• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika dan kekuasaan: pemikiran niccolo machiavelli atas etika dan kekuaasaan dalam ranah politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Etika dan kekuasaan: pemikiran niccolo machiavelli atas etika dan kekuaasaan dalam ranah politik"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PEMIKIRAN NICCOLO MACHIAVELLI ATAS

ETIKA DAN KEKUASAAN DALAM RANAH POLITIK

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)

Oleh :

Haikal Mujahid 106033201175

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

i

ETIKA DAN KEKUASAAN:

PEMIKIRAN NICCOLO MACHIAVELLI ATAS ETIKA DAN KEKUASAAN DALAM RANAH POLITIK

Etika adalah sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental, bagaimana saya harus hidupdan bertindak. Sedangkan, kekuasaan adalah merupakan usaha seorang individu atau kelompok untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan keinginan si pelaku.

Etika dan Kekuasaan merupakan kedua hal yang amat penting posisinya dalam bingkai politik. bahkan kedua istilah ini sudah dibahas semenjak zaman Yunani kuno, karena keduanya dapat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan. Karena bila kedua istilah ini dipergunakan tidak dalam kapasitasnya, hal ini akan berakibat pada ketidakstabilan sebuah Negara, atau bahkan melahirkan sebuah pemberontakan.

Machiavelli sebagai tokoh politik zaman Renaissance telah berhasil membuat sebuah karya yang mengelaburasikan antara system kerajaan (monarki) dan Republik, yang dia beri judul The Prince dan The Discaurses, meski pada awalnya kedua literatur itu adalah ditujukan kepada keluarga Medici yang kembali menguasai Florence. Dari kedua bukunya ini bisa diambil pelajaran bagaimana seharusnya seorang leader (Raja) mengontrol, memenej, dan mengurus para staf, serta rakyatnya agar tercipta sebuah negara sejahtera, dan bisa mencapai kejayaan, serta disegani oleh rakyat dan negara-negra lain.

(3)

iii

yang telah memberikan kehidupan dan ilmu kepada seluruh umat manusia yaitu

Alloh swt. Karena dengan pertolongan yang begitu besar, perlindungan, dan

rahmat, serta taqdirnyalah penulis dapat menyeleseikan proses penulisan skripsi

ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada pahlawan

revolusi Islam yang tiada kata lelah, cercaan, serta hinaan yang dilontarkan

kepadanya, beliau tetap konsisten dalam perjuangan demi tegaknya Islam yaitu

Nabi Muhammad saw.

Alhamdulillah kami ucapkan, meski itu tidaklah sepadan dengan apa yang telah diberikan oleh Alloh swt. Usaha dalam penulisan ini dapat terrelisasi hingga

selesei atas pertolongan-Nya, melalui banyak tangan.

Dengan kerendahan hati, penulis akui bahwa penulisan ini tidak terlepas

dari bantuan, kawan-kawan. Oleh karena itu, kami haturkan banyak termakasih

atas bantuan serta motivasi saudara-saudara sekalian. Maka pantaslah bila penulis

mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu dan Ayah ku tercinta, terimakasih atas bantuannya baik dalam segi

moril dan materilnya. Juga kepada kaka (teh Yeni), dan adik-adik ku

tersayang Inda, Rika, Imam, dan vivi untuk tawa, canda, dan

dukungannya, telah menghibur penulis.

2. Bapak Ali Munhanif, Ph. D. selaku pembimbing yang selalu

mendampingi penulis dengan tiada kata lelah, ditengah kesibukan beliau

sebagai kepala jurusan Ilmu Politik.

3. Prof. Dr. Bahtiar Efendi, selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

(4)

iv

memandang dunia khususnya dalam kaca mata politik.

5. Untuk seseorang di hati penulis yang begitu amat spesial, yang tidak bisa

penulis sebutkan namanya. Terimakasih atas pengertian, do’a dan

supportnya kepada penulis.

6. Kepada kawan-kawan KPK (Kosan Pedro dan Kawan-kawan); bang Ham,

bang Ubz, bang Pips, bang Pedro, bang Ari, bang Fadli, bang Ipunk, bang

Borang, bang Roy, bang Ulmanto, bang Adam, Muso yang telah

memberikan kritik dan sarannya kepada penulis.

7. Kepada kawan-kawan KM UIN Jakarta (Komunitas Mahasiswa

Universitas Islam Negri); Adit, Barkowi, Oi, Aang, N-Chek, Yandi,

Repal, dkk. yang memberikan semangat kepada penulis.

8. Terimakasih banyak kepada kawan-kawan FSC (FISIP Study Club).

Teman-teman FISIP; Anwar, Bara, Rif’at, Eko, Yebi, Rikih, Ario,

Hawasi, Rido, Yana, Ais, Rahmat, Torik, Ikhwan, untuk dorongannya

agar penulis segera menyeleseikan penulisan skripsi ini.

Akhirnya hanya kepada Sang Maha melihat, Pencipta, dan Maha Kuasa

yang memiliki semua yang ada di langit dan di bumi, penulis serahkan atas segala

jasa orang-orang yang telah membantu penulis. Mudah-mudahan Alloh swt

membalas senua jasa mereka, dan ditulis sebagai amal kebaikan dan menjadi

bekal mereka di akhirat kelak.

Mudah-mudahan penulisan skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis,

(5)

v

Jakarta, 08 Maret 2011

(6)

vi

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...6

D. Metodologi Penelitian...7

E. Sistematika Penulisan ...9

BAB II BIOGRAFI NICCOLO MACHIAVELLI A. Riwayat Hidup ...12

1. Kondisi Lingkungan ...14

2. Pendidikan ...18

3. Karir dalam Kancah Politik...19

B. Karya Tulis ...21

1. The Prince ...23

2. The Discourses ...27

(7)

vii

2. Kebutuhan Akan Etika dalam Sebuah Negara ...38

B. Asal-usul Kekuasaan ...40

1. Definisi Kekuasaan ...41

2. Mempertahankan Kekuasaan ...44

C. Relevansi Antara Etika dan Kekuasaan ...46

BAB IV ETIKA DAN KEKUASAAN PERSEPEKTIF NICCOLO MACHIAVELLI A. Etika dalam Persepektif Machiavelli ...52

1. Raja Harus Bisa Menyeimbangkan Anatara Ditakuti dan Dicintai ....58

2. Bermartabat dan Memiliki Rasa Nasionalisme ...61

B. Kekuasaan Persepektif Niccolo Machiavelli ...65

1. Metode Memperoleh dan Mempertahankan Kekuasaan ...66

1.1. Posisi Agama dalam Negara ...66

1.2. Penguasa dan Korupsi ...68

1.3. Mengelola Tentara ...69

1.4. Memilih Aparatus Negara ...71

C. Republik Merupakan Bentuk Idel Sebuah Negara ...72

(8)

viii

3. Republik Sebagai Bentuk Ideal Negara ...76

D. Karakter Pemikiran Niccolo Machiavelli Terhadap

Etika dan Kekuasaan ...77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...83

B. Saran ...86

DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Niccolo Machiavelli adalah seorang tokoh filsapat dan politikus, yang

hidup di era abad ke-18. Tokoh ini sangat terkenal dengan sebutan bapak politik

moderen yang berhasil membuka keran belenggu politik dari kungkungan Gereja

pada waktu itu. Machiavelli banyak menuturkan tentang etika dalam berpolitik

dalam karyanya. Tetapi disisi lain Machiavelli pun dikenal sebagai politikus yang

menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Padahal bila didalami secara

objektif, ada faktor-faktor penyebab tokoh ini harus menuangkan idenya seperti

itu. Sehingga timbul pertanyaan, apa sebenarnya yang melatarbelakangi pemikiran

politik Machiavelli, sehingga dia menulis karyanya The Prince dan The Discourses?

Dalam membatasi ruang kajian tentang karya-karya Niccolo Machiavelli,

difokuskan yang ditulis adalah kerangka pemikirannya terhadap etika dan

kekuasaan yang dimana ada beberapa alasan yang melatar belakanginya: pertama,

proses transisi di Negara Florence yang terjadi di masa Niccolo Machiavelli,

melahirkan beberapa gagasannya yang merupakan hasil kajiannya selama

menjabat sebagai aparatus di Florence.

Kedua, dalam situasi dan kondisi Negara Florence Machiavelli mengalami

beberapa perlakuan poitik dari pemerintahnya yang acap kali terjadi perpindahan

kekuasaan antara penguasa pertama dengan keluarga Medici yang memenangkan

peperangan. Sehingga posisi Machivelli selalu berubah-ubah kadang menjadi

(10)

sampai dia sendiri harus diasingkan kesuatu desa yang jauh dari kehidupan

kerajaan atau lebih parah lagi dia mengalamai masa tahanan selama beberapa

tahun1.

