A. Body Image
1. Definisi Body Image
Menurut Cash & Smolak (2011), body image merupakan hasil dari berbagai pengalaman psikologis individu berkaitan dengan tubuhnya, khususnya tampilan fisik. Pengalaman psikologis tersebut mencakup pikiran, belief, perasaan, dan perilaku yang berhubungan dengan persepsi dan sikap individu terhadap tubuhnya.
Body image merupakan persepsi, perasaan, dan pikiran seseorang mengenai
tubuhnya dan biasanya dikonsepkan sebagai perkiraan ukuran tubuh, evaluasi terhadap daya tarik, dan emosi yang berkaitan dengan bentuk tubuh (Grogan, 1999; Muth & Cash, 1997 dalam Grogan, 2006). Menurut Papalia dkk (2007), body image merupakan keyakinan (belief) yang evaluatif dan deskriptif mengenai
penampilan diri sendiri. 2. Dimensi Body Image
Cash (2000, dalam Kates, 2007) menjelaskan lima dimensi body image yaitu: a. Appearance evaluation (evaluasi penampilan), merupakan evaluasi
penampilan dan keseluruhan tubuh. Evaluasi ini mencakup apakah individu menilai dirinya menarik atau tidak, serta apakah individu puas terhadap penampilannya atau tidak.
mengubah penampilannya. Individu yang tingkat orientasi penampilannya rendah menunjukkan bahwa individu tidak berusaha untuk terlihat menarik dan penampilan bukan merupakan hal yang terlalu penting.
c. Body area satisfaction (kepuasan terhadap bagian tubuh tertentu), merupakan kepuasan individu terhadap bagian tubuh tertentu, seperti wajah, rambut, tubuh bagian atas (bahu, lengan, dada), tubuh bagian tengah (punggung, pinggang, perut), tubuh bagian bawah (pinggul, bokong, paha, kaki), dan keseluruhan penampilan.
d. Overweight preoccupation (kekhawatiran berkaitan dengan berat badan berlebih), merupakan kekhawatiran memiliki berat badan berlebih, kewaspadaan terhadap berat badannya, cenderung melakukan diet untuk mengurangi berat badan, dan membatasi pola makan.
e. Self-classified weight (pengkategorian berat badan), merupakan bagaimana individu mengklasifikasikan dan mempersepsikan berat badannya dari rentang sangat kurus hingga sangat gemuk.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Body Image
Levine & Smolak (dalam Cash & Pruzinsky, 2002) mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi body image antara lain:
a. Orangtua
pakaian dan penampilan anak, atau menganjurkan anak untuk berpenampilan dengan cara tertentu dan menghindari makanan tertentu.
b. Teman Sebaya
Individu cenderung menilai dirinya dengan membandingkan dirinya dengan teman-teman sebayanya. Jika individu terlihat berbeda dengan teman sebayanya maka individu dapat merasa ada yang salah dengan dirinya atau ada yang kurang pada dirinya.
c. Media massa
Media massa berperan sangat besar dalam menyebarkan informasi mengenai standar tubuh yang ideal. Media tidak hanya memberikan informasi mengenai bentuk tubuh yang ideal tapi juga memberitahukan cara mencapainya melalui artikel-artikel mengenai diet dan olahraga.
d. Tahap perkembangan
Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja akan berdampak pada kepuasan body image mereka karena belum tentu perubahan yang terjadi sesuai dengan keinginan mereka yang bahkan bisa menimbulkan rasa malu.
B. Self-Esteem
1. Definisi Self-Esteem
self-esteem, maka individu akan merasa lebih percaya diri pada kelebihannya dan
merasa lebih berharga. Ketika kebutuhan individu akan self-esteem masih belum cukup terpenuhi, maka individu akan merasa inferior, helpless, kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya.
Branden (2001) menekankan self-esteem sebagai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh individu tentang diri mereka sendiri, bukan mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain tentang diri kita. Branden (2001) menambahkan bahwa self-esteem merupakan gabungan antara kepercayaan diri (self-confidence) dan penghormatan diri (self-respect).
Coopersmith (1967, dalam Emler 2001) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauhmana individu mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Definisi ini lebih menekankan kepada evaluasi yang dilakukan oleh individu sendiri yang mencakup sejumlah penilaian terhadap diri sendiri berdasarkan kriteria tertentu. Secara ringkas, self-esteem merupakan penilaian individu mengenai seberapa berharga dirinya yang diungkapkan dalam bentuk sikap (attitude) individu terhadap dirinya sendiri.
