• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reproduksi Sosial dalam Membentuk Positioning pada Iklan

I. PENDAHULUAN

2.6 Reproduksi Sosial dalam Membentuk Positioning pada Iklan

2.6 Reproduksi Sosial dalam Membentuk Positioning pada Iklan Televisi

Menurut Bungin (2001), iklan adalah sebuah realitas yang dijadikan ide cerita dalam iklan televisi. Maksudnya, iklan televisi lahir dari realitas sosial masyarakatnya sebagai bagian dari reproduksi sosial . . . . Reproduksi sosial iklan televisi terjadi, ketika iklan televisi merefleksikan realitas sosial (nyata) ke dalam realitas iklan televisi, kemudian direfleksikan kembali ke dalam realitas sosial pemirsanya.

Efek ideologis yang ditampilkan dalam iklan berkaitan dengan bagaimana iklan dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antar kelas sosial, antara kelompok mayoritas dengan minoritas, laki-laki dengan perempuan, kaya dan miskin. Ketidakberimbangan ini dimunculkan melalui perbedaan yang

disajikan dalam simbol-simbol yang menjelaskan posisi sosial sebagai realitas sosial yang ditampilkan.

Melalui media massa, dalam hal ini adalah televisi, kandungan ideologi dalam iklan televisi dapat diketahui ”ideologi” para pembuatnya. Melalui simbol-simbol yang terkodekan, sesungguhnya para pencipta iklan televisi, seperti copywriter (penulis naskah) maupun visualizer, menyampaikan kebenaran dan obyektivitasnya atau sebaliknya memperjuangkan kepentingan-kepentingannya yang bersifat subyektif. Adakalanya pencipta iklan televisi mendapatkan pengaruh luar, yaitu pengkilan, dengan menginternalisasi penggunaan kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis.

Dalam proses demikian terjadi tarik menarik kepentingan positif bagi produk antara pengiklan dan pencipta iklan. Proses interaksi simbolik berlangsung, baik dalam diri pengiklan dan pencipta iklan maupun di antaranya. Proses interaksi simbolik berlangsung terus-menerus dalam mereproduksi pesan iklan hingga mencapai konvergensi yang diinginkan tujuan periklanannya. Masing-masing pihak, baik pengiklan maupun pencipta iklan, ketika berhadapan dengan lambang komunikasi, melakukan proses semiosis yang terikat dengan tenggat waktu.

Televisi melalui programnya, salah satunya adalah iklan televisi, merepresentasikan realitas sosial yang merefleksikan ideologi yang dianut di dalam penggambaran televisi mengenai tabiat manusia, hubungan sosial dan norma-norma dan struktur masyarakatnya (Bryant and Zillman, 2002). Namun dalam konteks iklan televisi, perlu dicermati bahwa ideologi yang direfleksikan dalam iklan televisi adalah ideologi pencipta iklan dan pengiklan bukan televisi. Televisi dalam hal ini berperan sebagai medium penyampai pesan dan tidak mempengaruhi bagaimana iklan tersebut dibuat.

Dalam kehidupan masyarakat dan negara, media massa, termasuk televisi, cenderung diposisikan sebagai sarana dan alat legitimasi kekuasaan yang bersifat politis. Dengan demikian, media massa dijadikan sebagai sarana legitimasi ideologinya kepada masyarakat luas. Althusser dalam McQuail (1989) menyebutnya sebagai Aparat Ideologi Negara (Ideological State Apparatus atau ISA). Media massa cenderung dijadikan sebagai alat ideologi kelas dominan. Komunikasi dilihat sebagai produksi dan pertukaran pesan dengan memperhatikan bagaimana suatu pesan (teks) berinteraksi dengan masyarakat bertujuan memproduksi makna tertentu (Sobur, 2001).

Iklan televisi diyakini sebagai sarana dalam melakukan representasi realita berupa simbol-simbol tertentu. Realita yang termakna dalam iklan tersebut bersifat ideologis. Ini berarti, adanya berbagai kepentingan yang saling tarik menarik dalam media. Iklan televisi lebih dimiliki oleh kelompok berkuasa dan bermodal yang digunakan untuk mendominasi kelompok lainnya, seperti produsen dengan konsumennya, maupun antara produsen sebagai pesaing.

