BAB VI
KONSEP PANDUAN PENGEMBANGAN ANGKUTAN
MASSAL BERBASIS JALAN YANG HEMAT ENERGI DAN
RAMAH LINGKUNGAN
A. Pendahuluan
Perbedaan mendasar dari suatu layanan BRT dengan layanan bus standar adalah pelayanan terhadap kenyamanan dan kepuasan pengguna. Layanan BRT dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi keinginan pengguna sehingga pengguna merasa aman dan nyaman dalam menggunakannya. Pengembangan sistem BRT dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan besar yaitu; tahapan pra-perencanaan, tahapan perencanaan, dan tahapan pasca perencanaan seperti yang ditunjukan dalam Gambar 6. 1.
Gambar 6. 1. Pengembangan Sistem BRT
PASCA PERENCANAAN PERENCANAAN & PERANCANGAN
PRA-PERENCANAAN
PENYIAPAN PELAKSANAAN PROYEK SAUM
SOSIALISASI
ANALISIS PERMINTAAN &
PEMILIHAN KORIDOR PERANCANGAN OPERASIONAL
PENYIAPAN RENCANA USAHA
PERANCANGAN PRASARANA KEBIJAKAN PENDUKUNG EVALUASI INISIASI PROYEK SAUM RENCANA IMPLEMENTASI
Tahapan pra-perencanaan mencakup kegiatan insisasi dan penyiapan proyek BRT yang ditindaklajuti dengan kegiatan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan seperti masyarakat, operator, dan institusi pemerintah terkait. Tahap perencanaan mencakup kegiatan analisis permintaan dan pemilihan koridor, perancangan operasional sistem BRT, penyiapan rencana usaha dan perancangan prasarana baik utama maupun pedukung. Sedangkan tahapan pasca perencanaan meliputi kegiatan penyiapan kebijakan pendukung, proses evaluasi dan rencana implementasi.
Walaupun tahapan kegiatan dalam pengembangan sistem BRT yang ditunjukan dalam Gambar 6. 1nampak berurutan, namun proses yang terjadi bersifat iteratif. Seringkali beberapa tahapan kegiatan memiliki keterkaitan dan ketergantungan yang signifikan serta harus dilakukan secara bersamaan. Sebagai contoh, analisis finansial akan mempengaruhi keputusan terhadap aspek prasarana dan teknologi, sementara pemilihan rute akan berdampak pada opsi rancangan jalur BRT. Contoh diatas seringkali harus dilakukan dengan proses iteratif untuk mendapatkan hasil yang paling optimal. Dilain sisi, melakukan proses yang benar-benar ideal juga bisa berakibat situasi yang kontraproduktif karena akan berakibat kepada penundaan dan tidak terealisasinya rencana. Oleh karena itu perencanaan yang baik adalah yang mampu yang mampu mengarahkan pimpinan untuk mengambil keputusan dan menetapkan kerangka waktu pelaksanaannya tanpa terjebak dengan paradigma berpikir untuk menyiapkan suatu rencana yang benar-benar ideal yang kadangkala bisa berpotensi untuk menyurutkan niat yang kuat dari pengambil keputusan untuk melaksanakannya.
B. Komunikasi dan Sosialisasi
Proses sosialisasi dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat untuk mengetahui pendapat dan keinginan mereka terhadap sistem BRT yang akan dibangun. Dengan mendengarkan keinginan dari masyarakat yang akan menggunakan maka diharapkan sistem BRT yang akan dioperasikan dapat diterima dengan baik.
Selain itu komunikasi dengan operator angkutan umum yang ada mutlak perlu dilakukan untuk mengenalkan BRT secara benar, agar operator-operator tersebut dapat memandang sistem BRT sebagai suatu peluang bisnis ke depan yang terintegrasi dengan sistem yang sudah beroperasi.
Hal yang tidak kalah penting adalah melakukan proses komunikasi kepada masyarakat untuk mengenalkan sistem BRT secara komprehensif dan tepat agar masyarakat memiliki sikap yang benar dan terbiasa untuk menggunakan sistem yang baru ini.
C. Analisis Permintaan dan Penetapan Koridor
Secara konseptual langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam merencanakan koridor angkutan massal berbasis jalan seperti yang ditunjukan dalam Gambar 6. 1akan dijelaskan dalam bagian berikut.
1. Langkah 1: Kajian terhadap Struktur Kota
Sebagaimana lazimnya untuk setiap perencanaan, adalah melakukan evaluasi terhadap struktur ruang kota. Langkah ini mencakup:
a) identifikasi lapangan terhadap jaringan jalan; b) lokasi kawasan hunian, kawasan niaga dan industri; c) karakteristik lalu lintas;
d) lingkup (cakupan wilayah) pelayanan angkutan umum eksisting;
e) kualitas perkerasan jalan; f) pedestrian;
g) rancang kota; dan
h) kepadatan kota dan bangunan.
Semua informasi ini dipetakan dan lebih baik menggunakan fasilitas peta GIS maupun foto udara.
2. Langkah 2: Penyiapan Basis Data
Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan data tentang sistem angkutan umum eksisting yang mencakup:
a) Sistem tarif, rute-rute baru dan lain-lain; b) Statistik populasi dan strata sosial;
c) Rencana induk kota, dan rencana pengembangan jaringan jalan untuk jangka pendek dan panjang;
d) Dokumen kajian terhadap sistem angkutan massal;
e) Peta wilayah kota (foto udara/ peta digital) pada skala 1:18,000; dan
f) Jika dimungkinkan ketersediaan data asal-tujuan (O-D) perjalanan sebagai pembanding terhadap koridor-koridor angkutan umum.
Salah satu upaya yang lazim dilakukan untuk mengantisipasi keterbatasan data dan perangkat analisis untuk perencanaan jangka panjang, adalah dengan melakukan pendekatan perancangan untuk jangka pendek namun tetap mempertimbangkan jangka panjang. Langkah yang diperlukan adalah dengan menggunakan data permintaan eksisting (khususnya permintaan angkutan umum) sebagai basis perencanaan dan kemudian menguji kompatibilitas terhadap
perencanaan skala penuh (prosedur empat tahap perencanaan) adalah sebagai berikut:
a) Data asal-tujuan perjalanan pengguna angkutan umum; b) Data sosio-ekonomi dan demografi;
c) Data rencana tata ruang wilayah;
d) Data trayek angkutan umum (termasuk rencana); (1) Panjang trayek;
(2) Ittenerarytrayek.
e) Data karakteristik operasional angkutan umum eksisting: (1) Okupansi/faktor muat rata-rata per arah pada jam
sibuk dan jam lengang;
(2) Frekuensi per arah pd jam sibuk dan jam lengang; (3) Kecepatan tempuh rata-rata per arah pd jam sibuk
dan jam lengang;
(4) Besaran naik turun penumpang harian dan jam sibuk/jam lenganga per arah per trayek di tiap titik pelayanan;
(5) Tundaan (waktu dan penyebab) per trayek per arah; (6) Waktu berhenti per trayek per arah;
(7) Waktu tunggu rata-rata di tiap titik layanan per arah per trayek.
f) Data sarana dan prasarana angkutan umum eksisting; (1) Jumlah armada beroperasi per trayek; (2) Jenis dan kapasitas (nominal) per trayek; (3) Usia kendaraan;
(4) Konfigurasi kursi, pintu, sirkulasi, mekanisme pengumpulan tiket, pegangan tangan, tingkat kebisingan (internal dan eksternal) dan tingkat emisi;
(5) Halte, Terminal/Depo
g) Data pusat bangkitan-tarikan eksisting dan rencana; h) Data jaringan jalan eksisting dan rencana;
i) Model permintaan angkutan umum (bangkitan, distribusi dan pilihan moda);
j) Model jaringan transportasi.
Bila proses analisis untuk perencanaan menggunakan metoda cepat, maka kebutuhan data minimum adalah sebagai berikut:
a) Data trayek angkutan umum (termasuk rencana); 1) Panjang trayek;
2) Ittenerary trayek.
b) Data karakteristik operasional angkutan umum eksisting: 1) Okupansi/faktor muat rata-rata per arah pada jam
sibuk dan jam lengang;
3) Besaran naik turun penumpang harian dan jam sibuk/jam lengang per arah per trayek di tiap titik pelayanan (optional);
4) Kecepatan tempuh rata-rata per arah pada jam sibuk dan jam lengang.
c) Data sarana dan prasarana angkutan umum eksisting; d) Data pusat bangkitan-tarikan eksisting dan rencana; e) Data jaringan jalan eksisting dan rencana.
