• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ETIKA DAN KEKUASAAN PERSEPEKTIF NICCOLO

C. Republik Merupakan Bentuk Idel Sebuah Negara

1. Macam-macam Republik

Machiavelli menggambarkan macam-macam sistem kekuasaan dalam sebuah republik menjadi enam bagian51, diantaranya tiga bagian berhaluan baik, dan tiga bagian lagi bersifat meruksak negara, yang merupakan efek dari kegagalan penguasa dalam menerapkan sistem pertama yang dipakainya.

Pertama sistem monarki, bila sistem ini gagal justru akan melahirkan tirani. Kedua, sistem aristokrasi, bila gagal maka epeknya adalah melahirkan sistem oligarki. Ketiga, sistem demokrasi, bila sistem ini gagal maka akan melahirkan mobokrasi artinya rakyat yang dibebaskan untuk mengeluarkan aspirsinya justru saling bertolak belakang anatara rakyat dengan rakyat, dan dengan penguasa dan birokrasinya52.

Pertama, monarki Jenis kekuasaan ini berpusat pada satu orang sebagai pemegang kekuasaan. Pemegang kekuasan tersebut umumnya dikenal sebagai raja. Oleh karena itu, jenis pemerintahan ini biasanya berbentuk kerajaan. Dalam

51

Machiavelli, The Discaurses, h. 12. 52

Carlton Rode.dkk, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1988), h. 51.

praktiknya, raja memegang penuh kendali negara. Tetapi, di era sekarang model pemerintahan ini biasanya diawasi oleh parlemen seperti di Inggris, Jepang, Belanda.

Sistem monarki dapat dibagi menjadi dua, yakni monarki absolut dan monarki konstitusional. Monarki absolut berarti kepala negara dan pemerintahan dipegang penuh oleh raja. Tidak ada sistem pemilihan perdana menteri dan juga tidak ada sistem partai politik dalam jalannya pemerintahan. Salah satu negara yang masih menjalankan sistem pemerintahan ini adalah Saudi Arabia. Bentuk monarki konstitusional terjadi ketika raja berbagi kekuasaan dengan perdana menteri. Artinya, raja bertindak sebagai kepala negara dan perdana menteri bertindak sebagai kepala pemerintahan.

2. Monarki diterapkan dalam Situsi Florence yang Kacau

Namun jika dikaitkan dengan kondisi pada saat Machiavelli ada yakni suatu kondisi dimana keadaan politik, social, ekonomi, dan hukum di Florence sangatlah kacau dan tidak relevan bila sistem republic diterapkan saat itu, dan bermentalitas kedaulatan hukum. Karena itu, Machiavelli menuntut agar masyarakat terlebih dahulu ditata oleh penguasa dengan tangan besi.

Oleh sebab itulah Machiavelli mempermaklumkan bahwa penguasa harus membebaskan diri dari ikatan moralitas tradisional, dan tidak boleh ragu mengambil segala tindakan yang perlu untuk menumpas segala pihak yang membuat kekacauan, tidak tertib, korup, licik, egois atau yang mengancam kekuasaan.

Bab lima belas Machiavelli memaparkan bagaimana sebuah sistem monarki diterapkan untuk Florence, dalam buku The Prince sebenarnya

Machiavelli menginginkan adanya kesatuan utuh di Italia yang sedang kacau balau53. Dan cara yang sesuai pada waktu itu adalah dengan teori penguasa tersebut. Tidak ada cara lain, begitulah Machiavelli beranggapan.

Masyarakat Italia masa Machiavelli, adalah masyarakat yang miskin solidaritas antar kota. Masing-masing ingin menjadi pemimpin yang lainnya. Masyarakat yang belum tertata dan kacau balau seperti itu, jelas tidak akan mampu mewujudkan suatu negara republik54. Hanya dengan menjadikan raja atau penguasa sebagai pemaksa, maka Italia baru dapat dipersatukan.

