem remaja penderita skoliosis.

F. Hipotesa

(41)

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Terdapat 2 (dua) variabel yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Kedua variabel tersebut adalah:

1. Variabel terikat : Self-esteem 2. Variabel bebas : Body Image

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati sehingga definisi variabel-variabel penelitian tersebut tidak ambigu (Azwar, 2001). Oleh karena itu, perlu dirumuskan definisi operasional mengenai variabel penelitian sebagai berikut:

1. Body Image

Body image merupakan penilaian positif atau negatif remaja penderita

(42)

skor body image yang tinggi menunjukkan bahwa remaja penderita skoliosis memiliki penilaian positif terhadap ukuran, bentuk dan berat tubuhnya. Sebaliknya, total skor body image yang rendah menunjukkan bahwa remaja penderita skoliosis memiliki penilaian negatif terhadap ukuran, bentuk dan berat tubuhnya.

2. Self-Esteem

Self-esteem merupakan evaluasi remaja penderita skoliosis terhadap

kemampuan dirinya sendiri. Self-esteem akan diukur menggunakan skala Self-Esteem yang dilihat dari apakah remaja penderita skoliosis diterima oleh kelompok, apakah remaja penderita skoliosis yakin terhadap kemampuannya, dan apakah remaja penderita skoliosis memiliki kelebihan. Total skor self-esteem yang tinggi menunjukkan bahwa remaja penderita skoliosis mengevaluasi kemampuan dirinya sendiri secara positif. Sedangkan, Total skor self-esteem yang rendah menunjukkan bahwa remaja penderita skoliosis mengevaluasi kemampuan dirinya sendiri secara negatif.

C. Populasi, Sampel Dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi Dan Sampel

Populasi dan sampel merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita skoliosis di Medan. Karakteristik populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(43)

c. Berdomisili di kota Medan.

Mengingat keterbatasan peneliti bahwa terdapat kemungkinan peneliti tidak bisa menjangkau seluruh populasi maka peneliti hanya meneliti sebagian dari populasi sebagai sampel. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja penderita skoliosis yang berusia 12-21 tahun yang berdomisili di kota Medan sebanyak 32 orang.

2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel adalah teknik yang digunakan dalam proses mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan prosedur tertentu dalam jumlah yang sesuai dengan memperhatikan sifat-sifat serta penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar mewakili populasi (Hadi, 2000). Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik insidental, yaitu peneliti menggunakan sampel berupa individu-individu atau kelompok yang memenuhi karakteristik dan kebetulan ditemui oleh peneliti. Teknik ini memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Kelebihan dari teknik ini yaitu lebih mudah memperoleh sampel penelitian, sedangkan kekurangannya adalah hasil penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan dalam kelompok populasi.

D. Metode Pengambilan Data

(44)

merupakan konstruk atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu (Azwar, 1999). Azwar (2001) menjelaskan penggunaan skala sebagai metode untuk mendapatkan jawaban subjektif dari subjek dengan menempatkan respon pada titik-titik yang kontinum dan stimulus diberikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan.

Azwar (2012) menjelaskan karakteristik dari skala psikologi yaitu:

1. Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung menunjukkan atribut pengukuran melainkan melalui indikator-indikator yang mewakili atribut tersebut

2. Atribut psikologis diungkapkan secara tidak langsung melalui indikator-indikator perilaku sedangkan indikator-indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem. Hal ini menyebabkan skala psikologi selalu berisi banyak aitem. 3. Respon subjek tidak dinilai sebagai jawaban benar atau salah. Semua jawaban

dapat diterima selama jawaban tersebut diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh. Hanya saja jawaban yang berbeda dinterpretasikan secara berbeda juga.

(45)

suatu pedoman yang akan menjaga agar penulisan aitem tetap terarah pada tujuan pengukuran tes dan tidak keluar dari batasan isi (Azwar, 2000).