Menurut Plotnik (2005), self-esteem adalah sejauhmana kita menyukai dan menghargai diri sendiri, kepentingan diri sendiri, daya tarik diri sendiri dan kompetensi sosial diri sendiri. Sedangkan Santrock (2009) memberikan definisi self-esteem yang lebih luas, yaitu sebagai evaluasi terhadap diri sendiri secara
2. Komponen Self-Esteem
Menurut Coopersmith (dalam Burn, 1998), komponen harga diri terdiri dari: a. Feeling of Belonging (Perasaan Diterima)
Perasaan individu sebagai bagian dari kelompok dan merasa dirinya diterima, diinginkan, serta diperhatikan oleh kelompoknya. Kelompok ini dapat berupa keluarga, kelompok teman sebaya, dan sebagainya. Individu akan memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya merasa diterima sebagai bagian dari
kelompok. Namun individu akan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya merasa tidak diterima atau ditolak dalam suatu kelompok.
b. Feeling of Competence (Perasaan Mampu)
Perasaan individu bahwa dirinya yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya dalam mencapai hasil yang diharapkan serta dalam menghadapi permasalahan. Individu akan memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya serta yakin dirinya dapat menghadapi permasalahan yang ada. Sebaliknya, individu akan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya tidak yakin pada hasil pekerjaan dan kemampuannya, serta tidak yakin dirinya dapat menghadapi permasalahan yang ada.
c. Feeling of Worth (Perasaan Berharga)
memiliki self-esteem yang tinggi apabila dirinya merasa berharga dengan hal-hal yang ada pada dirinya. Namun, individu dikatakan memiliki self-esteem yang rendah apabila dirinya tidak merasa berharga dan merasa dirinya tidak memiliki kelebihan.
3. Faktor Yang Mempengaruhi Self-Esteem
Menurut Wirawan dan Widyastuti (dalam Sari, 2010), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi self-esteem, antara lain:
a. Faktor Fisik
Penampilan fisik seperti karakteristik wajah, bentuk tubuh, dan sebagainya dapat mempengaruhi self-esteem individu. Beberapa orang yang memiliki wajah yang menarik cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi.
b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang dimaksud misalnya kepuasan kerja, persahabatan, kehidupan romantis, dan lain-lain. Seorang wanita yang diperlakukan dengan romantis oleh pasangannya cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi. c. Faktor Lingkungan Sosial
d. Faktor Tingkat Inteligensi
Semakin tinggi tingkat intelijensinya, maka individu cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi.
e. Faktor Status Sosial-Ekonomi
Secara umum, individu yang berasal dari status sosial-ekonomi yang lebih tinggi cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi juga.
f. Faktor Ras dan Kebangsaan
Individu yang berasal dari ras minoritas cenderung memiliki self-esteem yang lebih rendah ketika berada di tengah ras mayoritas. Misalnya, saat seorang pelajar kulit hitam menjalani pendidikan di sekolah yang mayoritas kulit putih, pelajar kulit hitam tersebut cenderung memiliki self-esteem yang lebih rendah. g. Faktor Urutan Keluarga
Anak tunggal cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi daripada anak-anak yang memiliki saudara kandung.
C. REMAJA
Hurlock (1980) menjelaskan masa remaja sebagai masa dimana individu sedang tumbuh dan dalam proses mencapai kematangan emosional, mental dan fisik. Monks (1998) membagi usia remaja dalam tiga tahap, yaitu remaja awal (12-14 tahun), remaja pertengahan (15-18 tahun) dan remaja akhir (19-21 tahun).
mereka, khususnya untuk menyesuaikan penampilan mereka dengan norma dalam kelompok mereka. Di sisi lain, mereka juga ingin memiliki gaya sendiri yang unik, dan mereka mungkin menghabiskan waktu berjam-jam di kamar mandi atau di depan kaca untuk mencapai tujuan tersebut.
Papalia dkk (2007) menjelaskan bahwa perjalanan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan ditandai tidak dengan satu hal saja, melainkan periode panjang yang disebut masa remaja. Peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11, atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir, serta melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan. Secara umum, masa remaja ditandai dengan munculnya pubertas, proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual, atau fertilitas (kemampuan untuk melakukan reproduksi).
Santrock (2009) menambahkan bahwa masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Identitas adalah self-portrait yang mencakup hal-hal berikut ini:
1. Vocational/ Career Identity, yaitu karir atau jalur kerja mana yang akan dijalani.
2. Political Identity, apakah seseorang itu konservatif, liberal, atau di tengah-tengah saja.
3. Religious Identity, berkaitan dengan kepercayaan spiritual seseorang.
4. Relationship Identity, apakah seseorang hidup sendiri, menikah, bercerai, dsb. 5. Achievement, Intellectual Identity, berkaitan dengan motivasi untuk
6. Sexual Identity, apakah seseorang itu heteroseksual, homoseksual, atau biseksual.
7. Cultural/ Ethnic Identity, dari mana seseorang berasal, dan bagaimana seseorang itu mengidentifikasikan dirinya dengan warisan budayanya.