Maka perlu dilihat bahwa konsep penguasa ini merupakan perintis terbentuknya negara republik. Jadi antara The Prince dan The Discaurses tidak ada kontradiksi. Yang ada adalah sebuah rantai yang saling terkait erat. Satu negara republik dapat muncul apabila masyarakatnya sudah teratur, telah siap dengan kesadaran untuk berrepublik. Dengan demikian tujuan utama Machiaveli untuk mempersatukan Italia hanya dapat diwujudkan dengan sistem monarki.

Bahwa Machiavelli tidak sejahat yang dipikirkan oleh para pemikir politik, hal ini didasarkan atas bukti-bukti di dalam buku The Prince, antara lain: Mengenai kekejaman, menurut Machiavelli dapat dilakukan dengan cara yang baik atau tidak baik. Kekejaman itu bisa digunakan dengan baik jika hal tersebut dilakukan sekali, demi keselamatan seseorang atau negara. Oleh karena dengan cara itu kekuasaannya akan bertahan lama. Walaupun penguasa mengalami kesulitan, raja tidak boleh kejam, karena kebijaksanaan yang telah ditunjukkan raja pada rakyatnya. Kebaikan raja tersebut akan dipandang sebagai sesuatu yang tidak tulus atau hanya sebatas.

53

Machiavelli, The Prince, h. 112. 54

Contohnya seperti karakter kepatuhan terhadap hukum dari rezim Perancis yang dikemukakan Machiavelli adalah untuk memastikan keamanan, namun keamanan tersebut jika diperlukan tidak boleh dicampurkan dengan kebebasan. Inilah batasan dari aturan dari monarki, bahkan untuk kerajaan yang paling baik, tidak akan dapat menjamin rakyatnya dapat diperintah dengan tenang dan tertib55. 3. Republik Sebagai Bentuk Ideal Sebuah Negara

Meskipun dikenal dengan kekejamannya, Machiavelli menuturkan bahwa dalam Negara yang aman dan damai maka system terbaik yang diterapkan dalam Negara itu adalah republic. Karena dengan republic, Negara akan menjadi sempurna, dan republic ini hanya bisa dibangun apabila ada kerjasama atau penyatuan antara rakyat dan birokrasi pemerintahannya dalam situasi yang damai56.

Ini dicontohkan Machiavelli dalam ruang politik Roma, ketika di pegang oleh Horatii yang berjasa pada republic. Namun ketika dia diketahui telah membunuh maka Horotii sang pangeran itu di hukum seumur hidup. Ini bukan berarti rakyat melupakan atas jasanya, akan tetapi kehati-hatian dalam sebuah republic yang tertata dengan rapih adalah tidak pernah membatalkan hukuman kepada warganya karena jasanya.

Memberikan jasa dan menghukum orang karena keslahan kepada Negara itu harus tetap dilakukan. Dan sebuah Negara republic yang memperhatikan hal

55

,“Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 15 pebruari 2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas: Santi_di_Tito_Niccolo_Machiavelli

56

ini akan dapat menikmati kebebasan dan keadilan dalam tubuh negaranya, namun jika yang diterapkan adalah sebaliknya, maka tunggulah kehancurannya57.

Akan tetapi yang perlu diperhatiakan oleh seorang penguasa adalah dimana dia harus pandai melihat kondisi politik dalam negrinya. Dimana saat yang tepat untuk menerapkan republic atau sebuah system monarki. Karena bila seseorang menerapkan system republic dalam sebuah Negara yang man birokrasi dan rakyatnya menjadikan korupsi sebagi budaya mereka maka republic bukanlah jalan yang baik. Tetapi dalam masyarakat yang korup maka system monarkilah yang paling tepat58.

Machiavelli mencontohkan situasi ini ketika saat Manlius memimpin Roma dengan menerapkan system republic dalam tubuh Roma, padahal kala itu korupsi sedang merajalela. Dan akhirnya meskipun baik niat dari Manlius ini, akan tetapi dia menemui kebuntuan dimana para bangsawan yang menduduki jabatan pemerintahan di Roma pada akhirnya membunuhnya59.