3. Langkah 3: Analisis Permintaan
Setelah basis data disiapkan, selanjutnya adalah melakukan analisis dan estimasi potensi permintaan (penumpang) dari layanan ini. Metoda yang dapat digunakan adalah:
a) Menggunakan hasil survai pada trayek eksisting (faktor muat, frekuensi, jumlah naik turun penumpang, waktu tempuh, kondisi geometrik dan jumlah trayek yang bisa dikonversikan);
Untuk memprediksikan besarnya permintaan dapat menggunakan rumus berikut ini (Alvinsyah & Halim, 2012):
𝑉𝑖 = 𝑂𝑐̅̅̅̅𝑖× 𝑓 × 𝐶𝑏 (1) dimana:
Vi = volume penumpang pada rentang
waktu i Oc
̅̅̅i = Faktor muat rata-rata pada rentang waktu i
f = frekuensi pada rentang waktu i Cb = kapasitas kendaraan
Bila pengukuran volume dilakukan kurang dari satu jam, maka untuk mendapatkan arus puncak dapat menggunakan rumus berikut (Alvinsyah & Halim, 2012):
𝐹𝑚𝑎𝑥= 4 × 𝑉15-𝑚𝑎𝑥 (2) dimana:
Fmax = arus maksimum
V15-max = volume per 15 menit maksimum
b) Bila tidak tersedia data naik turun penumpang sepanjang koridor rencana, maka besarnya jumlah penumpang yang menggunakan layanan dalam satu hari dapat diestimasi
𝐹𝑚𝑎𝑥 =𝑅𝑑
sto× %ph× %pd (3)
dimana:
Fmax = arus maksimum
Rd = jumlah penumpang harian Sto = seat-turnover rate
%ph = persentase jam sibuk %pd = persentase arah sibuk
Sedangkan prosedur ricnci untuk estimasi permintaan dengan metoda seperti yang disampaikan berikut ini dapat dilihat pada berbagai referensi:
(1) Menggunakan faktor pertumbuhan dan hasil survai preferensi;
(2) Menggunakan metoda elastisitas; (3) Menggunakan model logit;
(4) Menggunakan model perencanaan empat tahap.
4. Langkah 4: Identifikasi kendala permintaan eksisting
Langkah berikutnya adalah menguji kendala-kendala dari permintaan eksisting untuk sistem yang akan diimplementasikan. Caranya adalah dengan menguji besaran permintaan yang ada terhadap persyaratan permintaan layanan bus untuk dua arah pergerakkan, jarak antara halte 300-400 meter, headway minimum 5 menit dan maksimum 1 menit (60 detik). Koridor sebaiknya memiliki guna lahan komersial bersifat linier untuk menjamin tingkat turun naik penumpang yang tinggi sepanjang rute.
Sumber: diadaptasi dari ADB (2008)
Gambar 6.2. Proses Penetapan Koridor Angkutan Massal Berbasis Jalan (BRT)
5. Langkah 5: Evaluasi kendala fisik (prasarana)
Langkah ke lima adalah menguji kendala fisik dari prasarana jalan kota yang mencakup:
a) lebar jalan; b) kesinambungan; c) pergerakan berbelok; d) aksesibilitas;
g) lahan parkir; h) akses lateral; dan
i) akses untuk pedestrian dan lain-lain .
Penerapan konsep prioritas untuk bus secara konvensional cenderung terkendala oleh sistem jaringan jalan eksisting (contoh manajemen SSA) karena sulitnya pembebasan lahan. Oleh karena itu perlu pemikiran terobosan dalam hal menggunakan ruang kota seperti pemanfaatan ROW jalur kereta, sungai, lahan pribadi, pasar dipinggir jalan dan lain-lain.
6. Langkah 6 : Evaluasi jaringan angkutan umum eksisting
Langkah ke enam adalah menguji rute angkutan bus eksisting terhadap kemungkinan rasionalisasi menjadi jalur utama (trunk) dan jalur pengumpan (feeder). Tergantung dari lingkup perencanaan dan ukuran kota, langkah ini bervariasi untuk setiap koridor dan daerah cakupan yang dikaji. Lokasi perpindahan (transfer) harus ditempat yang memudahkan pengguna untuk melakukan perjalanan keseluruh wilayah kota melalui perpindahan dari rute pengumpan ke rute utama atau sebaliknya dan alternatif perjalanan lainnya. Selain itu lokasi ini juga sebaiknya bisa menghubungkan beberapa koridor lainnya. Bila kebijakannya adalah menggunakan sistem layanan langsung (Direct Service) maka perlu ditentukan trayek-trayek eksisting yang akan dilibatkan dalam sistem karena biasanya dengan sistem ini tidak diperlukan restrukturisasi trayek. Kriteria untuk menentukan trayek-trayek eksisting yang masuk kedalam sistem BRT adalah besaran persentase tumpang tindih sepanjang koridor (50% atau lebih) dan frekuensi layanan dalam satu jam puncak (12 atau lebih). Trayek-trayek yang tidak masuk kriteria ini tetap beroperasi sebagaimana biasanya diluar sistem BRT
7. Langkah 7 : Perbandingan Kendala Fisik dengan Permintaandi Koridor
Langkah ketujuh adalah untuk membandingkan kendala fisik dengan besaran permintaan pada koridor yang dikaji. Bila kedua parameter diatas selaras maka koridor tersebut layak untuk dijadikan rute pelayanan. Jika permintaan “captive” merupakan faktor penting, maka permintaan dasar di koridor dapat diperoleh melalui survai besaran permintaan (arus) penumpang pada interval tertentu sepanjang koridor. Arus penumpang bisa dihitung dari sampel hasil survai dinamis (on- board) naik-turun penumpang untuk jam sibuk dan jam lengang. Alternatif lain bila metoda ini sulit dilaksanakan adalah dengan melakukan survai secara statis (off-board) yang mengamati frekuensi dan okupansi setiap rute yang meliwati suatu titik pengamatan.
Lokasi pengamatan dilakukan dibeberapa tempat sepanjang koridor terutama pada segmen-segmen yang padat. Metoda estimasi potensi permintaan seperti yang ditunjukan dalam Langkah 3.
8. Langkah 8 : Pengujian Kendala lain pada koridor
Langkah kedelapan melibatkan evaluasi terhadap kendala-kendala lainnya seperti ruang terbuka hijau , kawasan cagar budaya dan faktor lingkungan lainnya.
9. Langkah9 : Identifikasi konsiderasi perencanaan untuk lokasi perpindahan moda
Langkah kesembilan adalah mengevaluasi interaksi fasilitas perpindahan dengan rencana tata ruang kota dan pertumbuhannya. Kawasan hunian yang baru dapat dilayani dari titik perpindahan dengan memperpanjang rute (bisa) berupa rute pengumpan (tidak membuat rute yang baru).
D. Rancangan Operasional
Prinsip dasar dari perancangan sistem BRT adalah tidak diawali dari aspek fisik atau kendaraan, namun harus diawali dengan konsep dari sistem yang mampu memenuhi karakteristik operasional yang diharapkan oleh pengguna. Dengan pola pendekatan perancangan seperti ini lazimnya diperlukan langkah-langkah kompromi yang meliputi kepentingan layanan pelanggan, efesiensi biaya, kepentingan dan hubungan dengan operator serta kendala fisik. Sehingga untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut diatas diperlukan pemahaman yang penuh terhadap opsi operasional dan implikasinya. Secara umum, sebagai panduan awal terhadap pemilihan sistem BRT berdasarkan besaran permintaan dapat menggunakan kriteria yang ditunjukan dalamTabel 6. 1.
Tabel 6. 1. Panduan Pemilihan Sistem BRT
Permintaan (pax/jam/arah) Sistem BRT
< 2000
Prioritas bus yang sederhana, biasanya tanpa pemisahan fisik, kemungkinan penerapan lajur bus untuk waktu tertentu
2000-8000
Lajur bus khusus dengan
separator,sistem layanan langsung (direct service)untuk mengurangi kebutuhan berpindah moda.
Permintaan (pax/jam/arah) Sistem BRT
8000-12.000
Lajur bus di median dengan separator,sistem layanan
langsung(direct service), waktu naik bus cepat dan kecepatan operasional yang tinggi serta pemberian Prioritas yang baik di persimpangan
12.000-20.000
Lajur bus di median dengan separatordan ada lajur menyiap di halte,kombinasi layanan ekspres dan reguler, beberapa persimpangan yang terpisah
20.000-40.000
Lajur bus di median dengan
separatordan ada lajur menyiap di halte, sistem trunk-feeder, layanan ekspres dan reguler, pemberian prioritas di persimpangan, jumlah platform lebih dari satu di setiap halte
Sumber: diolah dari berbagai sumber
1. Pola Operasi Sistem
Pembatasan jumlah operator dan kendaraan pada sistem BRT dapat memberikan dampak yang signifikan pada kecepatan tempuh kendaraan, lingkungan dan kualitas estetika sistem. Pola operasi yang membatasi jumlah operator dan armada pada koridor BRT didefinisikan sebagai sistem tertutup. Jumlah operator, jumlah dan spesifikasi armada ditentukan berdasarkan proses pelelangan terbuka untuk mendapatkan kualitas pelayanan yang prima bagi pengguna. Sebaliknya pola operasi yang tidak menerapkan pembatasan jumlah operator, armada dan spesifikasinya didefinisikan sebagai sistem terbuka, sehingga semua jenis armada dan pelayanan yang ada dapat menggunakan koridor BRT.
Terkait dengan struktur jaringan pelayanan maka opsi pola operasi untuk sistem BRT, bila tidak ada kebijakan khusus yang disyaratkan oleh Pemerintah, dapat mengacu kepada panduan umum dalam Tabel 6. 2.
Sebagaimana yang ditunjukan dalamTabel 6. 2, definisi terpadu dapat diartikan sebagai operasi sistem tertutup. Sebagai catatan, untuk sistem yang tetap mempertahankan rute layanan menerus/langsung (direct service) dapat juga menggunakan pola operasi sistem tertutup. Selain itu kombinasi struktur trunk-feeder dan layanan langsung pada suatu koridor juga dapat menggunakan pola operasi sistem tertutup.
