• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah Dan Ibnu Khaldun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah Dan Ibnu Khaldun"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU TAIMIYAH

DAN IBNU KHALDUN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Asep Sholahuddin

NIM : 107045200266

Program Studi

Siyasa

h Jinayah Syari’ah

Fakultas syari

ah & Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

(2)
(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya nyatakan, bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Stara 1 di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya sesuaikan dengan

ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari skripsi ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan

dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di

Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 13 Mei 2014

(5)

ABSTRAK

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik kehidupan manusia. Manusia dibedakan dari binatang, oleh karena itu ia bertindak dengan sadar diatas kemampuanya sendiri, dan oleh karena itu ia bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya. Manusia sebagai mahkluk sosial tentu memiliki dimensi politik dalam kehidupanya. Politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik.

Untuk mencapai sebuah kekompakan, ketertiban, dan apa yang diharapkan oleh mansyarakat maka masyarakat tidak bisa bekerja sendiri, mereka butuh kerja sama satu sama lain. Dalam kerja sama tersebut dibutuhkan seorang nahkohda untuk menyetir apa yang sudah diharapkan. Jika pemimpin Rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinya, demikianlah sebuah fenomena meyedihkan yang senantiasa menghantui pikiran Ibnu Taimiyah.

seorang penguasa politik atau pemimpin, wajib “menyapaikan amanat kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil.‟ Maksudnya, ia harus menerapkan hudud terhadap kelas bangsawan maupun rakyat jelata secara adil dan proposional. Hal tersebut akan menciptakan kondisi dan situasi yang baik untuk sebuah lingkungan masyarakat. Maka tidak mudah menjadikan seorang pemimpin yang baik.

Oleh karna itu perlu dipahami bahwa kemudian, pemimpin harus memahami makna dari sebuah etika politik secar subtantif, bukan hanya memhami saja tetapi juga mempraktekan semua apa yang telah dipahami oleh pemimipin tentang etika politik. Karna, ini menjadi pondasi awal untuk terciptanya negara kejehatreaan.

Dalam hal ini, penulis akan mencoba memahami apa itu etika politik dari dua tokoh muslim yang yang sampai saat ini bisa dijadikan rujukan dalam refrensi teori politik islam. Baik dari orentalisme maupun dari muslim itu sendiri. Yaitu Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khladun. Dua tokoh islma ini memiliki kehidupan pada masa yang berbeda dan situasi yang juga dpat dikatakan beda juga.

Tentu etika politik dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, sehingga perlu juga dibahasa mengenai kekuasaan dari dua persfektif tokoh tersebut, baik pemahaman tentang sebuah sistem kenegraan dan maupun. Tentu bukan hal mudah memahami dua pemikiran politik tersebut dengan rujukan buku yang sampai masih terlalu minim. Tapi minimal prinsip tentang kuasaan dua pemikir islam tersebut bisa dijadikan pandangan dalam merumusakan atau menulis skripsi tersebut.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allas SWT, baik itu nikmat

Iman, Islam dan sehat walafiat, karna sehat kita dapat menjaga Ke-Imanan kita, kita menjaga

Ke-Islaman kita dan kita tetap bisa menjalankan segala aktifitas kita. Salawat serta salam tak

lupa kita curahkan, kita limpahkan kepada baginda kita Nabi besar Muhammad SAW yang

menjadikan kisah hidupnya menjadi rujukan awal kita dalam kehidupan di dunia ini. Di mana

skripsi ini penulis susun dengan maksud untuk memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana (S1) jurusan Hukum Ketatanegaraan Islam, program studi Jinayah

Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN sayrif Hidatullah Jakarta. Dengan judul skripsi

“Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun”

Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan

semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang

terhormat :

1. Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2009 – 2014

2. Dr. JM. Muslimin, MA, Selaku Dekan terpilih Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidatullah Jakarta, Periode 2014-2019

3. Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Afwan Faizin, M. Ag

seketaris Program studi Jinayah Siyasah atas kesabaran dan waktunya dalam

menghadapi semua pertanyaan penulis. Kepada dosen yang telah memberikan ilmu,

tenaga dan waktu yang luar biasa kepada penulis selama ini , serta tidak lupa staf

(7)

4. Kepada pembimbing skripsi, yang penulis hormati Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah

yang telah memberikan saran, masukan dan pengarahan yang sangat bearti bagi

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Kepada kedua orang tua penulis yang sangat penulis hormati dan cintai, Ayahanda H.

M. Arju dan Ibunda tercinta Hj. Rohaini yang selalu mendidik penulis dengan penuh

kesabaran dan cinta, mengarahkan penulis tentang esensi kehidupan, dan terus

memberikan semangat yang tak pernah henti, tentu doa ayahanda dan ibunda yang

selalu terucap disetiap lantuan dari kedua mulut ayahanda dan ibunda yang

memberikan nafas keimanan dan keislaman disetiap langkah penulis ini.

6. Kepada saudara-saudara penulis yang selalu memberikan semangat dan nasehat nya,

Ka‟ Yuli, A‟ Ocil, Ka‟ Bedah, A‟ Arif, A‟Irfan, Ka‟Ijeh. Nasehat dan motivasi kalian

sangat menggugah semangat penulis dalam menjalankan kehidupan menjadi dewasa

dan segara menyelesaikan kuliah ini, alhamdulillah dengan rasa syukur, perkulihan

akhir dapat diselesaikan.

7. Kepada teman-teman jurusan SS ‟07, Andi Mardiansyah, Sifak Muhammad Yus, alan,

arifin, lugina, reza arif, ade, panden, aden, okta, iqri, uus, bagus, alif, lisa, semua yang

menjadikan kelas rame dengan ide dan banyolan temen, akhir skripsi ini bisa

diselsaikan. Salam hormat buat kalian.

8. Kepada senior-senior HMI Komisariat Fakultas syariah dan hukum yang selalu

mengingatkan dan membimbing penulis dalam menjalankan sebuah organisasi.

Sampe akhir nya selalu di ingatkan tentang penyelesaian skripsi, kapan bisa

diselesaikan.

9. Kepada senior-senior LKBHMI yang terus membina dan mengningatkan penulis

(8)

Kanda Ihndi Karim Kamikn Ara, Kanda Teungku Mahdar Adrian, Kanda Ali

Fernandes, Kanda Isnur, Kanda Ajuba, Kanda Hamdam, Kanda Asep Syamsuri,

Kanda Fauzul Azim, semoga semua yang telah kalian berikan kepada penulis dapat

bermanfaat.

10.Kepada sahabat seperjuangan, bro Ridho Akmal Nasution yang selalu setia menemani

penulis disetiap kegelisahan penulis maupun menemani penulis dalam perjuangan.

Ketulusan dalam mendengarkan dan memberikan saran merupakan indikator skripsi

ini bisa terselsaikan.

11.Kepada teman-teman utramen, deden, duduh, wisnu, nu‟man, obi, bogel, icank,

ersyad, hamim, byib, aam, erik, abler, iir, kegilaan kita dapat menyujukan otak dalam

kepeningan.

12.Kepada sahabat seperjuangan, humaidullah irpan, Abiyudin, Ismail, Irpan Pasaribu,

Suhendra, Abdurahman, semoga kalian dapat meneyelsaikan skripsi dengan baik dan

benar tentu dengan waktu yang tepat pula.

13.Kepada teman-teman Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 2013-2014, yang

sama-sama mengawal sebuah organisasi dan membantu penulis dalam menjalankan estapet

organisasi untuk penyelesaiaan Skripsi ini.

14.Kepada teman-teman HMI Cabang Ciputat, yang selalu menguji penulis dalam hal

melatih kesabaran, melatih kedewasaan dan melatih kebijaksanaan. Semoga kita ke

depan dapat menjadi insan yang paripurna.

15.Kepada teman-teman Komisariat, komisariat KOMFAKSY, KOFAH, KOMTAR,

KOMFUF, KOMFAKDA, KAFEIS, KOMFASTEK, KOMPSI, KOMFISIP,

(9)

16.atas segala support dan kritikan yang telah diberikan. Semoga kita dapat melaksankan

apa yang telah kita harapkan.

