• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran politik Mohammad Natsir dalam peta perpolitikan di Indonesia di masa Orde Lama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemikiran politik Mohammad Natsir dalam peta perpolitikan di Indonesia di masa Orde Lama"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh :

MUHAMMAD IBNU TASLIM NIM: 1110045200007

KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)
(4)
(5)

i

ABSTRAK

MUHAMMAD IBNU TASLIM. NIM 1110045200007. PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR DALAM PETA PERPOLITIKAN DI INDONESIA DI MASA ORDE LAMA. Konsentrasi Ketatanegaraan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1436 H/2015 M. IX + 76.

Tokoh Mohammad Natsir ini penting untuk dikaji. dari karya-karya dia mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam dan politik di Indonesia dalam melihat berbagai fenomena keagamaan Islam dan ia juga mengkritik sejumlah persoalan politik yang berkembang di Tanah Air terutama pada masa orde lama. Karena, Natsir mampu membicarakan persoalan Islam, baik dalam dimensi normative maupun historis, yang melibatkan isu-isu sosial budaya, ekonomi, dan politik yang lebih bersifat praktis.

Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif (library research). yaitu metode penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan datanya dengan memanfaatkan berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian baik dari buku-buku teks, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan tentang pemikiran politik Mohammad Natsir.

Hasil dari penelitian ini untuk menambah khazanah keilmuan bagi pembaca, memberikan wawasan serta keilmuan bagi peneliti, dan memberikan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Kata Kunci : Orde Lama, Pemikiran Politik, Peta Perpolitikan.

Pembimbing : Dr. H. Abdurrahman Dahlan, MA.

(6)

ii

melimpahkan rahmat, nikmat dan karunia-Nya kepada segenap umat manusia.

Shalawat beriringkan salam senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi

Muhammad SAW, manusia yang sempurna keimanannya serta manusia yang

paling mulia, hingga patutlah menjadi teladan bagi seluruh umat manusia lainnya.

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah. Penelitian yang berjudul

“Pemikiran Politik Mohammad Natsir Dalam Peta Perpolitikan Di Indonesia

Di Masa Orde Lama” telah dapat penulis selesaikan. Penulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi

strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Merupakan suatu kehormatan bagi penulis untuk mempersembahkan yang

terbaik bagi kedua orang tua, seluruh keluarga penulis, almamater, dan

pihak-pihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Sebagai bentuk

penghargaan, penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dra. Hj. Maskufah, MA. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah

yang telah memberikan arahan dalam penelitian skripsi penulis.

3. Ibu Hj. Rosdiana, MA. Selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang

telah banyak membantu dalam hal akademik terkait penyelesaian studi

(7)

iii

5. Segenap Dosen dan staf akademik Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat serta bantuan bagi penulis.

6. Segenap staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan Perpustakaan

Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas

penyediaan literature dalam penulisan skripsi ini.

7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Suhartono dan Ibunda Inayah Zakaria,

serta adik-adik tersayang Muhammad Fahri Husain dan Syifa Amalia dan

keluarga yang telah memberikan motivasi, saran, dukungan dan doa bagi

penulis.

8. Keluarga Besar Siyasah Syariah (Ketatanegaraan Islam) 2010, khususnya

teman-teman seperjuangan Siyasah Syariah 2010, Alumni Darussalam Gontor

2008 serta K.H.Abdullah Syukri Zarkasyi, K.H. Hasan Abdullah Sahal, K.H.

Syamsul Hadi Abdan S,Ag. Dan masih banyak yang lainnya yang tidak

mampu penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan doanya

selama ini.

9. Teman-teman KKN Sahabat dan Keluarga Besar Desa Mauk Barat.

Terimakasih atas motivasinya.

10.Teman-teman Seperjuangan HMI KOMFAKSY terimakasih atas dukungan

(8)

iv

pahala yang berlipat ganda. Dengan segala kekurangan, besar harapan penulis

agar skripsi ini mampu memberikan manfaat serta pengetahuan bagi penulis

pribadi dan para pembaca lainnya. Semoga Allah senantiasa membimbing dan

memberikan petunjuk dalam setiap langkah.

