SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun oleh :
MUHAMMAD IBNU TASLIM NIM: 1110045200007
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
i
ABSTRAK
MUHAMMAD IBNU TASLIM. NIM 1110045200007. PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR DALAM PETA PERPOLITIKAN DI INDONESIA DI MASA ORDE LAMA. Konsentrasi Ketatanegaraan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1436 H/2015 M. IX + 76.
Tokoh Mohammad Natsir ini penting untuk dikaji. dari karya-karya dia mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam dan politik di Indonesia dalam melihat berbagai fenomena keagamaan Islam dan ia juga mengkritik sejumlah persoalan politik yang berkembang di Tanah Air terutama pada masa orde lama. Karena, Natsir mampu membicarakan persoalan Islam, baik dalam dimensi normative maupun historis, yang melibatkan isu-isu sosial budaya, ekonomi, dan politik yang lebih bersifat praktis.
Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif (library research). yaitu metode penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan datanya dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari buku-buku teks, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan tentang pemikiran politik Mohammad Natsir.
Hasil dari penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan bagi pembaca, memberikan wawasan serta keilmuan bagi peneliti, dan memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Kata Kunci : Orde Lama, Pemikiran Politik, Peta Perpolitikan.
Pembimbing : Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA.
ii
melimpahkan rahmat, nikmat dan karunia-Nya kepada segenap umat manusia.
Shalawat beriringkan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW, manusia yang sempurna keimanannya serta manusia yang
paling mulia, hingga patutlah menjadi teladan bagi seluruh umat manusia lainnya.
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah. Penelitian yang berjudul
“Pemikiran Politik Mohammad Natsir Dalam Peta Perpolitikan Di Indonesia
Di Masa Orde Lama” telah dapat penulis selesaikan. Penulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi
strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Merupakan suatu kehormatan bagi penulis untuk mempersembahkan yang
terbaik bagi kedua orang tua, seluruh keluarga penulis, almamater, dan
pihak-pihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Sebagai bentuk
penghargaan, penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Dra. Hj. Maskufah, MA. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah
yang telah memberikan arahan dalam penelitian skripsi penulis.
3. Ibu Hj. Rosdiana, MA. Selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang
telah banyak membantu dalam hal akademik terkait penyelesaian studi
iii
5. Segenap Dosen dan staf akademik Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat serta bantuan bagi penulis.
6. Segenap staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan
Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas
penyediaan literature dalam penulisan skripsi ini.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Suhartono dan Ibunda Inayah Zakaria,
serta adik-adik tersayang Muhammad Fahri Husain dan Syifa Amalia dan
keluarga yang telah memberikan motivasi, saran, dukungan dan doa bagi
penulis.
8. Keluarga Besar Siyasah Syariah (Ketatanegaraan Islam) 2010, khususnya
teman-teman seperjuangan Siyasah Syariah 2010, Alumni Darussalam Gontor
2008 serta K.H.Abdullah Syukri Zarkasyi, K.H. Hasan Abdullah Sahal, K.H.
Syamsul Hadi Abdan S,Ag. Dan masih banyak yang lainnya yang tidak
mampu penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan doanya
selama ini.
9. Teman-teman KKN Sahabat dan Keluarga Besar Desa Mauk Barat.
Terimakasih atas motivasinya.
10.Teman-teman Seperjuangan HMI KOMFAKSY terimakasih atas dukungan
iv
pahala yang berlipat ganda. Dengan segala kekurangan, besar harapan penulis
agar skripsi ini mampu memberikan manfaat serta pengetahuan bagi penulis
pribadi dan para pembaca lainnya. Semoga Allah senantiasa membimbing dan
memberikan petunjuk dalam setiap langkah.
Jakarta, 5 April 2015
Penulis
v
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Permasalahan ... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Metode Penelitian ... 11
E. Review Studi Terdahulu ... 16
F. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II PETA PERPOLITIKAN DI MASA ORDE LAMA ... 21
A. Kondisi Sosial Politik Di Masa Orde Lama ... 21
B. Kekuatan Politik Islam Di Masa Orde Lama ... 26
1. Politik Islam di Masa Kemerdekaan ... 26
2. Politik Islam Dalam Pembentukan Negara Pada Masa Kemerdekaan ... 32
3. Peranan Islam dalam Konstituante ... 35
C. Kebijakan Politik Orde Lama ... 37
1. Kebijakan Pemerintah Orde Lama ………. .. 37
vi
BAB III BIOGRAFI MOHAMMAD NATSIR ... 46
A. Riwayat Hidup Mohammad Natsir ... 46
B. Riwayat Intelektual Mohammad Natsir ... 47
C. Posisi Mohammad Natsir Diantara Para Pemikir Islam Pada Masanya ... 52
D. Pengaruh Pemikiran Mohammad Natsir di Indonesia…….. ... 55
1. Dianggap Sebagai Tokoh Pancasila ... 55
2. Arsitek Utama Negara Kesatuan ... 56
3. Dari Berpolemik Hingga Menjadi Menteri Kesayangan Soekarno ... 56
4. Tokoh Dunia Islam Yang Sederhana ... 58
BAB IV SIGNIFIKANSI PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR ... 60
A. Peran Natsir Sebagai Menteri Penerangan……….. ... 60
B. Peran Natsir Sebagai Perdana Menteri Pertama Negara Kesatuan RI ... 63
1. Pembentukan Negara Kesatuan RI……….. ... 63
2. Pemetaan Politik Luar Negeri……….. ... 66
vii
BAB V PENUTUP ... 79
A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 80
1 A. Latar Belakang Masaalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentang dari
Sabang sampai Merauke adalah sebuah negara besar. NKRI yang
diperjuangkan dengan segenap pengorbanan, baik melalui perang maupun
diplomasi. Perjuangan itu pun melahirkan banyak pahlawan pejuang
kemerdekaan dari Sultan Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Imam Bonjol,
Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, hingga KH Zaenal Mustafa. Dalam
bidang diplomasi ada Soekarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir,
Muhammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir yang
mana mereka gigih memperjuangkan Kedaulatan Negara dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.1
Dalam upaya menegakkan kedaulatan NKRI selain Sjafruddin
Prawiranegara dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia-nya (PDRI)
di Sumatera Barat, juga ada Mohammad Natsir yang turut serta memainkan
peranan luar biasa bagi tegaknya kedaulatan Negara kita ini.2 Di mana dalam
sidang parlemen gabungan Negara Republik Indonesia (RI) dan Republik
Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Natsir yang sebagai anggota parlemen
dari Masyumi, pada 3 april 1950, mengajukan Mosi Kesatuan yang populer
1
Lukman Hakiem,dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir (Jakarta: Republika, 2008), h. 353-354.