D. Karakter Pemikiran Niccolo Machiavelli Terhadap Etika dan Kekuasaan ”Dalam memahami pemikiran Machiavelli, negara tidak boleh dipikirkan dalam kaca mata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu, Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya besar. Untuk itu negara harus dibuat menjadi kuat bukan dengan pendekatan etis tetapi medis. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh negara (seditious people should be amputated before they infect the whole state). Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan60”.

57 Ibid., h. 86. 58 Ibid., h. 348. 59 Ibid., h. 349. 60

Andika Sanjaya, “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari http://wikipedia.ac.id/2010/09/12/pemikiran-niccolo-machiavelli.

Itulah asumsi yang dipublikasikan oleh para sejarawan politik terhadap Machiavelli, dimana intinya mereka menyatakan bahwa The Prince

mengartikulasikan seorang Machiavelli tidaklah beretika. Tetapi tidak sedikit dari para politikus modern menjadi pembela akan karya Machiavelli, dengan asumsi bahwa pemaparan wacana politik yang dikemukakan oleh Machiavelli dalam The Prince itu disebabkan kondisi Italia yang beradadalam ambang kehancuran sehingga terpaksa formula strategi politik yang dibutuhkan bukanlah dari teori Plato, Aristoteles, atau bahkan doktrin agama yang kesemuanya mengarahkan pada etika bernegara. Dimana menurut pandangan Machiavelli hal itu tidak diperlukan di Italia yang sedang mengalami krisis multidimensional, yang dibutuhkan Italia kala itu adalah seorang virtu, raja yang bijak dan lihai yang bisa mengendalikan, dan menguasai fortuna.

Fortuna menurutnya adalah kedengkian dan sumber kesengsaraan manusia yang tidak dapat ditoleransi. Dia menggambarkan fortuna menyerupai “satu dari sungai yang merusak, yang pada saat marah akan mengubah daratan menjadi danau, meruntuhkan pohon dan bangunan, mengambil dunia dari satu titik dan meletakkannya pada titik lain, semua orang melarikan diri sebelum banjir, semua orang marah dan tidak ada yang dapat menolak”. Kemarahan dan musibah tersebut tidak berarti berada di luar kekuasaan manusia. Sebelum hujan tiba, masih mungkin untuk melakukan sesuatu untuk mengalihkan atau mengubah konsekuensinya. Gambaran tersebut dikemukanan oleh Machiavelli untuk menyatakan bahwa fortuna dapat diatasi oleh manusia, namun harus dengan persiapan dengan virtu dan kebijakan. Fortuna ibarat gadis yang harus dipaksa untuk tunduk, karena dengan menundukannya kita dapat meminta apapun yang

kita mau darinya. Sehingga jangan pernah mendekati gadis ini dengan lemah lembut, karena itu hanya akan memperlambat waktu.

Sedangkan The Discourses on the Ten Books of Titus Livy yang oleh banyak ahli dipandang mewakili pemikiran Machiavelli yang memiliki komitmen dan kepercayaan politik, khususnya terhadap republik, yang didalamnya mengajarkan bagaimana seorang negrawan atau penguasa agar selalu tabah dan kuat, serta tidak bersifst lemah61, dengan memiliki karakter yang dicintai rakyatnya.

Dari gambaran kedua karyanya ini memang sulit untuk memahami karakter sebenarnya tokoh ini dalam memandang relevansi antara etika dan kekuasaan. Karena di sisi lain dalam The Prince, menggambarkan seolah dia adalah seorang yang jahat. Tetapi disisi yang lain (The Discourses) terlihat dia adalah seorang yang menginginkan negaranya dipimpin oleh seorang penguasa yang berkarakter dan bermartabat, serta memiliki rasa nasionalis. Maka dari kedua karya itu lahirlah pandangan yang seolah-olah seperti menggambarkan dua tokoh yang berbeda, padahal penulisan dua karya politik besar ini dilakukan oleh seorang Niccolo Machiavelli, dan yang paling mencuri perhatian adalah Machiavelli menulis kedua karyanya ini dalam waktu yang bersamaan.