8. Interests, berkaitan dengan apa yang disukai orang tersebut, termasuk olahraga, musik, hobi, dsb
9. Personality, yaitu karakteristik kepribadian individu, seperti introvert atau ekstrovert, pencemas atau tenang, dll.
10.Physical Identity, yaitu body image individu itu sendiri.
Selama perubahan fisik pada masa pubertas, remaja lebih memperhatikan tubuh mereka dan mengembangkan gambaran (images) mengenai bagaimana tubuh mereka terlihat (Allen dkk, 2008; Jones, Bain & King, 2008 dalam Santrock 2009). Ketidakpuasan remaja perempuan terhadap tubuh mereka meningkat pada awal hingga pertengahan masa remaja (Feingold & Mazella, 1998; Rosenblum & Lewis, 1999; Swarr & Richards, 1996 dalam Papalia dkk, 2007).
D. Skoliosis
1. Definisi Skoliosis
menunjukkan bentuk lekukan tulang belakangnya, yang biasanya berbentuk huruf “C” atau “S” (NIAMS, 2008).
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa skoliosis merupakan kondisi lekukan tulang belakang dari satu sisi ke sisi lain yang menyerupai huruf “C” atau “S” bila dilihat dari belakang.
2. Penyebab Skoliosis
Dilihat dari penyebabnya, skoliosis dibagi menjadi 2 (dua), yaitu skoliosis genetika dan skoliosis idiopatik. Berdasarkan data dari National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases (NIAMS) US, sebanyak 80% orang mengalami skoliosis idiopatik, yaitu skoliosis yang tidak diketahui penyebabnya. Skoliosis idiopatik biasanya muncul pada usia remaja.
Beberapa skoliosis disebabkan oleh faktor genetika atau turunan, namun para ilmuwan sendiri juga masih belum dapat menemukan gen apa yang mempengaruhi skoliosis. Pada keluarga yang memiliki anggota penderita skoliosis, kemungkinan anggota keluarga lainnya untuk mengembangkan skoliosis adalah 30%. Skoliosis juga lebih sering terjadi ditemukan pada perempuan daripada laki-laki. Ditambah lagi, skoliosis pada perempuan lebih progresif daripada skoliosis pada laki-laki (Deutchman & Lamantia, 2008). 3. Gejala Skoliosis
punggung penderita skoliosis akan terlihat seperti memiliki sebuah punuk seperti orang bungkuk, namun hanya di satu sisi (yang menonjol).
Skoliosis juga dapat mempengaruhi fungsi kerja organ lainnya. Dikarenakan bentuk tulang belakang yang membengkok ke satu sisi, ruang paru-paru penderita skoliosis juga menjadi lebih kecil dan jantung yang agak tertekan (Deutchman & Lamantia, 2008). Hal ini biasanya mengakibatkan penderita skoliosis memiliki nafas yang pendek dan rasa sakit pada dada sebelah kiri (posisi jantung). Ketidaknormalan posisi tulang belakang ini juga memberikan rasa nyeri pada punggung bagian bawah atau yang sering disebut low back pain (NIAMS, 2008).
4. Klasifikasi Skoliosis
Berdasarkan derajat kemiringannya, maka skoliosis dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu skoliosis ringan, sedang, dan parah (New York Chiropractic College, 2008).
a. Skoliosis ringan (mild), yaitu skoliosis dengan kurva 11o-19o b. Skoliosis sedang (moderate), yaitu skoliosis dengan kurva 20o-29o c. Skoliosis parah (severe), yaitu skoliosis dengan kurva di atas 30o 5. Treatment Skoliosis
Menurut Deutchman & Lamantia (2008), terdapat beberapa pilihan dalam menangani skoliosis, yaitu:
a. Pemasangan brace (ortosis)
sedang mengalami pertumbuhan. Terdapat 2 (dua) jenis brace, yaitu brace yang terbuat dari bahan plastik padat yang membatasi gerakan pemakai dan brace elastis yang memungkinkan pemakai untuk bergerak lebih fleksibel. Brace elastis memiliki potensi untuk mengurangi derajat kemiringan tulang belakang pada remaja yang sedang tumbuh sebelum kemiringan tersebut menjadi permanen.