2
dengan sebutan Mosi Integral Natsir.3 Mosi inilah yang mengantarkan
masing-masing Negara bagian, untuk bersatu kembali ke dalam Negara kesatuan
Republik Indonesia. Pengaruh mosi ini diakui sangat strategis bagi perjuangan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.4
Masa orde lama sangatlah menarik karena adanya pertarungan ideologi
partai berbeda antara yang satu dengan lainnya. Misalnya, Nasakom yaitu
Nasionalis PNI-PARTINDO-IPKI-dll, Komunis PKI; Islam NU-MASYUMI-
PSII-PI PERI, Sosialis PSI-MURBA, Kristen PARKINDO dll.5 Orde Lama
dalam sejarah politik Indonesia merujuk kepada masa pemerintahan Soekarno
(1945-1965).6 Sedangkan Nasakom merupakan konsep politik selama presiden
Sukarno di Indonesia. Nasakom adalah akronim dari Nasionalisme, Agama,
dan Komunisme.7 Memang Orde lama telah dikenal dengan prestasinya dalam
memberi identitas, kebangsaan nasional dan mempersatukan bangsa
Indonesia.8
Namun di sisi lain Orde Lama juga telah memberikan peluang bagi
kemungkinan kaburnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Pemberontakan PKI pada 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD
3
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan RI (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.70-71.
4
Lukman Hakiem,dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.359-360.
5
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), h.34.
Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965 yang mengaburkan
identitas nasional kita. 9
Pada masa Orde Lama partai-partai Islam berasaskan Islam juga
bersatu padu memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara.10 Namun,
kekuatan politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno.
Kebijakan itu terutama berkaitan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang
diberlakukan. Sebab sistem ini, memberikan keleluasaan lebih besar kepada
Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung
politik Nasional. Juga, kebijakan Soekarno tentang keputusannya
membubarkan Masyumi Agustus 1960.11
Dalam proses pengakuan kedaulatan dan pembentukan kelengkapan
Negara, ditetapkan sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini
presiden hanya bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak
mengatur formatur pembentukan kabinet.12 Oleh karena itu, tanggung jawab
pemerintah ada pada kabinet dan presiden tidak boleh bertindak
sewenang-wenang. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Dalam
hal ini Presiden Soekarno menunjuk Mohammad Natsir sebagai formatur
9
Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa (Jakarta:Gema Insani Press, 1997), h.60-61.
10
https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/10/13/partai-politik-islam-dalam-peta-politik-indonesia/
11
https://ikadianhumairohsuparyat.wordpress.com/2013/07/25/politik-islam-era-orde-lama/
12
karena telah berjasa dengan Mosi Integralnya yang membubarkan RIS yang
diterima bulat oleh parlemen, lalu diangkatlah Mohammad Natsir sebagai
Perdana Menteri oleh Presiden saat itu yaitu Soekarno.13
Dalam sistem demokrasi liberal ini, partai-partai besar seperti
Masyumi, PNI, dan PKI mempunyai partisipasi besar dalam pemerintahan.
Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen
(Dewan Perwakilan Rakyat ) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai besar
berdasarkan UUDS 1950.14 Salah satu ciri penting dalam penerapan sistem
Demokrasi Liberal di negara kita ini adalah silih bergantinya kabinet yang
menjalankan pemerintahan. Kabinet yang pertama kali terbentuk pada tanggal
6 september 1950 adalah kabinet Natsir.15
Mohammad Natsir dikenal sebagai seorang negarawan Muslim, ulama,
intelektual, tokoh pembaharu dan politisi kenamaan dunia Islam pada abad
ke-20 ini. Pada masa perjuangan kemerdekaan ia dipercaya untuk menduduki
jabatan-jabatan penting di Republik Indonesia, seperti menjadi anggota badan
pekerja komite nasional Indonesia pusat (BP KNIP), Menteri Penerangan
1946-1948, anggota DPRS dan Perdana Menteri 1950-1951.16
Setelah pemilu tahun 1955, terjadi perkembangan politik yang cukup
menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis
13
Lukman Hakiem, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.283.
14
Deliar Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, h.347.
15
Soekarno, Bung Karno: Negara Nasional dan Cita-cita Islam (Jakarta: Seridokumentar,2003), h.103.
16
sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang
rancangan UUD perihal dasar Negara yang akan digunakan.17 Saat itu ada tiga
rancangan dasar Negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi.
Rancangan tentang sosial ekonomi diajukan oleh partai buruh. Sedangkan
murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis Konstituante.
Sementara itu perdebatan didominasi antara golongan Islam dan Nasionalis
sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar Negara. Perdebatan itupun
berakhir setelah Bung Karno membubarkan Majelis Konstituante dengan
dekrit presiden 5 juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan
tetap berdasarkan Pancasila.18
Suasana di atas setidaknya menggambarkan dinamika politik pasca
kemerdekaan dengan upaya untuk merumuskan kembali hubungan antara
agama Islam dan Negara yang dapat diterima secara luas oleh bangsa
Indonesia. Pada pemerintahan sistem politik orde lama, masyarakat masih
belum memiliki kesadaran berpolitik.19
Dalam perdebatan dasar Negara golongan Islam diwakili oleh
Mohammad Natsir yang selama masa pra-kemerdekaaan telah berusaha
merumuskan konsep-konsepnya mengenai Negara Islam melalui
tulisan-tulisannya di majalah Pembela Islam yang terbit antara tahun 1929-1935 dan
17
A.H. Nasution, Sejarah Kembali Ke UUD 1945 (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1976), h.14.
18
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:LP3ES,1987), h.124.
19
Pandji Islam 1937-1941.20 Menurutnya, Islam bukan semata-mata agama
dalam pengertian ruhaniah saja. Islam mengatur hubungan antara manusia
dengan Allah dan antara sesama manusia. Islam merupakan pedoman dan
falsafah hidup yang tidak mengenal pemisahan agama dan politik.21
Mohammad Natsir merupakan tokoh yang telah berhasil membangun
fondasi perpolitikan di Indonesia, dan khusus bagi umat Islam, Mohammad
Natsir telah memerankan peranan yang luar biasa dalam bingkai Ke-Islaman
dan meletakkan Islam dalam bingkai Ke-Indonesiaan. Maka tak heran jika
banyak predikat yang melekat pada pribadinya. Predikat ini pun muncul bukan
dari keinginannya, tetapi justru lahir dari umat ketika melihat perjalanan hidup
Mohammad Natsir.22
Tanpa menafikan peran para pemikir muslim lainnya, Mohammad
Natsir telah mengembangkan pemikirannya di masa orde lama dan Politik
Islam di Indonesia dengan bingkai teori Ilmu-ilmu politik.23 Banyak karya dan
buku telah di terbitkannya sebagai bagian kepedulian dan kontribusinya dalam
mencari jalan keluar dari kebuntuan perdebatan mengenai politik. Ini
menunjukkan, pentingnya Ilmu politik dalam memahami soal politik yang
terjadi di Indonesia dan khususnya di masa orde lama.24Dalam hemat penulis
tokoh seperti Mohammad Natsir penting untuk dikaji sebab dari pemikiran
20
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.125-127.
21
Deliar Noer, Partai-partai Islam di pentas nasional 1945-1965, h.126.
22
Lukman Hakim, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.140.
23
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h.9.