17.Kepada senior-senior dan teman-teman LinK Ciputat, semoga hubungan emosional

kita dapat menjadikan kedewaasn dalam bertindak dan menjadikan diri kita diri yang

berkripadian yang baik.

Demikian ucapan terima kasih ini dari penulis, penulis berharap semoga Allah SWT

yang membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis juga

berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjai pendidikan bagi

pemabaca.

Jakarta, 13 Mei 2014

(10)
(11)

vi DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR………..……. ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN………...….. 1

A. Latar Belakang Masalah ………....…... 1

B. Perumusan, dan Pembatasan Masalah ………... 12

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian... 13

D. Metode Penelitian... 14

E. Tinjauan Pustaka ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PENGERTIAN KEKUASAAN DAN ETIKA POLITIK ... 20

A. Pengertian Kekuasaan dan Pemerintahan ... 20

a) Kekuasaan ... 20

b) Pemerintahan ... 22

B. Moral dan Etika ... 25

a) Pengertian Moral ... 25

b) Pengertian Etika ... 26

(12)

vii

BAB III KEKUASAAN MENURUT IBNU TAIMIYAH DAN IBNU

KHALDUN ... 39

A. Konsep Kekuasaan Menurut Ibnu Taimiyah ... 39

a) Kekuasaan Tuhan ... 39

b) Kepala Negara ... 45

B. Konsep Kekuasaan Menurut Ibnu Khaldun ... 51

a) Ashabiyah dan Kekuasaan ... 51

b) Ashabiyah Fondasi Kekuasaan dan Kedaulatan ... 54

BAB IV PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU TAIMIYAH DAN IBNU KHALDUN ... 56

A. Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah, ... 56

B. Pemikiran Etika Politik Ibnu Khaldun, ... 60

C. Perbandingan Etika Politik Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah ... 66

BAB V PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 75

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik

kehidupan manusia. Manusia dibedakan dari binatang, oleh karena itu ia

bertindak dengan sadar diatas kemampuanya sendiri, dan oleh karena itu ia

bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya, yaitu selain bernilai

guna untuknya juga benar dalam arti saat dipertahankan secara

argumentatif berhadapan dengan klaim-klaim alternatif, itu sejalan dengan

pemikirannya Aristoteles bahwa kebijikan intelektual baginya tinggi

nilainya, karena dasarnya adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip etis,

sedangkan kebijakan etis ynag mengusasi perasaan yang alami adalah hasil

dari cara hidup yang baik dengan jalan kebiasaan berpikir berkemampuan

dan berbuat baik secara sadar.1

Etika sendiri dibagi lagi kedalam etika umum dan etika khusus.

Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi

segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas

prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai

lingkungan kehidupannya. Dibendakan antara etika induvidual yang

mempertanyakan kewajiban manusia sebagai induvidu, terutama terhadap

1

(14)

2

dirinya sendiri dan melalui suara hati, terhadap yang Ilahi, dan etika sosial.

Etika sosial jauh lebih luas dari etika induvidual karena hampir semua

kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan

makhluk sosial. Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi

yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya

menetukan sikap dan tindakan antarmanusia.2

Musyawarah merupakan peruwujudan dari etika politik Islam yang

telah dicontohkan oleh Rasullah dan para sahabatnya. Etika politik

berkembang dari masa kemasa, setiap periode dalam sejarah politik dunia

Islam memiliki ciri etika dan tingkah laku politik, masing-masing, pemikir

Islam yang membahas tentang masalah ini diantaranya: Ibnu Taimiyah,

Ibnu Khaldun, Al Farabi, Ibn Abi Ar Rabi, Ibn Hazm, , dan lain-lain...

Etika Politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir pada saat zaman

yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk.

dengan keambrukan itu muncul pertanyaan bagaimana seharusnya

masyarakat ditata. Dua ribu tahun kemudian, empat ratus tahun yang lalu,

etika politik bertambah momentumnya. Legitimasi kekuasaan raja dalam

paham tatanan hirarkis kosmos tidak lagi diterima begitu saja.

Legitimasi-legitimasi tradisional kehilangan daya ikatanya. Legitimasi tatanan hukum

dan negara dan hak raja untuk memerintahkan masyarakat, dipertanyakan.

Itulah situasi kebangkitan filsafat politik pada awal zaman industrilisasi.

2

(15)

3

Klaim-kliam legitimasi kekuasaan yang daling bertentangan menurut

refleksi filosofis atas prinsip-prinsip dasar kehidupan politik.3

Manusia sebagai mahkluk sosial tentu memiliki dimensi politik

dalam kehidupanya. Politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau

politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang

baik, di Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loh jinawi, orang

yunani kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakanya sebagai en dam

onia atau the good life.4 Selain itu, politik dalam suatu negara itu berkaitan dengan pendekatan kenegaraan, kekuasaan, pengambilan keputusan,

kebijakan dan pembagian kekuasaan5. Berdasarkan pendekatan kenegaraan, politik artinya sebagai sesuatu yang berkaitan dengan

tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan

negara dan berdiplomasi dengan negara-negara lain. Selanjutnya politik

sebagai kekuasaan diartikan sebagai suatu alokasi nilai-nilai otoritatif yang

menajdi bagian dari tindakan atas nama pemerintaha atau negara.6

Negara dalam prinsip-prinsipnya yang modern, dipahami sebagai

sebuah consensus, dimana sejumlah warga negara dalam satu teori tertentu

membentuk kesepakatan bersama untuk mengasosiasikan diri dalam

asosiasi kepentingan bernama negara. Negara sendiri dibentuk dengan

3

Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Modern, (Jakarta : PT Gramedia, 1988), hal. 3

4

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu politik, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 2008), hal.13

5

Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu politik, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 2008), hal.14

6

(16)

4

maksud mewujudkan tujuan-tujuan dasar berlandasakan kehendak kolektif

warganya (Volone Generale, J.J Rosusseau, 1712-1778).

Tujuan negara adalah untuk menjalakan ketertiban dan keamanan,

mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Timbul

suatu negara tidak akan terlepas dari teori contrak sosial yang diungkapkan

oleh Thomas Hobbes, Jhon Locke dan JJ Rousseau. 7

Kontrak Sosial merupakan perjanjian antara masyarakat yang ingin

membentuk suatu negara, suatu pemerintahan bersama yang melayani

mereka. Kemudian rakyat ini menyerahkan kedaulatan kepada suatu

lembaga, person ataupun sekelompok orang yang mendapat amanat untuk

menjalankan kedaultan tersebut. Sehingga apa yang menjadi tujuan

bersama dapat menjadikan kebutuhan masayarkat dalam kehidupan dalam

satu ikatan sosial.

Atas dasar tersebut maka lahir lah teori demokrasi reprensentatif8.

Karena pada saat ini tidak mungkin semua rakyat berkumpul untuk

menentukan keinginannya setiap saat. Direct democaracy adalah suatu

bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan

politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang

bertindak berdasarkan prosedur-prosedur mayoritas. Karena faktor

populasi penduduk yang terus bertambah maka tidak mungkin dilakukan

7

M. Solly Lubis, Ilmu Negara (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal.35

8

(17)

5

pada satu tempat dan pada suatu saat, sehingga harus dicari pemecah

masalahnya. Dan mucunlah konsep demokrasi perwakilan rakyat atau

yang sering disebut sebagai demokrasi representatif, akhirnya demokrasi

representatif ini hampir dilakukan disetiap negara modern pada saat ini.