Efek ideologis dalam iklan televisi menciptakan suatu pengaburan realita, sehingga persepsi spontan yang muncul saat menyaksikan atau mendengar sebuah citra atau makna, sebenarnya didistorsi. Ini terjadi karena ada struktur dalam yang tidak tampak dan tidak disadari secara terus menerus membentuk kesadaran penonton. Oleh karena itu, pesan dalam sebuah iklan sifatnya ideologis.

Isi pesan sebuah iklan disebut sebagai medium ideologis, karena tidak semata-mata membentuk makna ideologis, namun juga karena makna yang ideologis itu dibungkus oleh kepentingan akumulasi modal. Ini berarti, makna ideologi yang diciptakan iklan dipakai oleh kapitalisme untuk kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, perubahan dan perkembangan kapital memungkinkan diproduksinya makna-makna ideologis yang baru (Purwantari dalam Sobur, 2003).

Dapat disimpulkan bahwa reproduksi sosial pada iklan televisi adalah refleksi realitas yang didefinisikan melalui makna atau citra yang muncul di dalam pesan iklan televisi. Citra atau makna tersebut merupakan hasil mengkonstruksi realitas sosial melalui kegiatan praktek suatu produksi makna yang bersifat sosial atau disebut praktek pemaknaan. Proses mengkonstruksi positioning iklan bersifat berkelanjutan dan direproduksi melalui kehidupan sosial. Pembentukan makna dalam iklan berlangsung melalui proses semiosis dengan melakukan praktek penandaan lewat kode-kode khusus yang bekerja di dalam iklan seperti kode visual dan tulisan, kode artikulasi dan suara, kode teknik pengambilan suara atau shot, serta keanekaragaman efek-efek audiovisual pada iklan televisi yang bersifat khusus dan ideologis.

2.6.1 Proses Konstruksi Sosial dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi

Iklan televisi dapat dikatakan sebagai perwujudan suatu bentuk realitas sosial. Iklan televisi yang muncul di layar kaca mengalami proses panjang dalam pembuatannya. Pesan yang bermakna dalam iklan televisi dibentuk tidak sebatas pada diciptakan namun juga dikonstruksi secara terus menerus oleh pencipta iklan. Crotty (1998) mengatakan “we do not create the meaning. We construct meaning. We have

world.” Sehubungan dengan itu, Bungin (2001) mengatakan bahwa dalam membangun

sebuah realitas, seorang copywriter dan visualizer dipengaruhi oleh lingkungan, budaya, pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia periklanan, kecanggihan teknologi media elektronika dan bahkan oleh kliennya sendiri.

Pengaruh yang dialami oleh pencipta iklan ketika mengkonstruksi pesan iklan menurut Berger dan Luckmann (1990) disebabkan oleh realitas kehidupan sehari-hari yang memiliki dimensi-dimensi subyektif dan obyektif. Menurut Poloma (2000), Berger menegaskan bahwa manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana mempengaruhinya melalui proses internalisasi (mencerminkan realitas subyektif). Dalam mode yang dialektis, terdapat tesa, anti tesa dan sintesa, di mana Berger melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk masyarakat.

Dapat dikatakan bahwa pencipta iklan dalam mengkonstruksi suatu iklan melalui proses eksternalisasi dan proses internalisasi. Proses tersebut dilakukan melalui mekanisme dialektis. Ketika proses tersebut berlangsung, pencipta iklan dipengaruhi oleh faktor luar seperti lingkungan budaya, pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia periklanan, kecanggihan teknologi media elektronika, dan pengiklan. 2.6.2 Proses Interaksi Simbolik dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi

Dalam proses mengkonstruksi realitas sosial, masing-masing pelaku melakukan interaksi terhadap realitas sosial yang terjadi. Demikian pula ketika melahirkan sebuah iklan televisi, pencipta iklan melakukan interaksi dengan individu lain di luar dirinya. Interaksi berarti proses pemindahan diri perilaku individu yang terlibat secara mental ke dalam posisi orang lain. Mereka mencoba mencari makna yang oleh orang lain diberikan kepada aksinya memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi (Effendy, 1993). Proses interaksi tersebut tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik, yang melibatkan lambang komunikasi nonverbal, namun juga melalui lambang-lambang

verbal yang maknanya perlu dipahami. Apabila proses pemindahan diri perilaku

meningkat ke terciptanya pertemuan yang menghubungkan orang per orang tersebut, maka interaksi sosial mulai berlangsung pada saat itu.

Soekanto (2002) menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Misalnya, saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara, atau bahkan mungkin berkelahi, atau hanya bertemu muka tanpa berbicara. Artinya, interaksi

sosial termanifes dalam bentuk terjadinya pertukaran lambang komunikasi, baik verbal maupun nonverbal. Oleh karena masing-masing sadar akan adanya kehadiran pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam diri orang bersangkutan. Hal demikian membangkitkan kesan dalam pikiran seseorang, hingga kemudian akan memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan.

Interaksi sosial mengandung dua (2) proses, yaitu adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. Kedua proses ini saling mengkait satu sama lain. Dalam kontak sosial dapat dipastikan melibatkan komunikasi, yang disebut oleh Effendy (1993) sebagai proses pernyataan antar manusia. Kontak sosial berdasarkan komunikasi tersebut membentuk pola-pola interaksi di antara para pihak yang terlibat (partisipan). Menurut Soekanto (2002) proses interaksi sosial merupakan proses yang bersifat asosiatif dan disosiatif. Proses tersebut membentuk pola-pola interaksi berupa kerjasama (cooperation), persaingan (competition) dan pertentangan/pertikaian (conflict).

Dalam konteks komunikasi, terjadi proses pemaknaan dan penafsiran oleh masing-masing partisipan terhadap lambang-lambang komunikasi yang dipakainya. Hal ini menggambarkan bahwa dalam berinteraksi, masing-masing orang tersebut memiliki kedudukan yang sangat penting dan memiliki fakta subyektif meskipun memiliki batasan-batasan dengan konsekuensi-konsekuensi riilnya (Poloma, 2000).

Poloma (2000) mengatakan bahwa dalam pandangan interaksionis simbolis manusia bukan dilihat sebagai produk yang ditentukan oleh struktur atau situasi obyektif, tetapi paling tidak sebagian, merupakan aktor-aktor yang bebas. Pendekatan kaum interaksionis simbolis menekankan perlunya sosiologi memperhatikan definisi atau interpretasi subyektif yang dilakukan aktor terhadap stimulus obyektif, bukannya melihat aksi sebagai tanggapan langsung terhadap stimulus sosial.

Littlejohn (1989) yang mengutip Blumer mengawali interaksi simbolik dengan tiga (3) dasar pemikiran berikut :

a. Manusia berperilaku terhadap hal-hal berdasarkan makna yang dimiliki hal-hal tersebut baginya.

b. Makna hal-hal itu berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial yang pernah dilakukan dengan orang lain.

c. Makna-makna itu dikelola dalam dan diubah melalui proses penafsiran yang dipergunakan oleh orang yang berkaitan dengan hal-hal yang dijumpainya.