24
serta karya-karyanya mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam
dan politik di Indonesia dalam melihat berbagai fenomena politik.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis memfokuskan kajian penelitian
pada pemikiran politik Mohammad Natsir (selanjutnya disebut Natsir) tentang
Peta perpolitikan di Indonesia pada masa orde lama, dan beberapa aspek
pemikirannya yang mengundang kontroversi. Pemikiran politik Natsir dalam
hal ini, merupakan ijtihad politik Natsir dalam rangka menemukan nilai-nilai
Islam dalam konteks sistem bernegara. Kepedulian seorang tokoh terhadap
tanah kelahirannya dapat dilihat dari pemikiran, perjuangan dan tindakannya
dalam mengartikulasikan ide-idenya. Ide-idenya dipaparkan secara
komprehensif dan meyakinkan. Argumen-argumen yang dibangunnya
disampaikan, mulai dari filosopis sampai praktisnya. Sehingga ide-idenya
tidak saja memperkaya wacana, namun dapat dijabarkan secara operasional.
Hal itu dimungkinkan karena kapasitasnya sebagai intelektual dan
negarawan.25
Natsir memang telah tiada, namun ia telah mewariskan ide dan
gagasan pemikiran yang mahal dan langka. Semuanya telah tertuang dalam
beberapa artikel yang jumlahnya tak terhitung.26 Islam jelas berpengaruh
dalam pikiran dan perjuangannya. Oleh karena itu, studi tentang pemikiran
dan aksi politik Islam Mohammad Natsir menjadi sangat menarik dan patut
untuk diteliti secara mendalam dalam rangka memberikan kontribusi positif
25
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), h.42.
26
bagi upaya memahami format politik Islam di Indonesia dalam kaitannya
dengan Islam dan politik di masa orde lama. Untuk itu judul yang diambil
dalam penelitian skripsi ini adalah PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD
NATSIR DALAM PETA PERPOLITIKAN DI INDONESIA DI MASA
ORDE LAMA.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dengan mengajukan skripsi ini maka peneliti memperoleh
kesempatan melakukan historical insight, tentang seorang tokoh besar
yaitu Mohammad Natsir. Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual,
politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di
abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi
asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen
yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar
bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya. Tak diragukan
lagi banyak sekali pengalaman yang menginspirasikan
pemikiran-pemikirannya untuk diterapkan di Indonesia. Dari sekian banyak
pemikiran Mohammad Natsir, penulis ingin memfokuskan kajian
penelitiannya terhadap pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde
lama.
2. Pembatasan Masalah.
Sebagaimana banyak diketahui Mohammad Natsir dikenal sebagai
Islam, Seorang tokoh yang menghasilkan pemikiran yang luar biasa
tentang Islam. Oleh sebab itu, dalam skripsi ini penulis akan membatasi
pembahasannya lebih fokus kepada pemikiran politik Mohammad Natsir
di masa orde lama dan difokuskan yang ditulis adalah kerangka pemikiran
politik Mohammad Natsir di masa orde lama dalam membatasi ruang
kajian ini.
3. Perumusan Masalah
Dengan merujuk pada keterangan yang telah dijelaskan diatas, ada
bebarapa persoalan yang terangkum dalam identifikasi masalah,
berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pembahasan skripsi ini penulis
melakukan penelitian bagaimana pemikiran politik Mohamammad Natsir
di Indonesia di masa orde lama dan dapat diuraikan secara terperinci
sebagai berikut:
a. Bagaimana peta perpolitikan Mohammad Natsir di Indonesia di masa
orde lama?
b. Bagaimana Perjalanan hidup Mohammad Natsir selaras dengan
kehidupan politiknya?
c. Bagaimana Signifikansi pemikiran politik Mohammad Natsir?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui dan memahami secara
jelas tentang pemikiran politik Mohammad Natsir khususnya pemikiran
kritis terhadap pemikiran dan gagasannya. Dan juga ingin lebih dalam
mengkaji tentang beberapa hal, yang di antaranya adalah:
a. Untuk mengetahui peta perpolitikan Mohammad Natsir dalam
politiknya, khususnya peta perpolitikan Mohammad Natsir di masa
orde lama.
b. Mengetahui Perjalanan hidup Mohammad Natsir selaras dengan
kehidupan politiknya.
c. Untuk mengetahui signifikansi pemikiran politik Mohammad Natsir.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Praktis
Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar
kesarjanaan strata 1 (S1) Fakultas Syariah dan Hukum di Jurusan
Ketatanegaraan Islam pada Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
b. Manfaat Akademis
1) Sebagai tambahan referensi atau perbandingan bagi studi-studi
yang akan datang, judul skripsi yang penulis angkat diharapkan
akan menambah jumlah studi mengenai politik Islam.
2) Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah
keilmuan dibidang ilmu poltik.
3) Bagi Fakultas, diharapkan memberikan sumbangan kepustakaan
Ketatanegaraan Islam.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun
skripsi ini adalah library research yaitu metode penelitian yang
menggunakan teknik pengumpulan datanya dengan memanfaatkan
berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian
baik dari buku-buku teks, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan
tentang pemikiran politik Mohammad Natsir. Namun yang tetap perlu
diperhatikan adalah unsur selektif yaitu tidak semua unsur bacaan yang di
temukan lalu ditelaah dan dipakai begitu saja, agar didapatkan hasil
penelitian yang relevan dan tidak meluas kemana-mana. Kajian inipun
sering juga disebut kajian literatur27.
Penelitian tokoh ini juga bersifat kualitatif yang berangkat dari
generalisasi empiris atau realitas-realitas sosial sejarahnya.
Realitas-realitas tersebut dideskripsikan dan di analisis secara komprehensif,
holistik, dan komparatif. Aspek yang bersifat fenomenal dan historis juga
didiskripsikan dan ditelaah secara kritis hingga melahirkan satu
generalisasi yang bersifat ideografis.
27
Menurut Bogdan dan Taylor (1973),28 penelitian kualitatif adalah
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau
tulisan, dan perilaku yang dapat diamati dari subyek itu sendiri.
Pendekatan ini menunjukkan langsung dari setting itu secara keseluruhan.
Subjek studi baik berupa organisasi, lembaga, atau individu tidak
dipersempit menjadi variable yang terpisah atau menjadi hipotesis, tetapi
dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan (holistik).
Strategi penelitian menggunakan studi tokoh kritis yang
merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif. Dalam studi tokoh kritis,
metode yang digunakan untuk meneliti subjek penelitian akan
mempengaruhi cara pandang subjek tersebut. Sehingga studi tokoh kritis
terletak pada kapasitas untuk menganalisa dan menginterpretasi tokoh
Mohammad Natsir secara kritis. Melalui metode ini juga, dapat dikenali
secara mendalam bagaimana Mohammad Natsir secara pribadi dengan
melihat konsepnya, sesuai dengan cara pandangnya terhadap dunia dengan
pemikiran, karya, dan perilaku politiknya. Penelitian kualitatif ini mencoba
mengeneralisasikan tokoh Mohammad Natsir, dari sisi pemikiran
politiknya khususnya tentang perpolitikan di masa orde lama.