Tabel 6. 2. Panduan Sistem Operasi Angkutan Umum Jalan Raya Permintaan (Pax/jam/arah) Pola Operasi Struktur Jaringan Pelayanan Jenis Armada
< 1000 Terbuka Konvensional (direct service)
1000 – 2000 Terbuka/Terpadu Konvensional/Trunk &Feeder Bus 12m, 3 pintu
2000 – 3000 Terpadu Trunk&Feeder Bus Tempel
(articulated) 3 pintu
3000 – 5000 Terpadu Trunk (Lajur khusus/Busway)
/Feeder
Bus Tempel (articulated) 3 pintu
5000 – 10000 Terpadu Trunk (Lajur
khusus/Busway)&Feeder,, Pra-bayar, Platform sejajar
Bus Tempel (articulated) 4 pintu
10000 – 18000 Terpadu Trunk (Lajur
khusus/Busway)&Feeder, Pra-bayar, Platform sejajar
Bus Tempel
(bi-articulated) 5 pintu,
sistem konvoi
18000 – 34000 Terpadu Trunk (Lajur
khusus/Busway)&Feeder, Pra-bayar, Platform sejajar , Lajur menyiap
Bus Tempel (articulated) 4 pintu
Sumber: Transcraft (2005)
2. Perancangan Jejaring dan Layanan
Mengacu kepada hasil analisis besarnya permintaan, sebagai acuan untuk merancang konsep operasi dan struktur jejaring layanan pada suatu koridor yang telah ditetapkan untuk operasi sistem BRT, maka Tabel 6. 2dapat digunakan sebagai acuan awal, namun idealnya dilakukan analisis permintaan sesuai dengan kondisi masing-masing kota. Sedangkan untuk menentukan lokasi atau karakteristik kawasan/koridor yang sesuai dengan pola operasi dan struktur jaringan BRT, ukuran-ukuran dalam Tabel 6. 3, dapat juga dijadikan panduan awal dalam proses perancangan.
Tabel 6. 3. Karakteristik lokasi untuk Penerapan BRT
Permintaan (pax/ jam/arah) Kecepatan operasional (km/jam) Aplikasi 500-5000
12-15 Koridor dengan Kepadatan rendah,
pinggir kota 500-2500+
15-35 Kota kecil, pusat keramaian kota
bersejarah, pinggir kota 5000-15000
18-23 Koridor dengan kepadatan medium,
penghubung pinggir/pusat kota 15.000-45.000
20-40
Koridor dengan Permintaan
tinggi,padat dan penggunaan campur, pusat kota
Sumber: adaptasi dari Thredbo-12 (2011)
Jika diperoleh informasi tentang proporsi karakteristik perjalanan (O-D) jarak jauh cukup tinggi maka perlu
ekspres atau patas yang tentunya disertai dengan ketersediaan lajur menyiap pada setiap halte dan idealnya disediakan halte khusus pada titik layanan untuk sistem Patas. Bila struktur jaringan layanannya merupakan konsep trunk-feeder, maka, rute utama (trunk) dirancang secara diametris diawali dari terminal (titik transfer) awal dipinggir kota ke terminal akhir (titik transfer) yang sebaiknya berada dipinggir kota juga. Untuk mendapatkan jumlah armada yang seimbang untuk pergerakkan di masing-masing arah, sebaiknya besaran permintaan tertinggi berada pada segmen yang sama. Jika situasi ini tidak terjadi, maka opsi lain seperti memotong rute layanan dipusat kota bisa dipertimbangan sebagai opsi yang terakhir. Dengan pendekatan seperti diatas maka:
a) Memungkinkan aksesibilitas yang lebih tinggi bagi penumpang tanpa harus melakukan pindah moda;
b) Mengurangi biaya operasi (jarak tempuh) karena bus tidak perlu melalui rute melingkar dengan kecepatan rendah dikawasan pusat kota dalam rangka mencakup zona tujuan utama sebelum kembali ke terminal awal.
Pengoperasian BRT dengan struktur jaringan trunk-feeder didalam sistem tertutup umumnya akan efektif untuk kondisi berikut;
a) Koridor utama memiliki permintaan yang tinggi;
b) Perbedaan kepadatan penduduk diantara kawasan yang berbeda cukup signifikan;
c) Jarak antara pusat kota dengan kawasan pengumpan relatif cukup jauh (lebih dari 10 km).
Pengoperasian BRT dengan struktur jaringan layanan langsung pada sistem tertutup umumnya akan efektif untuk kondisi berikut;
a) Koridor utama memiliki permintaan yang rendah;
b) Perbedaan kepadatan penduduk diataran kawasan yang berbeda relatif tidak terlalu signifikan;
c) Jarak antara pusat kota dengan kawasan pengumpan relatif tidak terlalu jauh (kurang dari 10 km).
Sistem BRT yang mempertahankan struktur jaringan layanan langsung tidak disarankan untuk dioperasikan dengan sistem tertutup, kecuali diterapkan sebagai sistem transisi menuju sistem tertutup. Untuk kota yang trayek-trayeknya cenderung menumpuk pada suatu koridor, pola operasi layanan langsung
dengan sistem tertutup bisa dipertimbangkan secara serius karena dapat memberikan beberapa keuntungan dalam hal penerapannya.
Namun perlu menjadi catatan bahwa tidak ada aturan yang menetapkan bahwa salah satu sistem berikut pola operasinya merupakan pilihan yang terbaik. Karena kedua sistem ini akan optimal untuk situasi dan kondisi (karakteristik demografis, dan distribusi asal tujuan perjalanan) setempat. Oleh karenanya untuk suatu kota sangat dimungkinkan untuk menerapkan struktur jaringan dan pola operasi yang berbeda pada masing-masing koridor pembentuk jaringan BRT.
3. Perancangan Rute
Sistem BRT umumnya dirancang pada koridor-koridor utama (jalan arteri) untuk menjamin kecepatan tempuh dan keandalan operasi yang tinggi. Untuk melayani ke kawasan-kawasan pembangkit perjalanan melalui jalan kolektor umumnya menggunakan layanan pengumpan, sehingga rute layanan BRT menjadi sederhana dan mudah dipahami oleh pengguna serta tidak perlu menempuh rute yang melingkar yang berpotensi mengurangi kecepatan tempuh total. Rancangan sistem rute yang baik akan mampu mengoptimalkan waktu tempuh dan kemudahan bagi sebagian besar perjalanan serta mengurangi biaya operasional secara signifikan. Oleh sebab itu jaringan rute yang efektif dapat dicapai bila memenuhi prinsip dasar berikut;
a) Meminimalkan jumlah penumpang transfer;
b) Menyiapkan layanan reguler/lokal, patas dan ekspres didalam sistem BRT;
c) Memotong beberapa rute layanan untuk berfokus pada segmen yang memiliki permintaan yang tinggi.
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam menentukan rute layanan agar dapat memenuhi prinsip-prinsip efisiensi dan efektifitas. Kriteria-kriteria tersebut antara lain;
a) Adanya Permintaan Minimum; b) Rute bersifat selurus mungkin; c) Meminimalkan tumpang tindih rute;
d) Sesuai dengan karakteristik geometrik jalan;
e) Panjang rute dibatasi (dalam konteks waktu tempuh pulang pergi);
f) Menempuh jalur yang sama untuk perjalanan pulang pergi; dan
g) Menghindari titik (terminal) akhir pelayanan di wilayah pusat kota.
Untuk menjamin tercapainya besaran permintaan pada rute BRT, beberapa lokasi atau kawasan dengan potensi bangkitan perjalanan yang signifikan perlu dihubungkan adalah sebagai berikut:
a) Kawasan pusat bisnis;
b) Sekolah dan perguruan tinggi; c) Pusat-pusat perbelanjaan;
d) Rumah sakit dan fasilitas pelayan kesahat utama lainnya; e) Pusat-pusat hiburan/rekreasi dan olah raga;
f) Fasilitas transportasi antar kota (regional; bandara, pelabuhan, setasiun ka, terminal akap dll);
g) Kawasan hunian dan komersial berkepadatan tinggi.
Tingkat kelurusan rute dapat dilihat dari nilai rasio/deviasi jarak dan rute. Nilai rasio jarak merupakan rasio jarak rute terhadap jarak jalan, atau bisa juga merupakan rasio waktu tempuh BRT terhadap waktu tempuh kendaraan pribadi. Untuk nilai rasio jarak, maksimum sebesar 1.5, sedangkan untuk nilai rasio waktu tempuh (di dalam kendaraan), maksimum pada jam puncak adalah sebagai berikut:
a) 1.75 untuk rute radial utama; b) 2.00 untuk rute radial; c) 1.25 untuk rute Patas; d) 1.15 untuk rute Ekspres;
e) 1.5 untuk rute antar pusat kegiatan (Urban);
Sedangkan nilai rasio/deviasi rute adalah sebagai berikut: a) Waktu deviasi maksimum 5 menit untuk perjalanan satu
arah atau;
b) Waktu deviasi tidak lebih dari 25% waktu tempuh rute utama (lurus).