1. Skala Body Image

(46)
[image:46.595.109.516.112.578.2]

Tabel 3.1 Blue Print Skala Body Image Sebelum Uji Coba No. Dimensi Body

Image Indikator Perilaku

Jenis Aitem

Total

F UF

1. Evaluasi Penampilan

Evaluasi terhadap penampilan diri sendiri

3, 18,

5 1, 8, 11 6

2. Orientasi penampilan

Perhatian individu dalam menjaga penampilan

13,

20 7

6 Usaha dalam memperbaiki

penampilan 14, 9 2

3

Kepuasan terhadap Bagian Tubuh Tertentu

Kepuasan terhadap rambut 24

6 Kepuasan terhadap wajah 25

Kepuasan terhadap tubuh

bagian atas 26

Kepuasan terhadap tubuh

bagian tengah 27

Kepuasan terhadap tubuh

bagian bawah 28

Kepuasan terhadap

keseluruhan penampilan 29

4

Kekhawatiran akan Berat Badan Berlebih

Kecemasan terhadap

kegemukan 4 12

6 Kewaspadaan individu

terhadap berat badan 17 10 Kecenderungan melakukan

diet 19 15

5 Pengkategorian Berat Tubuh

Klasifikasi Berat Badan 6 16

5 Persepsi terhadap Berat

Badan

22,

23 21

Jumlah 19 10 29

2. Skala Self-Esteem

Alat ukur self-esteem disusun oleh peneliti berdasarkan komponen self-esteem menurut Coopersmith (dalam Burn, 1998), yaitu feeling of belonging,

(47)
[image:47.595.112.515.419.690.2]

unfavorable yang mengindikasikan rendahnya self-esteem yang diukur. Skala ini menggunakan 4 alternatif jawaban, yaitu STS (Sangat Tidak Sesuai), TS (Tidak Sesuai), S (Sesuai), dan SS (Sangat Sesuai). Respon dari aitem yang bersifat favorable akan memiliki bobot 1 untuk respon STS (Sangat Tidak Sesuai), 2 untuk respon TS (Tidak Sesuai), 3 untuk respon S (Sesuai), dan 4 untuk respon SS (Sangat Sesuai). Respon dari aitem yang bersifat unfavorable akan memiliki bobot 4 untuk respon STS (Sangat Tidak Sesuai), 3 untuk respon TS (Tidak Sesuai), 2 untuk respon S (Sesuai), dan 1 untuk respon SS (Sangat Sesuai). Semakin tinggi nilai skala self-esteem, maka semakin tinggi self-esteem individu tersebut. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah nilai skala self-esteem, maka semakin rendah self-esteem individu.

Tabel 3.2. Blue Print Skala Self-Esteem Sebelum Uji Coba No. Komponen

Self-esteem Indikator Perilaku

Jenis Aitem

Total

F UF

1

Perasaan Diterima

Merasa diterima

dalam kelompok 1,9 6

9 Merasa diinginkan

dalam kelompok 2, 21 8

Merasa diperhatikan

dalam kelompok 12, 4 17 2

Perasaan Mampu

Keyakinan terhadap

hasil pekerjaan 11 5, 14

9 Keyakinan mencapai

tujuan 3, 13 24

Kemampuan

menghadapi masalah 18, 7 20 3 Perasaan

Berharga

Banyaknya nilai positif dari dalam diri

15, 19, 22,

16, 23 10, 25 7

(48)

E. Uji Instrumen Penelitian 1. Uji Validitas Alat Ukur

Validitas (validity) merupakan sejauhmana sebuah alat ukur mampu menjalankan fungsi ukurnya (Azwar, 2001). Menurut Anastasi dan Urbina (1997), validitas tes berhubungan dengan apa yang diukur oleh suatu tes dan seberapa baik tes tersebut dapat mengukur atribut. Sebuah alat ukur dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya dan memberikan hasil pengukuran sesuai dengan tujuan yang dimasudkan.

Validitas isi pada dasarnya berhubungan dengan pengujian yang sistematis terhadap isi atau konten dari tes untuk mengetahui apakah tes tersebut secara representatif telah mencakup konsep yang ingin diukur (Anastasi & Urbina, 1997). Validitas isi dalam penelitian ini dapat diperoleh dengan bertanya kepada ahli (professional judgement) yaitu dosen yang ahli dalam bidangnya untuk memberikan pendapat atas isi tes.