Ketiga, tokoh Machiavelli sendiri sudah terlanjur dikenali oleh dunia

politik sebagai bapak kelicikan politik. bahkan pada titik ekstrimnya ia dikenal

sebagai par excellence penipuan dan penghianatan politik, sebagai inkarnasi dari kekuatan licik dan brutal dalam dunia politik, dan sebagai penggagas

totalitarianisme moderen2. Padahal bila dibaca secara objektif dan tidak

setengah-setengah antara The Prince dan The Discaurses, akan didapat bahwa konsep etika bermartabat dalam politik yang didengungkannya adalah politik yang penuh

dengan nilai-nilai etika, dengan tidak digerakan semata-mata oleh nafsu untuk

meraih kekuasaan3. Etika menurutnya memancar dari tindakan otentik yang penuh

dengan kedaulatan dari seorang pemimpin yang berkarakter. Itulah sesungguhnya

ide yang diberikan oleh Machiavelli untuk demi kelangsungan dan kesetabilan

negaranya yang mengalami krisis politik. Namun sayang justru konsep etika dan

kekuasaan yang bermartabat inilah seringkali kurang dicermati oleh para pembaca

karya-karya Machiavelli.

Keempat, kekuasaan memang perlu dipertahankan dan dikokohkan dengan

kuat, sedangkan etika itu sendiri tidak perlu dikedepankan dalam politik karena

hal itu hanya akan memperlemah negara (menghalalkan segla cara demi

kestabilan Negara). Sedangkan menurut para sejarawan politik, Inovasi

1

Ibid., h. 87 2

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 247.

3

(11)

Machiavelli dalam buku The Discaurses dan The Prince adalah memisahkan teori politik dari etika. Hal itu bertolak belakang dengan tradisi barat yang mempelajari

teori politik dan kebijakan sangat erat kaitannya dengan etika seperti pemikiran

Aristoteles yang mendefinisikan politik sebagai perluasan dari etika. Dalam

pandangan barat, politik kemudian dipahami dalam kerangka benar dan salah, adil

dan tidak adil. Ukuran-ukuran moral digunakan untuk mengevaluasi tindakan

manusia di lapangan politik. Saat itu, Machiavelli telah menggunakan istilah la stato, yang berasal dari istilah latin status, yang menunjuk pada ada dan berjalannya kekuasaan dalam arti yang memaksa, tidak menggunakan istilah

dominium yang lebih menunjuk pada kekuasaan privat.

Hal ini senada dengan situasi dan kondisi di Florence, waktu itu

mengalami degradasi dan perebutan kekuasaan yang mengakibatkan keadaan

negara tidak stabil sehingga akhirnya, efek jera dari perebutan kekuasaan itu

menjadikan rakyat tertindas dan Negara pun mengalami krisis multidimensional.

Sehingga Florence menjadi Negara yang lemah dan diserang oleh Negara-negara

yang ada disekitarnya4.

Maka pantaslah bila Machiavelli menganugrahkan gagasannya bagi

penguasa di negrinya yang kala itu di pegang oleh keluarga Medici, dengan tujuan

agar Florence tidak hancur dan jatuh. Sekalipun memang ada unsur bahwa dengan

menyuguhkan konsepnya itu, Machiavelli pun menginginkan kembali jabatannya

di arena politik5.

Namun ide Machiavelli ini terlanjur oleh para intelektual, dan poitisi

dianggap sebagai ide yang digunakan oleh para penguasa dunia yang otoriter dan

4

Niccolo Machiavelli, The Prince, (Srabaya: Selasar Publishing, 2008), h. xii 5Ibid.

(12)

bersifat menindas rakyatnya. Ini terindikasi dari berbagai pengakuan mereka,

bahwa mereka mengakui memegang dan mempelajari karya The Prince Niccolo Machiavelli. Seperti Hitler pemimpin NAZI di Jerman menyimpan The Prince

disamping tempat tidurnya, Napoleon Bonaparte mengemukakan bahwa hanya

karya politik The Prince yang layak dibaca, bahkan Musolini berani secara terang-terangan di depan rakyatnya mengatakan bahwa Machiavelli sebagai godfather

spiritual dan intelektual, dan masih ada lagi para penguasa otoriter selain mereka6.

Dan inilah yang menjadi alasan orang-orang yang menganggap Machiavelli

sebagai politikus yang jahat.

Berangkat dari itu semua maka penulis berusaha menggali dan membuka

kembali literatur-literatur karya Machiavelli, khususnya The Prince dan The Discourses, juga dari buku-buku lain yang memiliki relevansi dengan masalah etika dan kekuasaan Machiavelli, untuk berusaha memahami esensi sesungguhnya

bahwa perlu adanya etika bermartabat dalam sebuah negara menurut Machiavelli.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah Etika merupakan problem dunia saat ini, apalagi sesudah masuk

ranah kekuasaan. Hal ini tercermin bagaimana seorang kepala negara bisa

memimpin sebuah negara, agar negara itu bisa tetap stabil. Sehingga diambilah

langkah-langkah yang menurut pikiran mereka bahwa etika yang mereka pakai

adalah demi kepentingan negara. Sehingga tidak sedikit manusia yang pernah

menguasai sebuah negara dari pasca perang dunia I sampai saat ini mempelajari

6

(13)

etika kekuasaan para tokoh terkemuka seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquines,

Niccolo Machiavelli, dan yang lainnya.

Tetapi justru kabanyakan orang telah mengenal Machiavelli hanya dengan

membaca The Prince. Dan hal ini menjadi kontroversi ketika mendengar atau membaca karyanya The Discourses, bahwa jelaslah Niccolo ini sebagai seorang republikan. Sederhananya bila kita membaca The Prince, maka asumsi yang keluar adalah Machiavelli sebagai seorang politikus yang jahat, bahkan dia

disebut juga sebagai old nick atau iblis7. Boleh disebut The Discourses ini sebagai testamen politik Machiavelli yang terlengkap.8 Karena di dalamnya jelaslah

bahwa Machiavelli memberikan konsep yang jelas-jelas menunjukan dia adalah

seorang republikan.

Namun dalam pembahasaan skripsi ini bukan bermaksud untuk membela

Machiavelli, ini dimaksudkan untuk merangsang pembaca agar mempelajari tokoh

ini secara lebih mendalam dan objektif. Supaya dalam memandang Machiavelli

tidak hanya dari sisi negatif yang sudah umum. Tetapi melihat sisi-sisi positif

yang di kandung olehnya.

Berdasarkan acuan tersebut, agar pembahasan skripsi ini tidak melebar

dan terjebak pada kurang terfokusnya pembahasan serta kesimpulan, maka penulis

membatasi perrmasalahannya pada: konsep etika dan kekuasaan yang

dikemukakan oleh Niccolo Machiavelli.

Pertanyaan yang dirumuskan dan menjadi fokus permasalahan dalam

skripsi ini adalah sebagai berikut:

7

Joseph Losco dan Leonardo Wiliams, Political Theory: Kajian Klasik dan Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2005), h. 561.

8

(14)

1. Bagaimana konsep etika dan kekuasaan menurut Niccolo Machiavelli?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mendalami konsep etika dan kekuasaan menurut

Niccolo Machiavelli

2. Untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan penulis.

Adapun manfaat dari penelitian yakni :

A. Manfaat Akademis

Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar kesarjanaan

strata satu (S1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Jurusan Ilmu Politik pada

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

B. Manfaat Praktis

1. Menambah Wawasan mahasiswa pada umumnya, dan bagi penulis pribadi

pada khususnya bahwa Etika dan Kekuasaan yang diargumentasikan oleh

Niccolo Machiavelli ini memiliki konsep yang masih eksis dan bahkan bisa di

realisasikan dengan baik sesuei dengan cita-cita untuk mensejahtrakan

kehidupan bernegara, sehingga perlu pengkajian secara mendetail dan objektif

tanpa memilah-milah. Meskipun dia sendiri adalah seorang tokoh politik

barat, yang berbeda agama dengan kita dan penulis khususnya.

2. Bagi Fakultas, diharapkan memberi sumbangan kepustakaan dalam

pengembangan wacana civitas akademika di Jurusan Ilmu Politik.

3. Sebagai Bahan Masukan kepada Pemegang Kebijakan Kampus (Rektorat)

guna memformulasikan konsep tersebut agar keberlangsungan kepemimpinan

(15)

diharapkan dapat menjadikan mahasiswa yang memiliki peradaban dengan

etika yang baik, terlebih untuk pendidikan politik mahasiswa pada umumnya.

D. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini

adalah library research yaitu metode penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan datanya dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang

berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari buku-buku teks, media masa,

ataupun jurnal, yang membicarakan tentang subjek yang di tuju. Namun yang

tetap perlu diperhatikan adalah unsur selektif yaitu tidak semua unsur bacaan yang

ditemukan lalu ditelaah dan dipakai begitu saja, agar didapatkan hasil penelitian

yang relevan dan tidak meluas kemana-mana. Kajian inipun sering juga disebut

kajian literatur9.