Panjang rute layanan harus dibatasi untuk menjamin keandalan operasi yang ditentukan dari waktu tempuh pulang pergi tidak lebih dari 2 (dua) jam dan bila terpaksa maksimum 3 (tiga) jam. Jumlah rute layanan pada suatu koridor disesuaikan dengan besar dan karakteristik permintaan pada koridor terkait, namun perlu dibatasi untuk memudahkan bagi pengguna dalam mengenali layanan yang tersedia pada koridor tersebut. Secara prinsip jumlah rute layanan perlu dirancang seminimum mungkin, dengan pertimbangan lebih baik menyediakan sedikit layanan dengan frekuensi tinggi dibandingkan terhadap banyak layanan dengan ferkuensi rendah. Bila diperlukan percabangan rute sebaiknya tidak melebihi dari 2 (dua) rute untuk setiap rute utamanya.
4. Rancangan Layanan
Frekuensi layanan serta senjang jarak antar halte merupakan aspek komplemen dari fitur rancangan fisik dari keseluruhan sistem BRT. Rancangan layanan ini dapat meliputi rute tunggal, sekelompok rute dan seluruh jaringan BRT. Penyiapannya dapat dilakukan secara bertahap sejalan dengan pengembangan prasarananya. Ada beberapa jenis layanan dalam jaringan operasinal BRT yang dapat dikelompokan ke dalam kategori sistem BRT atau non-BRT dan tarif terintegrasi dengan BRT atau tidak.
Terkait dengan struktur rute yang dirancang, dapat dikembangkan beberapa konsep seperti berikut:
a) BRT Jenis 1 - BRT Penuh
Rute ini merupakan sistem dengan kategori ROW-A yang memiliki lajur khusus (terpisah) di median jalan dan berada pada koridor utama (Trunk) saja.
b) BRT Jenis 2 –BRT modifikasi
Seperti jenis 1, namun dioperasikan pada lajur bahu bila tidak dimungkinkan pada lajurmedian.
c) Rute Utama (bus dengan prioritas);
Rute ini terintegrasi dengan BRT trunk line dan beroperasi di jalan utama (arteri). Rute ini juga berfungsi sebagai pengumpan untuk BRT/MRT dan juga menyediakan layanan cross suburb. Tarif dari layanan ini terintegrasi sepenuhnya dengan menggunakan peralatan transaksi tiket di dalam bus atau di halte. Memungkinkan penumpang untuk turun secara langsung di platform BRT atau MRT, sehingga dapat menciptakan pola pindah moda yang sempurna.
Standar layanan rute jenis ini sama seperti sistem BRT atau MRT yang fungsinya memperluas jaringan BRT/MRT ke daerah pinggiran kota. Agar operasionalnya lebih efisien, diperlukan berbagai langkah pemberian prioritas seperti prioritas lampu lalu lintas, pemisahan jalur dengan marka jalan dan jalur antrian di lampu lalu lintas.
Karena sistem tiketnya terintegrasi, maka lembaga pengelola BRT/MRT bertugas mengumpulkan tarif dan membayar operator untuk layanan ini di bawah pengaturan kontrak yang sama seperti operator trunk line.
Untuk permintaan yang tinggi pada koridor trunk line di mana ruang platform terbatas perlu dibuat fasilitas platform khusus untuk layanan ini agar layanan trunk line tidak terganggu.
d) Rute Pengumpan (feeder) dan lokal;
Ruteini merupakan layanan jarak pendek (layanan lingkungan) dengan menggunakan jenis kendaraan bus kecil atau angkot baik sebagai feeder jalur utama (BRT/MRT) maupun ke layanan intermediate. Rute layanan lokal ini menembus ke kawasan hunian. Peran utama dari rute ini adalah untuk bertindak sebagai feeder ke jaringan bus utama. Menyediakan rute layanan ini akan menguntungkan operator Trunk Line (operator BRT) agar dapat meresmikan operator para-transit sebagai feeder ke sistem trunk dengan cara kemitraan formal.
Dari aspek jenis layanan untuk masing-masing rute ada beberapa kategori:
a) Layanan Reguler
Jenis layanan ini beroperasi persis seperti layanan angkutan massal berbasis rel yang berhenti disetiap halte sepanjang rute layanan. Varian dari jenis layanan ini untuk koridor yang sama adalah layanan jarak pendek yang disesuaikan dengan profil permintaan di rute terkait, layanan bercabang pada halte tertentu.
b) Layanan Ekspres atau Patas
Sesuai dengan karakteristik permintaan disepanjang koridor BRT jenis layanan ekspres dan Patas dioperasikan secara bersamaan dengan layanan reguler. Umumnya layanan ini untuk mengakomodasikan penumpang dengan jarak perjalanan menengah/jauh. Umumnya jenis layanan ini dioperasikan pada saat jam puncak dan diterapkan untuk rute BRT dan Utama.
Secara diagramatis konsep rute dan layanan sistem BRT ditunjukan dalam Gambar 6.3.
Sumber: diadaptasi dari VTA (2007)
Gambar 6.3. Hirarki Jaringan Layanan sistem BRT
5. Rentang (Waktu operasional) Layanan
Waktu (hari dan jam) operasional sistem BRT mendefinisikan rentang waktu layanan yang disediakan untuk satu hari dan satu minggu. Idealnya konsep waktu operasional ini dirancang semirip mungkin seperti yang diterapkan pada angkutan massal perkotaan berbasis rel (mis. MRT, LRT dll).Hal ini untuk menjamin pengguna bahwa layanan BRT akan selalu ada setiap saat tanpa perlu melihat jadwal apakah layanan yang dibutuhkan tersedia apa tidak. Tabel 6. 4dapat dijadikan panduan umum untuk rancangan rentang waktu layanan BRT. Walaupun rentang waktu layanan untuk rute BRT dimungkinkan dirancang secara bertahap, namun sangat disarankan untuk diterapkan secara penuh sepanjang hari dan sepanjang minggu agar citra dari sistem BRT (yang serupa dengan layanan MRT atau LRT) tetap terjaga.
Tabel 6. 4.Rentang Layanan BRT Jenis Jalur
Utama
Pola Layanan Rentang Waktu Layanan
Hari Kerja Sabtu Minggu
Jalan Arteri
Lalu Lintas Campuran
Berhenti di tiap Halte
Sepanjang hari Sepanjang hari Sepanjang hari
Lajur Bus (Bus lane)
Rute terkoneksi Sepanjang hari Sepanjang hari Sepanjang hari Jalan Bebas Hambatan
Lalu Lintas Campuran
Non-Stop (fungsi distribusi lokal)
Sepanjang hari Sepanjang hari
- Lajur Bus khusus/Lajur Kendaraan berpenumpang banyak Komuter ekspres Jam Sibuk - -
Jalur Bus khusus (Busway)
N/A Berhenti di tiap halte
Sepanjang hari Sepanjang hari Sepanjang hari
N/A Pelayanan
langsung
Siang Hari atau
Jam Sibuk - - N/A Layanan Pengumpan Siang Hari, Sepanjang Hari/Jam Sibuk
Siang Hari Siang Hari
N/A Rute
penghubung
Sepanjang hari Sepanjang hari Sepanjang hari
Sumber TCRP Report 90 (2003)
Rentang waktu layanan dalam satu hari lazimnya berkisar antara 18 – 20 jam yang diharapkan dapat mencakup:
a) Waktu awal dan akhir “shift” jam kerja pegawai (mis. pekerja rumah sakit, pertokoan dll), terutama bagi yang jam kerjanya berbeda dengan jam kerja konvensional;
b) Waktu buka dan tutup pusat perbelanjaan dan kawasan komersial lainnya;
c) Jadwal jam belajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi; d) Jam buka dan tutup fasilitas layanan publik seperti
museum, perpustakaan dll;
e) Jam operasional pusat hiburan dan rekreasi atau olah raga; f) Layanan transportasi antar kota/wilayah seperti bandara,
6. Frekuensi Layanan
Frekuensi layanan pada prinsipnya dirancang sesuai dengan besarnya permintaan pada koridor layanan dan ukuran kendaraan yang digunakan pada tiap jenis layanan di koridor (rute) yang sama. Namun rancangan frekuensi layanan ini harus tetap memenuhi standar layanan seperti untuk angkutan massal perkotaan berbasis rel dan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh pemerintah kota setempat (atau nasional) untuk sistem BRT.Tabel 6. 5dapat dijadikan panduan umum bagi rancangan frekuensi layanan sistem BRT.
Tabel 6. 5.Frekuensi Pelayanan
Jenis Pelayanan Frekuensi (menit) Jam Sibuk Tengah Hari Malam hari Akhir Pekan
Reguler (berhenti di tiaphalte) 5 – 10 8 - 12 12 - 15 12 - 15
Ekspres 8 – 12 10 - 15 - -
Pengumpan 5 – 15 10 - 20 10 - 30 10 - 30
Komuter ekspres 10 – 20 - - -
Rute bus yang terhubung 5 – 15 5 - 20 10 - 30 10 - 30
Sumber : TCRP Report 90 (2003)
Namun idealnya frekuensi layanan dihitung untuk menjamin tercapainya kapasitas layanan sesuai dengan besarnya permintaan berdasarkan data lapangan dengan rumus berikut (Alvinsyah & Halim, 2012):
𝑓 =𝐹𝑚𝑎𝑥
𝐶𝑏 (4)
dimana:
f =frekuensi per jam
Fmax =arus (flow) per jam maksimum Cb =kapasitas bus
ℎ𝑖 =60 menit
𝑓 (5)
dimana:
hi = waktu senjang waktu diawal(initial headway)
7. Estimasi Jenis dan Jumlah Armada
Kapasitas dari sistem BRT harus dirancang untuk memenuhi tujuan berikut:
a) Memenuhi besarnya permintaan (eksisting dan ramalan); b) Mencapai kecepatan rata-rata komersial 25 km/jam atau
lebih;
c) Meminimalkan waktu tempuh pintu ke pintu dari pengguna.