2. Uji Reliabilitas Alat Ukur

(49)

Pengujian reliabilitas dalam penelitiian ini menggunakan reliabilitas skor komposit. Dalam Azwar (2001), reliabilitas dianggap memuaskan apabila koefisien konsistensinya mencapai 0,9. Dalam penelitian ini, perhitungan koefisien reliabilitas akan dibantu oleh SPSS (Statistical Product and Service Solutions) Statistics version 17.0 for Windows.

3. Uji Daya Beda Aitem

Daya diskriminasi aitem dilakukan untuk melihat sejauhmana aitem dapat membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut pengukuran. Pengujian daya beda aitem dilakukan dengan cara menghitung korelasi koefisien antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala itu sendiri. Koefisien korelasi aitem-total dihitung dengan formula product-moment Pearson lalu dilakukan koreksi terhadap efek spurious overlap.

Semakin tinggi koefisien korelasi positif antara skor aitem dengan skor skala, berarti semakin tinggi daya beda aitemnya. Sebaliknya, semakin rendah koefisien korelasinya (mendekati nol), berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya bedanya rendah. Apabila koefisien korelasi didapati bernilai negatif, maka dapat dipastikan terdapat cacat serius pada aitem yang bersangkutan (Azwar, 2013).

Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix) yang

(50)

pembedanya dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki koefisien korelasi (rix)

di bawah 0,235, dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya beda rendah. Pengujian ini dilakukan dengan SPSS Statistics version 17.0 for Windows.

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur

Uji coba alat ukur dilakukan kepada remaja yang berusia 12-21 tahun sebanyak 70 orang. Analisa data dilakukan dengan menggunakan SPSS Statistics version 17.0 for Windows.

a. Skala Body Image

[image:50.595.108.518.409.754.2]

Berdasarkan hasil uji coba pada 29 aitem skala Body Image, diperoleh 27 aitem yang memiliki nilai di atas atau sama dengan 0,235. Nilai koefisien reliabilitas skor komposit 0,88 menunjukkan bahwa alat ukur reliabel.

Tabel 3.3 Blue Print Skala Body Image Setelah Uji Coba No. Dimensi Body

Image Indikator Perilaku

Jenis Aitem

Total

F UF

1. Evaluasi Penampilan

Evaluasi terhadap penampilan diri sendiri

3, 18,

5 1, 8, 11 6

2. Orientasi penampilan

Perhatian individu dalam menjaga penampilan

13,

20 7

4 Usaha dalam memperbaiki

penampilan 14

3

Kepuasan terhadap Bagian Tubuh Tertentu

Kepuasan terhadap rambut 24

6 Kepuasan terhadap wajah 25

Kepuasan terhadap tubuh

bagian atas 26

Kepuasan terhadap tubuh

bagian tengah 27

Kepuasan terhadap tubuh

bagian bawah 28

Kepuasan terhadap

keseluruhan penampilan 29

4

Kekhawatiran akan Berat Badan Berlebih

Kecemasan terhadap

kegemukan 4 12

6 Kewaspadaan individu

(51)

Kecenderungan melakukan

diet 19 15

5 Pengkategorian Berat Tubuh

Klasifikasi Berat Badan 6 16

5 Persepsi terhadap Berat

Badan

22,

23 21

Jumlah 18 9 27

b. Skala Self-Esteem

[image:51.595.109.516.111.243.2]

Berdasarkan hasil uji coba skala self-esteem, tidak ada aitem yang gugur karena seluruh 25 aitem memiliki nilai di atas atau sama dengan koefisien korelasi aitem total 0,235. Nilai koefisien reliabilitas skor komposit 0,80 menunjukkan bahwa alat ukur reliabel. Dengan demikian tidak terjadi perubahan pada skala self-esteem.

Tabel 3.4. Blue Print Skala Self-Esteem Setelah Uji Coba No. Komponen

Self-esteem Indikator Perilaku

Jenis Aitem

Total

F UF

1 Perasaan Diterima

Merasa diterima

dalam kelompok 1,9 6

9 Merasa diinginkan

dalam kelompok 2, 21 8

Merasa diperhatikan

dalam kelompok 12, 4 17 2 Perasaan

Mampu

Keyakinan terhadap

hasil pekerjaan 11 5, 14

9 Keyakinan mencapai

tujuan 3, 13 24

Kemampuan

menghadapi masalah 18, 7 20 3 Perasaan

Berharga

Banyaknya nilai positif dari dalam diri

15, 19, 22,

16, 23 10, 25 7

(52)

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu tahap persiapan penelitian, tahap pelaksanaan penelitian, dan tahap pengolahan data.