Penelitian tokoh ini juga bersifat kualitatif yang berangkat dari generalisasi

empiris atau realitas-realitas sosial sejarahnya. Realitas-realitas tersebut

dideskripsikan dan di analisis secara kompherenshif, holistic, dan komparatif.

Aspek yang bersifat fenomenal dan historis juga dideskripsikan dan ditelaah

secara kritis hingga melahirkan satu generalisasi yang bersifat ideografis.

Menurut Bogdan dan Taylor (1973),10 penelitian kualitatif adalah prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau tulisan, dan prilaku

yang dapat diamati dari subyek itu sendiri. Pendekatan ini menunjukan langsung

dari setting itu secara keseluruhan. Subjek studi baik berupa organisasi, lembaga,

9

Mohamad Kasiram, Metodologi Penelitian: Refleksi Pengembangan Pemahaman dan Penguasaan Metodologi Penelitian, (Malang: UIN Press, 2008), h. 111.

10

(16)

atau individu tidak dipersempit menjadi variable yang terpisah atau menjadi

hipotesis, tetapi dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan (holistic).

Strategi penelitian menggunakan studi tokoh kritis yang merupakan salah

satu jenis penelitian kualitatif. Dalam studi tokoh kritis, metode yang digunakan

untuk meneliti subjek penelitian akan mempengaruhi cara pandang subjek

tersebut. Sehingga studi tokoh kritis terletak pada kapasitas untuk menganalisa

dan menginterpretasi tokoh Machiavelli secara kritis. Melalui metode ini juga,

dapat dikenali secara mendalam bagaimana sang tokoh secara pribadi dengan

melihat konsep dia, sesuai dengan cara pandangnya terhadap dunia dengan

pemikiran, karya, dan prilaku politiknya. Penelitian kualitatif ini mencoba

menggeneralisasikan tokoh Niccolo Machiavelli, dari sisi pemikiran politiknya

khususnya tentang etika dan kekuasaan.

Oleh karena itu, kajian literatur kritis yang baik menjadi prasyarat wajib

bagi setiap penelitian, baik untuk penjabaran atau mempertajam permasalahan,

merumuskan hipotesis, merumuskan konsep-konsep, menentukan dasar-dasar

teori yang dipergunakan dalam mengumpulkan data, maupun dalam menafsirkan

data. Penelitian kepustakaan ini diperoleh dengan melakukan penalaran dedukatif

secara simultan dari sumber-sumber bacaan yang di peroleh. Jadi, penelaahan ini

tidaklah hanya memindahkan buah pemikiran orang lain secara dogmatis tetapi,

memerlukan proses berpikir seorang peneliti agar terhindar dari unsur menjiplak.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan, maka penulis menggunakan sistematika

penulisan dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah UIN Syarif

(17)

skripsi ini akan dibagi menjadi lima bab, yakni masing-masing terdiri dari sub-sub

yang terdiri sebagai berikut:

 BAB I PENDAHULUAN

Penulisan ini dimulai bab pertama, yang menjelaskan latar belakan

masalah. Dimana didalamnya berbicara tentang konsep etika dan

kekuasaan Niccolo Machiavelli yang harus dimiliki oleh seorang raja

dalam sebuah negara republik. Dimana penilaian terhadap Niccolo

Machiavelli ini begitu jelek seakan-akan dia adalah seseoran politikus

yang mengajarkan kejelekan cara dalam berpolitik, bahkan dia di nilai

sebagai seorang old nick. Sehingga sangat disayangkan, karena hal ini sudah melekat dalam jati diri para pembaca karya Machiavelli khususnya

The Prince. Padahal bila kita ingin cermat dan menilai Machiavelli secara

objektif, maka akan didapatkan bahwa Machiavelli ini adalh seorang

republikan yang semata-mata menulis tentang etika dan kekuasaan itu

demi kesetabilan negrinya. Hal inilah yang kemudian penulis jadikan

sebagai batasan dan rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini.

Selanjutnya isi dari bab ini adalah mengenai tujuan dan manfaat penelitian,

metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

 BAB II BIOGRAFI NICCOLO MACHIAVELLI

Selanjutnya dalam bab kedua, berisi mengenai ruang lingkup kehidupan

Niccolo Machiavelli mulai dari kondisi lingkungan, latar pendidikannya,

sampai kepada keikutsertaannya dalam kancah politik. Dimana itu semua

mempengaruhi terhadap karya yang telah ditulisnya itu. Pada bab ini juga

(18)

karakter Niccolo Machiavelli dalam memandang kondisi politik di

negrinya yang korup dan sarat dengan konflik politik, sehingga

mempengaruhi kondisi fisikologis Niccolo Machiavelli yang membuatnya

berpikir untuk tetap mempertahankan kekuasaan dengan konsepnya11.

Sikap yang lahir dari Machiavelli ini sebenarnya adalah di dorong oleh

rasa cintanya terhadap negara Florence.

 BAB III DESKRIFSI ETIKA DAN KEKUASAAN

Selanjutnya pada bab ketiga, menjelaskan definisi dari etika dan

kekuasaan, serta relasi anatar konsep etika dan kekuasaan dalam sebuah

republik. Karena sebelum mendalami konsep etika dan kekuasaan

Machiavelli ini, perlulah untuk mengetahui apa itu etika dan kekuasaan.

Agar ketika beranjak untuk membahas tentang konsep etika dan kekuasaan

Niccolo ini, tidak kabur dan salah paham dalam menanggapi konsepnya.

BAB IV ETIKA DAN KEKUASAAN PERSEPEKTIF NICCOLO

MACHIAVELLI

Pada bab keempat, masuk pada bab pembahasan masalah, dimana

didalamnya penulis menjelaskan tentang konsep etika yang dikenalkan

oleh Machiavelli kepada para penguasa, khususnya penguasa Florence.

Dimana Machiavelli disini menjelaskan bahwa seorang penguasa

seharusnya memiliki dua sifat gabungan antara ditakuti dan dicintai, dan

memiliki etika yang bermartabat agar disegani rakyat. Di bab ini ditulis

bagaimana Machiavelli juga memberikan siasat agar kekuasaan bisa

dipertahankan, dan negara tetap stabil. Machiavelli mengingatkan agar itu

11

(19)

semua dilakukan jangan semata-mata untuk kepentingan pribadi, tapi itu

semua untuk kepentingan negara. Juga dijelaskan tentang sistem negara

ideal menurutnya yang dapat menopang kestabilan kekuasaan adalah

negara dengan bentuk republik.

 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Selanjutnya dalam bab ke lima adalah bab penutup, dimana dalam bab ini

penulis mencoba menyimpulkan apa yang jadi tema skripsi ini, serta tidak

lupa menambah saran, agar penulisan skripsi ini lebih bermakna

(20)

BAB II

BIOGRAFI NICCOLO MACHIAVELLI

A. Riwayat Hidup

Niccolo Machiavelli dilahirkan di Kota Florence di Italia pada 1469, pada

zaman renaissance (abad pencerahan)1. Pada masa itu Italia terbagi menjadi lima negara; kerajaan Neples di sebelah selatan, kepangeranan Milan di sebelah barat,

republik Venice di timur, Negara Paus di tengah, dan republik Florence yang

diduduki Machiavelli2. Machiavelli dibesarkan dalam keluarga bangsawan yang

termasyhur. Ayahnya Bernardo Machiavelli adalah seorang pengacara yang

terkadang menangani urusan publik di negara-kota Florence. Ayahnya membantu

Machiavelli untuk menikmati pendidikan yang terbaik pada waktu itu di Florence,

karena ayahnya menginginkan kelak Machiavelli menjadi seorang terkemuka,

sehingga pantas bila ayahnya mendidik Machiavelli untuk mempelajari ilmu-ilmu

kemanusiaan3.

Machiavelli sendiri kemudian berkembang menjadi seorang politikus

dengan ide-ide yang konkrit, praktis, dan peka terhadap prioritas-prioritas

tindakan, bahkan disebut oleh para politikus bahwa Machiavelli adalah seorang

politikus realisme. Pada usia 25 tahun, dia telah berkecimpung dengan kehidupan

politik. Machiavelli pernah menjabat kedudukan tinggi dalam bidang diplomatik,

dalam mengatur organisasi ketentaraan, serta mengurus korespondensi resmi

negaranya. Machiavelli pernah dipenjara dan dibuang karena dianggap sebagai

1

Soehino S.H., Ilmu Politik, (Jogjakarta: Liberty Yogyakarta, 1981), h.70 2

Dr. Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat; Sejarah, Filsafat, Ideologi,dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ketiga, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 105.

3

(21)

komplotan anti pemerintahan tahun 15134. Setelah dibebaskan kembali dia

memencilkan diri di sebuah tanah pertanian di luar kota. Disanalah dia

menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam bentuk tulisan, mulai dari seri tentang

politik, sampai kepada komedi salah satu karya politiknya adalah The Discourses

dan The Prince (Sang Pangeran).