Pendapat Blumer dalam Effendy (1993) tentang interaksi simbolik meliputi lima (5) konsep dasar berikut :

a. Konsep Diri. Manusia bukan semata-mata organisme yang bergerak di bawah pengaruh perangsang-perangsang, baik dari dalam maupun dari luar, melainkan organisme yang sadar akan dirinya (an organism having a self). Oleh karena seorang diri, maka mampu memandang dirinya, sebagai obyek pikirannya dan berinteraksi dengan dirinya sendiri, yaitu mengarahkan dirinya ke berbagai obyek, termasuk dirinya sendiri, berunding dan berwawancara dengan dirinya sendiri; mempermasalahkan, mempertimbangkan, menguraikan dan menilai hal-hal tertentu yang telah ditarik ke dalam lapangan kesadarannya, serta akhirnya merencanakan dan mengorganisasikan perilakunya. Antara perangsang dan perilakunya tersisiplah proses interaksi dengan diri sendiri tadi. Hal tersebut merupakan kekhasan manusia. b. Konsep Kegiatan. Oleh karena perilaku manusia dibentuk dengan proses interaksi

dengan diri sendiri, maka kegiatannya berlainan sama sekali dengan kegiatan makhluk-makhluk lain. Manusia menghadapkan dirinya pada berbagai hal, seperti tujuan, perasaan, kebutuhan, perbuatan dan harapan, serta bantuan orang lain, citra

dirinya (self image), cita-citanya, dan lain sebagainya. Maka dari itu, perancangan

kegiatannya tidak semata-mata sebagai reaksi biologis terhadap kebutuhannya, norma kelompoknya, atau situasinya, melainkan merupakan konstruksi. Dalam hal ini manusia sendiri menjadi konstruktor perilakunya.

c. Konsep Obyek. Manusia hidup ditengah-tengah obyek. Obyek meliputi segala sesuatu yang menjadi sasaran perhatian manusia. Obyek bersifat konkret seperti kursi, dapat pula abstrak seperti kebebasan, bersifat pasti seperti golongan darah, atau agak kabur seperti ajaran filsafat. Inti hakiki obyek tidak ditentukan oleh ciri-ciri instriknya, melainkan oleh minat seseorang dan makna yang dikenakan kepada obyek tersebut, maka tidak hanya kegiatan atau perbuatan yang harus dilihat sebagai konstruksi, tetapi juga obyek.

d. Konsep Interaksi Sosial. Interaksi berarti proses pemindahan diri perilaku yang terlibat secara mental ke dalam posisi orang lain. Dengan demikian, mencoba mencari makna yang oleh orang lain diberikan kepada aksinya yang memungkinkan terjadinya komunikasi atau interaksi. Jadi, interaksi tidak hanya berlangsung melalui gerak-gerak secara fisik, melainkan melalui lambang-lambang yang maknanya perlu dipahami. Dalam interaksi simbolik seseorang mengartikan dan menafsirkan gerak-gerak orang lain dan bertindak sesuai dengan makna yang dikandungnya. Orang-orang menimba perbuatan masing-masing secara timbal balik, dalam arti tidak hanya merangkaikan perbuatan orang yang satu dengan perbuatan orang lainnya,

melainkan seolah-olah menganyam perbuatan-perbuatannya menjadi apa yang barangkali dapat disebut transaksi, dalam arti kata perbuatan-perbuatan yang berasal dari masing-masing pihak itu diserasikan, sehingga membentuk suatu aksi bersama yang menjembataninya.

e. Konsep Aksi Bersama. Aksi bersama berarti kegiatan kolektif yang timbul dari penyesuaian dan penyerasian perbuatan orang-orang satu sama lain. Misalnya, transaksi dagang, makan bersama keluarga, upacara pernikahan, diskusi, sidang pengadilan, peperangan, dan sebagainya. Analisis aksi bersama ini menunjukkan bahwa hakikat masyarakat, kelompok atau organisasi tidak harus dicari dalam struktur relasi-relasi yang tetap, melainkan dalam proses aksi yang sedang berlangsung. Tanpa aksi setiap struktur relasional tidak dapat dipahami secara atomistis, melainkan sebagai aksi bersama, di mana unsur-unsur individual dicocokkan satu sama lain dan melebur.

Poloma (2000) mengemukakan bahwa dalam interaksi simbolik mengandung sejumlah ide-ide dasar berikut :

a. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, yaitu membentuk apa yang dikenal sebagai

organisasi atau struktur sosial.

b. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nonsimbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana, seperti halnya batuk untuk membersihkan tenggorokan seseorang.