Jakarta, 5 April 2015

Penulis

(9)

v

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian ... 11

E. Review Studi Terdahulu ... 16

F. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PETA PERPOLITIKAN DI MASA ORDE LAMA ... 21

A. Kondisi Sosial Politik Di Masa Orde Lama ... 21

B. Kekuatan Politik Islam Di Masa Orde Lama ... 26

1. Politik Islam di Masa Kemerdekaan ... 26

2. Politik Islam Dalam Pembentukan Negara Pada Masa Kemerdekaan ... 32

3. Peranan Islam dalam Konstituante ... 35

C. Kebijakan Politik Orde Lama ... 37

1. Kebijakan Pemerintah Orde Lama ………. .. 37

(10)

vi

BAB III BIOGRAFI MOHAMMAD NATSIR ... 46

A. Riwayat Hidup Mohammad Natsir ... 46

B. Riwayat Intelektual Mohammad Natsir ... 47

C. Posisi Mohammad Natsir Diantara Para Pemikir Islam Pada Masanya ... 52

D. Pengaruh Pemikiran Mohammad Natsir di Indonesia…….. ... 55

1. Dianggap Sebagai Tokoh Pancasila ... 55

2. Arsitek Utama Negara Kesatuan ... 56

3. Dari Berpolemik Hingga Menjadi Menteri Kesayangan Soekarno ... 56

4. Tokoh Dunia Islam Yang Sederhana ... 58

BAB IV SIGNIFIKANSI PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD NATSIR ... 60

A. Peran Natsir Sebagai Menteri Penerangan……….. ... 60

B. Peran Natsir Sebagai Perdana Menteri Pertama Negara Kesatuan RI ... 63

1. Pembentukan Negara Kesatuan RI……….. ... 63

2. Pemetaan Politik Luar Negeri……….. ... 66

(11)

vii

BAB V PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80

(12)

1 A. Latar Belakang Masaalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terbentang dari

Sabang sampai Merauke adalah sebuah negara besar. NKRI yang

diperjuangkan dengan segenap pengorbanan, baik melalui perang maupun

diplomasi. Perjuangan itu pun melahirkan banyak pahlawan pejuang

kemerdekaan dari Sultan Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Imam Bonjol,

Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, hingga KH Zaenal Mustafa. Dalam

bidang diplomasi ada Soekarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir,

Muhammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara dan Mohammad Natsir yang

mana mereka gigih memperjuangkan Kedaulatan Negara dan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.1

Dalam upaya menegakkan kedaulatan NKRI selain Sjafruddin

Prawiranegara dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia-nya (PDRI)

di Sumatera Barat, juga ada Mohammad Natsir yang turut serta memainkan

peranan luar biasa bagi tegaknya kedaulatan Negara kita ini.2 Di mana dalam

sidang parlemen gabungan Negara Republik Indonesia (RI) dan Republik

Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Natsir yang sebagai anggota parlemen

dari Masyumi, pada 3 april 1950, mengajukan Mosi Kesatuan yang populer

1

Lukman Hakiem,dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir (Jakarta: Republika, 2008), h. 353-354.

2

(13)

dengan sebutan Mosi Integral Natsir.3 Mosi inilah yang mengantarkan

masing-masing Negara bagian, untuk bersatu kembali ke dalam Negara kesatuan

Republik Indonesia. Pengaruh mosi ini diakui sangat strategis bagi perjuangan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.4

Masa orde lama sangatlah menarik karena adanya pertarungan ideologi

partai berbeda antara yang satu dengan lainnya. Misalnya, Nasakom yaitu

Nasionalis PNI-PARTINDO-IPKI-dll, Komunis PKI; Islam NU-MASYUMI-

PSII-PI PERI, Sosialis PSI-MURBA, Kristen PARKINDO dll.5 Orde Lama

dalam sejarah politik Indonesia merujuk kepada masa pemerintahan Soekarno

(1945-1965).6 Sedangkan Nasakom merupakan konsep politik selama presiden

Sukarno di Indonesia. Nasakom adalah akronim dari Nasionalisme, Agama,

dan Komunisme.7 Memang Orde lama telah dikenal dengan prestasinya dalam

memberi identitas, kebangsaan nasional dan mempersatukan bangsa

Indonesia.8

Namun di sisi lain Orde Lama juga telah memberikan peluang bagi

kemungkinan kaburnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan

Pemberontakan PKI pada 1948, Demokrasi Terpimpin, Pelaksanaan UUD

3

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan RI (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.70-71.

4

Lukman Hakiem,dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.359-360.

5

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), h.34.

(14)

Sementara 1950, Nasakom dan Pemberontakan PKI 1965 yang mengaburkan

identitas nasional kita. 9

Pada masa Orde Lama partai-partai Islam berasaskan Islam juga

bersatu padu memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara.10 Namun,

kekuatan politik umat Islam banyak dirugikan oleh kebijakan Soekarno.

Kebijakan itu terutama berkaitan dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang

diberlakukan. Sebab sistem ini, memberikan keleluasaan lebih besar kepada

Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk bergerak dan menguasai panggung

politik Nasional. Juga, kebijakan Soekarno tentang keputusannya

membubarkan Masyumi Agustus 1960.11

Dalam proses pengakuan kedaulatan dan pembentukan kelengkapan

Negara, ditetapkan sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini

presiden hanya bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak

mengatur formatur pembentukan kabinet.12 Oleh karena itu, tanggung jawab

pemerintah ada pada kabinet dan presiden tidak boleh bertindak

sewenang-wenang. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Dalam

hal ini Presiden Soekarno menunjuk Mohammad Natsir sebagai formatur

9

Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa (Jakarta:Gema Insani Press, 1997), h.60-61.