Kejadian-kejadian politik semenjak dia menganyaman pendidikan sampai

ketika dia diasingkan oleh keluarga Medici sehingga meninggalkan kesan yang

mendalam pada Machiavelli. Tokoh politik ini menyaksikan runtuhnya kekuasaan

keluarga Medici yang sudah memerintah Negara Florence selama beberapa

generasi sekitar seratus tahun. Dia juga melihat runtuhnya suatu kekuasaan

Republik Florence yang tidak mendapat dukungan dari rakyat biasa, dan itu

semua menjadi pengalaman politik yang berharga baginya, sehingga dia

menuangkan kejadian itu semua dalam karya politiknya.

Dalam karya-karyanya, Machiavelli mengakui bahwa dia

menggeneralisasikan konsepnya itu berdasrkan fakta, bukan seperti

penulis-penulis pada zamanya yang lebih menekankan penulis-penulisan konsep-konsep yang

sepenuhnya berdasarkan kajian-kajian kuno warisan dari Plato dan Aristoteles.

Machiavelli menulis karyanya berdasarkan situasi dan kondisi Florence kala itu5.

Dimana dia menginginkan dari karyanya itu agar Flornce tidak menjadi daerah

jajahan negara lain dan berada dalam penindasaan dalam negrinya sendiri.

Ide-ide atau gagasannya lahir tidak semata-mata karena ambisinya untuk

menjadi seorang politisi praksis, namun gagasannya lahir karena beberapa sebab.

4

Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negri Barat, h. 67. 5

(22)

seperti kondisi lingkungan, pengaruh pendidikan, dan juga berdasarkan

pengalaman politiknya. Seperti yang dikatakan oleh pakar sosiolog Islam yaitu

Ibnu Khaldun, yang menyatakan bahwa watak politik seseorang itu dipengaruhi

juga oleh kondisi geografis, seperti cuaca, kondisi politik, dan kondisi lingkungan

sekitarnya6. Hal ini pun senada dengan apa yang terjadi pada Machiavelli dimana

watak politiknya, hingga bisa melahirkan karya sebesar The Prince, dan The Discourses. Dimana hal ini dipengaruhi beberapa sebab diantaranya:

1. Kondisi Lingkungan

Menulusuri kehidupan Machiavelli, maka pembahasannya pun tidak akan

terlepas dari kondisi Italia, dan khususnya Florence, tempat dimana tokoh ini

hidup. Kondisi kehidupan masa itu ditandai dengan adanya proses transisi

kekuasaan Paus kepada para Raja secara penuh, dalam arti Gereja tidaklah boleh

ikut campur terhadap urusan negara. Era ini sering disebut oleh sejarahwan

sebagai zaman Renaissance.

Abad Renaissance merupakan periode transisi pemikiran dan tata pemerintahan khususnya di dunia Eropa. Periode ini ditandai dengan terlepasnya

segala unsur pemerintahan dari kungkungan Gereja (zaman sebelum

Renaisasance juga sering disebut the Dark Age jaman kelamnya negeri Eropa)7 periode ini juga sering disebut Reformasi di Eropa. Selain itu hal ini juga memberi

manfaat pada dunia barat karena selama ini, barat didominasi oleh doktrin Gereja.

Maka lahirlah paham kebebasan dan kemauan untuk maju. Era Renaissance ini terindikasi dari manusia-manusianya kala itu yang sudah berpikir mengunakan

6

Ibnu Khaldun. Muqaddimah Ibnu Khaldun, h. 160. 7

(23)

akal sehatnya tanpa ada pengaruh dari pihak agama, yaitu Kristen, dan terlepasnya

mereka dari paham Skolastik.

Selama masa Renaissance inilah hidup seorang Machiavelli. Ketika era itu sedang mengalami titik klimaksnya, kebebasan dan reformasi dari sistem

kepausaan menjadi sistem republik Italia, disamping itu terjadi perebutan

hegemoni kekuasaan antara Gereja dan para Raja. Para politikus dan filosup

waktu itu terlibat untuk memikirkan bagaimana menstabilkan kondisi Italia dan

negara-negara kota didalamnya, dan konsep ideal apa yang harus diterapkan

dalam negaranya, termasuk Florence.

Namun hal yang sangat disayangkan masa itu adalah pemikiran Niccolo

Machiavelli dianggap tidak didasarkan pada asas moral, bahkan tidak ada

nilai-nilai etika didalam pemikirannya. Karena pada waktu itu, pemikiran akan etika

hanya dikaitkan dengan perilaku manusia tentang hal-hal yang normatif. Padahal

secara real pada masa itu, Eropa terfokus pada kemajuan negara yang jauh dari dogmatisme terhadap agama, karena para pemikir dan sarjana kala itu merasa

lelah akan konsep etika dan moral yang diajarkan oleh Gereja (relativisme etika)

terhadap para raja, yang pada akhirnya menjatuhkan negara dan memasukannya

pada kondisi yang buruk. Sehingga menimbulkan ketidakpedulian mereka

terhadap etika. Kondisi politik saat itu dipenuhi oleh penghianatan, kecurigaan,

nafsu untuk berkuasa, dan sisat-siasat licik pun silih berganti bermunculan demi

mendapatkan tampuk kekuasaan8. Menurut Machiavelli, negara tidak boleh

dipikirkan dalam kaca mata etis, tetapi dengan kaca mata medis. Pada saat itu,

Italia sedang menderita dan menyedihkan, sedangkan Florentine dalam bahaya

8

(24)

besar. Rakyat yang berkhianat harus diamputasi sebelum menginfeksi seluruh

negara (seditious people should be amputated before they infect the whole state). Machiavelli melihat politik seperti kondisi medan perang yang harus ditaklukkan9.

Maka bisa dimengeri bila saat itu Italia terbagi-bagi dalam negara-negara kecil,

berbeda dengan negeri yang bersatu seperti Perancis, Spanyol atau Inggris10.

Machiavelli merupakan salah satu tokoh yang ikut andil didalamnya, dia

menginginkan negaranya menjadi negara yang kuat, tanpa ada jajahan dari negara

lain. Dan menurutnya, kekuatan ini bisa dibangun dengan memisahkan antara

kehidupan gereja dan kehidupan politik. Selain itu tokoh ini pun menganjurkan

agar tentara yang dibangun di Florence jangan mengandalkan tentara bayaran,

tentara bayaran mudah berhianat, haus akan kekuasaan, tidak memiliki

tanggungjawab, tidak memiliki rasa takut kepada Allah, dan tidak memiliki rasa

loyalitas terhdap negara. Pemikiran ini dituangkan dalam sebuah tulisan, bahwa

Machiavelli memandang dari kejadian Vitelli. Vitelli yaitu seorang komandan

tentara yang dibayar Florence untuk menyerang Piza, namun yang terjadi adalah

para tentara itu berhianat, karena negara Piza mampu membayar lebih besar. Dan

ini merupakan hal yang memalukan bagi republik Florence. Maka Machiavelli

berasumsi bahwa sebuah negara harus mampu membuat tentara yang direkrut dari

kalangan warga negaranya11.

Masa Machiavelli muda, Florence diperintah oleh penguasa Medici yang

masyhur, Lorenzo yang terpuji. Tetapi Lorenzo meninggal dunia tahun 1492.

9

Senelson Jhon, “Etika Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 5 Januari 2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiran-niccolo-machiavelli.

10

Charles Ricahrdodi, “Alam Pikiran Machiavelli, artikel diakases pada15 oktober 2009 dari http://politiksaman.com/2009/02/15.

11

(25)

Beberapa tahun kemudian penguasa Medici diusir dari Florence, Florence menjadi

republik (Republik Florentine) di bawah Soderini pada tahun 1498 sampai 1512.

Tahun 1512, Republik Florentine digulingkan, dan penguasa Medici kembali

pegang tampuk kekuasaan, Machiavelli dicopot dari posisinya, dan di tahun

berikutnya dia ditahan atas tuduhan terlibat dalam komplotan melawan penguasa

Medici. Dia disiksa tetapi tetap bertahan menyatakan tidak bersalah dan akhirnya

dibebaskan pada tahun itu juga. Sesudah itu dia pensiun dan berdiam di sebuah

perkebunan kecil di San Casciano tidak jauh dari Florence. Dari penagsingan ini

lah Machiavelli menuangkan pemikiran politiknya dalam beberapa karya yang

diantaranya adalah The Discourses dan The Prince.