Maka menurut Henry J. Schmandt dua karakter ini bisa dipertemukan dengan cara mendamaikan keduanya dengan memahami teorinya tentang manusia62. Hal ini sesuai dengan pengalaman suramnya tentang politik, dia melihat betapa buruk rupanya wajah politik yang penuh dengan kebejatan-

61

Machiavelli, The Discourses: Diskursus, h. 411. 62

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 254.

kebejatan moral. Tetapi selain itu dia juga mempelajari sejarah tentang manusia politik yang memerintah negaranya dengan penuh kebijakan dan kearifan di Roma. Memang tidak salah bila Thomas Hobbes menyatakan bahwa manusia itu bersifat selfish (mementingkan diri sendiri), suka bertikai, tamak, jahat, dan bahkan bisa lebih kejam dari binatang63, hal ini pun yang dipikirkan Machiavelli sehingga tokoh ini memberikan solusi dengan cara mengatur manusia dengan cara kekejaman yang diperhitungkan agar dapat mengatasi masalah negara Florence.

Namun selain kejahatan yang ditimbulkan oleh manusia, manusia pun memiliki naluri, akal, dan sifat menyerahkan diri kepada Tuhan. Sehingga menurutnya agama dalam bingkai negara diperlukan juga sebagai alat atau instrumen untuk mendapatkan, memperbesar serta mempertahankan negara.

Dari cara pandang Machiavelli diatas, maka akan didapat bahwa karakter tokoh ini dalam memandang etika dan kekuasaan yang masih ada relevansinya dengan agama ada beberapa poin; pertama, hubungan antara kekuasaan dengan etika atau moralitas Menurut Machiavelli dalam hal moralitas seorang pemimpin, dia mengasumsikan bahwa seorang penguasa sudah seharusnya bisa membentuk opini umum yang bisa mengendalikan tingkah-laku warganya. Oleh karena itu, untuk memperkokoh kekuasaan, penguasa harus dapat memobilisasi segala nafsu rendah mereka yang ingin dikuasainya demi mencapai tujuannya tersebut. Dalam hal ini, ia mengibaratkan seorang pemimpin harus bisa berwatak sebagai manusia maupun binatang buas.

63

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 201.

Untuk mencapai tujuannya, seorang penguasa tidak harus mempertimbangkan akan moral. Di satu sisi, seorang penguasa harus bisa bertindak sangat bermoralistis, seperti bersikap jujur, berendah hati, tetapi hal tersebut difungsikan pada saat ingin memperoleh tujuannya tersebut. Namun, apabila kondisi mendesak guna menjaga stabilitas hegemoninya, seorang penguasa bersikap sebaliknya, yaitu amoral. Karena itu semua demi ketentraman dan kesejahtraan negara.

Kedua, hubungan antara kekuasaan dan agama seperti yang dikemukakan sebelumnya, seorang penguasa seharusnya menjadikan agama sebagai alat atau instrumen kekuasaan. Bagi Machiavelli, agama memiliki nilai pragmatis dan kepentingan politik praktis untuk mengintegrasikan negara, membina loyalitas, kepatuhan serta ketundukan rakyat terhadap otoritas penguasa. Hal ini ia contohkan pada republik Roma dengan agamanya pada saat itu adalah agama Romawi Kuno64.

Agama juga dapat membantu dalam hal mengendalikan negara, menumbuhkan harapan dan semangat rakyat, menghasilkan orang-orang baik dan memalukan orang-orang jahat, dan sebagainya65. Oleh karena itu, di mana ada agama, maka akan mudah mengajarkan kepada rakyat mengenai senjata. Akan tetapi, apabila tanpa adanya agama, maka akan sulit untuk memperkenalkan senjata kepada rakyat66.

64

Machiavelli, The Discourses: Diskursus, h. 57. 65

Ibid., h. 49. 66

Machiavelli juga beranggapan bahwa agama hanyalah sebuah pranata dalam kehidupan bermasyarakat yang bisa difungsikan. Dalam hal ini, gagasannya mengenai agama bersifat sekuler.