b. Operasi (surgery)
Pada kebanyakan kasus kesehatan, operasi merupakan opsi terakhir yang akan diambil. Namun, hal ini berbeda pada kasus skoliosis. Kebanyakan dokter justru menawarkan opsi operasi sebagai opsi pertama. Operasi pada penderita skoliosis bertujuan untuk mengurangi derajat kemiringan dan mencegah bertambahnya derajat kemiringan di masa yang akan datang. Keputusan untuk operasi biasanya bervariasi pada setiap penderita. Tidak hanya untuk kepentingan kosmetika, tetapi khususnya pada penderita skoliosis dengan derajat di atas 800, ruang paru-paru dan jantung harus dimonitor karena semakin besar derajat kemiringan dapat mempengaruhi organ-organ tubuh lainnya. Operasi skoliosis tentu memiliki resiko tersendiri, seperti kelumpuhan atau bahkan kegagalan.
c. Treatment alternatif
E. Pengaruh Body Image dengan Self-Esteem pada Remaja Penderita Skoliosis
Masa remaja merupakan masa dimana seorang anak mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Papalia dkk, 2007). Masa remaja juga merupakan masa pencarian dan pembentukan identitas diri. Identitas diri ini mencakup identitas karir, agama, hubungan, pencapaian seksual, budaya atau etnis, minat, kepribadian, dan identitas fisik, yaitu body image (Santrock, 2009). Body image merupakan persepsi, perasaan, dan pikiran seseorang mengenai tubuhnya
dan biasanya dikonsepkan sebagai perkiraan ukuran tubuh, evaluasi terhadap daya tarik, dan emosi yang berkaitan dengan bentuk tubuh (Grogan, 1999; Muth & Cash, 1997 dalam Grogan, 2006).
Penampilan fisik menjadi hal pertama yang dapat dinilai pada diri seseorang sehingga penampilan fisik menjadi sumber yang fundamental dalam pembentukan identitas diri. Remaja berusaha membentuk identitas fisik yang ideal agar diterima oleh lingkungan sosialnya (Cash & Smolak, 2011). Baik remaja perempuan maupun laki-laki mulai memberi perhatian kepada penampilan fisiknya di usia remaja (APA, 2002).
Pada proses ini maturasi tulang, remaja beresiko mengalami kelainan tulang belakang, yaitu skoliosis (Mukaromah, 2011). Menurut Shah (2009), skoliosis hampir selalu muncul pada saat sebelum atau selama masa pertumbuhan di usia remaja.
Skoliosis merupakan lekukan tulang belakang yang abnormal, yang mana tulang belakang tumbuh berbentuk huruf “S” atau huruf “C” (Anderson, 2007). Di saat remaja penderita skoliosis yang sedang melalui masa pencarian dan pembentukan identitas diri, mereka juga melalui masa-masa pembentukan dan kemunculan skoliosisnya. Penderita skoliosis memiliki bentuk fisik yang berbeda dan hal ini dapat memicu body image yang negatif. Salah satu hasil penelitian Agata & Testor (2012) menunjukkan bahwa remaja penderita skoliosis memiliki body image yang negatif dan remaja penderita skoliosis juga memiliki isu psikososial. Hal ini didukung oleh studi Mukaromah (2011) mengenai pengalaman psikososial pada remaja penderita skoliosis di Jawa Tengah. Remaja penderita skoliosis mengalami kekhawatiran akan masa depannya, ketidakberdayaan, dan gangguan dalam membentuk identitas dirinya.
antara body image dan self-esteem pada remaja (Cash & Smolak, 2011). Hasil penelitian Ermanza (2008) menemukan bahwa terdapat hubungan antara self-esteem dengan body image pada remaja putri yang mengalami obesitas dari sosial
ekonomi menengah atas. Senada dengan Ermanza, penelitian oleh Sari (2012) yang dilakukan dengan subjek dewasa awal tuna daksa yang memiliki cacat setelah kelahiran menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara body image dan self-esteem. Subjek dalam penelitian tersebut kebanyakan mengalami
kecacatan pada usia remaja sehingga membuat mereka tidak percaya diri, berhenti sekolah, dan menarik diri dalam pergaulan.
Coopersmith (1967, dalam Emler 2001) mendefinisikan self-esteem sebagai sejauhmana individu mempercayai bahwa dirinya mampu, penting, berhasil, dan berharga. Dengan adanya self-esteem, maka individu akan merasa lebih percaya diri pada kelebihannya dan merasa lebih berharga. Ketika individu memiliki self-esteem yang rendah, maka individu akan merasa inferior, helpless, kehilangan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya Maslow (dalam Schultz & Schultz, 1994).
pada self-esteem mereka. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh body image terhadap self-esteem remaja penderita skoliosis.