Dalam kondisi yang sulit dimana Florence mengalami krisis politik yang

berupa konflik internal antara berbagai negara kota. Para penguasanya bersaing

untuk mengontrol negara. Dan di lain sisipun Italia mengalami situasi yang lebih

berat dimana Italia menjadi rebutan antara Prancis, Jerman, dan Spanyol yang

berusaha menghegemoni Italia, sehingga demi meraih perlindungan dari

negara-negara besar. Sehingga negar-negara-negara kota Italia biasanya bersekutu dengan salah

satu negara besar tadi yang pada akhirnya terjadi perpecahan dan peperangan

didalamnya12. seperti inilah Machiavelli melahirkan konsep-konsepnya tentang

etika dan kekuasaan, sehingga keadaan seperti ini menjadi pola pikir, serta

mempengaruhi tindak-tanduk, dan strategi politiknya. Dengan posisi Machiavelli

itu maka pantas bila dia menulis karyanya The Prince dan The discaurses. Dengan demikian, pada dasarnya abad Renaissance ini mendorong orang mengelabui atau menipu orang lain. Dalam hubungan dengan penguasa seperti yang digambarkan

12

(26)

Machiavelli dalam The Prince, agar penguasa mengelabui rakyat, yang pada akhirnya juga untuk kepentingngan kesejahtraan rakyat dan kemakmuran negara

itu sendiri13, karena pada akhirnya rakyat hanya akan peduli dengan hasil akhir

yaitu kesejahtraan, sedangkan sedikit kekerasan yang dilakukan oleh raja akan

terlupa.

2. Pendidikan

Tidak begitu banyak literature yang membicarakan riwayat pendidikan

Machiavelli. Hal ini dikarenakan lebih banyak orang yang memfokuskan pada

karya-karyanya. Namun dalam beberapa buku dituliskan bahwa Niccolo

Machiavelli mengikuti pendidikan yang diarahkan oleh ayahnya, karena ayahnya

menginginkan Machiavelli menjadi seorang terkemuka. Bisa disebut batu pertama

yang ditanamkan dalam pendidikan Machiavelli adalah dari ayahnya sendiri.

Karena ayahnya, Bernardo Machiavelli adalah seorang pengagum karya-karya

klasik Yunani dan Romawi seperti karya Cicero “Phillipus dan On Moral Obligation, dan The Making Of an Orator”, serta karya Livius yaitu “History”

dimana hasil didikan ayahnya ini menjadi peletak batu pertama pemikiran

politiknya14. Meskipun di lain sisi diriwayatkan bahwa ibunya menginginkan

Machiavelli menjadi seorang rohaniawan.

Selain itu Machiavelli pun menganyam pendidikan formal, dimana

pengaruh pertama yang mempengaruhi pola pikirnya adalah pendidikan liberal

yang biasanya diberikan kepada angota kelasnya15. Dalam salah satu tulisan

13

Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, h. 89. 14

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 126.

15

(27)

ayahnya, dalam usia empat belas tahun Machiavelli yang dibwah asuhan Paulo,

mampu membuat sebuah karya humnis dengan gaya penulisan klasik16.

Dalam usia mudanya dia telah mempelajari bahasa Latin, dan ilmu-ilmu

tentang humaniora melalui seorang guru yang bernama Paulo Ronsiglione dengan

pemikiran dan kajian tentang humanisme17. Pada fase berikutnya Machiavelli

melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi Universitas Florence.

3. Karir dalam Kancah Politik

Karir politik Machiavelli tergolong cepat. Dia merupakan orang yang

memiliki jabatan tinggi di usia mudanya. Hal ini terbukti dengan kepercayaan

yang diberikan oleh penguasa Republik Florence di masa Machiavelli muda.

Dalam usia 25 tahun, Machiavelli pernah dipercaya dalam salah satu jabatan

publik karena kemampuannya menarik perhatian Gorfalonier Piero Soderini

sebelum dia diangkat menjadi penguasa dalam Republik Florence. Ketika tampuk

kepemimpinan Republik Florence yang di pegang oleh Gorfalonier Piero Soderini

pada 1498 sampai 1512, Machiavelli dianggap menjadi orang kepercayaan

Soderini, sampai-sampai para musuh Soderini menyebut dia “kacung Soderini”18.

Dan tahun 1498, Machiavelli yang berumur dua puluh sembilan tahun

memperoleh kedudukan tinggi di pemerintahan sipil Florence. Niccolo

Machiavelli pun masuk dalam kelompok kaselir yang terdiri atas majelis sepuluh,

yaitu sebuah lembaga penting republik Florence, dimana badan ini memiliki

sejumlah kekuasaan diplomasi, masalah peperangan, dan lain-lain. Dan tokoh ini

16

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat, dan Kekuasaan, h. 127.

17

Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat, h. 107. 18

(28)

sering terlibat dalam pelbagai missi diplomatik atas namanya, melakukan

perjalanan ke Perancis dan Jerman. Di Florence, dia meraih kesuksesan di mata

penguasa. Termasuk ketika berhasil merebut Pisa dan mengembalikannya ke

dalam kekuasaan Republik Firenze tahun 1508. Bahkan sebagian sejarawan ada

yang menatakan bahwa Machiavelli pernah menjadi sekertaris di republik

Florence19. Nicolo Machiavelli menjabat sebagai aparatus negara republik

Forence selama empat belas tahun.

Pada waktu menjadi sekretaris dan diplomat pada Republik Florentine,

Machiavelli mendapatkan pengalaman dengan seringnya pergi ke negara-negara

lain menemui para penguasa dan tokoh pentingnya, seperti kepada Paus, kaisar

dari Jerman dan Raja Perancis, yang mana Machiavelli pernah memberikan

stetmen bahwa di lingkungan inti pemerintahan Perancis yang menurut

pandangannya adalah model konstitusional minimal (the “secure” polity).

Machiavelli melihat kerajaan Perancis dan Rajanya memiliki dedikasi terhadap

hukum. Dia menyatakan bahwa kerajaan Perancis merupakan kerajaan yang pada

saat itu paling baik pengaturan hukumnya. Raja Perancis dan para bangsawan

dikontrol oleh aturan hukum yang dilaksanakan oleh otoritas independen dari

parlemen. Oleh karena itu, kesempatan adanya tindakan tirani yang tak terkendali

dapat dieliminasi20.

Dengan jatuhnya pemerintahan republik Florence di bawah Soderini oleh

keluarga Medici di bawah Lorenzo II, Machiavelli pun ikut diberhentikan dari

jabatan publiknya. Meskipun sebelumnya Machiavelli berusaha untuk tetap

19

Kasman Singodimejo dan Mohamad Saleh, Machiavelli, (Jakarta: Permata Jakarta, 1973), h. 7.

20

(29)

bertahan, dengan meyakinkan keluarga Medici dengan pengalamannya sebagai

aparatus negara yang gemilang. Karena Machiavelli sendiri tidak memiliki sifat

penjilat ulung atau menurut ahli sejarah Dr. J.F. Oten Machiavelli ini disebut juga

doortrapte vleier21 .

Akhir dari jabatan Machiavelli sendiri tergolong buruk, karena sesudah dia

dipenjarakan, dia dituduh sebagai komplotan yang mencoba menggulingkan

pemerintah. Namun dia tetap tidak mengakui akan hal itu, dan juga dia tidak

terbukti, maka tokoh politik dan penulis ini akhirnya dibebaskan, tetapi

pembebasannya ini berupa pengasingan terhadapnya ke wilayah terpencil daerah

pertanian di San Casciano.

C. Karya Tulis

Niccolo Machiavelli adalah seorang politikus ulung, lihai, dengan

pandangan politik yang tajam. Tetapi karena kejatuhannya dari politik praktis

maka, dia menuangkan dan merealisasikan konsep dan keintelektuallannya dari

hasil pengalaman diplomasi, dan studi komparasinya di luar negri selama empat

belas tahun yaitu dalam bentuk tulisan. Ataupun kalau menurut Ahmad Suhelmi,

Machiavelli ketika menghadapi masa pengasingannya itu dia merasa memasuki

arena purbakala dengan mencoba berdialog dengan para philosuf dan politikus

pendahulunya dengan menanyakan kenapa strategi politik mereka seperti itu,

dengan menyerap dan menggeneralisasikannya sehingga terealisasikannya

beberapa tulisan darinya22, dimana tujuan penulisan literaturnya ini memiliki dua

tujuan.

21

J.F. Otten, Konsep Machiavelli, (Jakarta: Rajawali Press, 1963), h. 6. 22

(30)

Pertama, tokoh ini menginginkan dari tulisannya itu agar pemerintahan

Medici bisa mengelola negara dengan baik jauh dari korupsi, penindasaan

terhadap rakyat. Seorang Raja harus mementingkan kehidupan negaranya

dibandingkan individu dan keluarganya (nasionalis). Kedua, terlepas dari itu

Machiavelli pun adalah seorang manusia biasa yang menginginkan sebuah

kehormatan, dan jabatan. Sehingga penulisannya pun tak terlepas, bahwa dia

menginginkan kembali jabatan publik di era pemerintahan Medici.

Tetapi selain itu dia juga menulis karya-karya lain baik berupa komedi,

strategi perang, sejarah Florence dan karya-karya lain sampai tokoh ini akhirnya

meninggal dalam keadaan dikelilingi oleh literatur-literatur hasil karyanya di

pengasingan.