Oleh karena itu, kajian literatur kritis yang baik menjadi prasyarat
wajib bagi setiap penelitian, baik untuk penjabaran atau mempertajam
permasalahan, merumuskan hipotesis, merumuskan konsep-konsep,
menentukan dasar-dasar teori yang dipergunakan dalam mengumpulkan
28
data, maupun dalam menafsirkan data. Penelitian kepustakaan ini
diperoleh dengan melakukan penalaran dedukatif secara simultan dari
sumber-sumber bacaan yang diperoleh. Jadi penelaahan ini tidaklah hanya
memindahkan buah pemikiran orang lain secara dogmatis tetapi
memerlukan proses berpikir seorang peneliti agar terhindar dari unsur
menjiplak.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan
sejarah (historical approach) dalam hal ini peneliti mengeksplorasi perkembangan konsep ataupun pemikiran serta aksi politik Mohammad
Natsir secara kronologis. Dengan mengunggkap perkembangan politik
Islam secara kronologis, dari itu akan dapat diketahui dengan lebih mudah
perihal sebab-sebab lahir dan berkembangnya kebijakan-kebijakan pada
masa itu. Pada akhirnya penulis dapat menemukan orisinalitas dan inti
pemikiran Mohammad Natsir tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Pengumpulan data
Sebagai implikasi dari pendekatan yang digunakan, maka
metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif,
ucapan atau tulisan, dan prilaku yang dapat diamati dari subyek itu
sendiri. dengan metode ini penulis mengkaji bahan atau data dari
sumber tulisan yang terkait, baik dari sumber primer maupun
sekunder.
karya tulis yang merupakan karya asli dari Mohammad Natsir antara
lain adalah Kebudayaan Islam dalam perspektif sejarah, Di bawah
Naungan Risalah, Islam Sebagai Dasar Negara, Demokrasi di Bawah Hukum, Indonesia di Persimpangan Jalan, dll.
Adapun sumber data yang bersifat sekunder adalah dokumen
atau karya tulis yang ditulis oleh orang atau suatu lembaga tentang
sosok Mohammad Natsir dengan memberikan kategorisasi dan
pengelompokan kualitas pada data yang diperoleh baik yang berasal
dari dokumen pustaka misalnya Buku-buku yang mengkaji tentang
Mohammad Natsir adalah Pemikiran Natsir dalam perkumpulan
intelektual di Indonesia yang ditulis oleh Anwar Haryono dan
Lukman Hakim, dan juga buku Mohammad Natsir 70 tahun:
kenang-kenangan kehidupan dan perjuangan karangan Yusuf Abdullah Puar,
lalu ada pula buku yang menjelaskan tentang Biografi Mohammad
Natsir yaitu buku M. Natsir, sebuah biografi yang ditulis oleh Ajib
Rosyidi, kemudian ada buku tentang Gerakan Modernisme Islam di
Indonesia 1900-1942 yang ditulis oleh Deliar Noer dan Partai Islam di
Pentas Nasional, ataupun dari data lain seperti internet, kemudian
data-data tersebut dianalisis dengan kritis secara akademis. Oleh
karena itu, penulisan akan merujuk pada pengkajian pustaka, baik
karya asli mapun terjemahan, juga karya-karya yang sesuai atau
mendukung dengan tema bahasan.
b. Pengolahan Data
skripsi ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan
hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data primer dan sekunder secara
apa adanya. Kemudian dianalisa dengan cara menginterpretasikan dari
hasil-hasil yang telah didapatkan. Kemudian data-data tersebut
diklasifikasikan sesuai dengan tema dan sub-sub bab yang akan
dibahas oleh penulis, kemudian penulis mendeskripsikan ini dengan
memaparkan secara sistematis yang disertai dengan membuat analisis,
kritik dan kesimpulan. Analisis yang digunakan penulis adalah analisis
hubungan yaitu memberikan analisis dengan menghubungkan uraian
dan penjelasan yang terdapat pada bab-bab sebelumnya diakhir
pembahasan.
c. Teknik Analisis Data
Analisis data dengan metode analisis induktif yaitu dengan
melakukan analisis secara menyeluruh terhadap data-data yang telah
didata, kemudian akan dihasilkan kesimpulan penelitian terhadap
permasalahan yang diangkat. Metode ini dilakukan penulis dengan
berbagai langkah yaitu dengan cara menghimpun seluruh data-data
tersebut dijadikan beberapa bab dan sub bab, setelah semuanya terdata
dengan baik, langkah selanjutnya data-data tersebut dianalisa oleh
penulis sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang sesuai dengan
informasi dan data-data yang didapatkan.
d. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada Buku
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Fakultas
Syari‟ah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta
tahun 2012.
E. Review Studi Terdahulu
Sebagai seorang tokoh agama sekaligus negarawan, kehidupan dan
pemikiran Mohammad Natsir cukup banyak mendapat sorotan dari para
penulis, terutama berkaitan dengan perjuangan Islam dan bangsa Indonesia.
Sebagai contoh Deliar Noer dalam bukunya yang berjudul Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942. Deliar Noer memaparkan tentang Mohammad
Natsir sebagai anggota Persis, permulaan karirnya, kaitannya dengan Partai
Islam Indonesia, dan Polemiknya dengan Soekarno.29 Abdul Munir Mulkhan
dalam bukunya yang berjudul Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi
Kebudayaan dalam Islam : di dalamnya memaparkan pandangan Mohammad
Natsir tentang Perjuangan Islam dan Bangsa Indonesia.30 Meskipun kedua
buku ini membicarakan tentang Mohammad Natsir dalam Perjuangan Islam
dan Bangsa Indonesia, tapi ia bukanlah tema sentral dari tulisan tersebut.
Mohammad Natsir dibahas sebagai sebuah bagian yang berfungsi untuk
menyempurnakan tema sentral dari kedua tulisan.
Adapun tulisan yang menjadikan Mohammad Natsir sebagai tema
sentral antara lain: (1) Pak Natsir 80 Tahun: Pandangan dan Penilaian
Generasi Muda Antar Generasi. Tulisan ini merupakan kumpulan tulisan dari
29
Deliar Noer , Gerakan Modernisme Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), h.308-315.
30
beberapa tokoh tentang pandangan mereka terhadap Mohammad Natsir baik
sisi pribadinya, perjuangannya dalam agama dan Negara ataupun
pemikirannya tentang Islam dan Negara.31 (2) Percakapan antar Generasi:
Natsir Pesan Perjuangan seorang bapak adalah hasil wawancara A.W.