Karena agama sebagai salah satu instrumen penting dalam mendapatkan, memperbesar serta mempertahankan kekuasaan, oleh sebab itu, sudah semestinya negara harus bisa mengintervensi agama. Dari pandangan Machiavelli mengenai agama ini dapat kita kategorikan Machiavelli sebagai penganut utilitarianisme dan pragmatisme.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Machiavelli telah mengargumentasikan gagasannya dalam sebuah karya yang memang memiliki peranan penting dalam dunia politik. Karena dengan karyanya itu, telah membebaskan politik dari cengkraman Gereja. Akan tetapi disisi lain Machiavelli dengan segala metode yang diajarkannya terhadap perilaku seorang penguasa telah menjastifikasi semua cara untuk mempertahankan kekuasaan dan negaranya. Sehingga apabila ditarik dalam arti “etika humanisme” menghalalkan segala cara dalam tindakan seorang pengusa maka tetap saja itu bias dikatakan tidak beretika.

Melihat secara objektif bahwa Isi dari The Discaurses dan The Prince

telah membuka lebar-lebar mata, hati dan pikiran kita bahwa banyak sisi positif yang terkandung didalamnya seperti apa yang dikatakannya tentang dilarangnya tindakan korupsi, pentingnya posisi agama dalam sebuah negara, posisi militer dalam negara, dan cara-cara bagaimana agar pemerintahan bias stabil.

The Discaurses dan The Prince benar-benar dinyatakan atas kenyataan yang bertujuan menyimpulkan beberapa landasan yang didasarkan atas pengamatannya terhadap sejarah, dan kehidupan bernegara dengan kata lain buku itu menyajikan kasus-kasus pilihan dari sejarah pemerintahan dengan berpatokan kepada sejumlah persoalan yang menyangkut: “cara memerintah kota-kota atau Negara kecil yang mempunyai undang-undang tersendiri sebelum mereka bergabung dengan Negara-negara besar” atau yang menyangkut “kekejaman atau belas kasihan, dan apakah lebih baik dicintai dari pada ditakuti” atau pula yang

membahas persoalan yang menyangkut “pembantu-pembantu para penguasa Negara dan mengapa penguasa Italia kehilangan Negara-negara mereka” dan seterusnya. Buku itu sedikitpun tidak bersangkut paut dengan system filsafat ilmu politik.

The Prince dapat dianggap nasihat praktek terpenting buat seorang kepala negara. Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Pangeran harus mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segala- galanya yang terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri yang bisa dipercaya. Negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya.

Machiavelli menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak, dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan warganya. Dia usul, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, Raja mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus. Tetapi tidak perlu mereka alami tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa merasa senang. Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan menteri-menteri yangmampu dan setia. Machiavelli memperingatkan Pangeran agar menjauhkan diri dari penjilat dan meminta pendapat para pembantunya apa yang layak dilakukan.

Dalam The Prince dan The Discaures juga, ada dua hal yang penting perlu diperhatikan yaitu: kepangeranan (principality) dan republik. Machiavelli memberi nasihat bagaimana mendapatkan dan mempertahankan sebuah kepangeranan. Untuk melakukannya, seorang penguasa yang bijak hendaknya mengikuti jalur yang dikedepankan berdasarkan kebutuhan, kejayaan dan kebaikan negara, Penguassa harus memadukan machismo (semangat keprajuritan) dengan pertimbangan politik. The Prince menjelaskan akan watak-watak penguasa bijak diantaranya:

a. memiliki kemampuan untuk menjadi baik sekaligus buruk, baik dicintai maupun ditakuti,

b. watak-watak seperti ketegasan, kekejaman, kemandirian, disiplin, dan kontrol diri,

c. sebuah reputasi menyangkut kemurahan hati, pengampunan, dapat dipercaya dan tulus. Machiavelli menasihati penguasa untuk melakukan apapun yang diperlukan, betapapun tampak tercela karena rakyat pada akhirnya hanya peduli dengan hasilnya, yakni kebaikan negara. Dia dinilai sebagai ‘nmachiavellian” karena memisahkan antara perilaku politik dari seluruh hubungannya dengan keadilan dan moralitas

d. penguasa harus menjalankan pemerintahan dengan cara atau watak manusia dan binatang. Cara manusia dengan humanismenya, cara binatang dengan power. Manusia harus belajar meniru singa dan rubah yang licik.