Kontribusi Niccolo Machiavelli dalam pemikiran politik sangatlah penting

dan berharga. Bahkan tokoh ini disebut-sebut sebagai bapa politik moderen yang

mengeluarkan kungkungan area politik dari wilayah kepausan Gereja. Khususnya

buku yang dia beri judul The Prince dan The Discourses atau bisa disebut sebagai buku pedoman bernegara khususnya Florence. Tetapi jauh dari pemikiran

Machiavelli, justru literaturnya diacuhkan oleh penguasa masa itu, dan juga

dilarang penerbitannya oleh Gereja pada berikutnya, justru mendapat sambutan

hangat di era moderen. Maka amatlah penting untuk mengetahui apa substansi dan

relevansi dari The Prince dan The Discourses itu? 1. The Prince

The Prince yang terdiri dari 26 bab yang berisi beberapa pembahasan tentang macam-macam pemerintahan, ketentaraan, posisi agama dalam negara,

(31)

mempertahankan dan melindungi kekuasaan, dan tatacara memilih aparatus

Negara23.

The Prince adalah sebuah literatur pembuka keran liberalisasi politik yang bebas dari kungkungan Gereja, yang isinya menyangkut bagaimana

memprtahankan, merebut, dan memperluas kekuasaan. Di mana asumsi-asumsi

yang lahir dari padanya adalah aktualisasi dari hasil riset pengalamannya selama

empat belas tahun dengan memformulasikannya dengan situasi dan kondisi Italia

yang hancur kala itu. Sehingga isi dari The Prince ini menggeneralisasikan metode politik yang lihai, cerdik, penuh dengan strategi untuk mempertahankan

kekuasaan demi stabilitas Negara yang sedang mengalami titik rendah kehancurn,

yang penuh dengan penindasaan, kekuasaan Gereja yang ingin menghegemoni

Negara, korupsi yang merajalela. Sehingga tak heran bila isi dari The Prince yang sampai saat ini masih menjadi pembicaraan hangat, karena memang isi dari

argumentasi Machiavelli ini ibarat penawar yang ditawarkannya bagi Italia

khususnya, dan umumnya dipakai juga oleh para pemimpin dunia.

Karya ini bisa disebut sebagai karya paling fenomenal yang ditulis oleh

seorang Machiavelli, menjadi sorotan, serta pertentangan para sejarahwan, kaum

intelektual, para politikus, dan akademisi. Dimana dari isi literatur ini

menggambarkan konsep realitas politik demi mempertahankan kekuasaan yang

ditelitinya secara komparatif anatara kondisi politik dulu dengan masa Italia yang

terpecah belah menjadi Negara kota waktu itu. Tidak sedikit orang yang membela

isi dari The Prince dan juga ada yang menyalahkannya, sampai-sampai disebutnya tokoh ini sebagai bapak kejahatan politik. Namun yang paling penting isi dari The

23

(32)

Prince ini Tidak seperti apa yang ditulis oleh para pemikikir sebelumnya, atau pemikir yang sejamanan dengan Machiavelli, yang hanya menyandarkan idenya

secara dogmatisme berdasarkan penulisaan klasik yunani dan Romawi, tanpa

dikritisi dan ditafsirkan secara menyeluruh. Shingga bisa disebut para pemikir

yang sejaman dengan tokoh ini hanya melihat karya-karya klasik secara tekstual24.

Sedangkan penulis The Prince ini melihat Italia dan sejarah terdahulu adalah dengan metode komparatif kritis. Karena didalamnya menjelaskan

berbagai sejarah pemerintahan yang dilakukan oleh raja-raja dengan

membandingkan antara Raja yang memperoleh kemenangan, dengan Raja yang

mengalami kekalahan seperti yang diceritakan Machiavelli tentang kisah Duke of

Ferrara yang mampu bertahan dari serangan kaum Venesia25. Karena menurut

Machiavelli sendiri sejarah sebuah negara amat berguna untuk pelajaran bagi

seorang penguasa, untuk menjadi bahan komparatif seorang penguasa. agar dalam

memainkan perananannya dia harus mampu mengontrol Negara dengan baik,

meski harus berbuat yang amoral atau bersifat kikir, atau harus siap setiap saat

dengan menyelipkan senjata di dekatnya. Karena itu semua dilakukan hanyalah

demi keutuhan Negara.

Dalam menguasai Negara, si penguasa harus mengendalikan dalam

melakukan kekejaman dengan tidak melakukannya tiap hari dan siapapun

penguasa yang bergerak aktif dalam Negara atau diluar Negara harus siap dengan

24

Henry J. Schmandt, Filsafat Politik Barat: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Moderen, h. 250-251.

25

(33)

pisau ditangan, karena kita tidak tahu hal yang merugikan apa yang bakal

menimpa seorang raja dalam tindakan politiknya26.

Dari karyanya itu Machiavelli mengnginkan Florence menjadi Negara

yang kuat, sejahtra, dan aman dari penjajahan negara lain. Dan itu semua menurut

Machiavelli bisa di dapat dengan cara bagaimana seorang penguasa dalam

bersikap terhadap negaranya. Hal ini mengindikasikan bahwa The Prince telah memberikan gambaran kepada para raja dalam sebuah Negara, sehingga dikenal

bahwa raja itu haruslah memiliki dua sifat seperti rubah dan seperti singa. karena

Rubah pandai bisa menghindar dari jebakan, dan singa memiliki kekuatan untuk

melawan, bahkan ditakuti. Statmen ini bukan berarti Machiavelli

menganugrahkan buku kejahatan bagi seorang pangeran, tetapi maksud dari

karyanya ini adalah demi kepentingan stabilitas negaranya.

Seperti apa yang dia nyatakan dalam bukunya The Prince:

“Saya tahu setiap orang akan mengakui seorang penguasa patut dipuji bila memiliki semua kualitas yang baik. Namun semua itu tidak bisa dimiliki atau dijalankan karena kondisi manusia tidak memungkinkannya. Perlu bahwa manusia harus cukup bijak untuk menghindari sifat-sifat buruk yang bisa membuatnya kehilangan Negara. Namun bila tidak mampu, sang pangeran bisa mengikuti dengan sedikit keberatan. Dan dia tidak boleh keberatan melakukan sifat-sifat buruk itu, tanpa hal-hal yang akan sulit untuk menyelamatkan negara. Karena bila orang menganggap baik, akan ditemukan beberapa hal yang tampaknya baik, bila diikuti akan menuju pada keruntuhan seseorang. Sebaliknya hal-hal yang tampak buruk bisa memberikan keamanan dan kesejahtraan lebih besar27”.

Pemikiran etika dan kekuasaan yang sulit dipisahkan. Machiavelli

menekankan bahwa risetnya ini murni bertujuan menciptakan kestabilan

kekuasaan yang dimana etika hanyalah alat untuk mempertahankannya karena

maksud dari semuanya adalah memberlakukan peraturan yang perlu diandalakan

26

Machiavelli, The Prince, h. 77. 27

(34)

oleh penguasa secara penuh, agar negara Italia bisa bersatu, dan tidak berpecah

belah. Pemisahan antara wilayah etika dan kekuasaan yang dilakukan Machiavelli

dalam karyanya ini, karena dorongan situasi Italia waktu itu yang berada dalam

posisi krisis, serta perpecahan yang melanda negara itu, dengan kondisi itu

Machiavelli ingin membebaskan Italia, dan mempersatukannya kembali. Dan ini

semua bisa didapatkan dengan cara mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan

oleh sang pangeran demi memajukan kepentingan negara dan rakyat. Metode

pertahanan kekuasaan yang dikenalkan Machiavelli ini masihlah relevan dengan

konteks politik kekuasaan yang dihadapi saat ini. Karyanya ini menempatkan dia

sebagai tokoh pakar politik kekuasaan atau disebut Max Lerner sebagai bapak

politik kekuasaan28.

Terlihat dari sekumpulan konsep yang ada didalamnya tokoh ini

memberikan agar para pembacanya sekumpulan prinsip atau kaidah nyata bahwa

seorang penguasa bila menginginkan keberhasilan dalam memenej negaranya

maka dia arus mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi, sehingga tidak

salah dalam bertindak, meskipun dengan berprilaku yang agak bejat asalkan yang

perlu digaris bawahi jangan sampai merebut hak kebanyakan rakyat, karena itu

bakal menjadikan rakyat tidak mendukungnya, karena rakyatlah yang akan selalu

mendukungnya asalakan jangan pernah menyakiti dan menindas rakyat, atau

harus diusahakan agar rakyat ini dijadiknnya sebagai teman29.

Tidak berhenti sampai disitu, selain strategi mempertahankan kekuasan,

merebut kekuasaan, atau menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan, buku

28

Max Lerner, Pendahuluan, dalam The Prince dan The Discourses, (New York: Moderen Library, 1950), h. 33.