10

https://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/10/13/partai-politik-islam-dalam-peta-politik-indonesia/

11

https://ikadianhumairohsuparyat.wordpress.com/2013/07/25/politik-islam-era-orde-lama/

12

(15)

karena telah berjasa dengan Mosi Integralnya yang membubarkan RIS yang

diterima bulat oleh parlemen, lalu diangkatlah Mohammad Natsir sebagai

Perdana Menteri oleh Presiden saat itu yaitu Soekarno.13

Dalam sistem demokrasi liberal ini, partai-partai besar seperti

Masyumi, PNI, dan PKI mempunyai partisipasi besar dalam pemerintahan.

Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen

(Dewan Perwakilan Rakyat ) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai besar

berdasarkan UUDS 1950.14 Salah satu ciri penting dalam penerapan sistem

Demokrasi Liberal di negara kita ini adalah silih bergantinya kabinet yang

menjalankan pemerintahan. Kabinet yang pertama kali terbentuk pada tanggal

6 september 1950 adalah kabinet Natsir.15

Mohammad Natsir dikenal sebagai seorang negarawan Muslim, ulama,

intelektual, tokoh pembaharu dan politisi kenamaan dunia Islam pada abad

ke-20 ini. Pada masa perjuangan kemerdekaan ia dipercaya untuk menduduki

jabatan-jabatan penting di Republik Indonesia, seperti menjadi anggota badan

pekerja komite nasional Indonesia pusat (BP KNIP), Menteri Penerangan

1946-1948, anggota DPRS dan Perdana Menteri 1950-1951.16

Setelah pemilu tahun 1955, terjadi perkembangan politik yang cukup

menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis

13

Lukman Hakiem, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.283.

14

Deliar Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, h.347.

15

Soekarno, Bung Karno: Negara Nasional dan Cita-cita Islam (Jakarta: Seridokumentar,2003), h.103.

16

(16)

sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang

rancangan UUD perihal dasar Negara yang akan digunakan.17 Saat itu ada tiga

rancangan dasar Negara yaitu Islam, Pancasila dan Sosial-ekonomi.

Rancangan tentang sosial ekonomi diajukan oleh partai buruh. Sedangkan

murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis Konstituante.

Sementara itu perdebatan didominasi antara golongan Islam dan Nasionalis

sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar Negara. Perdebatan itupun

berakhir setelah Bung Karno membubarkan Majelis Konstituante dengan

dekrit presiden 5 juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan

tetap berdasarkan Pancasila.18

Suasana di atas setidaknya menggambarkan dinamika politik pasca

kemerdekaan dengan upaya untuk merumuskan kembali hubungan antara

agama Islam dan Negara yang dapat diterima secara luas oleh bangsa

Indonesia. Pada pemerintahan sistem politik orde lama, masyarakat masih

belum memiliki kesadaran berpolitik.19

Dalam perdebatan dasar Negara golongan Islam diwakili oleh

Mohammad Natsir yang selama masa pra-kemerdekaaan telah berusaha

merumuskan konsep-konsepnya mengenai Negara Islam melalui

tulisan-tulisannya di majalah Pembela Islam yang terbit antara tahun 1929-1935 dan

17

A.H. Nasution, Sejarah Kembali Ke UUD 1945 (Jakarta:Pustaka Panjimas, 1976), h.14.

18

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:LP3ES,1987), h.124.

19

(17)

Pandji Islam 1937-1941.20 Menurutnya, Islam bukan semata-mata agama

dalam pengertian ruhaniah saja. Islam mengatur hubungan antara manusia

dengan Allah dan antara sesama manusia. Islam merupakan pedoman dan

falsafah hidup yang tidak mengenal pemisahan agama dan politik.21

Mohammad Natsir merupakan tokoh yang telah berhasil membangun

fondasi perpolitikan di Indonesia, dan khusus bagi umat Islam, Mohammad

Natsir telah memerankan peranan yang luar biasa dalam bingkai Ke-Islaman

dan meletakkan Islam dalam bingkai Ke-Indonesiaan. Maka tak heran jika

banyak predikat yang melekat pada pribadinya. Predikat ini pun muncul bukan

dari keinginannya, tetapi justru lahir dari umat ketika melihat perjalanan hidup

Mohammad Natsir.22

Tanpa menafikan peran para pemikir muslim lainnya, Mohammad

Natsir telah mengembangkan pemikirannya di masa orde lama dan Politik

Islam di Indonesia dengan bingkai teori Ilmu-ilmu politik.23 Banyak karya dan

buku telah di terbitkannya sebagai bagian kepedulian dan kontribusinya dalam

mencari jalan keluar dari kebuntuan perdebatan mengenai politik. Ini

menunjukkan, pentingnya Ilmu politik dalam memahami soal politik yang

terjadi di Indonesia dan khususnya di masa orde lama.24Dalam hemat penulis

tokoh seperti Mohammad Natsir penting untuk dikaji sebab dari pemikiran

20

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.125-127.