Praktiknya dan Amien Rais dengan Mohammad Natsir yang berkaitan dengan
Islam, Gerakan, dan Perkembangannya.32 (3) Natsir: Sebuah Biografi oleh
Ajib Rasidi. Dari judul tulisan ini dapat terlihat bahasa tulisan tersebut
memfokuskan diri pada biografi Mohammad Natsir dari awal kelahirannya
hingga perjuangan dan perannya dalam kehidupan beragama dan berbangsa.33
(4) Dasar Negara Islam Indonesia: Pemikran, Cita-cita, dan Semangat
Nasionalisme Natsir oleh Kholid O.Santosa: Memaparkan Perkembangan
Pemikiran Mohammad Natsir berkaitan dengan agama dan politik serta
konsep Negara Islam sebagai konsep usulannya.34 (5) Polemik Negara Islam:
Soekarno Versus Natsir oleh Ahmad Suhelmi. Fokus tulisan ini adalah
perdebatan antara Soekarno dan Natsir dalam memahami hubungan agama
dan Negara.35
Selain tulisan-tulisan diatas, terdapat juga tulisan dalam bentuk skripsi
31
Endang Saifuddin Anshari dan Amien Rais, Pak Natsir 80 Tahun: Pandangan dan Penilaian Generasi Muda (Jakarta: Media Dakwah, 1988), h.187-189.
32
A.W Praktiknya, Percakapan Antara Generasi: Natisr Pesan Perjuangan seorang Bapak (Yogyakarta : Labda, 1989), h.1-130.
33
Ajib Rosidi, M.Natsir: Sebuah Biografi, h.15-312.
34
Kholid O. Santosa, Dasar Negara Islam Indonesia: Pemikiran, Cita-cita dan Semangat Nasionalisme Mohammad Natsir (Bandung: LP2EPI, 2002), h.187-345.
35
yang membahas tentang Mohammad Natsir, antara lain (1) “Konsep
Kenegaraan Dalam Islam Menurut Mohammad Natsir” oleh Muhammad
Taisir. Tulisan ini menyoroti pandangan Mohammad Natsir tentang Negara
yang berpijak pada ajaran agama Islam.36 (2) “Natsir: Politikus Intelektual
Muslim” oleh Sri Murti. Tulisan ini tidak memfokuskan pada salah satu
pemikiran Natsir namun menyoroti segala sesuatu yang berkaitan dengan
Mohammad Natsir sebagai seorang politikus Muslim.37 (3) “Pemikiran
Mohammad Natsir tentang Negara dan Kiprahnya dalam Perpolitikan di Indonesia” oleh Adhiyat Bagus Nugraha. Dalam pembahasannya lebih
mengarah pada hubungan agama dan Negara.38
Dengan demikian, Penelitian ini berbeda dengan tulisan-tulisan tentang
Mohammad Natsir yang telah ada, penelitian ini lebih menekankan dan
membahas serta menitikberatkan tentang pemikiran politik Mohammad Natsir
dalam peta perpolitikan di Indonesia di masa orde lama. Oleh karena itu, studi
tentang pemikiran dan aksi politik Mohammad Natsir menjadi sangat menarik
dan patut untuk diteliti secara mendalam dalam rangka memberikan kontribusi
positif yang tinggi bagi upaya memahami format politik Islam di Indonesia
dalam kaitannya dengan Islam dan politik.
F. Sistematika Penulisan
36Muhammad Taisir, “Konsep KenegaraanIslam Menurut Mohammad Natsir”,
(Skripsi S1 Fakultas Adab, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, 1999).
37Sri Murti, “Politikus Intelektual Muslim”
, (Skripsi S1 Fakultas Adab, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, 1996).
38Adhiyat Bagus Nugraha, “Pemikiran Mohammad Natsir tentang Negara dan Kiprahnya
Untuk memudahkan penulisan, maka penulis menggunakan
sistematika penulisan dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta agar pemaparan hasil penelitian dalam
bentuk penulisan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, penulis membagi
uraian skripsi ini menjadi lima bab, yakni masing-masing terdiri dari sub-sub
yang terdiri sebagai berikut:
Pada Bab I (bab Pertama) Penulisan ini dimulai bab pertama,
Merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tentang Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan. Hal ini
dimaksudkan untuk memenuhi standar laporan penulisan dalam bentuk skripsi
sebagaimana lazimnya.
Selanjutnya diuraikan pula Pada Bab II (bab Kedua) Pada bagian ini
akan dibahas mengenai peta perpolitikan di Indonesia di masa orde lama, serta
pergulatan sejarah kekuatan politik Islam di Masa Orde lama, dan kebijakan
pemerintah Orde lama, serta kebijakan orde lama terhadap Islam secara
deskriptif. Uraian ini dimaksudkan untuk menggambarkan peta perpolitikan
pada umumnya di masa orde lama, uraian ini penulis tempatkan pada bab
Kedua.
Selanjutnya untuk mengenal lebih dekat sosok Mohammad Natsir,
pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde lama. Maka lebih dahulu
diuraikan dalam hal ini Biografi Mohammad Natsir adapun materi-materi
Riwayat Hidup, Riwayat Intelektual (Pendidikan), Corak dan Posisi
Mohammad Natsir diantara para pemikir Islam pada masanya, dan Pengaruh
Pemikiran Mohammad Natsir di Indonesia.
Masuk pada bab IV (Bab keempat). Pada bab keempat ini penulis
menjelaskan tentang pembahasan masalah, dimana didalamnya penulis
menjelaskan Signifikansi Pemikiran Mohammad Natsir tentang peta
perpolitikan di Indonesia di masa orde lama, dan penulis juga menjelaskan
Peran Mohammad Natsir di masa orde lama, serta Signifikansi Peran
Mohammad Natsir dalam Peranannya.
Selanjutnya dalam Bab V (Bab Kelima) adalah bab Penutup, dimana
dalam bab ini penulis mencoba menyimpulkan apa yang jadi tema skripsi ini
yang berisi kesimpulan dan Rekomendasi. Dalam bab ini disajikan
pokok-pokok temuan penelitian yang dihasilkan. Disamping itu, dimuat pula saran
21 A. Kondisi Sosial-Politik Di Masa Orde Lama
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia
masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan
berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami
berbagai perubahan asas, paham, ideologi, dan doktrin dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan
ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa Indonesia dalam
mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.1
Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan Instabilisasi nasional
sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30
September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya
tonggak pemerintahan era orde baru yang merupakan koreksi total terhadap
budaya dan sistem politik orde lama dimana masih terlihat kentalnya
mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideologi
sosialisme komunisme.2
Konfigurasi politik yang ada pada periode lama membawa bangsa
Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan
berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur
1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:UII Press,1991), h.3.
2
pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah
pusat terhadap pemerintah daerah. Konfigurasi politik otoriter yang
dimaksudkan disini ialah dimana susunan sistem politik yang lebih
memungkinkan Negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh
inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan Negara. konfigurasi ini ditandai oleh
dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi
terbuka, dominasi pimpinan Negara untuk menentukan kebijaksanaan Negara
dan dominasi kekuasaan politik oleh elite politik yang kekal, serta dibalik
semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.3
Konfigurasi politik diartikan sebagai kekuatan-kekuatan politik yang riil dan
eksis dalam suatu sistem politik.4 Pada masa ini pula politik kepartaian sangat
mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta
sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.5
Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim orde baru yang mengakhiri
tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas
landas lewat proses rencana Pembangunan Lima Tahun yang
berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap
kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa
yang adil dan makmur.6
3 Gallenksonk,”Konfigurasi Politik”, artike
l diakses pada 19 Maret 2015 dari https// Kodifikasi.blog.spot.com
4 Gallenksonk,”Konfigurasi Politik”, artike
l diakses pada 19 Maret 2015 dari https// Kodifikasi.blog.spot.com
5
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.91.