29

(35)

The Prince ini juga dikenal sebagai buku paling kontroversial, The Prince adalah sebuah buku yang populer dan berpengaruh. Buku ini masuk ke dalam daftar

Books that Changed the World, yang dirumuskan oleh Robert Downs, bersama-sama Wealth of Nations (Adam Smith), Essay on the Principle of Population

(Thomas Malthus), Das Kapital (Karl Marx), Mein Kampf (Adolf Hitler),

Principia Mathematica (Sir Issac Newton), Origin of Species (Charles Darwin), dan buku-buku hebat lainnya30.

2. The Discourses

Karya ini disebut sebagai sinar bagi para pembaca The Prince, karena dengan membacanya, pembaca The Prince tidak hanya mengtahui bahwa Machiavelli adalah seorang par excellence. Tetapi The Discaurses merupakan jawaban bahwa Machiavelli adalah seorang republikan, yang menginginkan

sebuah tatanan negara republik bagi kebaikan warga negaranya, sebagai demokrat

besar, dan sebagai pemikir yang memberi sumbangsih besar pada kebebasan

politik dari belenggu Gereja31. Dimana rakyat dan penguasanya saling

bekerjasama, sehingga terciptalah negara yang beretika.

Karya ini menggeneralisasikan tentang ungkapan Machiavelli yang dia

ketahui tentang sejarah politik khususnya tentang berdirinya sebuah republik dan

juga hasil pengalamannya yang telah dia pelajari dalam waktu yang lama. Karya

ini terbagi menjadi tiga buku; Buku Kesatu terdiri dari enam puluh bab berisi

tentang analisis urusan-urusan dalam negeri bangsa Romawi; Buku Kedua berisi

tiga puluh tiga bab berbicara tentang urusan-urusan militer dan luar negeri; Buku

30

Bruce Warner, “Pemikiran Politik Niccolo Machiavelli,” artikel diakses pada 2 Januari 2011 dari http://macheda.blog.uns.ac.id/2009/09/27/pemikiran-niccolo-machiavelli.

31

(36)

Ketiga berisi empat puluh sembilan bab menjelaskan tentang sumbangan bagi

kebesaran Romawi yang diberikan oleh tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

sejumlah warga negaranya yang terkemuka.

Judul asli karya ini adalah Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio, judul ini sesuai dengan bahasa asli Machiavelli sendiri yaitu Italia atau dalam

bahasa Inggris dikenal sebagai The Discourses on Livy, diskursus yang berarti Sebagai seorang penasehat rezime pemerintahan republik yang saat itu tengah

menghadapi berbagai ancaman politik, Machiavelli memberikan nasehat-nasehat

realistik terhadap pemimpin untuk mempertahankan kekuasaan ditengah

gempuran dan ancaman intrik-politik. Nasehat-nasehat inilah yang banyak

tertuang dalam risalahnya The Prince kemudian diinterpretasikan sebagai akar pemikiran mazhab realis32. Sedangkan karya diskursusnya ini menampilkan wajah

yang berbeda dengan The Prince dalam konteks pandangannya untuk menjaga spirit dari pemerintahan republik, mendorong gairah patriotisme dari warga

negara untuk mencintai dan membela tatanan politik Republik Roma yang

tertuang dalam karyanya The Discourses on Livy yang menempatkannya sebagai filsuf besar pendiri mazhab pemikiran Civic Republicanism.

Dalam bukunya ini, justru Machiavelli terlihat sebagai seorang pemikir

politik yang mencita-citakan negara ideal yang penuh dengan kearifan,

kedamaian, dan kesejahtraan. Sehingga tokoh ini secara jelas menempatkan posisi

rakyat dalam perpolitikan negara yang dia sebut Republik, Machiavelli

menguraikan bahwa partisipasi warga dalam arena politik untuk menentukan yang

baik dalam kehidupan bersama adalah aktivitas termulia dari setiap warganegara.

32

(37)

Dalam irama argumentatif yang positif, Machiavelli menuangkan argumentasinya,

bahwa tujuan dari tatanan politik republik adalah menghadirkan keadaban publik,

sehingga disinilah pemerintahan oleh rakyat lebih luhur daripada pemerintahan

monarkhi yang dipimpin oleh seorang raja. Selanjutnya dengan paparan negatif, ia

menegaskan bahwa keruntuhan kehidupan republik bermula ketika setiap

warganegara mulai meninggalkan dan mencibir kearifan (dalam pandangan politik

Machiavelli, kearifan merupakan sentral dari pemikiran politiknya) yang telah

menjadi tradisi dari para pendiri republik.

Oleh karena itu, maka pantaslah jika substansi dari The Discourses

memposisikan kehidupan publik di Negara Republik memang menempati

wilayah yang utama bagi Machiavelli, tidak saja dalam pikirannya bahkan dalam

spiritualitasnya. Dalam karyanya ini, Machiavelli mengkritik berbagai

bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang hanya mengejar asketisme penyelamatan diri.

Menurutnya spiritualistik seperti ini akan membawa individu pada karakter

egoistik yang tersamar dalam bentuk pemujaan kepada yang transendental. Bagi

Machiavelli, keutamaan pandangan keagamaan justru terletak pada ekspresi

kegairahan untuk menjaga keadaban diwilayah publik, kearifan warganegara

untuk hadir dalam wilayah politik. Dalam arti pentingnya posisi agama adalah

eksistensi fondasinya, dimana agama yang dipercaya oleh masyarakat dapat

menjadikan mereka beretika yang merupakan respon dari titah Ilahi dan para

Nabi33.

Karena sangat pentingnya etika dalam sebuah tatanan republik dalam

pandangan Machiavelli, sehingga ketika virtu (kearifan) telah ditinggalkan dan

33

(38)

dianggap sebagai tradisi zaman lampau oleh warganegara, maka karakter yang

bersemai dalam tatanan republik diambang keruntuhan. Watak apakah yang

menjadi virus yang menyebar diantara warganegara pada senjakala republik.

Menjawab pertanyaan ini, Machiavelli memberikan tekanan pada karakter

koruptif yang menyebar baik dalam tindakan para elite pemimpin maupun

warganegara, setelah kearifan publik meredup sebagai pintu pembuka bagi

kehancuran republik34. Machiavelli memiliki pandangan menarik tentang korupsi

yang menarik untuk diulas, tokoh ini mengartikan korupsi dalam perspektif yang

luas sebagai tindakan apapun yang menempatkan kepentingan personal diatas

kepentingan publik. Perspektif Machiavelli tentang korupsi ini lebih luas dan

lebih radikal daripada pengertian modern tentang korupsi sebagai penyalahgunaan

kekuasaan atau menggunakan uang negara untuk kepentingan sendiri maupun

kepentingan orang lain.

34

(39)

BAB III

DESKRIPSI ETIKA DAN KEKUASAAN

A. Asal-usul Etika

Kajian etika memang sudah dibahas sejak zaman Yunani Kuno, yang di

mulai Aristoteles. Akan tetapi meskipun sudah dibahas, masalah etika ini masih

menjadi pertentangan. Karena istilah etika yang dikemukakan oleh para ahli

filsafat masih dalam tataran mengenai prinsip-prinsip moral dasar. Sehingga

Moore menyebutnya sebagai fallacy (kekeliruan)1.

Etika dan kekuasaan memang berasal dari kata yang berbeda. Dan kata ini

memiliki disiplin ilmu tersendiri. Namun krisis yang telah melanda dunia saat ini

salah satunya adalah tidak diindahkannya masalah etika di dalam segala urusan,

khususnya urusan kekuasaan. Problem Etika dan Kekuasaan sangat sensitif karena

dua unsur ini selalu melengkapi satu dengan yang lainnya. Banyak literature yang

menuliskan tentang etika, baik itu berupa etika politik, pilsafat etika, etika bisnis,

ataupun relativisme etika, bahkan tentang etika pemerintahan atau juga etika

kekuasaan.

Dengan mengglobalnya masalah etika, bukan berarti menambah kapasitas

manusia-manusia yang menjunjung tinggi etika. Justru masalah etika di dunia saat

ini semakin kompleks. Hal ini dikarenakan istilah etika sendiri kadang hanya

dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan, ini terlihat dari berbagai tindak-

tanduk para elit politik dalam merealisasikan politik praksisnya.

Etika dan kekuasaan sudah menjadi dua istilah identik dalam tatanan

kehidupan bernegara. Dimana etika menjadi salah satu mata pengontrol dalam

1

(40)

merealisasikan kekuasaan. Namun cara pandang etika inilah yang justru banyak

perbedaan para philosuf dalam memberikan definisi istilah etika. Karena, etika

seringkali menjadi baik di sebuah komunitas, atau Negara, tetapi belum tentu

Negara lain menganggap baik hal tersebut2. Etika pun sering diartikan sebagai tata

kesopanan yang timbul dalam hati nurani manusia yang melahirkan prilaku baik

atau buruk dalam jati diri seseorang termasuk penguasa, yang sering juga disebut

peraturan hidup yang timbul karena ingin menyenangkan orang lain, pihak luar,

dalam bernegara3.