Kedua literatur ini memiliki balance dalam bingkai politik seorng Raja. Karena konsep didalamnya menuntut seorang kepala negara untuk cerdas memilih alur apa yang seharusnya dipilih dalam mengelola negara. Karena negara tidak

membutuhkan seorang pemimpin yang lemah lembut dalam situasi dan kondisi negara yang cheos. Begitupun negara tidak membutuhkan kekejaman dan kebengisan seorang kepala negara yang menindas rakyatnya, karena itu akan menimbukan pemberontakan dalam negara.

Oleh karena itu, substansi dalam kedua literatur itu perlulah untuk dicerna dengan baik. Karena akan berakibat patal bila konsep ini direalisasikan hanya dengan pemahaman tekstual.

B. Saran

Saya pribadi sangat menyayangkan bahwa tokoh sejarah politik besar ini mempunyai konotasi yang negatif. Nama ini selalu dihubungkan dengan kejahatan atau persekongkolan yang tidak mengindahkan moral atau dengan istilah lain “mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara”. Penilaian demikian sama sekali tidak adil, karena tujuan utama Machiavelli menulis buku yang memuat pengamatannya ialah sekedar menganalisa tindakan-tindakan yang telah memberikan keberhasilan politik yang gemilang di masa lampau dan menarik kesimpulan atau pelajaran dari tindakan tersebut prinsip-prinsip apa yang harus diikuti agar dapat memperoleh keberhasilan politik yang cemerlang di masa sekarang ini.

Pendapatnya semata-mata diperoleh melalui pengamatan ilmiah yang cermat. Dengan kata lain, Machiavelli sekedar mengungkapkan apa yang sebenarnya telah terjadi di balik keberhasilan politik itu dan bukan mengada-ada atau memberikan hasutan. Namun kesalahpahaman orang terhadap konsep politik Machiavlli mengakibatkan ia dikenal sebagai seorang yang mendukung tindakan- tindakan tidak berprikemanusiaan dan tidak beretika.

Dan tokoh inipun menuliskan bahwa tujuan dari kekuasaan bukanlah hanya untuk keuntungan pribadi, akan tetapi untuk kepentingan kesejahtraan dan ketentraman rakyatnya.

Oleh karena itu, agar kita tidak terjebak pada konotasi negatif tentang teori Machivelli maka akan lebih bijak bila para pembaca khususnya akademisi, atau para pemimpin dunia, untuk mendalaminya dengan seksama.

2007.

Ali Abdul Mu’ti, Muhammad. Filsafat Politik Antara Barat dan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010

Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Bing, Satanly. Tujuan Menghalalkan Segala Cara. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1977.

Bungin, Burhan. Metedologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metedologis Ke Arah Ragam Farian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Charris Zubair, Ahmad. Kuliah Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Honohan, Iseult. Civic Republicanism: Negara Republik. Jakarta: Erlangga, 2002. Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Issawi, Charles. Filsafat Islam Tentang Sejarah: Pilihan Dari Muqaddimah Ibnu Khaldun. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1976.

J. Schmandt, Henry. Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Jay, Antony. System Menejemen Machiavelli. Bandung: PT Iqra Bandung, 1983. Kasiram, Mohamad. Metodologi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman

dan Penguasaan Metodologi Penelitian. Malang: UIN Press, 2008.

Lerner, Max. Pendahuluan, dalam The Prince dan The Discourses. New York: Moderen Library, 1950.

Losco, Joseph dan Wiliams, Leonardo. Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2005.

Machiavelli, Niccolo. The Discourses. Jogjakarta: Bentang Budaya, 2003. Machiavelli, Niccolo. The Prince. Srabaya: Selasar Publishing, 2008.

Magnis Suseno, Franz. Dua Belas tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006.

Mansyur Sema, Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008. Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993. Mundiri, Mushadi. dkk. Membangun Negara Bermoral. Semarang: Pustaka Rizki

Putra Semarang, 2004.

Mohamad Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008.

Noer, Deliar. Pemikiran Politik di Negeri Barat. Bandung: Mizan Media Utama,

Dokumen terkait