6
Presiden Soekarno pada tanggal 5 juli 1959 mengeluarkan Dekrit
Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi
dalam Lembaran Negara tahun 1959 No.75, Berita Negara 1959 No.69
berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi
UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar
pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya
konstitiuante melaksanakan tugasnya.7 Pada masa ini Soekarno memakai
sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada
tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis
konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang
“memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang
dilakukan melalui dekrit.8
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma
yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik
ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh
kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari
masyarakat terjajah menjadi masyarakat merdeka.9 Masa orde lama bisa
diartikan juga sebagai masa pencarian bentuk implementasi Pancasila
terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam
7
Moh Mahfud MD, Politik Hukum Diklat Program Pasca Sarjana UII Tahun 1998/1999
(Yogyakarta: penerbit UII Press,1998), h.133-134.
8
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.115.
9
bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama.10 Orde lama berlangsung dari
tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia
menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi
komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia
menggunakan sistem pemerintahan parlementer.11
Problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat
ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi
masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif
serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara
baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan
kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti
Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila.12
Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan
“excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi
secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu
kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama
demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democraticie).13
10
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Jakarta: Rajawali,1986), h.93.
11
Cita Dastmik. “Orde Lama”. artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari https: // citadastmikpringsewu.wordpress.com
12
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik:Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Jakarta: Gema Insani Press,1996), h.31-32.
13
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan
multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan
ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan
theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian pemilu 1955
melahirkan empat partai besar yaitu Partai Nasionalis Indonesia (PNI),
Nahdhatul Ulama (NU), Majlis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) dan
Partai Komunis Indonesia (PKI) yang secara perlahan terjadi pergeseran
politik ke sistem catur mayoritas.14
Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita
bayar tinggi berupa :
1. Gerakan separatis pada tahun 1957;
2. Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam,
sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun
1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam
Fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17
Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional
yang seru antara Pro dan yang Kontra.15
Pihak yang pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang
Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah
Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru,
14Ibid
,. h.155.
15
sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada
perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga
merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah
memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita
bayar dengan biaya tinggi.16
B. Kekuatan Politik Islam di Masa Orde Lama
1. Politik Islam di Masa Kemerdekaan
Ketika Indonesia memasuki pintu gerbang kemerdekaan, muncul
persoalan yang sangat pelik atau kritis, yaitu mengenai pilihan dasar
negara atau undang-undang dasar negara. hal ini terkait dengan adanya
golongan masyarakat yang secara teoritis digambarkan oleh Geertz,
melalui kategori sosial santri, priyai dan abangan. Kalangan santri secara
politik mengelompokkan dalam aliran politik dengan ideologi yang agamis
(Islam), sedangkan kalangan priyayi (Islamiyah) ke dalam kelompok kecil
yang bercakupan Nasional dan Aksi Kesatuan Umat Islam (AKUI)
Madura ke dalam kelompok kecil yang bercakupan daerah.17
Berbicara secara Ideologis , perdebatan serius antara wakil-wakil
golongan Islam dan kelompok Nasionalis sekuler dalam BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) harus dan
abangan secara politik mengelompokkan dalam aliran politik dengan
16
Ibid., h.124.
17
ideologi yang sekuler.18
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 atau tepatnya
pada tanggal 3 November 1945, Wakil Presiden Mohammad Hatta
mengeluarkan Maklumat Pemerintah tentang hak hidup Partai-partai
politik Indonesia. Partai-partai tersebut diharapkan sudah berdiri sebelum
dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada
bulan Januari 1946. Pada saat inilah setelah Partai Nasional Indonesia
didirikan, Partai Muslim bernama Masyumi (Majlis Syuro Muslimin
Indonesia) didirikan pada tanggal 7 November 1945.19
Antara bulan November sampai Desember 1945, berbagai partai
politik bermunculan di tanah air. Umat Islam, sekalipun tidak secara
langsung berkaitan dengan seruan pemerintah itu, menyelenggarakan
kongres umat Islam Indonesia pada tanggal 7-8 November 1945 di
Yogyakarta. Semangat yang menjiwai kongres itu bukan saja semangat
persatuan, tetapi juga semangat kesatuan. Kongres yang dilaksanakan pada
saat seluruh bangsa tengah menghadapi tentara sekutu dan tentara Belanda
yang membonceng sekutu berniat kembali menjajah bangsa Indonesia,
dengan tegas dan penuh keyakinan mengumandangkan seruan Jihad fi
sabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan.20
Pembentukan Partai Masyumi di Yogyakarta pada tahun 1945,
18
Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia Modern (Jakarta: Khoirul Bayaan, Sumber Pemikiran Islam, 2003), h.47.
19
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.94.
20
melalui kongres umat Islam, salah satu tujuannya adalah melaksanakan
cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Kongres ini mengahasilkan
kesepakatan bahwa Masyumi Merupakan satu-satunya institusi politik
umat Islam. Dari komposisi personalia kepengurusan Masyumi, tampak
bahwa partai ini melibatkan seluruh fungsionaris Islam pasca
kemerdekaan, seperti dalam Majlis Syuro diketuai oleh Hasyim Asy‟ari
(NU), Agus Salim (PSII) dan lain-lain; sedangkan Pengurus Besar diketuai
oleh Sukiman, Abikusno Tjokrosujoso, dan kemudian melibatkan M.
Natsir, Mohammad Roem, dan juga Kartosuwirjo.21
Mulai dilaksanakannya sistem pemerintahan parlementer berarti
membuka peluang lebih besar kepada partai politik untuk memainkan
perannya di legislatif. Partai apa pun yang bisa memperoleh suara
terbanyak di legislatif pada gilirannya ia akan mendapat kesempatan untuk
mendominasi kabinet atau lembaga eksekutif. Hal ini menjadi salah satu
pendorong bagi masyarakat yang terbelah menjadi lima aliran pemikiran
politik untuk mendirikan partai sesuai dengan aliran yang dimilikinya.
Kelima aliran itu adalah Komunisme, Sosialisme Demokratik, Islam,
Nasionalisme Radikal, dan Tradisionalisme Jawa.22
Pada bagian lain, Alfian membagi partai-partai yang muncul
pasca-Maklumat November 1945 menjadi lima bagian, yaitu Nasionalisme,
Islam, Komunis, Sosialis, dan Kristen/Nasrani. Sedangkan buku
21
Ibid,. h.122-123.