Selain itu Ibnu khaldun dalam bukunya muqqadimah,

sesungguhnya organisasi masyaraka (Ijtima‟ insani) umat manusia adalah

keharusan. Para filosof melahirkan kenyataan ini dengan perkataan

mereka, manusia adalah bersifat politis menurut tabiat nya. Ini bearti,

memerlukan satu organisasi kemsyarakatan, yang menurut para filosof

dinamakan kota.9 Pernyataan Ibnu Khaldun ini menjentawantahkan sebuah kekuatan sosial yang memiliki kekuatan saling membantu satu sama lain

sehingga, tujuan untuk menemukan the good life itu bisa tercapai. Selanjut

Ibnu Khaldun berpendapat, tanpa organisasi itu eksistensi manusia tidak

akan sempurna. Keinginan tuhan hendak memakmurkan dunia dengan

mahkluk manusia, dan menjadikan mereka khalifah di permukaan bumi ini

tentulah tidak terbukti. Inilah arti yang sebenarnya dari peradaban.10

Ketika umat manusia telah mencapai organisasi kemasyarakatan

seperti kita sebutkan itu, dan ketika peradaban dunia telah menjadi

kenyataan, umat manusia pun memerlukan seseorang yang akan

melaksanakan kewibawaan dan memilihara mereka, karena permusuhan

dan kezaliman adalah pula merupakan watak hewani yang dimiliki oleh

9

Ahmadie Thoha, Mukaddimah ibnu khladun, (Jakarta: pustaka Firdaus), hal.71

10

(18)

6

manusia. Senjata yang dibuat manusia untuk pertahanan dari serangan

binatang tidaklah mencukupi bagi pertahanan terhadap serangan sesama.

Dan ini tidaklah mungkin datang dari luar. Maka dengan sendirinya yang

akan melaksanakan kewibawaan itu haruslah salah seorang dianatara

mereka sendiri.11

Di setiap induvidu manusia memiliki sifat hewan yang berada

didalam nya, dengan demikian mereka manusia harus menjaga kebiwaan

nya diantara mereka sendiri, hal ini senada dengan apa yang dimaksud

dengan konsep representatif yang ada pada era modern saat ini. Hubungan

dengan ide demokrasi ini, ibnu khaldun mengakui bahwa terdapat banyak

negara yang tidak mendasarkan kebijakan dan peraturan negara atas ajaran

dan hukum agama, akan tetapi negara dapat mewujudkan ketertiban,

keseraisan hubungan antara para warga, bahkan dapat berkembang dan

jaya.12

Sejarah politik dunia islam dibagi menjadi tiga periode: pertama,

periode Klasik (650-1250 M): Kedua, periode Pertengahan (1250-1800

M): dan periode modern (1800 sampai sekarang). Dalam sejarah Islam

masa periode pertama ini dikenal dengan “masa kemasan”. Sebagai masa

keemasan, ia seringkali dijadikan tolak ukur dan rujukan keteladanan.13

11

Ibid, hal. 74

12

Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hal.109-110

13

(19)

7

Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan

bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Adanya dukungan dan rasa

kebersamaan yang terbentuk inilah seorang pemimpin dalam mengatur dan

menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan

tentara yang kuat dan loyal.14

Al Ashabiyah secara harfiah jika diterjemahkan kedalam bahasa

indonesia bearti rasa satu kelompok atau solidaritas sosial.15Ashabiyah

juga mengandung makna group feeling, solidaritas Kelompok, Fanatisme

Kesukuan, Nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih

sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu

darinya diperlukan tidak adil atau disakiti. Untuk bertahan hidup

masyrakat harus memiliki sentimen kelompok (ashabiyah) yang

merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia,

pembangkit suatu klan. Klan yanng memiliki ashabiyah kuat dapat

berkembang menjadi sebuah negeri.16

Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan, karena solidaritas

sosial itulah yang mempersatukan tujuan, mempertahankan diri dan

mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas

golongan nya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada

hubungan dengan nya. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas

14

Ibn Khaldun, Muqaddimah, penerjemahan Ahmadie Taha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986),hal.104

15

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Neagara (Jakarta: UI Press, 1993), hal. 104

16

(20)

8

lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun

tujuan yang lebih tinggi dari kedaultan. Akhirnya, apabila suatu negara

sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas

sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara

sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian,

negara akan memasukan para pengikut solidaritas sosial yang kuat

kedalam kedaultannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung

negara.17

Dalam kehidupan modern, persoalan etika dan moral sering

menjadi perbicangan publik. Tinjauan filsafat tentang makna dan definisi

filsafat, etika dan moral sangat bergam bagi tiap-tiap pakar. Secara

sederhana bisa dikatakan bahwa penggunaan “etika” dan “moral” selalu

menerangkan perbandingan antara nilai yang baik dan buruk, yang berlaku

bagi semua semua bidang kehidupan manusia.18

Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif,

kekuasaan negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai

dengan struktur ganda kemampuan manusia. Atau secara singkat, etika

politik membahas hukum dan kekuasaan. Sepintas saja kelihatan bahwa

dua-duanya sehrusnya tidak terpisah. Hukum tanpa negara tidak dapat

berbuat apa-apa, sifat normatif belaka, hukum tidak mempunyai suatu

kemampuan untuk bertindak. Sedangkan negara tanpa hukum adalah buta

17

Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 166-167

18

(21)

9

dan merosot ke tingkat sub-manusiawi karena tidak lagi berdasarkan

tatanan normatif. Negara yang memakai kekuasaannya di luar hukum sama

dengan manusia yang berbuat tanpa pengertian. Negara semacam itu

menjadi penindas dan irasional. Kekuasaan diluar hukum mengerikan.

Jelas juga bahwa baik hukum maupun negara memerlukan legitimasi.

Hukum harus dapat memperlihatkan mengapa tatanan inilah yang

ditetapkan dan bukan tatanan alternatif. Dan negara harus melegitimasikan

penggunaan kekuasaannya. Maka tema utama etika politik adalah masalah

legitimasi hukum dan kekuasaan serta penilaian kritis terhadap

legitimasi-legitimasi yang diajukan.19

Jika pemimpin Rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinya,

demikianlah sebuah fenomena meyedihkan yang senantiasa menghantui

pikiran Ibnu Taimiyah. Fenomena inlah yang menurut beliau, sebagai

penyebab utama kerusakan kaum musilimin, terampasnya negara dan

kehormatan mereka, serta pendorong musuh-musuh Islam untuk meyerang

kaum muslimin. Bahwa fenomena inilah pula yang merupakan virus utama

dari segala jenis penyakit yang diderita kaum Muslimin.

Seiring perkembangan zaman yang sudah melakukan transformasi

dalam segala pemaham politik dan refresentatif demokrasi yang sudah

menjamur diseluruh negara modren sehingga melakukan sebuah cara

untuk mendapatkan kekuasan itu bisa dilakukan dengan cara apapun,

19

(22)

10

nampak kepribadian binatang yang muncul pada dirinya. Melihat

penguasa belakangan ini menciptakan sebuah produk hukum yang tentu

mendiskrditkan minoritas, apa yang disebut ibnu khaldun bahwa para

penguasa harus mendapatkan dukungan dari solidaritas yang mayoritas

sehingga hukum alam kausalitas berlaku pada saat ini.

Politiknya diilhami oleh versi syariat yang sesuai dengan missinya

yang menyeluruh, telah diperbarui. Usahanya untuk menegakan kesucian

moral dalam tradisi Hanbali tidak dilakukan, sebagaimana pendahulunya,

melalui pengabaian semu terhadap praktik politik, namun melalui aplikasi

syariat ke dalam urusan pemerintahan. Ia menolak pandangan al-Marwadi

yang menyetakan bahwa kekuatan penguasa (Sultan), selama diakui oleh

khalifah tertinggi dan dibenarkan syariat, secara de facto dapat dianggap

independen dan sah menurut Islam. Isa mensyaratkan kriteria yang lebih

keras untuk diaplikasikan.