Secara umum kapasitas dan kinerja sistem BRT ditentukan oleh: a) Kapasitas bus;
b) Kualitas rancangan jalur khusus bus; c) Lajur menyiap pada halte;
d) Perlakuan prioritas di simpang;
e) Jumlah dan posisi platform serta lebar pintu di halte; f) Waktu henti bus di halte yang yang merupakan fungsi
dari:
(1) Jumlah dan lebar pintu;
(2) Sistem pemantau dan kendali jadwal operasi Bus. Untuk jalur utama sebaiknya menggunakan jenis armada dengan kapasitas angkut yang tinggi (contoh bustemple/Articulated) terutama untuksistem dengan jalur khusus. Armada eksisting dapat digunakan, sejauh memenuhi standar minimumpelayanan pengumpan (feeder) terutama untuk jalur-jalur tanpa lajur khusus.
Jenis dari bus yang harus digunakan dapat ditetapkan dengan mengestimasi kapasitas bus yang sesuai dengan besarnya permintaan pada koridor yang dirancang sebagaimana berikut (ITDP, 2007);
𝐾 = 𝑃
𝑂 𝑥 𝐹 𝑥 𝑃𝑙𝑎 (6)
dimana,
K = Kapasitas Bus yang dibutuhkan (pax/bus)
P = Besarnya permintaan tertinggi di jam sibuk pada koridor (pax/jam/arah)
F = Frekuensi layanan (kend/jam) O = Faktor muat
Pla = Jumlah platform pada halte (buah)
Frekuensi layanan dapat mengacu keTabel 6. 5sedangkan faktor muat untuk jam sibuk berkisar antara 0.8 – 0.9 dan untuk jam tidak sibuk berkisar antara 0.65 – 0.8.
Mengacu ke Tabel 6. 6maka dengan melihat korelasi antara kapasitas dan jenis bus dapat ditetapkan ukuran/dimensi/jenis bus yang sesuai untuk koridor yang dirancang.
Tabel 6. 6. Jenis, Dimensi dan Kapasitas Bus Jenis Kendaraan Panjang
Kendaraan (m)
Kapasitas (penumpang/
kendaraan) Bus Tempel Ganda
(Bi-articulated)
24 240-270
Bus Tempel (Articulated) 18.5 120-170
Tandem 15 80-100
Bus Tingkat (Double Decker) 12-15 80-130
Tunggal (Standard) 12 60-80
Bus Sedang (Midi) 6 25-35
BusMini (Van) 3 10-16
Sumber: ITDP (2007)
Sedangkan untuk menentukan jumlah armada yang dibutuhkan dan panjang rutenya belum diketahui, dapat diestimasikan dengan menggunakan rumus (Alvinsyah&Halim, 2012):
𝑁 =(𝑃 𝑥 𝑇𝑠𝑖𝑘)
𝐾 (7)
Dimana,
N = Jumlah armada yang dibutuhkan untuk operasional (bus)
P = Besarnya permintaan tertinggi di jam sibuk pada koridor (pax/jam/arah)
Tsik = Waktu tempuh total pulang pergi (menit) K = Kapasitas bus (pax/bus)
Sedangkan untuk menentukan jumlah total armada yang perlu disediakan dihitung dengan rumus berikut (TRB-a, 2007);
𝑁𝑡 = 𝑁 + (𝑁 𝑥 𝑘) (8)
Dimana,
Nt = Jumlah total armada yang harus disediakan (bus) N = Jumlah armada yang dibutuhkan untuk
operasional (bus)
8. Estimasi Jumlah Platform pada titik layanan(Halte)
Karena prasarana sistem BRT dapat dibangun secara bertahap, maka sejalan dengan pertambahan permintaan, maka kebutuhan jumlah platform pada suatu titik layanan (Halte) dalam sistem Trunk&Feederdapat diestimasi dengan rumus berikut (ITDP, 2007);
𝑋 = 𝑇𝑑 ∗ 𝐹 + [ (𝑃𝑏 ∗ 𝑇𝑏) + (𝑃𝑎 ∗ 𝑇𝑎)] (9) Dimana,
X = tingkat saturasi platform pada halte Td = Waktu henti rata-rata bus di halte (detik) F = Frekuensi layanan (kend/jam)
Pb = Jumlah penumpang naik (pax) Pa = Jumlah penumpang turun (pax)
Tb = waktu rata-rata tiap penumpang untuk naik (detik) Ta = waktu rata-rata tiap penumpang untuk turun (detik)
Batas saturasi platform pada suatu halte adalah sebesar 0.4, sedangkan waktu rata-rata yang dibutuhkan tiap penumpang untuk menaiki bus sebesar 3 detik dan untuk turun dari bus sebesar 2 detik (bisa menggunakan data langsung dari survey lapangan untuk kondisi setempat). Bila dari hasil hitungan didapati nilai saturasinya melebihi 0.4, maka situasi ini merupakan indikasi perlunya penambahan platform pada halte terkait.
9. Rancangan titik layanan (Halte)
a) Lokasi titik naik/turun penumpang (halte)
Secara umum, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan letak perhentian adalah:
(1) Lokasi dekat dengan konsentrasi pergerakan penumpang, seperti pemukiman, perkantoran, pertokoan, rumah sakit atau sekolah;
(2) Dapat dilakukan analisis dampak lalu lintas akibat adanya perhentian;
(3) Jarak berjalan (walking distance) bagi calon penumpang;
(4) Lokasi perhentian harus terlihat jelas/tidak terhalang; (5) Pada malam hari, perhentian dapat diterangi lampu
(6) Kemiringan longitudinal jalan pada lokasi perhentian tidak lebih dari 4%;
(7) Untuk menghindari dampak antrian, apabila bus akan berbelok ke kanan setelah perhentian, lokasi perhentian harus paling sedikit 50 m dari tempat berbelok dan apabila lalu lintasnya meningkat maka jaraknya menjadi 75 m atau 100 m. Apabila bus akan berbelok ke kiri maka jarak perhentian dengan tempat berbelok minimal 35 m;
(8) Apabila ada guna lahan yang khusus, seperti sekolah, rumah sakit, lokasi tersebut harus diberi prioritas untuk lokasi perhentian;
(9) Lokasi perhentian tidak boleh berdekatan dengan objek-objek yang dapat menganggu/mempengaruhi perhentian; (10) Cukup untuk melindungi penumpang dari panas dan
hujan pada saat mereka menunggu bus;
Selain itu, dalam penentuan lokasi perhentian, juga harus memperhatikan satu faktor penting lainnya, yaitu pengaturan arus lalu lintas di sekitar lokasi perhentian tersebut. Aktivitas naik-turun penumpang yang menyebabkan bus harus berhenti pada titik perhentian tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi arus lalu lintas di sekitarnya. Halte/stasiun harus ditempatkan dekat dengan sistem persinyalan lalu lintas, fasilitas persimpangan dan u-turn untuk lalu lintas umum (yang harus dibuat sistem persinyalannya), sehingga akselerasi menuju/dari halte/stasiun dapat membuat bus berjalan sesuai dengan kecepatan yang diinginkan. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalkan hambatan pada waktu tempuh secara keseluruhan.
Lokasi halte/stasiun dapat berdekatan dengan persimpangan, dimaksudkan untuk meminimalkan akselerasi bus dan memaksimalkan perpindahan penumpang dengan rute yang berseberangan.
b) Rentang jarak antar titik naik/turun penumpang
Jarak antar halte idealnya dirancang pada rentang 400 - 500 m di koridor dengan karakteristik guna lahan campuran (hunian dan komersial). Pada segmen yang kepadatannya lebih rendah jaraknya bisa diperbesar. Dilain sisi bila diperlukan, jarak tersebut dapat diperkecil (contoh
maka panduan umumu ntuk jarak halte ditunjukkan dalam Tabel 6. 7.
Tabel 6. 7. Panduan Rentang Jarak Halte
Zona Tata Guna Lahan Lokasi Jarak Tempat
Henti (m) 1 Pusat kegiatan sangat padat:
pasar, pertokoan CBD, Kota 200 - 300*) 2 Padat : perkantoran, sekolah, jasa Kota 300 - 400 3 Permukiman Kota 300 - 400
4 Campuran padat : perumahan, sekolah, jasa
Pinggiran 300 - 500
5 Campuran jarang : perumahan, ladang, sawah, tanah kosong
Pinggiran 500 - 1000 (*) = jarak 200m dipakai bila sangat diperlukan, sedangkan jarak umumnya 300m
Sumber: Puslidat (2012)
c) Penentuan lokasi titik pindah moda (transfer)
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan lokasi titik transfer adalah;
(1) Titik transfer harus ditempatkan pada lokasi yang strategis untuk memfasilitasi sistem trunk-feeder; (2) Setiap daerah pelayanan lokal dengan bus pengumpan
harus berada dalam jangkauan halte bus (trayek utama) atau setasiun kereta;
(3) Titik transfer harus ditempatkan sedekat mungkin dengan pusat kegiatan utama di daerah pelayanan lokal; (4) Titik transfer harus dihubungkan dengan jaringan jalan
dengan klasifikasi fungsi yang lebih tinggi;
Fasilitas transfer/perpindahan penumpang dari jalur feeder menuju jalur utama dan sebaliknya juga memerlukan perencanaan, manajemen dan kesiapan infrastruktur pendukung. Secara global, tiga hal yang mutlak direncanakan dan disiapkan dalam pembangunan dan operasional fasilitas transfer meliputi:
(1) Pengaturan arus penumpang; (2) Penyediaan sistem informasi; (3) Pengaturan integrasi sistem tiket; (4) Penjagaan keamanan
E. Pemilihan Teknologi Kendaraan BRT
Pemilihan teknologi, penyediaan dan pengoperasian kendaraan merupakan hal yang rumit dan bergantung pada faktor hukum, operasional, kelembagaan dan strategi yang berbeda untuk setiap kasus. Gambar 6.4menunjukkantahapan pemilihan dan mekanisme penyediaan kendaraan. Dengan mengikuti empat tahapan utama yang dijelaskan pada Gambar 6.4, akan menjamin bahwa karakteristik kendaraan yang dipilih akan memenuhi semua persyaratan operasional yang diperlukan demi menjamin kelangsungan sistem finansial. Tahap awal dan merupakan tahap yang paling penting melibatkan identifikasi kebutuhan spesifik dari proyek dan persyaratan untuk kebutuhan armada angkutan. Sebagian besar proses analisisuntuk hal ini ditetapkan sebelum merampungkan spesifikasi teknis. Secara umum, hal mendasar untuk memilih kendaraan mencakup:
1) Ukuran kendaraan;
2) Chassis dan konfigurasi badan; 3) Pilihan desain interior;
4) Bahan bakar dan teknologi pendorong; 5) Pilihan estetika;
6) Pilihan docking kendaraan.
Gambar 6.4Tahapan pemilihan dan mekanisme penyediaan kendaraan
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memutuskan suatu
teknologi moda dan pabrik yang akan dipilih dirangkum dalam Tabel 6. 8.
Tabel 6. 8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Teknologi Moda
Kategori Faktor
Biaya Biaya pembelian
Biaya pemeliharaan Nilai jual kembali
Fitur kendaraan Kapasitas penumpang
Pilihan desain interior Estetika
Dukungan pabrik Pabrik pendukung di dalam negeri Kompetensi teknisi
Cakupan dan kondisi jaminan layanan Pabrik DEFI NI SI KAN KEBUTUHAN I DENTI FI KASI DAN ANALI SI S TEKNOLOGI YANG TERSEDI A PROSES EVALUASI DAN PEMI LI HAN
DEFI NI SI KAN PROSES PENGADAAN 3 4 2 1
Kategori Faktor
Tingkatan keahlian yang diperlukan untuk pemeliharaan dan pengoperasian
Kelayakan untuk perbaikan di jalan
Persentase yang diharapkan dari up-time in operation Keandalan
Daya usia kendaraan
Pengisian Bahan bakar Waktu untuk pengisian bahan bakar
Jenis dan biaya yang dibutuhkan untuk stasiun pengisian bahan bakar
Keamanan Kekuatan struktur badan kendaraan
Disain rangka (chasis) Efektifitas sistem rem Proteksi anti kebakaran Perangkat keadaan darurat
Lingkungan Emisi lokal (NOX, SOX, CO, PM, gas beracun)
Emisi global (CO2, N2O4, CH4)
Tingkat kebisingan suara
Zat buangan lain (zat buang padat, zat buang minyak, dsb)
Aturan yang terkait dengan regulasi lokal
Berat kendaraan maksimum
Batasan Tinggi, Lebar dan Panjang Kendaraan
Sumber: ITDP (2007)
Pemilihan jenis bahan bakar dan teknologi penggerak akan memberikan dampak pada biaya operasional, biaya pemeliharaan, prasarana pendukung dan juga tingkat emisi. Kondisi setempatmerupakan pertimbangan yang sangat penting dalam pemilihan jenis bahan bakar dari moda BRT ini karena ketersediaan bahan bakar dan pengalaman untuk merawat suatu teknologi kendaraan tertentu merupakan faktor kunci.Secara umum, beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menilai kualitas lingkungan dari suatu moda BRT, yaitu:
1) Tingkat emisi.
Standar emisi merupakan mekanisme yang paling banyak digunakan untuk membedakan tingkat emisi dari berbagai macam pilihan bahan bakar. Standar emisi dari US EPA dan Komisi Eropa (Tabel 6. 9) dapat dijadikan acuan.
2) Standar kualitas udara di sekitar.
Beberapa kota mempunyai standar kualitas udara yang dapat digunakan sebagai alat untuk mengatur perbaikan kualitas lingkungan dari kinerja operasional kendaraan. Meskipun jarang digunakan pada negara berkembang dan secara umum tidak terhubung secara langsung dengan sistem transportasi, standar kualitas udara dapat memberikan justifikasi untuk bahan bakar yang lebih bersih dan standar emisi yang lebih ketat untuk pemilihan moda BRT.
3) Kualitas bahan bakar.
Untuk BRT, sangat disarankan untuk menggunakan kendaraan berbahan bakar yang lebih bersih dan kompatibel dengan bahan bakar berkualitas yang tersedia.
4) Jenis bahan bakar dan sistem penggerak
Secara umum, regulator hanya mengatur standar tingkat emisi yang diperbolehkan tanpa mengatur spesifikasi teknologi yang digunakan, sehingga hal ini memberikan fleksibilitas bagi operator untuk mempertimbangkan bahan bakar yang akan digunakan, kecuali ada kebijakan khusus terhadap penggunaan jenis bahan bakar tertentu
5) Tingkat kebisingan suara di dalam dan di luar bus
Suara kendaraan yang amat keras selain membahayakan kesehatan juga merusak citra dari pelayanan angkutan umum. Sehingga tingkat kebisingan suara yang masih dapat ditenggang perlu ditetapkan pada saat proses pengadaan moda BRT.
Tabel 6. 9. Standar Emisi Euro untuk Kendaraan Berat
Standar CO (g/kWh) HC (g/kWh) NOx (g/kWh) PM (g/kWh) Sertifikasi kandungan sulfur dalam bhn bakar(ppm) Kemungkinan teknologi yang dibutuhkan
Euro I 4.5 1.1 8.0 0.612 2.000 Injeksi bahan bakar
bertekanan tinggi untuk kendali PM, timing retard (perlambat waktu) untuk kendali NOx
Euro II (1996)
4.0 1.1 6.8 0.25 500 semua mesin merupakan
turbocharged,injeksi bahan bakar bertekanan tinggi dan optimisasi waktu yang lebih baik.
Euro III (2000)
2.1 0.66 5.0 0.1 350 Terdapat tambahan dari
teknologi sblmnya, kendali elektronik untuk injeksi bahan bakar,
Euro IV (2005)
1.5 0.46 3.5 0.02 50 Sebagai tambahan dari
teknologi sebelumnya, terdapat EGR atau Selektif Katalis (SCR) untuk mengurangi NOx lebih banyak. Beberapa mesin menggunakan penyaring khusus diesel (DPFs) dan sebagian besar
menggabungkan dengan katalis oksidasi
Euro V (2008)
1.5 0.46 2.0 0.02 10 Serupa dengan teknologi
sebelumnya tapi menggunakan SCR yang lebih terpercaya. Sumber: ITDP (2007)
Faktor-faktor yang menjadi pertimbanganpemilihan jenis bahan bakar dan teknologi penggerak dari moda BRT adalah sebagai berikut:
1) Ketersediaan bahan bakar dan fluktuasi harga
Tidak semua jenis bahan bakar tersedia, terutama di negara-negara berkembang bahan bakar yang paling banyak tersedia umumnya solar dan listrik. Sementara terkait dengan fluktuasi harga, operator harus mempertimbangkan resiko jika terjadi kelangkaan bahan bakar yang digunakan di masa depan, sehingga teknologi moda yang akan digunakan harus dipilih dengan resiko terjadinya peningkatan harga bahan bakar yang paling kecil.
2) Keandalan
Merupakan hal yang serius jika terjadi kerusakan kendaraan pada sistem BRT karena akan menyebabkan kemacetan di jalur BRT, sehingga menimbulkan gangguan pelayanan. Jika tingkat kerusakan kendaraan sangat tinggi, sementara kapasitas kemampuan untuk merawat kendaraan rendah dan kemampuan pendanaan (modal) dari operator lemah, maka lebih baik menggunakan moda dengan bahan bakar dan teknologi penggerak alternatif lainnya.Selain itu perlu diperhatikan, kinerja dari suatu teknologi kendaraan tergantung pada:
a) Keadaan iklim dan suhu masing-masing tempat. b) Kebijakan pemerintah
c) Dampak terhadap lingkungan
Jenis-jenis bahan bakar yang biasanya dipertimbangkan untuk sistem BRT, diantaranya yaitu:
a) Solar standar; b) Solarbersih;
c) Gas alam terkompresi (CNG); d) Gas petrolium cair (LPG); e) Bio-solar; Ethanol;
f) Hybrid-electric (diesel-electric and CNG electric); g) Hydrogen (fuel cell technology).