22
Kepartaian Indonesia terbitan Kementerian Penerangan tahun 1951
menggolongkannya menjadi 4 jenis, yakni (1) Dasar Ketuhanan, (2) Dasar
Kebangsaan, (3) Dasar Marxisme, dan (4) Partai Lain-lain.23 Sementara itu
Herbert Feith dengan mendasarkan diri pada hasil perolehan suara dan
jumlah kursi yang diperoleh partai-partai dalam pemilu 1955,
mengelompokkan partai menjadi empat bagian. Keempat bagian itu adalah
partai besar, partai menengah, kelompok kecil yang bercakupan nasional,
dan kelompok kecil yang bercakupan daerah. Mengikuti taksonomi ini,
Feith memasukkan Masyumi dan NU ke dalam Golongan Partai besar,
PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), PPTI (Partai Persatuan Tharikat
Indonesia).24
Pada 9 April 1945, BPUPKI (dalam bahasa jepang :Dokuritsu
Zyumbi Tyoosokai) dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk
memberikan kemerdekaan kepada Indonesia sebagaimana telah
diumumkan Perdana Menteri Koiso pada 9 September 1944. Perdebatan
tentang dasar Negara dalam sidang-sidang BPUPKI memang tegang dan
panas. Ada dua aliran politik yang muncul ke permukaan: Islam dan aliran
pemisahan Negara dan Agama. Profesor Supomo menjelaskan tentang dua
aliran ini sebagai Perbedaan dua paham : Paham pertama dibela oleh
ahli-ahli agama yang bertujuan mendirikan suatu Negara Islam di Indonesia;
paham kedua, sebagaimana disarankan oleh Hatta ialah paham pemisahan
23
M.Rusli karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah potret pasang-surut
(Jakarta:Rajawali Press, 1993), h. 65-68.
24
antara urusan Negara dan urusan Islam. Pendeknya bukan suatu Negara
Islam.25
Pendapat di atas dikemukakan Supomo pada 31 Mei 1945, yakni
sehari sebelum Soekarno menyampaikan usul Pancasila sebagai dasar
ideologi Negara. hanya perlu dicatat bahwa dalam Pancasila Soekarno, sila
Ketuhanan diletakkan sebagai sila kelima, sila pengunci. Dengan demikian
Soekarno tidak menjadikan sila Ketuhanan sebagai sumber moral bagi
sila-sila yang lain. Lebih dari itu, bagi Soekarno Pancasila dapat disarikan
menjadi Trisila, yakni : 1. Sosio-nasionalisme; 2. Sosio-demokrasi; 3.
Ketuhanan.26 Bahkan sila yang tiga ini dapat diperas menjadi Ekasila
dalam bentuk gotong-royong. Dalam perasan yang terakhir ini sila
Ketuhanan telah menghilang. Sudah barang tentu teori tipikal ini
dipandang tidak masuk akal oleh setiap Muslim yang sadar akan ajaran
agamanya. Itulah sebabnya mereka berusaha melakukan modifikasi
terhadap rumusan Pancasila Soekarno, jika memang Pancasila mau
dijadikan Falsafah Negara.27
Isu tentang dasar Negara telah memaksa para pendiri Republik
Indonesia untuk menjalani masa-masa yang sulit dalam sejarah modern
Indonesia. Tetapi Akhirnya, sebuah kompromi politik dalam bentuk
Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dapat dicapai. Piagam Jakarta
adalah hasil kerja sebuah Panitia kecil dalam BPUPKI yang diketuai
25
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h.17.
26Ibid,
. h.26.
27
Soekarno, dan ditandatangani oleh 9 anggota terkemuka, yaitu: Soekarno,
Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar
Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim dan
Muhammad Yamin.28
Piagam Jakarta sebenarnya adalah sebuah preambule (Pembukaan)
bagi konstitusi yang diajukan dalam sidang BPUPKI. Di dalamnya,
Pancasila sebagai dasar Negara yang telah disepakati, tetapi sila pertama,
yaitu sila Ketuhanan diikuti oleh klausul:…dengan kewajiban
menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Anak kalimat yang
dinilai strategis ini juga terdapat dalam pasal 29 ayat 1 Undang-Undang
Dasar 1945 yang diusulkan itu. Bagi ummat Islam, anak kalimat ini
menjadi sangat penting sebab dengan itu tugas pelaksanaan syari‟at Islam
secara konstitusional terbuka pada waktu yang akan datang. Inilah salah
satu alasan mengapa wakil-wakil ummat Islam dalam BPUPKI dapat
berkompromi dengan kelompok nasionalis.
Sisi lain yang menarik di sini ialah bahwa anggota panitia kecil,
kecuali Maramis yang Kristen, semuanya beragama Islam, sekalipun
hanya empat wakil saja yang membawa aspirasi politik Islam. Mereka
adalah Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim dan
Wachid Hasjim. Sedangkan empat anggota lainnya telah sejak awal
menolak Islam sebagai dasar Negara.29
28
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h.30.
29
2. Politik Islam dalam Pembentukan Negara Pada Masa Kemerdekaan
Sebagai realisasinya maka dibentuklah Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 9 April 1944.
Dalam pembahasan mengenai dasar negara Indonesia merdeka terdapat
dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan Islam dan
nasionalis Sekuler.30 Salah satu kepentingan umat Islam ketika itu adalah
menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tuntutan ini menimbulkan reaksi
dari kelompok nasionalis sekuler, sosialis, dan nasrani yang pada masa itu
merupakan mayoritas dalam BPUPKI. Kelompok tersebut mengajukan
pancasila sebagai dasar negara. untuk mengatasi permasalahan ini
dibentuklah “Panitia Sembilan”.
Panitia ini terdiri atas lima orang dari golongan nasionalis sekuler
dan empat orang dari golongan Islam. Berdasarkan keputusan dari “Panitia
Sembilan” pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai kesepakatan menambah
tujuh kata dalam sila pertama pancasila menjadi “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Konsep
ini kemudian disebut Piagam Jakarta.31 Piagam ini adalah sebuah
kompromi politis ideologis antara golongan yang beraspirasi Islam dan
kelompok nasionalis yang sebagian besar juga beragama Islam, akan tetapi
menolak ide negara berdasarkan Islam.
Meskipun demikian UUD 1945 yang disahkan sehari setelah
proklamasi kemerdekaan ternyata menghapuskan tujuh kata dalam Piagam
30
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.112.
31
Jakarta diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menetapkan
Pancasila sebagai dasar Negara. Umat Islam terpaksa mengalah dengan
tuntutan kelompok pendukung Pancasila. Perubahan ini dipandang oleh
sebagian orang sebagai kekalahan politik wakil-wakil umat Islam.32
Pada era pasca kemerdekaan harapan untuk semakin berperan
dalam politik tetap ada. Sarana perjuangan politik yang paling utama di era
ini adalah melalui partai Masyumi, yang mewadahi dua kelompok besar,
yaitu kelompok tradisional dan kelompok modernis. Di era Demokrasi
Liberal (1945-1959)33 peran partai Masyumi cukup menggembirakan.
Tetapi partai ini pecah menjadi dua setelah Nahdlatul Ulama (NU) yang
pada awalnya merupakan sebuah organisasi keagamaan keluar dari
Masyumi dan membentuk partai baru pada tahun 1952.