1. Tahap Persiapan Penelitian

a. Pembuatan Alat Ukur

Pada tahap ini, peneliti akan membuat konstruksi alat ukur berupa skala untuk mengukur body image dan self-esteem. Penyusunan skala ini dimulai dengan membuat blue-print aitem-aitem yang ingin diberikan. Skala akan dicetak pada kertas berukuran A4 dan berbentuk booklet. Skala body image disusun berdasarkan lima dimensi body image oleh Cash (dalam Kates, 2007). Skala body image terdiri dari 29 aitem. Skala self-esteem disusun berdasarkan komponen harga diri menurut Coopersmith (dalam Burn, 1998) dan skala ini terdiri dari 25 aitem.

b. Uji Coba Alat Ukur

Setelah perancangan skala selesai, peneliti kemudian melakukan uji coba alat ukur pada 70 orang remaja di kota Medan pada tanggal 24 April s.d. 7 Mei 2015. Peneliti terlebih dahulu meminta kesediaan subjek untuk mengisi skala body image dan self-esteem. Lalu, subjek diminta untuk memberikan respon

pada skala body image dan skala self-esteem. c. Revisi Alat Ukur

(53)

Berdasarkan hasil uji coba pada 29 aitem skala Body Image, diperoleh 27 aitem yang memiliki nilai di atas atau sama dengan 0,235. Nilai koefisien alpha yang didapat adalah sebesar 0,88. Sedangkan pada skala self-esteem, tidak ada aitem yang gugur karena seluruh 25 aitem memiliki nilai di atas atau sama dengan koefisien korelasi aitem total 0,235. Nilai koefisien alpha yang didapat adalah sebesar 0,80. Dengan demikian tidak terjadi perubahan pada skala self-esteem.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap ini, peneliti akan mengambil data penelitian yang sebenarnya. Skala diberikan kepada 32 orang subjek dengan meminta kesediaan subjek terlebih dahulu. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 26 Mei 2015 s.d. 20 Juni 2015 di Medan.

3. Tahap Pengolahan Data

(54)

A. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Subjek yang terlibat dalam penelitian adalah 32 remaja penderita skoliosis yang berdomisili di kota Medan. Dari 32 subjek tersebut, diperoleh gambaran subjek berdasarkan usia, jenis kelamin, derajat skoliosis, usia didiagnosa skoliosis, penyebab skoliosis, dan treatment skoliosis yang sedang dijalani.

Skala yang kembali dari 50 skala yang disebar adalah 37 skala dan 5 skala diantaranya tidak dapat diolah sehingga total skala yang dapat digunakan adalah 32 buah.

1. Usia

[image:54.595.125.498.505.599.2]

Berdasarkan usia subjek penelitian, maka diperoleh gambaran penyebaran subjek penelitian seperti yang tertera pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia

Usia Jumlah (N) Persentase

Remaja Awal (12-14 tahun) - 0

Remaja Pertengahan (15-18 tahun) 9 28,13 Remaja Akhir (19-21 tahun) 23 71,88

(55)
[image:55.595.125.498.129.275.2]

Tabel 4.2 Gambaran Body Image Dan Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis Berdasarkan Usia

Usia

(tahun) N Mean Std. Error

Std. Deviation

Self-Esteem 15-18 9 6,89 0,309 0,928

19 -21 23 7,17 0,370 1,775

Body Image 15-18 9 9,89 0,351 1,054 19 -21 23 10,39 0,360 1,725

Data pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa remaja penderita skoliosis berusia 19-21 tahun memiliki nilai self-esteem dan body image yang lebih tinggi, yaitu sebesar 7,17 dan 10,39 dibandingkan dengan remaja penderita skoliosis berusia 15-18 tahun.