Tujuan Ibnu Taimiyah adalah membangun pemerintahan yang

berdasarkan syariat (siasayah syar‟iyyah). Risalah Ibn Taimiyah dimulai

dengan mengingatkan bahwa Tuhan telah menetapkan “pengetahuan dan

pena dengan tugas untuk meyampaikan dan menyeru, serta kekuasaan dan

pedang dengan penegasan superioritas Islam atas dua agama wahyu

lainnya dengan argumen bahwa keduanya menyatakan agama tanpa

berusaha untuk memenuhi “syarat-syarat yang dibutuhkan untuk

esksistensinya, yakni kekuasaan jihad , dan sumber materi”. Menurut Ibnu

(23)

11

sisi, para pemimpin berpikir mereka dapat mencapai tujuan spiritual

semata-mata dengan kesalehan. “ dengan demikian mangkir dari semua

partisipasi kehidpuan politik, namun pada saat yang sama melarangn

keterlibatan orang lain”. Jalan benar adalah, sekali lagi, jalan tengah

(wasath) memperhatikan kepentingan masyarakat dalam aspek material dan moraldan terlibat dalam kekuasaan”.20

Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan

tanpa kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan

mencegah kemungkaran benar-benar tidak dapat dicapai “kecuali melalui

kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam)‟. Dan “keseluruh kewajiban lain

yang telah ditetapkan Tuhan- yaitu jihad, keadilan, haji, salat jamaah...

menolong kaum yang tertindas, penerapan hudud, sebagainya- tidak dapat

ditunaikan kecuali melalui kekuasaan dan otoritas pemimpin”. “agama

tanpa sultan (kekuasaan), jihad, harta, sama buruknya dengan sultan, harta

dan perang tanpa agama.”21

Lord Acton menyebutkan, bahwa power tends to corrupt, but

absolute power corrupts absolutely (manusia yang mempunyai kekuasaan

cendurung untuk menyalahgunakannya, akan tetapi manusia yang

mempunyai kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahgunakannya).

Tentu dalam hal ini setiap penguasa cendrung menyalahgunakan

20

Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga masa kini, Penerjemah Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati. (Jakarta ; PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2001), hal. 229

21

(24)

12

kekuasaan yang direbut secara politik tersebut, padahal mendefinisikan

politik pada awalnya adalah cara bagaimana menggapi kehidupan yang

baik. Dengan demikian ini menjadi persoalan serius untuk dijadikan

sebuah rujukan bagaimana menciptakan negara kesejahteraan. Tentu para

representator yang diamanatkan untuk menggapai kehidupan yang baik

perlu membenahi diri dari persoalan Etika di era Demokrasi Refresntatif

ini.

Dari latar belakang diatas, terserat keingingan dari penulis unutk

mengadakan pengkajian yang lebih faktual resfresentatif mengenai

pemikiran terhadap bidang politik, terutama dalam bidang etika politik

demokrasi. Maka dengan ini penulis mengambil judul skripsi

“PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU TAIMIYAH DAN IBNU

KHALDUN.”

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

Dari uraian diatas perlu melakukan pembatasan masalah agar

penilitian ini lebih terarah. Pembahasan dalam tulisan ini terfokus, pada

dampak etika politik sebagai kenyataan dalam kehidupan masyarakat yang

tidak membiarkan segala macam klaim wewenang menjadi mapan begitu

saja. Maka kekuatan-kekuatan yang ada terdesak untuk membenarkan diri

pada bidang wewenang yang sebanar-benarnya.

Dalam penulisan skripsi ini penulis mencoba membatasi dan

(25)

13

1. Bagaimana Konsep Kekuasaan menurut Ibnu Taimiyah dan Ibnu

Khladun?

2. Bagaimana Konsep Etika Politik menurut Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu

Khladun ?

3. Begaimana Perbandingan Etika Politik menurut Ibnu Taimiyah dan Ibnu

Khladun ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui konsep Kekuasaan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khladun.

2. Untuk mengetahui Konsep Etika Politik Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu

Khaldun

3. Untuk Mengetahui Perbandingan Etika Politik Islam Ibnu Taimiyah dan

Ibnu Khaldun

Adapun manfaat penilitian adalah sebagi berikut :

1. Sebagai bahan penyusun skripsi yanag merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh derajat kerjasama program studi Siyasah Syar‟iyyah.

2. Menambah wacana ilmu pengetahuan dan penilitian dalam konsep etika

politik islam Ibnu Taimiyah dan Ibn Khaldun dalam tinjauan kosnep

(26)

14

3. Menambah wacana ilmu pengetahuan etika politik Islam di masa

demokrasi yang kemudian bisa di aktualisasikan pada konstelasi politik

daerah maupun nasional.

4. Sebagai sumbangan dan sekaligus pengambangan khazanah keilmuan

dibidang fiqh syiasah dalam konteks etika prilaku politik

5. Memberikan pemahaman bahwa dalam konteks politik terdapat etika yang

perlu dijaga maupun dalam paham politik demokrasi refresentasif.

D. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penilitian dengan bahasan konsep Etika Politik Islam

dalam tinjuan ketatanegara Islam ataupun Etika Politik ketatanegaraan

modern telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik topik tersebut

ataupun yang mengakaji secara umum yang sejalan dengan bahsan

penilitian. Berikut ini merupakan paparan tinjuan umum atas sebagian

karya-karya penelitian-penelitian.berikut ini merupakan paparan tinjuan

umum atas sebagian karya-karya peneilitian tersebut :

Buku Pertama, Ibnu Taimiyah ter. Rofi Munawwar, “As Siyasyah

Syar‟iyyah fi Ishlahir Ra‟i war Ra‟iyyah”. Dalam bukunya, Ibnu Taimiya

menggambarkan kemudnuran total yang dialami dunia Islam. Dengan gaya

penulisan yang elegan, sebagai upya menetapkan batasan atas hak-hak dan

kewajiban seorang pemimpin, disamping juga memaparkan secara rinci

hak-hak dan kewajiban rakyat yang sepenuhnya berdasarkan pada Al

(27)

15

semua sisi hubungan kemanusiaan, sekaligus yang mengarahkan kaum

Muslimin untuk meraih kekuatan dan kemuliaannya menuju umat yang

mampu mengukir sejarah kebesaran nya.

Buku kedua, Ibnu Khaldun ter. Ahmadie Thaha, “Muqaddimah”.

Ia menguraikan masalah sosial dan sejarah dan beliau hanya satu-satunya

intelektual muslim yang diterima dan diakui didunia barat, terutama

ahli-ahli sosiologi dalam bahasa inggris (yang menuliskan karya-karya nya

dalam bahasa inggris). Dari berbagi penemuan sosiologi Ibn Khaldun ada

ulsan yang paling banyak perhatian, yaitu mengenai ashabiyah, dengan

konsep ashabiyah atau solidaritas sosial apapun bisa dilakukan demi

sebuah cita-cita atupun kepentingan, sehingga ini perlu ditinjau dari sisi

etika yang penulis usulkan dalam penulisan skripsi.

Buku ketiga, yang ditulis oleh Munawir Sadzali, Islam dan Tata

Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Menguraikan pokok-pokok

pemikiran politik Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Dlam salah

satu subbnya ia menjabarkan pmikiran Ibn Khaldun tentang konsep

ashabiyahnya dalam pembentukan sebuah negara. Namun dalam buku ini

tidak menjelaskan secara rinci ataupun detail mengenai konsep ashabiyah

baik itu yang hubungan nya dengan politik atau agama, akan tetapi bukum

ini lebih kepada poin inti yang merangkum seluruh bahasan konsep

ashabiyah.

Skripsi, Herusalem, Negara dan Agama : Sebuah Kajian Atas

(28)

16

tahapan terbentuknya negara serta keruntuhannya. Pada inti skripsi ini

tidak membahas ashabiyah, namun pada akhir nya skripsi terbut

mambahas memperoleh kekuasaan.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan

metode penelitian analitis deskriptif. Artinya metode deskriptif digunakan

untuk menggambarkan secara obyektif materi yang akan dibahas. Metode

analitis digunakan untuk mendapat dan mengetahui implikasi dari ide etika

politik islam yang ada dalam konsep demokrasi.

1. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research).

Penelitin ini lebih menuntut kejelsan penelitian serta sangat menekankan

terhadap aspek analisa dan kajian teks, terutama dalam mencari informasi

dan data yang memiliki hubungan dengan obyek penelitian.

2. Pendekatan Penelitian

Mengingat obyek penelitian menyangkut kajian sejarah dan pemikiran,

maka pendekatan penilitian ini menggunakan pendekatan historis yaitu

sebuah pendekatan dengan kajian masa lampau secara sistematis dan

(29)

17

mensisntesiskan bukti-bukti untuk menegggakan fakta dan memperoleh

keimpulan yang kuat.22

3. Sumber Data

Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam pengumpulan

data, yakni sumber primer dan kedua sumber sekunder23. Adapun rincian masing-masing sumber adalah:

a) Data Primer disandarkan pada literatur klasik Siyasah syariyyah Ibnu

Taimiyah dan Muqddimah Ibn Khaldun yang secara akademis telah

dipandang otoritatif.

b) Data sekunder merupakan sumber pendukung dari primer yang berasal

dari kepustakaan, buku-buku maupun data-data tertulis yang ada

relevansinya dengan judul skripsi ini.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengeumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset

pustaka (Library Resarch) yakni proses pengindentifikasian secara

sistematis penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang

memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian. Pengumpulan data

informasi diperoleh berdasarkan bahan-bahan yang ada diperpustakaan,

baik berupa arsip, dokumen, majalah maupun lainnya.24

5. Metode Analisa Data

22

Sumardi Surayabrata, Metodologi Penelitian, cet.XVI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004), hal.73

23

Ibid., hal, 74

24

(30)

18

Analisa data merupakan langkah yang paling penting dalam sebuah

penelitian, terutama dalam tahap ini, seorang peneliti telah memasuki

tahap penetapan hasil temuanya. Oleh sebab itu, dalam menganalisa data

penulis menggunakan metode deskriftif, yaitu dengan cara memaparkan

dan menguraikan pokok-pokok permasalahan secara menyeluruh:

komparatif yaitu sebuah metode perbandingan dengan cara menganalisa

data-data yang ada, kemudian penulis kombinasikan untuk mennghasilkan

sebuah pemikiran yang padu.

6. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi Fakultas

Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan

oleh FSH UIN Jakarta 2007.

F. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima (5) bab bahasan,

dengan perincian sebagai berikkut :

BAB I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan

masalah, tujuna dan manfaat peneilitian, tinjauan psutaka,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Menjelaskan pengertian Kekuasaan Politik dan Pemerintahan

secara umum dan Menjelaskan Etika secara umum dan

(31)

19

dan menjelasakan definisi moral. Pembagian etika dan

menjalasakan ke dalam etika deskriftif dan etika Normatif.

BAB III : Memaparkan Konsep Kekuasaan Politik menurut Ibnu

Taimiyah dan Ibnu Khaldun dan menjelasakan Biografi dan

Seting sosial Ibnu Taimiyah & Ibu Khaldun,

BAB IV : Mempaparkan konsep pemikiran etika politik islam Ibnu

Taimiyah & Ibnu Khaldun, dan Menjelaskan Perbandingan

Pemikiran Etika politik Ibnu Taimiyah dengan Pemikiran

Etika Politik Ibnu Khaldun.

BAB V : Sebagai penutup bagi seluruh rentetan pembahasan

sebelumnya, menuliskan kesimpulan-kesimpulan yang dapat

penulis ambil dan beberapa gagasan penulis yang dituliskan

(32)

20

BAB II

PENGERTIAN KEKUASAAN DAN ETIKA POLITIK

A. Pengertian Kekuasaan dan Pemerintahan 1. Kekuasaan

Istilah “kekuasaan” merupakan bentukan dari “kuasa” yang diberi

imbuhan “ke” dan “an”. Jadi, secara fleksibel kuasa mempunyai banyak

arti diantaranya adalah “kemampuan” atau “kesanggupan” (untuk

membuat sesuatu); kekuatan; kewenangan atas sesuatu atau menentukan

(memerintah, mewakili, mengurus, dan sebagainya) yang ada pada kerena

jabatannya.25

Kekuasaan adalah kemampuan sesorang atau kelompok manusia

untuk mempengaruhi tingkha-lakunya seorang atau kelompok lain

sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan

keinginan dantujuna dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Gejala

kekuasaan ini adalah gejala yang lumrah terdapat dalam setiap masyarakat,

dalam semua bentuk hidup bersama.

Manusia mempunyai bermacam-macam keinginan dan tujuan yang

ingin dan tujuan yang ingin sekali dicapainya. Untuk itu manusia sering

merasa perlu untuk memaksakan kemuannya atas orang atau kelompok

lain. Lhal ini menimbulkan perasaan pada dirinya bahwa mengendalikan

orang lain adalah syarat mutlak untuk keselamatannya sendiri. Maka dari

25

(33)

21

itu bagi orang banyak, kekuasaan itu merupakan suatu nilai yang ingin

dimilkinya. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan

dalam semua organisasi sosial.

Kekuasaan biasanya terbentuk hubungan (relationship), dalam arti

bahwa ada satu fihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintahkan

(the ruler and the ruled): satu pihak yang memberi perintah, satu pihak

yang mematuhi perintah. Tidak ada persamaan martabat, selalu yang satu

lebih tinggi dari pada yang lain dan selalu ada unsur paksaan itu dipakai,

sering sudah cukup.

Setiap manusai sekaligus merupakan subyek dari kekuasaan dan

obyek dari kekuasaan. Misalnya, seorang presiden membuat

undang-undang (subyek dari kekuasaan), tetapi disamping itu dia juga harus

tunduk kepada undang (obyek kekuasaan). Pokoknya jarang sekali ada

orang yang tidak pernah memberi perintah dan tidak pernah menrima

perintah. Hal ini kelihatan jelas dalam organisasi militer yang bersifat

hierarchis di mana seorang prajurit diperintah oleh komandannya,

sedangkan komandan ini diperintah pula oleh atasanya.26

Di antara banyak bentuk kekuasaan ini ada suatu bentuk yang

penting yaitu kekuasaan politik. Dalam hal ini kekuasaan politik adalah

kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (perintah) baik

terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan

pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan sebagian saja

26

(34)

22

dari kekuasaan sosial, yakni kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan

kepada negara sebagai satu-satunya pihak berwenang yang mempunyai

hak untuk mengendalikan tingkah-laku sosial dengan paksaan. Kekuasaan

politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari

warga masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain

dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di

bidang administratrif, legislatif, dan yudikatif.

Namun demikian sautu kekuasaan politik tidaklah mungkin tanpa

penggunaan kekuasaan (machtsuitoefening). Kekuasaan itu harus

digunakan dan harus dijalankan. apabila penggunaan kekuasaan itu

berjalan dengan efektif, hal ini dapat disebut sebagai kontrol

(pengusaan/pengendalian). Dengan sendirinya untuk menggunakan

kekuasaan politik yang ada, harus ada penguasa yaitu pelaku yang

memagang kekuasaan, dam harus ada alat/sarana kekuasaan

(machtsmiddelen) agar penggunaan kekuasaan itu dapat dilakukan denga

baik.27

2. Pemerintahan

Secara etimologi, kata pemerintahan dapat diartsebagai badan yang

melakukan kekuasaan memerintah. Kata “pemerintah‟ mengandung

pengertian adanya dua pihak yang memerintah memiliki wewena ng dan

pihak yang diperintah memiliki kepatuhan.28 Dalam sekolompok manusia

27

Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hal.37

28

(35)

23

yang hidup bersama memang pada umunya ada sejumlah orang mengatur

dan melakukan usaha guna menciptakan serta memelihara ketertiban.

Mereka merupakan pimpinan dalam masyarakat dalam sautu masyarakat

negara. Golongan orang-orang yang berwenang dan bertugas untuk

mengatur serta memimpin ini disebut pemerintah.

Oleh karna itulah sayrat-syarat berdirinya negara harus memenuhui

unsur-unsur:

a) Adanya pemerintah atau pemerintahan

b) Adanya wilayah

c) Adanya penduduk

d) Adanya pengakuan dari dalam dan luar negri.29

Pemerintah merupakan lembaga eksekutif negara, meliput aparat

birokrasi teknis (birokrasi dalam pengertian sempit) maupun para politisi

dan negarawan yang menjadi pucuk pimpinan lembaga-lembaga negara.

Pemerintah merupakan aspek personil negara: dia adalah faktor manusia

dari negara.30

Pemerintah sebagai salah satu sturuktur dasar sistem politik

merupakan lembaga yang menyelenggarakan mekanisme politik atau roda

pemerintahan politik atau roda pemerintahan yang dipimpin oleh seorang

29

Inu Kencana Syafie, Ilmu Pemerintah dan al-Qu ’a , (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal. 128

30

(36)

24

pejanat yang disebut “wali” atau “amir” atau dengan istilah lainnya yang

dikena dalam kepustakaan politik dan ketatanegaraan islam.

Kekuasaan poltik yang dimiliki oleh wali mempinyai dua landasan;

landasan formal normatif dan landasan struktural formatif. Landasan

pertama bertumpu pada ajaran kedaulatan hukum ketuhana (al-qur‟an).

Karena itu kekuasaan politik yang dimiliki oleh wali berdasarkan ayat

al-qur‟an yang memberinya tugas untuk menegakan hukum Allah dan

menyelenggarakan pemerintah dengan adil dalam masayrakat.

Kendudukan wali sebagi pemerintah terkait pada penerima dan

pengakuan rakyat. Ini bearti kedudukan tersebut harus mendapat legalisasi

dari rakyat. Dan ini diperoleh melalui baiat. Baita inilah yang menjadi

landasan struktural formatif. Karena rakyatlah yang memegang kedaulatan

politik, sehingga tanpa baiat, kekuasaan wali tidak dapat diberlakukan

secara sah, meskipun ia dapat memaksakan kehendaknya. Baiay kepada

wali merupakan menisfestasi kepercayaan rakyat kepadanya untuk

mengekan hukum Allah. Karena itu jika ia tidak melaksanakan tugasnya

maka rakyat dapat menggatikannya dengan wali lain.

Sejalan dengan tugas yang diemban, wali menggunakan kekuasaan

politik yang dimilikinya berdasarkan prinsip pemusatan kekuasaan dan

pertanggungjwaban dalam dirinnya dan prinsip delegasi kekuasaan. Oleh

(37)

25

kepala pemerintahan. Ia memegang kekuasaan politik dan bertanggung

jawab sepenuhnya atas penggunaan kekuasaan tersebut.31

B. Moral dan Etika 1. Pengertian moral

Sidi Gazalba mengatakan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang

umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar.

Untuk itu, dia menyimpulkan bahwa moral itu suatu tindakan yang sesuai

dengan ukuran tindakan yang umum diterima oleh kesatuan sosial atau

lingkaran tertentu32.

Sidi Gazalba menjelaskan ada perbedaan antara moral dan etika.

Moral bersifat praktek sedang etika bersifat teori. Moral membicarakan

apa adanya, sedangkan etika membicarakan masalah moral secara filosofi,

maka etika yang seperti ini disebut dengan filsafat moral.

Franz Magnis-Suseno menjelaskan bahwa kata moral selalu

mengacu kepada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral

adalah kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikan nya sebagai

manusia.33

31

Abdul muin Salim, fiqh Siyasah: Konsepsi kekuasaan Politik Dalam al-Qo ’a , (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), hal. 302

32

Amri M, Etika Islam (Yogyakarta: LSFK2P dan pustaka Pelajar, 2002), cet. Ke-1. Hal. 213

33

(38)

26

2. Pengertian Etika

Senada dengan yang idungkapkan Jan Hendrik Rapar dan Lois O.

Kattsof34 tentang definisi etika, dalam Kamus Besar Bahasa indonesia juga dijelaskan bahwa “etika adalah ilmu apa yanng baik dan apa yang

buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (Akhlak).” Sidi Gazalba

mengatakan bahwa etika adalah teori tentang laku-perbuatan manusia,

dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang didapat ditentukan oleh

akal. Ahamad Amin menjelaskan bahwa etika adalah suatu pengetahuan

yang menjelaskan arti baik dan buruk, yang menerangkan apa yang

seharusnya dilakukan oelh seorang kepada yang lain, menyatakan tujuan

yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan

menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.35

Franz Magnis-Suseno memberi batasan tentang etika dengan

mengatakan, “Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan

pikiranya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia

mau menjadi baik.”36

Makna etika, Istilah etika dipakai dalam dua macam arti, yang satu tampak

dalam ungkapan seperti “saya pernah belajar etika”. Dalam penggunaan

seperti ini etika merupakan atau dimaksudkan sebagai suatu kumpulan

pengetahuan mengenai penilian terhadap perbuatan-perbuatan manusia.

Makna kedua seperti yang terdapat pada ungkapan “ia bersifat etis, atau

34

Louis O. Katssoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1986), hal. 349

35

Ahmad Amin, Kitab al-Akhlak, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, tt), hal. 3

36

(39)

27

“ia seorang yang jujur”. Atau “kebohongan merupakan sesuatu yang tidak

susila”, dan sebagian nya. Dalam hal-hal tersebut “bersifat etik”

merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal,

perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. “bersifat etik”

dalam arti yang demikian ini setara dengan “bersifat susila”.

Hendak dicatat, “bersifat susila” tidak harus bearti sama atau sesuai

dengan adat istiadat yang belaku dalam suatu kelompok manusia tertentu.

Ada kemungkinan sesorang mengutuk salah satu adat istiadat tersebut

sebagai hal yang tidak susila. Adat istiadat yang berlaku dalam suatu

kelompok manusia tertentu sekedar merupakan kebiasaan-kebiasaan

kelompok seperti, kebiasaan membuang anak kecil, yang terdapat pada

kelompok-kelompok manusia terasing dan sebagainya. 37

Menurut hemat penulis, etika pada umumnya hanya dilihat dari sisi

nilai bail-buruk, karena nilai baik itu itu dianggap pasti benar dan nilai

buruk dianggap pasti salah, hal ini semakin jelas jika dikaitan dengan etika

religius, apa saja yang diperintahkan oleh Tuhan dianggap benar dan baik,

sedangkan yang dilarang-Nya dianggap buruk dan salah.

Sedangkan pokok persoalan etika atau objek kajian etika,

sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Amin, adalah segala perbuatan

yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dengansengaja, dan

ia mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat. Inilah yang dapat

kita beri hukum baik dan buruk, demikian juga segala perbuatan yang

37

(40)

28

timbul tiada dengan kehendak, tetapi dapat diihktiarkan penjagaan

sewaktu sadar.38

Etika sendiri dibagi lagi kedalam etika umum dan etika khusus.

Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi

segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas

prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai

lingkungan kehidupannya. Dibendakan antara etika induvidual yang

mempertanyakan kewajiban manusia sebagai induvidu, terutama terhadap

dirinya sendiri dan melalui suara hati, terhadap yang Ilahi, dan etika sosial.

Etika sosial jauh lebih luas dari etika induvidual karena hampir semua

kewajiban manusia bergandengan dengan

C. Pengertian Etika Politik

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik

kehidupan manusia. Manusia dibedakan dari binatang, oleh karena itu ia

bertindak dengan sadar diatas kemampuanya sendiri, dan oleh karena itu ia

bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya, yaitu selain bernilai

guna untuknya juga benar dalam arti saat dipertahankan secara

argumentatif berhadapan dengan klaim-klaim alternatif, itu sejalan dengan

pemikirannya Aristoteles bahwa kebijikan intelektual baginya tinggi

nilainya, karena dasarnya adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip etis,

sedangkan kebijakan etis ynag mengusasi perasaan yang alami adalah

38

(41)

29

hasil dari cara hidup yang baik dengan jalan kebiasaan berpikir

berkemampuan dan berbuat baik secara sadar.39

Dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan diatas dapat diambil

kesimpulan bahwa kekuasaan harus dipertanggung jawabkan secara

demokratis, atau dari prinsip hormat terhadap keutuhan manusia. Bahwa

hak-hak asasi manusia harus di beri pengakuan hukum. Prinsip-prinsip

itulah yang menjadi pokok bahasan etika politik dan yang harus

dipetanggungjawabkan.40

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa kekuasaan dan

demokratis merupakan suatu konsep yang universal dan sangat abstrak

untuk dijadikan alas pijakan dalam penyelengaraan bernegara, sehingga

tidak dengan begitu saja setiap negara sanggup mengaplikasikan nilai

universal tersebut. Corak demokrasi yang di anut disebuah negara

ditentukan juga oleh kepentingan penguasa, sehingga konsep demokrasi

mengalami penyuasian atau modifikasi-adaptif.41

Demokrasi dalam etika politik, menurut pandangan Franz Magnis

sebagai teori normatif yang berkenaan dengan demokrasi sebagai tujuan

tentang bagaimana demokrasi seharusnya. Franz juga mengelaborasi

demokrasi dari segi etika politik dan mengemukakan lima gugus ciri

39

Prof. Dr. H. Muh. Said, Etika Masyarkat Indonesia, (Jakaarta Pramudya paramida, 1980), hal.89

40

Franz Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal. 27-29

41

(42)

30

hakiki negara demokrasi sebagai berikut,: a. Negara Hukum, b.

Pemerintah yang dibawah kontrol nyata masyarakat, c. Pemilihan umum

yang bebas, d. Prinsip Mayoritas, e. Adanya jaminan terhadap hak-hak

demokratis

Demokratis mempunyai arti penting bagi masyarakat yang

menggunakannya, sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk

menentukan sendiri jalannya organisasi negara terjamin. Oleh sebab itu,

hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu

memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional

implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama.42

Sistem politik demokrasi di anut hampir semua negara modern di

dunia ini, tetapi ternyata dengan bermacam-macam standar yang

digunakan. Hal ini disebabkan karena demokrasi itu sendiri memang

bukan merupakan entitas yang statis. Oleh karena itu, disamping

demokrasi mempunyai pengertian yang statis, juga mempunyai pengertian

yang dinamis, yang bearti bahwa demokrasi mengalami perkembangan

dalam artian atau makna sebagai akibat dari praktek demokrasi di berbagai

negara yang berbeda-beda.

Untuk itu kalau kita mau menilai antara sistem politik yang

demokratis dan sistem poltik yang mengaku demokratis adalah dengan

jalan melihat perbedaan kadar kekuasaan politik yang berada di tangan

42

(43)

31

rakyat. Perbedaan antara satu sistem politik yang dianggap demokratis

dengan sistem politik lain yang juga mengaku demokratis dapat diadakan

dan kalau mau di ukur, dengan jalan melihat perbedaan kadar kekuasaan

poltik yang berada di tangan rakyat yang terkandung di dalam

masing-masing sistem politik tersebut.43

Untuk itu gagasan negara demokrasi tidak terlerak kepada upaya

bagimana meberikan kebebasan sepenuhnya kepada masyarakyat,

malinkan bagaimana upaya membatasi kekuasaan yang dipegang atau

dijalankan pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas

kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap

warga negaranya.44

Dalam sistem politik dan pemerintahan modern, mengikuti Trias

Politica, kelompok pemegang peran pengambilan keputusan itu adalah

lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Karena itu, adanya

transparasni dan akuntabilitas, untuk itu di dalam demokrasi seorang

pemimpin hanya “orang pertama dari yang sama” bukan seorang pribadi

yang dominan yang karismatis dan bertidank sebagai bapak kepada

rakyatnya. Seorang pemimpin dalam masyarakat demokratis harus tokoh

yang tampil dengan kesadaran kenisbian dan keterbatasan dirinya secara

43

Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1978), hal. 243

44

(44)

32

wajar, sehingga memilki sikap terbuka, komunikatif dan memahami orang

lain.

Franz menyatakan bahwa wewenang untuk memerintahi

masyarakat harus berdasarkan pada penugasan dan persetujuan para warga

masyarakat sendiri. Kareananya, kekuasaan mesti hanya dilegitimasi oleh

kehendak mereka yang dikuasi. Lebih jauh dijelaskan bahwa kedaulatan

rakyat bertumpu pada hak setiap orang untuk menentukan dirinya sendiri

dan untuk turut serta dalam proses oengambilan keputusan yang

menyangkut seluruh masyrakat. Dengan begitu, yang diperlukan bukan

demokrasi total, melainkan kontrol demokrasi yang efektif.

Franz kemudian mengajukan tesis bahwa, kontrol masyarakat

terhadap kekuasaan negara bersifat nyata, walaupun terbatas. Hal ini

menjadi kian gamblang saat sistem demokrasi mensyaratkan adanya

keterbukaan dalam pengambilan keputusan. Secara lebih konkrit, kontrol

masyarakat terhadap tindakan administrasi negara, sesungguhnya

merupakan hak personal sebagai makhluk sosial. Dengan begitu apapun

yang dialkukan oleh pemerintah diamati secara ketat oelh masyarakat,

melalui media massa, lembaga perwakilan atau saluran-saluran lainya.

Sehingga, persoalannya berada pada derajat mengoptimalkan sosial

tersebut, serta bagaimana hal itu dijadikan in-put agar segala produk dan

(45)

33

kuat terhadap kpentingan rakyat. Dengan kata lain, pemberdayaan kontrol

sosial adalahh juga merupakan implementasi kedaulatan rakyat.45

Berbicara mengenai pembatasan dan pembagian kekuasaaan, jelas

tidak dapat dipsahkan dari pemikiran Montesquieu. Ia mengemukakan dua

gagasan pokok menganai pemerintahan yakni gagasan tentang pemisahan

kekuasaan dan gagasan tentang hukum, pendangan inilah pada

waktu-waktu kemudian di kenal dengan ajaran trias politika.

Pembagian kekuasaan dalam suatu negara menjadi tiga kelompok

yangmutlak harus diadakan, sebab dengan adanya pemisahan secara ketat

ini akan dapat di jamin adanya kebebadan dari masing-masing kekuasaan.

Artinya, pemisahan kekuasaan akan dapat menghindari terjadinya interaksi

atau campur tangan dari kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan yang

lain. Kebebasan di sini dimaksudkan untuk menunjukan suatu suasana di

mana orang merasa bahwa pribadi dan meliki mereka aman. Dalam kaitan

ini, rakyat memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja yang

dikehendaki sepanjang diperbolehkan atau diiikan oleh hukum.

Selanjutnya, dalam sistem hubungan antara negara dan masyarakat,

kebebasan di beri makna sebagai hasil pengaturan politik yang melindungi

masyarakat terhadap keccendrunga-kencendrungan penguasa untuk

menindas.

45

(46)

34

Beranjak dari pemikiran ini. Montesquieu menandaskan perlunya

hukum sebagai salah satu instrumen negara atau pemerintah demokrasi.

Dengan adanya hukum, pemrintah dapat melindungi warga negaranya,

sekaligus dapat menjamin adanya permainan kepentingan dalam lingkup

yang luas di antara mereka yang memerintah.

Menurut franz tentang pembatasan kekuasaan politik dalam suatu

negara pada prisnipnya di sebut dengan istilah negara hukum. Ide dasar

dari negara hukum ini ialah bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas

dasar hukum yang baik dan adil. Oleh karna itu dalam negara hukum

terdapat empat tuntunan dasar, yaitu: a. Tuntutan kepastian hukum yang

merupakan kebutuhan langsung masyarakat, b. Tuntuan bahwa hukuman

berlaku sama bagi segenap penduduk dan warga negara, c. Legitimasi

demokrasi di mana proses pembentukan hukum harus mengikutsertakan

dan menadapat persetujuan rakyat, d. Tuntutan akal budi yaitu

menjungjung tinggi martabat manusia dan masyarakat.46

Jelas bahwa pengertian pembagian kekuasaan berbeda dengan

pengertian pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan bearti bahwa

kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, bagian

menganai lembaga maupun menganai fungsinya. Sedangkan pembagian

kekuasaan bearti bahwa kekuasaan itu memnag dibagi-bagi dalam bagian,

tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara

bagian-bagian itu dimungkinkan adanya kerja sama.

46

(47)

35

Dalam ajaran trias politika sebagaimana telah diuraikan diatas,

terdapat dua ciri khas yang menandainya yaitu:

 Mencegah adanya kosentarsi kekuasaan dibawah satu tangan.

 Prinsip chek and balences (pengawasan dan keseimbangan).

Dalam praktek, teori trias politika pemisahan kekuasaan secara

murni sukar sekali diterapkan diabad dua puluh. Dengan adanya konsep

negara hukum yang semula hanya melindungi ketertiban sosial ekonomi

berdasarkan asas-asas yang berlaku, tiap campur tangan dalam

perekonomian dan segi-segi lain kehidupan sosial tidak di benarkan, oleh

karena itu negara hukum dalam arti luas yaitu negara kesejahteraan.

Paham negara hukum berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan

negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Jadi ada dua

unsur dalam negara hukum: pertama, bahwa hubungan antara yang

memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, melainkan

berdasarkan suatu noema objektif iyu, hukum memenuhi syarat bukan

hanya secra formal, melaikan dapat dipertahankan berhadapan dengan ide

hukum.

Hukumm menjadi landasan segenap tindakan negara, dan hukum

itu senderi harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang

diharapkan masyarakat dari hukum dan adil karena maksdu dasar senagap

(48)

36

negara diselengarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum

yaitu legitimasi demokrasi.

Legitimasi demokrasi atau tuntutan agar penggunaan keukasaan

harus berdasarkan persetujuan dasar para warga negara dan senantiasa

berada di bawah kontrol mereka, langsung mengandung tuntutan agar

kekuasaan negara secara langsung mengenai kekuasaaan legislatif. Semua

undang-undang harus di setujui oleh parlemen yang dipilih oleh para

warga negara tidak akan efektif lagi. Kontrol demokratis para warga

negara tidak akan efektif lagi. Kontrol demokratis hanya mungkin apabila

negara bertindak dalam jalur-jalur normatif yang dipasang atau di setujui

oleh para wakil rakyat. Negara hukum merupakan salah satu prasyarat agar

negara dapat betul-betul bersifat demokratis. 47

Istilah “etika Islam” atau yang dekat dengan istilah itu dalam

bahasa Indonesia sudah biasa dijadikan judul buku yang membahas

masalah etika dalam pandangan Islam. Misalnya, buku yang ditulis oleh

hamzah ya‟kub yang berjudul Etika Islam: Pembinaan akhlaqulkarimah

(suatu Pengantar), Buku yang ditulis oleh rachmat Djatnika yang berjudul

Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), dan buku yang ditulis oleh Mudlor

Achmad yang berjudul Etika Dalam Islam.

Dalam bahasa Inggris “etika Islam” diterjemahkan dengan “Islmaic

ethics” . buku-buku yang membahas masalah etika Islam yang ditulis

47

(49)

37

dalam bahasa Inggris, misalnya buku yang ditulis oleh George F. Hourani

yang berjudul Reason an Tradition in Islamic Ethics dan sebuah tulisan

yang dikarang oleh Azmi Nanji dalam buku A Compenion to Ethics dengan judul “Islamic Ethics”

Sedangkan dalam bahasa arab, “Etika Islam” biasa disepankan

dengan beberapa istilah sebagai berikut; Pertama, „Ilm al-akhlaq, istilah

ini dalam kamus Al-Mawrid diterjemahkan dengan etika (ethics), Moral

(moral), dan Filsafat moral (Moral philosophy). Sedangkan dalam kamus

al-mu‟jam al-Wasith istilah “Ilm al-akhlaq” didefinisikan “ilmun maudhu‟uhu ahkamun qimiyyatun tata‟allaqu bi al-a‟mal al-latitushafu bi

la-husniaw al-qubhi. Misalnya, Ibnu Sina menulis sebuah buku dengan judul „Ilm-al-Akhlaq yang berisi uraian tentang etika. Kedua, falsafah

al-akhlaq, Misalnya yang terdapat dalam kitab yang ditulis oleh manshur Ali

Rajab berjudul Taammulat fi Falsafat al-Akhlaq. Kitab yang ditulis oleh

Muhammad Yusuf Musa dengan judul Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa

Shilatuha bi al-Falsafat al-Ighriqiyah.

Permasalahan yang sering muncul dalam etika politik adalah

masalah legitimasi etis kekuasaan yang dapat dirumuskan dalam hak

moral seseorang atau sekelomok orang yang memgang dan

mempergunakan kekuasaan yang dimilikinya. Betatapun besar kekuasaan

(50)

38

Untuk itu etika politik memberi petunjuk prinsip-prinsip etika

dasar dengan beberapa implikasi langsung pada kedudukan manusia yang

akan dijadikan landasan perumusan etika politik. Prinsip dasar yang

pertama ialah mewujudkan kesejahteraan umum yang mempunyai releansi

politik tertinggi, dalam artian bahwa semua tindakan dan kebijakan, harus

memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat, akan tetapi asal

tidak melanggar hak dan keadilan. Prinsip dasar yang lain adalah prinsip

keadailan yang mengatakan bahwa kita wajib untuk memperlakkukan

semua orang dengan adil, dalam artian bahwa untuk menghormati hak-hak

mereka dan memberikan perlakuan yang sama dalam situasi yang sama

pula. Prinsip keadilan itu sendiri berdasarkan pada prinsip hormat terhadap

seseorang yang mengungkapkan kewajiban untuk memperlakukan segenap

manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan tidak pernah hanya

sebagai sarana untuk tujuan-tujuan lebih betapapun manfaatnya. Untuk itu

(51)

39

BAB III

KEKUASAAN MENURUT IBNU TAIMIYAH DAN IBNU KHALDUN

A. Kekuasaan Menurut Ibnu Tainiyah a) Kekuasaan Tuhan

Persoalan antara Islam dan negara dalam masa modern merupakan

salah satu subyek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir

Islam sejak hampir seabad lalu himgga dewasa ini, tetap belum

terpecahkan secara tuntas. Pengalaman masayrakat Muslim di berbagai

penjuru dunia, khususnya sejak usai Perang Dunia II mengesankan

terdepatnya hubungan yang canggung antara Islam (din) dan negara

(dawlah), atau bahkan politik pada umumnya. Berbagai “eksperimen”

dilakukan untuk menyelaraskan antara din dengan konsep dan kultur

politik masayrakat Muslim : dan eksperimen-ekperimen itu dalam banyak

hal sangat beragam. Tingkat penetrasi “Islam” ke dalam negara dan politik

juga berbeda-beda.48

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa negara dan agama “sunggug

saling berkelindan; tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama

berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi

sebuah organisasi yang tiranik, “Dalam al-Siyasah al-Syar‟iyyah, ia

menganggap penegakan Negara sebagai tugas suci untuk mendekatkan

48

Referensi

Dokumen terkait

Khaldun dan Ibnu Taimiyah tentang mekanisme pasar.

Machiavelli sebagai tokoh politik zaman Renaissance telah berhasil membuat sebuah karya yang mengelaburasikan antara system kerajaan (monarki) dan Republik, yang dia beri

Dapat disimpulkan bahwa politik, menurut Aristoteles adalah sisi sosial unsur etika, yaitu etika secara luas yang meliputi semua ilmu terapan etika, termasuk etika─dengan

Ketiga, mereka pun memandang bahwa negara adalah sebagai lembaga politik yang sama sekali terpisah dari agama, kepala negara karenanya hanya mempunyai

Demikian juga meski orientasi pemikiran politik Ibnu Taimiyah terlihat berdasarkan pada agama dan akhlak, seperti dapat diperhatikan pada agama dan akhlak, seperti

Hasil penelitian ini adalah: pertama, kekuasaan dalam konsep dasar etika politik berorientasi kepada kebaikan dan kesejahteraan sosial; kedua, konsep kekuasaan yang dikemukakan

adalah kekuatan primitif dan utama yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabiyah, atau elemen-elemen pengikat masyarakat, solidaritas sosial atau perasaan

Persamaan pemikiran antara Ibnu Taimiyah dan Mohammad Natsir adalah sama – sama menginginkan negara agama dan sama – sama menentang pemerintahan ketika beliau merasa berbeda