Interaksi simbolis mencakup ”penafsiran tindakan”. Bila dalam pembicaraan

seseorang pura-pura batuk ketika tidak setuju dengan pokok-pokok yang diajukan oleh si pembicara, batuk tersebut menjadi suatu simbol berarti yang dipakai untuk menyampaikan penolakan. Bahasa tentu saja merupakan simbol berarti yang paling umum.

c. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang intrinsik; tetapi makna lebih merupakan produk interaksi simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan ke dalam tiga (3) kategori yang luas, yaitu (1) obyek fisik, seperti meja, tanaman, atau mobil; (2) obyek sosial, seperti Ibu, Guru, Menteri, atau Teman; dan (3) obyek abstrak, seperti nilai-nilai, hak dan peraturan. Obyek dibatasi sebagai ”segala sesuatu yang berkaitan dengannya”. Dunia obyek ”diciptakan, disetujui, ditransformir dan dikesampingkan” lewat interaksi simbolis.

d. Manusia tidak hanya mengenai obyek eksternal, karena dapat melihat dirinya sebagai obyek. Pandangan terhadap diri sendiri ini, sebagaimana dengan semua obyek, lahir di saat proses interaksi simbolis.

e. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri. f. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok.

Hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai ”organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia”.

2.6.3 Proses Semiosis dalam Pembentukan Positioning Iklan Televisi

Pencipta iklan ketika berhadapan dengan lambang-lambang verbal maupun

nonverbal melakukan proses penafsiran dan pemaknaan terhadap lambang tersebut.

Proses tersebut berlangsung terus menerus hingga mencapai makna terhadap tanda yang diinginkan. Pemaknaan yang diharapkan adalah penciptaan citra dari produk yang diiklankan. Proses demikian disebut sebagai proses semiosis.

Menurut Peirce dalam Budiman (2004) sebuah tanda atau representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan interpretan dari tanda pertama, yang pada gilirannya mengacu pada obyek. Sebuah tanda atau representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan obyeknya. Apa yang dimaksud dengan proses semiosis merupakan proses memadukan entitas yang disebut sebagai representamen tadi dengan entitas lain yang disebut sebagai obyek. Proses semiosis sering disebut sebagai signifikansi. Bagi pencipta iklan, proses semiosis yang dilakukannya dibatasi oleh ruang dan waktu. Pencipta iklan bekerja berdasarkan tenggat waktu yang telah ditetapkan dalam kontrak kerja dengan pengiklan.

Bagaimana proses semiosis berlangsung dijabarkan oleh Budiman (2004) pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses Semiosis menurut Peirce yang dikembangkan oleh Budiman (2004).

Klasifikasi sebuah tanda atau yang disebut sebagai representamen, menurut Peirce dalam Budiman (2004) dan Sobur (2003) sebagai berikut :

a. Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ”rupa” sebagaimana dapat dikenali oleh pemakainya. Di dalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya terwujud sebagi ”kesamaan dalam beberapa mutu”. Setiap tanda yang mengikuti sifat obyeknya disebut sebuah ikon. Misalnya, rambu-rambu lalu lintas sebagian besar adalah ikon.

b. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan obyeknya. Di dalam indeks hubungan antara tanda dan obyeknya bersifat konkret aktual dan biasanya melalui suatu cara sekuensial atau kausal. Setiap tanda yang menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan obyek individual, maka disebut sebuah indeks. Jejak telapak kaki di permukaan tanah, misalnya, merupakan indeks dari seseorang yang telah lewat di sana.

Representamen interpretan …...Representamen obyek obyek obyek Representamen interpretan Interpretan….dst

c. Simbol merupakan jenis tanda yang bersifat arbitrer dan konvensional. Tanda yang diinterpretasikan sebagai obyek denotatif sebagai akibat dari suatu konvensi disebut sebuah simbol. Misalnya rambu lalu lintas ”dilarang masuk” adalah simbol yang bersifat arbitrer dan secara konvensi diterima masyarakat.

III. METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait