• Tidak ada hasil yang ditemukan

gr/hr) setiap hari selama empat minggu.

Frekuensi konstipasi dicatat sesuai dengan jumlah konstipasi yang

4.

dialami.

5.

Konsistensi tinja dicatat sesuai dengan bentuk tinja yang dialami. Evaluasi dilakukan penilaian terhadap frekuensi dan konsistensi tinja sebelum pengobatan dan sesudah pengobatan pada minggu keempat dan

minggu kedelapan.

3.11. Rencana Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak SPSS 15.0 dengan tingkat kemaknaan P < .05. Uji-t independen digunakan untuk menganalisa frekuensi tinja dan uji X2 digunakan untuk menganalisa konsistensi tinja pada anak dengan konstipasi fungsional.

BAB IV. HASIL

Penelitian dilaksanakan di Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah di Kotamadya Medan. Pada penelitian tersebut, dilakukan pemeriksaan sebanyak 240 pelajar pesantren, dan ditemukan 52 penderita konstipasi fungsional, lima diantaranya tidak memenuhi kriteria inklusi akibat penggunaan obat pencahar dan 11 diantaranya menolak ikut dalam penelitian, dari 36 anak yang ikut serta dalam penelitian dilakukan randomisasi sederhana, dan dibagi dalam dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 18 penderita mendapat pengobatan serat glucomannan dan plasebo (maltodextrin).

Gambar 4.1. Profil penelitian

240 pelajar pesantren

52 penderita konstipasi fungsional

5 tidak memenuhi kriteria inklusi 11 menolak ikut penelitian

36 penderita konstipasi fungsional Glucomannan n = 18 Plasebo n = 18

Mengikuti penelitian dan pemantauan dilakukan

selama 1 bulan

Mengikuti penelitian dan pemantauan dilakukan

Distribusi dan karakteristik sampel pada kedua kelompok perlakuan terlihat pada Tabel 4.1. Besar sampel pada kedua kelompok sama masing-masing 18 orang, dengan rata-rata umur pada kelompok glucomannan (Kelompok A) 9 tahun 8 bulan dengan berat badan rerata 24 kg dan kelompok plasebo (Kelompok B) 9 tahun 8 bulan dengan berat badan rerata 28 kg. Dengan frekuensi buang air besar (BAB) selama 1 minggu rerata 3.7 kali pada kelompok yang akan diberikan glucomannan (Kelompok A) dan rerata 4.1 kali pada kelompok yang akan diberikan plasebo (Kelompok B), sedangkan konsistensi BAB dijumpai paling banyak pada tipe 1 skala Bristol Chart yaitu berupa gumpalan keras terisah-pisah seperti kacang dengan jumlah 14 orang (77.7%) pada kelompok yang akan diberikan glucomannan (Kelompok A) dan tipe 2 yaitu bentuk seperti sosis tetapi bergumpal pada kelompok yang akan diberikan plasebo (Kelompok B) dengan jumlah 11 orang (61.1%).

Tabel 4.1. Karakteristik sampel penelitian

Karakteristik Kelompok A Kelompok B n = 18 n = 18 Usia (tahun), rerata (SD) 9.8 (1.5) 9.8 (1.5) Berat badan (kg), rerata (SD) 24 (2.1) 28 (2.4) Frekuensi BAB/mgg, rerata (SD) 3.7 (1.03) 4.1 (0.5) Konsistensi BAB, n (%) Tipe 1 14 (77.7) 6 (37.5) Tipe 2 3 (16.6) 11 (61.1) Tipe 3 1 (5.6) 1 (5.6) Tipe 4 Tipe 5 Tipe 6 Tipe 7

-Dari hasil pemeriksaan awal selama 4 minggu ternyata terdapat perbedaan bermakna pada frekuensi BAB dan konsistensi BAB antara kedua kelompok yang

mendapat glucomannan (Kelompok A) dengan kelompok yang mendapat plasebo (Kelompok B). Pada pengobatan selama 4 minggu dengan glucomannan (Kelompok A), terdapat peningkatan frekuensi BAB dalam 1 minggu rerata 7.7 kali dibandingkan (Kelompok B) yang diberikan plasebo rerata 3.9 kali dibandingkan sebelum mendapat terapi glucomannan, dengan P = 0.038. (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Perbandingan frekuensi tinja sebelum pengobatan dan 4 minggu Setelah pengobatan (sebelum wash out).

Selanjutnya pada pengobatan 8 minggu atau 4 minggu setelah periode wash out, dijumpai perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok tersebut, pada kelompok A terjadi penurunan frekuensi BAB dalam 1 minggu rerata 4.1 kali yang diberikan plasebo dibandingkan kelompok B yang diberikan glucomannan rerata 9.7 kali, dengan P = 0.012. (Gambar 4.3).

Gambar 4.3. Frekuensi tinja 4 minggu sebelum wash out dan 4 minggu setelah wash out.

(Frekuensi)

(waktu)

Dengan demikian pada penelitian ini ternyata setelah 24 jam wash out, dijumpai tidak ditemukan efek carry over yang signifikan antara dua urutan perlakuan. Oleh karena itu, data dari periode pertama dapat digunakan untuk memperkirakan efektifitas obat, sedangkan lama periode wash out sangat tergantung kepada sifat farmakokinetik obat, pada obat glucomannan periode wash out terjadi dalam waktu 24 jam.

Pada pemeriksaan konsistensi BAB ditemukan perbedaan bermakna antara 4 minggu setelah pengobatan dengan sebelum pengobatan, dimana pada kelompok yang mendapat glucomanan (Kelompok A) dijumpai bentuk tinja tipe 4 yaitu bentu tinja seperti sosis atau ular, lembut dan lunak sebanyak 11 orang (61.1%), sedangkan pada kelompok plasebo (Kelompok B) ditemukan bentuk tinja tipe 2 yaitu tinja seperti sosis tapi bergumpal sebanyak 7 orang (38.9%). (Tabel 4.2)

Tabel 4.2. Konsistensi BAB setelah 4 minggu pengobatan

Konsistensi BAB, n (%) Kelompok A Kelompok B P n = 18 n = 18 0.034 Tipe 1 2 (11.1) 5 (27.8) Tipe 2 3 (16.7) 8 (44.4) Tipe 3 -Tipe 4 9 (50) 5 (27.8) Tipe 5 4 (22.2) - Tipe 6 -Tipe 7 - -

Pada pengobatan 8 minggu atau sesudah periode wash out dijumpai perbedaan yang bermakna pada kedua kelompok. Dimana kelompok yang mendapat plasebo (Kelompok A) dijumpai bentuk tinja tipe 2 berdasarkan skala Bristol Chart yaitu tinja seperti sosis tapi bergumpal sebanyak 7 orang (38.9%). Sedangkan pada kelompok yang

diberikan glucomannan (Kelompok B) dijumpai bentuk tinja tipe 4 yaitu tinja seperti sosis atau ular, lembut dan lunak sebanyak 11 orang (61.1%). (Tabel 4.3)

Tabel 4.3. Konsistensi BAB setelah 8 minggu pengobatan.

Konsistensi BAB, n (%) Kelompok A Kelompok B P n = 18 n = 18 0.008 Tipe 1 5 (27.8) 1 (5.6) Tipe 2 7 (38.9) 1 (5.6) Tipe 3 -Tipe 4 4 (22.2) 11 (61.1) Tipe 5 2 (11.1) 5 (27.8) Tipe 6 -Tipe 7 - - BAB. V. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian Crossover Randomized Controlled Trial (RCT), dimana pada penelitian ini dijumpai perbedaan frekuensi dan konsistensi antara kedua kelompok. Pada pemeriksaan frekuensi BAB, ditemukan perbedaan yang bermakna pada pemeriksaan empat minggu pertama sebelum dilakukan wash out, dimana frekuensi

BAB meningkat dari pada kelompok A yang diberikan glucomannan, yaitu dari 3.7 kali menjadi 7.7 kali dalam 1 minggu dibandingkan kelompok B yang diberikan plasebo dari 4.1 kali menjadi 3.9 kali dalam 1 minggu. Sedangkan pemeriksaan frekuensi tinja pada minggu kedelapan setelah dilakukan wash out dijumpai peningkatan frekuensi BAB pada kelompok B yang diberikan glucomannan dari 3.9 kali menjadi 9.7 kali dalam 1 minggu dibandingkan kelompok A yang diberikan plasebo mengalami penurunan frekuensi BAB dari 7.7 kali menjadi 4.1 kali dalam 1 minggu. Perbedaan ini tidak dipengaruhi oleh carry over effect pada obat yang diteliti. Obat yang diteliti hanya bermanfaat bila diberikan selama 4 minggu. Dengan demikian data pertama dapat digunakan untuk membuktikan efektifitas obat.

Berdasarkan pada pemeriksaan konsistensi tinja pada empat minggu pertama sebelum dilakukan wash out, tinja dengan bentuk sosis atau ular, lembut dan lunak, yaitu 9 orang (50%) pada kelompok A yang diberikan glucomannan dan 5 orang (27.8%) pada kelompok B yang diberikan plasebo. Sedangkan konsistensi tinja pada minggu kedelapan setelah dilakukan wash out, dijumpai tinja dengan bentuk sosis atau ular, lembut dan lunak, yaitu 11 orang (61.1%) pada kelompok B yang diberikan glucomannan dan 4 orang (22.2%) pada kelompok A yang diberikan plasebo.