Tabel 4.3 Kategorisasi Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis Berdasarkan Usia

Self-esteem

Usia

Tinggi Sedang Rendah

N % N % N %

15-18 tahun 2 22% 5 56% 2 22%

19-21 tahun 9 39% 3 13% 11 48%

Data pada Tabel 4.3 menunjukkan bahwa kebanyakan remaja penderita skoliosis yang berusia 15-18 tahun (56%) memiliki self-esteem sedang dan kebanyakan remaja penderita skoliosis berusia 19-21 tahun (48%) memiliki self-esteem rendah.

2. Jenis Kelamin

[image:55.595.131.496.420.504.2]
(56)
[image:56.595.152.464.115.204.2]

Tabel 4.4 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase

Perempuan 31 96,88

Laki-laki 1 3,13

[image:56.595.125.503.336.506.2]

Berdasarkan data dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah subjek penderita skoliosis berjenis kelamin perempuan adalah 31 orang (96,88%), dan jumlah subjek penderita skoliosis berjenis kelamin laki-laki adalah 1 orang (3,13%).

Tabel 4.5 Gambaran Body Image dan Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis

Kelamin N Mean Std. Error

Std. Deviation

Self-Esteem

Perempuan 31 7,1 0,290 1,6

Laki-laki 1 7 - -

Body Image

Perempuan 31 10,32 0,309 1,720

Laki-laki 1 11 - -

Data Tabel 4.5 menunjukkan bahwa remaja perempuan penderita skoliosis memiliki nilai self-esteem yang lebih tinggi, yaitu sebesar 7,1 dan remaja laki-laki penderita skoliosis memiliki nilai body image yang lebih tinggi, yaitu sebesar 11.

Tabel 4.6 Kategorisasi Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis Berdasarkan Jenis Kelamin

Self-esteem

JK

Tinggi Sedang Rendah

N % N % N %

Perempuan 11 35% 7 23% 13 42%

(57)

Data pada Tabel 4.6 menunjukkan bahwa kebanyakan remaja perempuan penderita skoliosis (42%) memiliki self-esteem rendah dan remaja laki-laki penderita skoliosis memiliki self-esteem tinggi.

3. Derajat Kemiringan Skoliosis

[image:57.595.165.459.333.437.2]

Berdasarkan derajat kemiringan skoliosis subjek penelitian, maka diperoleh gambaran penyebaran subjek penelitian seperti yang tertera pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Derajat Kemiringan Skoliosis

Derajat Kemiringan

Skoliosis Jumlah (N) Persentase Ringan (11o-19o) 4 12,50 Sedang (20o-29o) 13 40,63 Parah (di atas 30o) 15 46,88

Berdasarkan data dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah subjek terbanyak adalah penderita skoliosis dengan derajat yang tergolong parah, yaitu 15 orang (46,88%), dan jumlah subjek paling sedikit adalah penderita skoliosis dengan derajat ringan, yaitu 4 orang (12,50%).

Tabel 4.8 Gambaran Body Image Dan Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis Berdasarkan Derajat Kemiringan Skoliosis

Derajat Skoliosis N Mean Std. Error

Std. Deviation

Self-Esteem

Ringan (11o-19o) 4 6,75 0,75 1,50 Sedang (20o-29o) 13 8,08 0,46 1,66 Parah (di atas 30o) 15 6,33 0,27 1,05

Body Image

[image:57.595.134.500.575.742.2]
(58)
[image:58.595.132.514.251.359.2]

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa remaja penderita skoliosis dengan derajat sedang memiliki self-esteem dan body image yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja penderita skoliosis dengan derajat ringan dan parah.

Tabel 4.9 Kategorisasi Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis Berdasarkan Derajat Kemiringan Skoliosis

Self-esteem

Derajat

Tinggi Sedang Rendah

N % N % N %

Ringan (11o-19o) 2 50% - - 2 50% Sedang (20o-29o) 9 69% 3 23% 1 8% Parah (di atas 30o) 2 13% 5 33% 8 53%

Data pada Tabel 4.9 menunjukkan bahwa jumlah remaja penderita skoliosis derajat ringan yang memiliki self-esteem rendah dan tinggi adalah sama banyak. Kebanyakan remaja penderita skoliosis derajat sedang (69%) memiliki self-esteem tinggi dan kebanyakan remaja penderita skoliosis derajat parah (53%) memiliki self-esteem rendah.