Alternatif atau opsi lain yang juga dapat digunakan pada moda BRT seperti teknologi fly-wheel, Di-Metil Eter (DME), dan bahan bakar campuran (misalnya, emulsi air dalam minyak). Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mengurangi emisi pada bahan bakar solardengan kadar sulfur rendah (Euro), adalah dengan menggunakan alat tertentu yang ditambahkan pada mesin kendaraan, seperti (WestStart-CALSTART,2004):
a) Diesel Particulate Filters; b) Diesel Oxidation Catalysts;
c) Selective Catalytic Reduction (SCR); d) Lean NOx Catalysts;
e) Exhaust Gas Recirculation; f) Variable Valve Timing;
g) Variable Geometry Turbochargers.
Sumber: ITDP (2007)
Gambar 6.5. Pilihan Bahan Bakar dan Sistem Penggerak
Teknologi lainnya yaitu dengan mencampur bahan bakar diesel dengan campuran tertentu sehingga diperoleh blending stock, seperti bio-diesel (B20), diesel/water emulsion, diesel/ethanol emulsion.
Dengan teknologi pengurangan emisi tersebut ataupun menggunakan bahan bakar alternatif, akan diperoleh pengurangan emisi yang cukup signifikan bila dibandingkan menggunakan bahan bakar diesel standar, yang dirangkum dalamTabel 6. 10.Sementara itu keuntungan dan kerugian dari masing-masing jenis bahan bakar pada moda BRT dirangkum dalamTabel 6. 11.
Tabel 6. 10. Persentase Perubahan Emisi relatif terhadap Emisi Buangan Diesel Standar
PM NOx
Diesel particulate filter (DPF) -90 +5
Exhaust Gas Recirculation <+5 -50
Diesel Oxidation Catalyst -20 sampai -50 0
Lean Nox Catalyst 0 -25
Lean Nox Catalyst&DPF >-85 -25
Seelctive Catalytic
PM NOx
(PuriNox) Diesel w/ethanol emulsion
(puranol,O2diesel) -40 -5
CNG -90 -30
Dual Fuel(CNG/Diesel) -70 -50
Grid Connected(catenary
overhead wires) -100 -100
Diesel Hybrid Electric (with
after treatment) -99 -44
Gasoline Hybrid Electric >-90 >-95
Sumber: WestStart-CALSTART,(2004)
Tabel 6. 11. Keuntungan dan Kerugian Masing-Masing Jenis Bahan Bakar dan Teknologi Penggerak
Jenis Bahan Bakar Keuntungan Kerugian Diesel bersih Efisien dalam penggunaan
bahan bakar
Emisi kendaraan diesel bervariasi tergantung pada kondisi lokal seperti ketinggian, tekanan atmosfir, kelembaban dan iklim. Menghasilkan emisi yang
lebih rendah bila
dibandingkan dengan mesin diesel standar
Kualitas perawatan kendaraan dan integritas rantai pasokan bahan bakar juga akan mempengaruhi emisi beberapa mesin diesel tertentu.
Daya tahan kendaraan yang sangat baik
Perawatan kendaraan yang mudah
Teknologi mesin diesel sudah sangat matang Merupakan mesin kendaraan yang paling banyak diproduksi
Harga kendaraan yang kompetitif
CNG Hampir tidak mengandung sulfur dan menghasilkan pembakaran yang cukup bersih sehingga
menghasilkan emisi yang sangat rendah
Untuk beberapa jenis emisi tertentu, kinerja mesin CNG tidak lebih baik dari mesin diesel
Dengan densitas energi yang rendah, maka untuk penyimpanan di dalam kendaraan perlu di kompres di dalam suatu silinder yang besar.
Menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berbeda sedikit dengan mesin diesel, akan tetapi dengan adanya kebocoran gas metana justru menghasilkan total emisi gas
Jenis Bahan Bakar Keuntungan Kerugian
rumah kaca yang cukup signifikan
Membutuhkan keahlian khusus untuk perawatan yang mungkin tidak biasa bagi negara berkembang Mungkin menghadapi masalah kekuatan mesin pada daerah perbukitan, dataran tinggi dan beberapa suhu tertentu
Infrastruktur stasiun pengisian bahan bakar membutuhkan biaya yang cukup besar
Membutuhkan waktu untuk pengisian bahan bakar sekitar 20-40 menit
Listrik (Trolley) Menghasilkan nol emisi pada saat penggunaan (sementara total emisi yang dihasilkan bergantung pada jenis bahan bakar yang dipakai untuk pembangkit listrik)
Harga kendaraan hingga 3x lipat harga kendaraan diesel
Pada saat beroperasi, mesin kendaraan menghasilkan suara yang hampir tidak terdengar
Biaya pengoperasian sangat bergantung pada harga listrik, dimana deregulasi listrik dapat mengganggu kestabilan finansial model
Mempunyai karakteristik berkendara yang mulus
Untuk memodifikasi rute membutuhkan biaya yang sangat mahal
Daya usia kendaraan yang lebih lama (hingga 2x usia kendaraan diesel
Membutuhkan pembangunan jaringan saluran listrik untuk waktu implementasi yang lebih lama
Memiliki resiko gangguan pelayanan jika terjadi gangguan listrik kecuali kendaraan mempunyai cadangan penggerak diesel Biaya insfrastruktur bisa mencapai 2x lipat sistem BRT non-trolley
Keberadaan kabel, pos dan trafo dapat menimbulkan masalah estetika khususnya di daerah historis.
Dapat membahayakan pejalan kaki/pengguna jalan yang mempunyai masalah pendengaran, karena suara
Jenis Bahan Bakar Keuntungan Kerugian
terdengar.
Hibrida-Listrik Menawarkan keunggulan bahan bakar yang ekonomis
Harga kendaraan lebih mahal dibandingkan kendaraan dengan mesin diesel biasa Menghasilkan emisi yang
rendah
Dapat membahayakan pejalan kaki/pengguna jalan yang mempunyai masalah pendengaran, karena suara mesin yang hampir tidak terdengar.
Suara mesin kendaraan yang rendah
Biofuel Berpotensi menghasilkan nol emisi gas rumah kaca
total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari memproduksi biofuel dan faktor-faktor yang dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca masih sangat sedikit dipahami.
Untuk memproduksi biofuel dibutuhkan bahan pangan dengan jumlah yang sangat besar, sehingga
mempengaruhi kebutuhan pangan masyarakat.
Harga kendaraan lebih mahal dibandingkan kendaraan dengan mesin diesel biasa
Bahan bakar sel (hidrogen)
Emisi yang sangat rendah Bahan bakar hidrogen sebagian besar diperoleh dari proses elektrolisis, sehingga emisi yang dihasilkan terkait langsung dengan jenis teknologi yang digunakan pembangkit listrik untuk menghasilkan hydrogen tersebut
2-3x lebih efisien daripada bahan bakar bensin
Belum tersedia secara komersil sehingga membutuhkan subsidi yang sangat besar
Harga kendaraan lebih mahal dibandingkan kendaraan dengan mesin diesel biasa Sumber: diolah dari berbagai sumber
F. Penyiapan Rencana Usaha
1. Penyiapan Kelembagaan dan Fungsinya
Lembaga pengelola merupakan komponen penting untuk menjamin suatu sistem BRT dapat dioperasikan secara optimal. Secara struktur, lembaga pengelola ini dapat berada dibawah suatu Lembaga Otorita Transportasi atau dapat juga langsung berada dibawah Pimpinan wilayah kota. Lembaga ini bersifat otonom dalam hal perencanaan, pengelolaan dan pengendalian layanan Bus dalam lingkup jejaring BRT.
Lembaga ini merupakan suatu entitas dangan karakteristik korporasi (mis. BUMD, BUMN) yang beroperasi selayaknya unit usaha komersial yang lepas dari pola struktur pemerintahan yang ada, sehingga bisa menyelesaikan persoalan atau kendala lintas batas wilayah administratif dengan asumsi berada dibawah suatu lembaga (otorita) yang berwenang terhadap penetapan kebijakan strategis perkotaan (lintas batas wilayah administratif). Oleh karenanya kebijakan strategis transportasi suatu kota harus memuat panduan bagi lembaga pengelola ini untuk beroperasi dan menterjemahkan atau memformulasikan strategi politik yang telah terkoordinasi kedalam bentuk target usaha (bisnis), lingkup layanan, dan standar layanan. Hal ini dipadukan dalam bentuk rencana operasional dan menjadi rencana usaha (bisnis) lembaga ini.
Lembaga pengelola sistem BRT ini (termasuk jaringan layanan pendukungnya) berfungsi sebagai unit usaha yang bertanggung jawab untuk:
a) Perencanaan jaringan trayek dan pengembangan layanan; b) Perolehan pendapatan;
c) Pengelolaan efisiensi sistem dan biaya; d) Menjamin kinerja finansial;
e) Mengelola pengumpulan hasil tiket dan kebijakan tarif; f) Mengelola dan meng enforce kontrak dengan operator bus; g) Pemenuhan layanan bagi pelanggan, keluhan dan
kehumasan serta pemasaran dan promosi. Tupoksi dari lembaga ini juga mencakup:
a) Pengembangan dan penerapan rencana perolehan pedapatan dan pemasaran;
b) Pengelolaan finansial dan administrasi; c) “Benchmarking”pemulihan biaya dari sistem; d) Pemeliharaan sistem dan prasarana;
e) Analisis/evaluasi dan pengelolaan resiko; f) Pengelolaan kontrak untuk para operator bus.