Masalah etika ini termasuk pada masalah relatif yang masuk pada ranah

normatif, dimana etika itu dipandang dari berbagai sudut yang kesemua sudut itu

memiliki argument tersendiri4. Menurut George Edward Moore bahwa teori etika

itu dipaparkan oleh masing-masing para ahli mulai dari Aristoteles sampai pada

David Hume hanya bersifat menerapkan kata etika yang disesuaikan dengan sifat

atauciri tertentu. Sehingga moore menyatakan hal itu dengan disebut fallacy

(kekeliruan)5. Jadi apabila etika ini disandingkan dengan kekuasaan maka dapat

dipastikan bahwa Moore melihatnya dari segi bagaimana sang penguasa itu

melakukan tindakan etika dalam arti kebaikan primer (simple)6

Cara pandang para pemikir pun berbeda dalam mengartikulasikan antara

etika dan kekuasaan, karena ada pihak yang berargumen bahwa dalam

pemerintahan sebuah Negara, etika yang dimaksud adalah kesopanan, kejujuran,

atau prilaku baik yang dituntut dalam berkuasa, teori ini senada dengan apa yang

2

K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 12. 3

Prof. Drs. Widjaja, Etika Pemerintahan: Edisi Kedua, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. viii.

4

Mohammad Ali, Relativisme Etika, (Bandung: Serambi, 2005), h. 33. 5

Franz Magnis Suseno, Dua Belas tokoh Etika Abad ke-20, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006), h. 17.

6

(41)

di tulis oleh Aristoteles, Plato, dan pemikir-pemikir Yunani lain. Dimana kala itu

mereka memandang Negara kota (city state) sedang dalam keadaan stabil. Pemikir lainnya juga ada yang berpikir bahwa etika dalam sebuah Negara sudah di atur

oleh Tuhan yang diwahyukan lewat kitab-Nya kepada ummatnya, ini bisa dilihat

dari etika Negara yang di pegang oleh Paus , sperti yang ditulis Agustinus dalam

literaturnya “decivitate Dei”, yang diterjemahkan “The City of God”7.

Menurut Machiavelli, kekuasaan dan moralitas merupakan dua imu yang

terpisah8, namun selalu identik dalam hal praksis politik. Karena tokoh ini

menganggap etika sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan kekuasaan.

Asumsi etika dipandang sebagai entitas yang berdiri sendiri. etika merupakan

bagian dari strategi kekuasaan, yang tidak selamanya terkait dengan persoalan

baik dan buruk namun bersifat realistik dan obyektif serta tidak universal, ia bisa

saja berubah-ubah setiap waktu tergantung pada kondisi masyarakat9. Penguasa

yang berlaku baik kepada rakyat dalam membangun tatanan sosial dan politik

yang baru terbentuk, dianggap sebagai bagian dari strategi kekuasaan. Tujuannya

adalah agar legitimasi kekuasaan bisa tercapai.

Sementara pemikiran lain, seperti Russell dan Kant memposisikan etika

sebagai landasan berpikir penguasa dalam menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

berarti bahwa hubungan etika dan kekuasaan tidak sekadar hubungan strategi,

namun kewajiban yang sudah semestinya dilakukan oleh penguasa. Ajaran moral

tidak harus mengarah pada asumsi teologis tertentu, namun bersifat universal,

yakni kemanusiaan.

7

Mushadi Mundiri, dkk., Membangun Negara Bermoral, (Semarang: Pustaka Rizki Putra Semarang , 2004), h. 1.

8

Machiavelli, The Prince, h. 18. 9

(42)

Konsep kekuasaan dan etika senantiasa mengemuka dalam kajian filsafat

politik, sehingga kekuasaan tetap memiliki kaitan dengan ketinggian budi pekerti

manusia10. Di satu sisi kekuasaan memiliki nilai ideal sebagai sarana perwujudan

aspirasi rakyat. Namun di sisi lain, kekuasaan identik dengan praktek politik

penguasa yang melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan.

Kekuaasaan terlibat dalam perdebatan nilai dan praktek. Nilai ideal terkait dengan

tuntutan etika yang seharusnya dimiliki oleh penguasa. Sementara pada

prakteknya, kekuasaan menghadirkan fenomena yang sulit dan kompleks, riil dan

bergerak dalam kebutuhan pribadi sang penguasa sendiri.

Pemikiran Niccolo Machiavelli identik dengan kondisi tersebut. Situasi

sosial dan politik yang belum stabil menuntut penguasa untuk melakukan berbagai

upaya untuk melanggengkan kekuasaan, karena pada waktu itu Florence sedang

berada dalam ancaman kehancurannya11. Pilihannya adalah kekuasaan tanpa

stabilitas hanya menyisakan suasana tidak menentu bagi negara. Akibatnya

program program penguasa sulit berjalan, sementara kekuasaan harus

mengakomodasikan berbagai perbedaan kepentingan dalam masyarakat.

Menurut tokoh ini nilai etika yang paling tinggi adalah Negara yang bijak

yang disebut olehnya dengan nama virtu, stabil, dan tindakan yang dilakukan

penguasa adalah untuk melindungi Negara, sehingga dia membenarkan tindakan

kejam seorang penguasa. Namun yang terpenting adalah sang penguasa berusaha

agar tidak dibenci12.

10

A. Rahman Zinuddin, Kekuasaan dan Negara, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 139.

11

Machiavelli, The Prince, h. 167. 12

(43)

Tentang kualitas-kualitas lain sebelum diangkat, saya katakan, setiap

penguasa harus bisa dianggap penuh belas kasih dan tidak kejam. Namun ia tidak

boleh menyalahgunakan rasa belas kasih itu. Cesar Borgia dianggap bengis,

namun kebengisannya membawa ketertiban bagi Romagna, menyatukannya dan

membawanya kedalam perdamaian13.

Maka dari itu untuk memahami substansi dan relevansi antara etika dan

kekuasaan ini diperlukan usaha mendalam, agar dalam menilai para tokoh filsafat

politik itu tidak terjebak pada sisi negatifnya, karena mereka pun memiliki

argumen yang kuat sehingga memaksa mereka untuk mengkolaburasikan definisi

istilah etika dan kekuasaan khususnya dalam ranah politik demi cita-cita

kesejahtraan dan kesetabilan Negara .

1. Definisi Etika

Kata ini berasal dari Yunani asalnya ethos, secara etimologis artinya tempat tinggal, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir.

Secara jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dan kata ini lah yang menjadi titik dasar lahirnya nama etika yang disebut oleh Aristoteles. Definisi etika pun sering

disamakan dengan moral, dimana kata moral ini berasal dari bahasa latin mos (mores) artinya kebiasaan atau adat14.

Secara terminologis arti etika yang disuguhkan oleh Bertens ada tiga unsur

yaitu:

“Pertama, etika adalah nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Misalnya jika seseorang menyebutkan etika agama protestan, agama Budha, etika suku Indian, dan ini berlaku berfungsi bagi individu maupun taraf social. Kedua, etika berarti asas atau

13

Ibid., h. 119. 14

Referensi

Dokumen terkait

Ahmad Syafii Maarif, MA adalah seorang cendekiawan yang berada dalam posisi otoritatif untuk berbicara tentang politik Islam terutama dalam kaitannya dengan masalah Islam dan

Penulis lebih menekankan bagaimana perilaku tokoh politik dalam kumpulan cerpen karya Kuntowijoyo yang berjudul Pelajaran Pertama bagi Calon Politisi dan

Berbagai ekses negatif yang timbul dari Pilkada langsung tidak serta merta kalangan tokoh ormas Islam menyetujui agar Pilkada langsung itu dikembalikan kepada DPRD, mereka

(2) mendeskripsikan ideologi politik yang terkandung dalam novel Steru 1 Guru karya Haris Priyatna, (3) mendeskripsikan implementasi hasil penelitian novel Seteru 1

Maka ketika zaman berkembang, kegiatan ekonomi muncul sebagai hasil interaksi yang kompleks dari berbagai aspek, maka berkembangkah pendekatan ekonomi politik tersebut,

Ada dua hal yang menarik dari teori politik ke tiga tokoh di atas (Plato, Aristoteles dan al-Farabi), yaitu pertama, ketiganya menganggap terciptanya negara

Novel Saman karya Ayu Utami sangat layak dijadikan objek penelitian skripsi karena novel tersebut mengandung beberapa hal: (1) pertikaian politik, kekuasaan,

Dalam penelitian ini, Identitas Diri dan Isu Politik Pada Tokoh Perempuan “Putri Cina dan Giok Tien” dalam novel “Putri Cina” karya Shindunata”, akan