4. Usia Didiagnosa Skoliosis

[image:58.595.126.488.597.692.2]

Berdasarkan usia subjek ketika didiagnosa skoliosis, maka diperoleh gambaran penyebaran subjek penelitian seperti yang tertera pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Didiagnosa Skoliosis Usia Didiagnosa Skoliosis Jumlah (N) Persentase

9-11 6 18,75

12-15 17 53,13

16-18 9 28,13

(59)
[image:59.595.126.497.192.368.2]

orang (53,13%), dan jumlah subjek yang paling sedikit adalah subjek yang didiagnosa skoliosis pada usia 9-11 tahun, yaitu 6 orang (18,75%).

Tabel 4.11. Gambaran Body Image Dan Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis Berdasarkan Usia Didiagnosa Skoliosis

Usia Didiagnosa

Skoliosis N Mean

Std. Error

Std. Deviation

Self-Esteem

9-11 tahun 6 6,5 0,34 0,83 12-15 tahun 17 6,82 0,39 1,60 16-18 tahun 9 8 0,55 1,66

Body Image

9-11 tahun 6 10 0,58 1,41 12-15 tahun 17 9,82 0,36 1,47 16-18 tahun 9 11,22 0,52 1,56

[image:59.595.124.516.475.588.2]

Tabel 4.11 menunjukkan bahwa remaja yang didiagnosa skoliosis pada usia 16-18 tahun memiliki self-esteem dan body image yang lebih tinggi dengan nilai sebesar 8 dan 11,22 dibandingkan kelompok usia lainnya.

Tabel 4.12 Kategorisasi Self-Esteem Pada Remaja Penderita Skoliosis Berdasarkan Derajat Usia Didiagnosa Skoliosis

Self-esteem

Usia Didiagnosa

Tinggi Sedang Rendah

N % N % N %

9-11 tahun - - 4 67% 2 33%

12-15 tahun 6 35% 4 24% 7 41%

16-18 tahun 7 78% - - 2 22%

(60)

5. Penyebab Skoliosis

Berdasarkan penyebab dari skoliosis yang diderita subjek, diperoleh data bahwa seluruh subjek (100%) merupakan penderita idiopatik skoliosis, yaitu skoliosis yang tidak diketahui penyebabnya.

6. Treament Skoliosis yang Sedang Dijalani

[image:60.595.149.474.333.438.2]

Berdasarkan treatment skoliosis yang sedang dijalani, maka diperoleh gambaran penyebaran subjek penelitian seperti yang tertera pada Tabel 4.13.

<

Gambar

Tabel 3.1 Blue Print Skala Body Image Sebelum Uji Coba
Tabel 3.2. Blue Print Skala Self-Esteem Sebelum Uji Coba
Tabel 3.3 Blue Print Skala Body Image Setelah Uji Coba
Tabel 3.4. Blue Print Skala Self-Esteem Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Bagi remaja perempuan penyandang skoliosis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi diri untuk meningkatkan keyakinan dan motivasi untuk kesehatan

Untuk mengetahui hubungan antara body image dan self esteem terhadap perilaku diet pada remaja putri SMA Santo Thomas 1 Medan, maka hipotesis yang ditegakkan dalam penelitian

yang diajukan yaitu ada hubungan yang negatif antara body image dan perilaku diet.. pada

Pada sebagian penderita skoliosis yang memiliki ketidakpuasan pada keadaan fisiknya yang mengalami pembengkokan pada tulang belakang maka pandangan ini yang akan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih jauh tentang perilaku makan dan diet, serta kaitannya dengan citra tubuh (body image) dan rasa percaya diri (self esteem) pada

Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara body image dengan kecemasan sosial pada remaja akhir di Surabaya.. Kata

Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa terdapat penari remaja wanita memiliki persepsi body image yang negatif (29.82%) yang artinya beberapa penari remaja menilai keadaan

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ermanza (2008), subjek penelitian adalah remaja putri dengan rentang usia pada masa remaja, yaitu 15 hingga 20 tahun, sedangkan penulis