Tugas dan administrasi dari lembaga ini dipandu melalui standar prosedur operasi (SPO) untuk mengendalikan dan mengelola sistem dan kontrak dengan para operator bus. Suatu SPO khusus harus dikembangkan untuk:
a) Pemantauan dan pengendalian operasi; b) Tindak tanggap kendaraan yang mogok;
c) Tindak tanggap keadaan darurat dan kecelakaaan; d) Permohonan bantuan teknis dan malfungsi; e) Tindak tanggap aspek keselamatan dan keamanan; f) Prosedur pelaporan;
g) Prosedur pengawasan kualitas;
h) Pengawasan dan audit operasi perusahan bus (PO); i) Pengumpulan pendapatan dan sistem tiket;
j) Penyediaan dokumen sistem manajemen kualitas (QMS) sebagai lampiran dari dokumen kontrak operator bus yang berisi panduan operasional dan ukuran kinerja termasuk manual bagi pengemudi, dan manajemen serta manual pemeliharaan kendaraan.
Konsep struktur organisasi dari lembaga pengelola ini ditunjukan dalam Gambar 6.6.
Sumber: Adaptasi dari JICA(2012)
Gambar 6.6. Konsep Struktur Organisasi Lembaga Pengelola
Basis dari struktur organisasi ini fokus pada pola manejemen korporasi dan manajemen operasional layanan pelanggan, yang terdiri dari:
CEO Business Unit
Legal and Audit
Finance Administration Infrastructure Marketing & PR Planning Operations Inspection Customer Service Human Resources Contract Management Control Center Optimise Services
Network Fare Collection & Ticketing IT & Systems Maintenance Scheduling Performance Evaluation Information & Communication Penjadwalan Pusat Kendali Manajemen Kontrak Pengawasan Jaringan Optimalisasi Layanan Evaluasi Kinerja Layanan Pelanggan Informasi & Komunikasi Pengumpulan Pendapatan & Sistem Tiket Sistem & Teknologi Informasi SDM Pemeliharaan
OPERASI PERENCANAAN PEMASARAN
& HUMAS KEUANGAN TATA USAHA PRASARANA
KEPALA LEMBAGA
o Dewan Pengawas: Mewakili pemangku kepentingan atau pemegang saham.
o Kepala lembaga: Bertanggung jawab terhadap aspek kontraktual, aspek legal yang terkait operator bus, koordinasi dengan lembaga pengelola moda angkutan umum dan sektor terkait lainnnya (Kereta, MRT, pusat rekreasi/perbelanjaan). Melalui divisi-divisi yang ada, lembaga ini menangani berbagai hal yang terkait dengan perencanaan dan pengoperasian sistem (BRT) serta hal-hal kehumasan, keselamatan dan kemanan.
o Kepala Divisi: Bertanggung jawab untuk kegiatan harian dan terhadap kepala lembaga
o Jenis Divisi:
(1) Divisi Operasi: Bertanggung jawab untuk modifikasi/penyesuaian operasi jejaring bus, memformulasikan standar dan panduan operasional, manajemen operasional bus, dan pemantauan operasional bus.
(2) Divisi Keuangan : Bertanggung jawab untuk manajemen perolehan pendapatan dan distribusi hasil pendapatan serta operasional sistem tiket
(3) Divisi Perencanaan: Bertanggung jawab untuk pengembangan usaha (bisnis) dan perencanaan jejaring layanan berbasiskan panduan rencana strategi jejaring angkutan massal dan strategi perolehan pendapatan dan pemasaran.
(4) Divisi Pemasaran dan Humas: Bertanggung jawab terhadap penerapan strategi perolehan pendapatan dan pemasaran (bersama sama dengan Divisi Perencanaan) dan mengelola hubungan dengan publik dan media untuk mempromosikan citra dari sistem (BRT) serta menanggapi isu-isu yang berpotensi mengurangi tingkat kepercayaan dan penerimaan publik terhadap sistem (BRT).
(5) Divisi Tata Usaha: Bertanggung jawab terhadap administrasi secara umum, sumber daya manusia, kehumasan dan masalah-masalah keuangan.
(6) Divisi Prasarana: Bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pengembangan prasarana, serta manajemen aset (seperti perbaikan dan perawatan)
2. Penyiapan Model Usaha (Bisnis)
Model usaha dan manajemen sangat penting untuk disiapkan, karena akan menentukan keberlanjutan dan kinerja keseluruhan dari sistem operasi BRT serta mempengaruhi berbagai aspek
pada aspek komersial akan mengarah kepada penerapan pola operasi berbasiskan prinsip-prinsip usaha (bisnis) untuk meningkatkan porsi pangsa pasar, meningkatkan perolehan pendapatan dan mengelola pembiayaan secara efisien. Karena keberlanjutan sistem ini akan sangat tergantung pada perolehan pendapatan, maka manajemennya harus fokus pada aspek pengembangan usaha, penyediaan layanan pelanggan dan menjamin pemenuhan terhadap standar layanan dan operasi. Oleh karenanya, paradigma dari penyiapan model usaha adalah meminimalkan atau bahkan menghilangkan konsep subsidi pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam penyiapan model usaha, aspek-aspek yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut;
3. Pola Manajemen dan Operasi dengan Pendekatan Kaidah Bisnis
Rencana operasional yang merupakan bagian dari kebijakan strategis transportasi perkotaan lazimnya menetapkan basis dari aspek usaha (bisnis) dan kelayakan dari sistem (BRT). Karena rencana operasional menentukan lingkup dari sistem dan standar tingkat layanan, maka akan sangat mempengaruhi perencanaan dan perancangan prasarana dan sarana dari sistem seperti, dimensi halte dan kapasitas kendaraan, kondisi fisik jalur BRT dan kebijakan tarif.
Oleh karenanya model usaha juga harus mengestimasi cakupan layanan yang disyaratkan dan pembiayaan untuk layanan tersebut yang pada akhirnya menentukan besarnya tarif komersial (total biaya aktual dibagi dengan estimasi jumlah penumpang). Bila ada kebijakan pemerintah untuk menetapkan tarif publik dibawah tarif komersial, maka pemerintah harus menyiapkan pengganti selisih kekurangan tarif komersial tesebut yang lazim didefinisikan sebagai subsidi bagi pengguna.
4. Efisiensi Operasional
Upaya efisiensi penting bagi keberlanjutan sistem yang bisa dicapai melalui dua aspek yaitu efisiensi (pengurangan) jumlah armada yang dioperasikan (pengurangan BOK) dan efisiensi pada sisi penumpang (peningkatan layanan, peningkatan jumlah penumpang dan peningkatan pendapatan). Aspek utama untuk meningkatkan efisiensi adalah meningkatkan kecepatan tempuh rata-rata kendaraan yang dapat dilakukan melalui rancang bangun jalur BRT dan pengaturan prioritas bus di simpang.
5. Pengembangan Perolehan Pendapatan dan Pemasaran
Aspek perolehan pendapatan dan pemasaran merupakan penjabaran dari kebijakan strategis yang ditetapkan oleh
lembaga (otoritas) yang berada diatasnya. Pemahaman terhadap aspek ini tidak terbatas hanya pada mengelola sistem (BRT) dan menyediakan layanan, namun secara aktif mengembangkan pola layanan dan menumbuh kembangkan usaha (bisnis) nya. Pemasaran bukan merupakan kegiatan terpisah namun bagian terpadu dari tupoksi lembaga ini .Gambar 6.7 mengilustrasikan hubungan antar divisi terkait dengan isu layanan pelanggan.
Sumber: Adaptasi dari JICA (2012)
Gambar 6.7. Relasi dan Respon terhadap Isu Layanan Pelanggan
Kebalikan dari situasi lazimnya, lembaga ini harus mengelola sistem berbasiskan permintaan sehingga penekanannya pada pengembangan perolehan pendapatan dan pemasaran dengan strategi sebagai berikut;
a) Analisis pemangku kepentingan untuk tiap kelompok utama (mis. pengguna, pengemudi mobil&motor, wanita, pelajar, kelompok berkebutuhan khusus, angkot, PO, komunitas usaha, sekolah dan perguruan tinggi);
b) Mengembangkan layanan yang memenuhi kebutuhan pelanggan (kemudahan, keandalan, keselamatan, keterjangkauan) dan utamanya untuk menjamin konektifitas (kemudahan untuk mencapai tujuan dan opsi pindah moda); c) Mengembangkan “merk” dari sistem (BRT) yang menarik
dan mudah dikenali;
d) Mengembangkan strategi komunikasi untuk kelompok-Divisi Humas & Pemasaran
Pengendalian Masalah Peghubung ke masyarakat Siaran pers Unit Perencanaan Perencanaan tindakan perbaikan Isu rancangan sistem
Data dan informasi
Analisa kinerja Umpan balik pelanggan
Ekspose media yang negatif Survey lapangan
Divisi Operasi
Isu operasional Tanggapan dan Ralat Peghubung