H. Proses Penyiapan Implementasi Sistem BRT
I. Rencana Penanganan Operator Non BRT
1. Restrukturisasi Jaringan Trayek dan Sistem Perizinan
Bila SAUM Jalan dioperasikan dengan pola Trunk and Feeder pada suatu koridor, maka struktur jaringan trayek yang beroperasi perlu ditata ulang dengan berbagai pendekatan sebagai berikut:
a) Koridor BRT merupakan jalur utama (Trunk) dengan sistem prasarana yang sesuai rancang operasionalnya b) Konversi beberapa trayek yang menghubungkan wilayah
diluar cakupan koridor BRT dan dapat berfungsi sebagai pengumpan serta mengoperasikannya secara terpadu melalui sistem transaksi dan penggunaan jalur & Halte baik secara penuh maupun parsial
c) Konversi menjadi layanan lokal berbasis kawasan (bukan rute) layanan dan berfungsi sebagai pengumpan serta tidak harus terpadu secara penuh (sistem dan fisik)
2. Mekanisme Proses Transisi
Untuk menuju sistem BRT yang sesungguhnya dibutuhkan konsep manajemen transisi dari kondisi eksisting ke kondisi yang diinginkan. Proses transisi ini menjadi tanggung jawab dari pemerintah (regulator) untuk melakukan proses dialog melalui pengembangan dan pengenalan model usaha (bisnis) dan insentif yang baik dan menarik. Beberapa hal prinsip yang perlu diperhatikan untuk memandu proses transisi adalah:
a) Reaksi negatif karena ada potensi ketidak pastian yang diciptakan bagi para operator sebagai dampak dicabutnya izin beroperasi (trayek) dan diganti dengan kontrak berbasis kinerja.
b) Memberikan keyakinan pada operator bahwa bahwa keikutsertaan dalam sistem (BRT) memberikan jaminan keuntungan yang jelas dan pasti serta resiko yang minimum dengan mekanisme kontraktual berbasiskan model usaha yang dikembangkan.
c) Mekanisme penawaran kontrak bisa melalui pelelangan atau negosiasi (berbasiskan kemampuan operator sebagai bentuk kompensasi).
d) Kontrak berbasiskan negosiasi harus bersifat transparan untuk memuluskan proses transisi.
e) Peleburan berbagai operator kedalam bentuk korporasi perlu mempertimbangkan prosedur pembayaran pendapatan
dari layanan dalam bentuk yang memperhatikan kondisi saat ini (misalkan pendapatan berbasis harian).
f) Proses transisi untuk operator eksisting membutuhkan proses negosiasi yang bersifat mengikat.
g) Pengalaman dari tempat lain menunjukkan bahwa sejauh pemerintah siap menampung kekhawatiran para operator, maka peluang keberhasilan sistem BRT jauh lebih besar.
3. Pengembangan Layanan Lingkup Lokal
Bila sistem BRT sudah siap diterapkan, maka layanan angkutan umum eksisting idealnya dirancang dan dikelola untuk mendukung sistem BRT. Ada dua cara untuk mengelola sistem eksisting; dilakukan oleh instansi terkait pada wilayah yang bersangkutan atau oleh lembaga pengelola BRT tergantung pada situasi setempat dan tujuan utama dari layanan angkutan umum. Kedua cara merupakan opsi yang bisa diadopsi sesuai dengan kebutuhan dan tingkat penerimaan dari pemangku kepentingan terkait.
Pemerintah setempat dapat mengambil peran penting untuk menata ulang sistem bus setempat untuk melayani masyarakat dan trayek-trayek utama (Trunk) seperti Kereta Api atau BRT. Ada dua jenis layanan yang bisa diterapkan untuk layanan yang bersifat lokal yaitu pertama layanan dikoridor-koridor utama dan kedua, layanan kolektor yang meliputi suatu kawasan tertentu sesuai dengan izin yang ditetapkan. Sistem tarif dari layanan ini tidak perlu terpadu dengan sistem BRT dan dikutip langsung oleh operator, sehingga tingkat & rute layanan dapat disesuaikan dengan keinginan masyarakat setempat. Karena dengan cara ini ada perlindungan terhadap adanya kompetisi, maka akan timbul peningkatan terhadap jaminan usaha. Tentunya instansi perhubungan setempat tetap harus memantau dan mengawasi pemenuhan tingkat pelayanan yang ditetapkan.
4. Transisi dan Rasionalisasi Operator Bus
Permasalahan utama bagi upaya peningkatan layanan angkutan umum adalah menata ulang sistem angkutan umum ke arah yang lebih terstruktur dan akuntabel serta merekayasa peningkatan layanan seusai dengan keinginan masyarakat.
Pertama, mengenali berbagai persoalan yang harus dihadapi seperti:
a) Kecenderungan operator bertahan pada kondisi status quo dan tidak ingin ada perubahan (kecuali bila kondisi usaha sudah buruk).
c) Perubahan dari sistem perolehan pendapatan (harian menjadi bulanan).
d) Sikap skeptis dan tidak yakin terhadap kondisi kedepan (model usaha yang formal)
e) Timbulnya tuntutan akan kompensasi
f) Kapasitas dan kemampuan yang kurang memadai dari pemerintah setempat untuk megelola perubahan
g) Perubahan kondisi dari sistem sewa kearah sistem yang lebih teratur.
Komunikasi intens dengan masyarakat dan operator yang terkena dampak perubahan merupakan hal yang mutlak dilakukan, pertama untuk memahami kebutuhan akan transportasi lokal dan perspektif masyarakat, kedua untuk menentukan lingkup dan tingkat layanan yang dibutuhkan, dan ketiga untuk membangun hubungan konstruktif untuk memuluskan proses perubahan
Progres terhadap suasana yang kondusif harus diciptakan karena kalau tidak program peningkatan layanan bisa dipersepsikan sebagai ancaman oleh operator yang terkena dampak.