Pemilu pertama tahun 1955 yang dilaksanakan selama dua kali.
Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR
sedang yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota
Dewan Konstituante. Pemilu tahun 1955 ini telah menghasilkan empat
partai besar pemenang pemilu yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI.34 Setelah
pemilu tahun 1955 selesai, terjadi perkembangan politik yang cukup
menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis
sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang
rancangan UUD perihal dasar Negara yang akan digunakan. Pada saat itu
32
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.108-109.
33
Deliar Noer, Partai-partai Islam di pentas nasional (1945-1965), h.49-50.
34Ibid
ada tiga rancangan dasar negara yaitu Islam, Pancasila dan
Sosial-ekonomi. Rancangan tentang sosial-ekonomi yang diajukan oleh partai
buruh dan Murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis
Konstituante sehingga akhirnya perdebatan didominasi antara golongan
Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar
negara. Perdebatan tentang dasar negara ini berakhir setelah Bung karno
membubarkan Majelis Konstituante dengan keluarnya Dekrit Presiden 5
juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap
berdasarkan pancasila.35
Suasana di atas setidaknya menggambarkan dinamika pemikiran
politik pasca kemerdekaan berkenaan dengan upaya untuk merumuskan
kembali hubungan antara agama (Islam) dan Negara yang dapat diterima
secara luas oleh bangsa Indonesia. Dalam beberapa peristiwa politik
tampak bahwa upaya untuk membangun hubungan formalistik dan
Legalistik antara Islam dan sistem politik Negara selalu berujung pada
kebuntuan dan pertentangan ideologis antara dua kelompok pemikiran
politik di kalangan aktivis politik Muslim yakni kelompok Islam dan
kelompok Nasionalis sekuler. Kelompok pertama menuntut dijadikannya
Islam sebagai dasar Negara sedangkan kelompok kedua menolak
hubungan agama dan Negara yang bersifat formalistik dan legalistik
seperti yang dituntut oleh kelompok Islam.
35
3. Peranan Islam dalam Konstituante
Pemimpin-pemimpin Islam Indonesia dari semua golongan
menjelang Proklamasi telah berusaha agar pelaksanaan syariah diakui
secara konstitusional dengan dicapainya suatu kesepakatan antara
wakil-wakil Islam dengan para pemimpin Nasionalis yang netral agama melalui
Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945. Piagam ini hanya berumur selama
57 hari, yakni sampai dengan tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai gantinya
maka sila pertama Pancasila yang semula Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti menjadi
Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada saat itu juga Presiden Soekarno
memberikan janji kepada umat Islam untuk menjadikan UUD 1945
bersifat sementara. Janji Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945
tersebut sejalan dengan janjinya terdahulu dalam pidatonya tanggal 1 Juni
1945 ketika dia mengusulkan prinsip permusyawaratan sebagai salah satu
sila dasar Negara.36
Pada tanggal 27 Januari 1953 Presiden Soekarno menyampaikan
pernyataan yang mengagetkan di Amuntai, Kalimantan Selatan,
sebagaimana yang dikutip oleh H. Endang saifuddin Anshori ketika
Soekarno berkata: “Negara yang kita susun dan yang kita ingini ialah
Negara Nasional yang melliputi seluruh Indonesia. Kalau kita dirikan
Negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah yang
penduduk-penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya
Maluku, Bali, Flores, Timor, Kutai dan juga Irian barat yang belum masuk
36
wilayah Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik”.37 Pidato
Soekarno ini mengandung banyak reaksi dan protes dari berbagai
kelompok Islam diantaranya adalah dari Gerakan Pemuda Islam.
Usaha-usaha yang ditempuh untuk memperjelas apa yang menjadi
pemikiran Soekarno tersebut secara detail dapat dilihat dalam diskusi yang
dilakukan oleh A. Dahlan Ranuwiharjo, ketua Pengurus Besar Himpunan
Mahasiswa Islam yang menulis surat kepada Soekarno untuk meminta
penjelasan tentang hubungan antara negara nasional dan negara Islam, dan
antara Pancasila dan Ideologi Islam.38
Dalam masa kepemimpinan Mohammad Natsir ini juga, Masyumi
ikut dan berpartisipasi aktif dalam menyukseskan Pemilihan Umum tahun
1955, yang merupakan pemilu pertama dalam sejarah Republik Indonesia.
Pemilu 1955 dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk
di DPR dan di Konstituante. Menurut Badruzzaman Busyairi, “Dasar
hukum penyelenggaraan Pemilu 1955 adalah UUDS 1950, khususnya
Pasal 1 Ayat 2 dan Pasal 35”.39 Partisipasi aktif Masyumi terlihat sejak
awal persiapan dan pelaksanaan pemilu itu, termasuk ikut berkompetisi
bersama partai-partai lain pada hari pelaksanaannya.
Berdasarkan telaahan dari berbagai sumber, penulis menyimpulkan
bahwa Pemilu 1955 adalah unik dan istimewa, karena melibatkan tiga
37Ibid
,. h.153.
38
Soekarno, Bung Karno: Negara Nasional dan Cita-cita Islam, h.103.
39
kabinet berturut-turut secara langsung, yakni Kabinet Wilopo, Kabinet Ali
I, dan Kabinet Boerhanuddin, mulai masa persiapan, masa kampanye,
sampai tahap pelaksanaannya sejak 1952 hingga awal 1956.
C. Kebijakan Politik Orde Lama
1. Kebijakan Pemerintah Orde Lama
Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme
Indonesia tidak mengendorkan semangat politik umat Islam dalam
perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerak politik
umat Islam diwadahi melalui Partai Masyumi buatan Indonesia. Partai
Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki
keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. NU dan
Muhammadiyah merupakan anggota yang mendominasi Masyumi.
Namun, keutuhan keanggotaan Partai Masyumi tidak bisa bertahan lama.
Keluarnya PSII dari Masyumi merupakan awal dari perpecahan dalam
tubuh Masyumi.
Pada tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong besar
Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah dirinya dari jami‟ah
(gerakan sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri.
Keluarnya NU dari tubuh Masyumi merupakan goncangan hebat bagi
Masyumi mengingat pengikut NU yang cukup banyak di tiga daerah yaitu
Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.40 Dengan tampilnya
NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam empat
40
partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.41
Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang
peranan aktif dalam politik. Pada masa kabinet Natsir dan Kabinet
Soekiman, posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim
(tokoh NU dalam Masyumi). Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto
yang dimulai sejak April 1952, posisi Menteri agama dipegang oleh K.H.
Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Dalam masa
kabinet ini NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi menduduki
empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan tahun 1953 Kabinet Wilopo
digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU
telah berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya
menduduki tiga kursi namun setelah terjadi perubahan, NU mendapat
empat kursi yang meliputi kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam
negeri, menteri agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan
Juli 1955 dan digantikan oleh kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi).
Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada
tahun 1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini adalah berhasil
menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955.42
Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959, pada tanggal 22 April
1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI menyampaikan definisi
41
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Yogyakarta:IAIN Suka Press, 1988), h. 38.
42