Glucomannan merupakan serat larut dalam air kelarutan serat sangat berhubungan dengan fermentasi mikroba, peningkatan fermentasi akan mempengaruhi konsistensi tinja. Peningkatan jumlah air dan proliferasi bakteri merupakan dua mekanisme penting dimana serat mempengaruhi waktu transit gastrointestinal dan

pergerakan usus sehingga menyebabkan tinja menjadi lebih lunak dan frekuensi BAB semakin meningkat.

Peranan serat telah direkomendasikan pemberiannya pada anak dengan konstipasi fungsional. Ada beberapa peneliti menggunakan glucomannan sebagai pengobatan konstipasi fungsional pada anak.

14

34

Staiano et al meneliti 10 anak konstipasi dengan kelainan saraf seperti gangguan sensorik primer akibat kelainan spinal cord dan gangguan sensorik sekunder pada kasus megarektum yang menyebabkan retensi tinja kronis dimana setelah pemberian glucomannan 100 mg/kgbb dua kali sehari selama 12 minggu ditemukan perbaikan pada frekuensi tinja akan tetapi tidak dijumpai efek samping yang bermakna setelah pemberian terapi tersebut.

Pada penelitian ini, tidak ditemukan kelainan saraf pada sampel yang diteliti, sampel penelitian diberikan glucomanan dengan dosis 100 mg/kgbb/hari selama 4 minggu, dengan rata-rata berat badan anak yang ikut penelitian berkisar 25 kg sehingga setiap sampel mendapat dosis 2.5 gram setiap harinya, hal ini sesuai dengan kebutuhan serat pada anak menurut American Academy of Pediatric Committee on Nutrition, dimana diet serat yang direkomendasikan pada anak-anak sekitar 0,5 g/kgbb, sedangkan menurut American Health Foundation untuk anak di atas usia 2 tahun minimal diberi diet serat dengan formula usia + 5 g/hari dan maksimal usia + 10 g/hari.

35

28

Dimana setelah pemberian selama 4 minggu ditemukan perubahan bentuk tinja normal pada kelompok yang diberikan glucomannan dibandingkan kelompok yang diberikan placebo. Oleh karena itu, dari hasil penelitian yang dilakukan ternyata pemberian serat

glucomannan pada anak dengan konstipasi fungsional ditemukan perbaikan dalam 4 minggu.

Berdasarkan penelitian Anna et al, pemberian glucomannan dosis 2.52 g/hari selama 4 minggu pada 72 (90%) anak dengan konstipasi fungsional dijumpai bentuk tinja normal lebih tinggi pada minggu pertama (P<0.0001) dan lebih rendah pada minggu ketiga (P=0.008) serta bentuk tinja yang sama pada minggu kedua dan keempat. Selanjutnya frekuensi tinja hanya meningkat pada minggu ketiga (P=0.007). Dengan demikian tidak ada perbedaan yang diamati dalam frekuensi tinja pada setiap penelitian yang dilakukan.

Sedangkan berdasarkan penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Jin Yang et al disebutkan dari 1322 artikel pemberian serat menggambarkan perbedaan yang signifikan dibandingkan plasebo terhadap frekuensi tinja (OR = 1.19 ; 95%CI: 0.58-1.80, P<0.05). Selanjutnya pada lima penelitian RCT (randomized control trial) lain yang menilai frekuensi tinja menemukan perbedaan yang signifikan pada kelompok yang diberikan terapi. Selain itu empat penelitian yang melakukan evaluasi terhadap konsistensi tinja hanya satu penelitian menyajikan hasil persentase tinja keras, sedangkan 3 penelitian ditemukan tinja dalam bentuk normal.

36

Penelitian terhadap efek suatu serat seperti glucomannan telah dievaluasi pada anak dengan konstipasi fungsional ternyata dari pelaporan orang tua pada anak yang dilakukan penelitian ditemukan perbaikan konsistensi tinja (62%) dibandingkan anak yang diberikan plasebo (23%). Dan sedikit anak yang mengalami pergerakan usus yang kurang dan nyeri perut pada kelompok anak yang menerima glucomannan. Peneliti

menyimpulkan bahwa proporsi ditemukan lebih tinggi pada anak yang menerima pengobatan dengan serat (42 vs 13%) dan persentase orang tua pada anak setelah pemberian serat mengalami perbaikan konstipasi (68 vs 13%).

Dengan demikian tujuan dari pengobatan konstipasi ini adalah untuk menghasilkan bentuk tinja yang normal yaitu berupa tinja lunak berdasarkan

14

Skala Stool Form Bristol , tidak dijumpai rasa sakit saat BAB, dan mencegah penumpukkan tinja pada usus. Keberhasilan terapi konstipasi tergantung pada kombinasi edukasi, modifikasi perilaku, obat pelunak tinja, dan modifikasi diet.37

Dokumen terkait