5. Masalah Kompensasi
Lazimnya masalah kompensasi merupakan isu utama dalam langkah rasionalisasi sistem eksisting. Namun kompensasi ini harus merupakan opsi terakhir, karena target utamanya adalah reformasi industri angkutan umum dan transformasi paradigma operator kearah model usaha yang lebih terjamin.
Beberapa dampak terhadap operator yang perlu dievaluasi adalah:
a) Apakah trayek eksisting bersinggungan seluruhnya atau sebagain dengan koridor BRT?
b) Apakah trayek eksisting akan dihapus atau dipotong? c) Sejauh mana trayek eksisting bisa disesuaikan untuk
mendukung jaringan Utama (BRT)?
d) Apakah operator mampu atau tertarik untuk terlibat dalam sistem BRT?
Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian kompensasi adalah:
a) Status hukum operator, besarnya dampak, potensi kehilangan usaha atau hanya kehilangan pekerjaan?
b) Jika operator menolak tawaran terhadap pola usaha yang realistis untuk mengganti operasi eksisting; apakah mereka berhak terhadap kompensasi berupa uang?
c) Apakah perlu kompensasi yang usia kendaraan atau izin trayeknya sudah tidak aktif?
d) Nilai dari kebijakan untuk mengganti kendaraan lama dan sebagai mekanisme kompensasi? (Biaya kompensasi untuk uang muka kendaraan baru atau membeli saham di perusahaan yang baru) Bagaiman implikasi besarnya biaya? Organisasi Asosiasi operator secara resmi harus dilibatkan dalam proses ini sebagai representasi para operator yang diakui oleh pemerintah. Kebijakan kompensasi (uang) harus diminimalisasi karena fokus utamanya adalah untuk menata trayek eksisting menjadi layanan pengumpan dan lokal. Proses penyiapan layanan pengumpan dan lokal ini merupakan tugas dari pemerintah setempat untuk merencanakan trayek dan layanannya.
6. Rencana Pembangunan dan Implementasi
Proyek BRT memiliki beberapa kelompok manajemen dengan aktivitas yang berbeda – beda. Susunan rangkaian kegiatan tersebut haruslah dikelola dan dijadwalkan dengan tepat. Perencanaan pembangunan dan implementasi yang tepat dapat berfungsi sebagai pengendali manajerial untuk mengarahkan proyek sesuai dengan perencanaan.
7. Sistem Pemeliharaan
Pada tahun – tahun awal, sistem akan menunjukan kualitas layanan yang begitu baik dengan citra yang positif. Namun, ketika sistem telah berjalan beberapa tahun, kualitas layanan akan menurun seiring dengan kualitas fisik dari sistem. Untuk mencegah hal tersebut terjadi diperlukan suatu rencana pemeliharaan yang berkelanjutan agar sistem dapat terus berkualitas baik.
Pemeliharaan bus biasanya menjadi tanggung jawab pihak mitra swasta. Oleh karena itu standar kualitas dari pelayanan harus dinyatakan dengan jelas dalam perjanjian kontrak. Sedangkan untuk kualitas seperti terminal, stasiun dan jalur bus akan menjadi tanggung jawab dari pengelola sistem BRT. Namun biasanya sektor pemeliharaan akan diberikan kepada pihak swasta untuk menjaga kualitas bangunan. Alokasi anggaran dan waktu harus dilakukan dengan tepat agar kualitas layanan tidak memburuk sehingga dapat membuat pelayanan menjadi tidak maksimal.
8. Rencana Pengawasan dan Evaluasi
Suatu keberhasilan dan kegagalan dari sistem akan terlihat dari reaksi masyarakat, komentar media, dan tingkat penggunaan serta keuntungan. Namun untuk mengetahui secara objektif
melakukan pengawasan dan evaluasi akan terlihat titik kelemahan yang perlu dilakukan tindakan korektif.
Identifikasi masalah dan indikator meruapkan langkah awal dalam mengembangakn rencana pengawasan dan evaluasi. Indikator yang mudah untuk digunakan diantaranya jumlah total pengguna, aliran pengguna, biaya operasional sebenarnya, jarak tempuh perjalanan dalam kilometer, kecepatan, waktu tunggu pengguna, faktor beban, dan angka statistik kejahatan. Selain itu, pendapat para pengguna juga dapat digunakan sebagai referensi tingkat kepuasan pengguna. Proses pengawasan dan evaluasi harus dilakukan secra berkala untuk tetap menjaga tingkat kepuasan pengguna.
9. Sosialisasi Operasi Sistem BRT
Keberhasilan suatu produk baru dalam memasuki pasar akan sangat ditentukan oleh adanya promosi, sedangkan kebijakan baru akan berhasil meraih dukungan masyarakat jika dilakukan sosialisasi yang memadai. Jika sistem BRT dipandang sebagai barang baru maka sosialisasi atau promosi akan sangat menentukan keberhasilan operasinya. Melalui sosialisasi yang baik diharapkan sistem ini akan mendapatkan dukungan yang baik pula dari masyarakat utamanya pengguna angkutan umum. Sosialisasi dapat dilakukan melalui media cetak maupun elektronik, sehingga diharapkan akan mengurangi atau meminimalkan dampak sosial yang akan terjadi, utamanya yang kurang/tidak setuju dengan adanya sistem ini.
J. Contoh Kasus Penyusunan SAUM Jalan Raya untuk Kota Surabaya