21

Deliar Noer, Partai-partai Islam di pentas nasional 1945-1965, h.126.

22

Lukman Hakim, dkk, Refleksi seabad Mohammad Natsir, h.140.

23

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h.9.

24

(18)

serta karya-karyanya mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam

dan politik di Indonesia dalam melihat berbagai fenomena politik.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis memfokuskan kajian penelitian

pada pemikiran politik Mohammad Natsir (selanjutnya disebut Natsir) tentang

Peta perpolitikan di Indonesia pada masa orde lama, dan beberapa aspek

pemikirannya yang mengundang kontroversi. Pemikiran politik Natsir dalam

hal ini, merupakan ijtihad politik Natsir dalam rangka menemukan nilai-nilai

Islam dalam konteks sistem bernegara. Kepedulian seorang tokoh terhadap

tanah kelahirannya dapat dilihat dari pemikiran, perjuangan dan tindakannya

dalam mengartikulasikan ide-idenya. Ide-idenya dipaparkan secara

komprehensif dan meyakinkan. Argumen-argumen yang dibangunnya

disampaikan, mulai dari filosopis sampai praktisnya. Sehingga ide-idenya

tidak saja memperkaya wacana, namun dapat dijabarkan secara operasional.

Hal itu dimungkinkan karena kapasitasnya sebagai intelektual dan

negarawan.25

Natsir memang telah tiada, namun ia telah mewariskan ide dan

gagasan pemikiran yang mahal dan langka. Semuanya telah tertuang dalam

beberapa artikel yang jumlahnya tak terhitung.26 Islam jelas berpengaruh

dalam pikiran dan perjuangannya. Oleh karena itu, studi tentang pemikiran

dan aksi politik Islam Mohammad Natsir menjadi sangat menarik dan patut

untuk diteliti secara mendalam dalam rangka memberikan kontribusi positif

25

M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia (Bandung: Mizan Pustaka, 2010), h.42.

26

(19)

bagi upaya memahami format politik Islam di Indonesia dalam kaitannya

dengan Islam dan politik di masa orde lama. Untuk itu judul yang diambil

dalam penelitian skripsi ini adalah PEMIKIRAN POLITIK MOHAMMAD

NATSIR DALAM PETA PERPOLITIKAN DI INDONESIA DI MASA

ORDE LAMA.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dengan mengajukan skripsi ini maka peneliti memperoleh

kesempatan melakukan historical insight, tentang seorang tokoh besar

yaitu Mohammad Natsir. Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual,

politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di

abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi

asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen

yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar

bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya. Tak diragukan

lagi banyak sekali pengalaman yang menginspirasikan

pemikiran-pemikirannya untuk diterapkan di Indonesia. Dari sekian banyak

pemikiran Mohammad Natsir, penulis ingin memfokuskan kajian

penelitiannya terhadap pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde

lama.

2. Pembatasan Masalah.

Sebagaimana banyak diketahui Mohammad Natsir dikenal sebagai

(20)

Islam, Seorang tokoh yang menghasilkan pemikiran yang luar biasa

tentang Islam. Oleh sebab itu, dalam skripsi ini penulis akan membatasi

pembahasannya lebih fokus kepada pemikiran politik Mohammad Natsir

di masa orde lama dan difokuskan yang ditulis adalah kerangka pemikiran

politik Mohammad Natsir di masa orde lama dalam membatasi ruang

kajian ini.

3. Perumusan Masalah

Dengan merujuk pada keterangan yang telah dijelaskan diatas, ada

bebarapa persoalan yang terangkum dalam identifikasi masalah,

berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pembahasan skripsi ini penulis

melakukan penelitian bagaimana pemikiran politik Mohamammad Natsir

di Indonesia di masa orde lama dan dapat diuraikan secara terperinci

sebagai berikut:

a. Bagaimana peta perpolitikan Mohammad Natsir di Indonesia di masa

orde lama?

b. Bagaimana Perjalanan hidup Mohammad Natsir selaras dengan

kehidupan politiknya?

c. Bagaimana Signifikansi pemikiran politik Mohammad Natsir?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui dan memahami secara

jelas tentang pemikiran politik Mohammad Natsir khususnya pemikiran

(21)

kritis terhadap pemikiran dan gagasannya. Dan juga ingin lebih dalam

mengkaji tentang beberapa hal, yang di antaranya adalah:

a. Untuk mengetahui peta perpolitikan Mohammad Natsir dalam

politiknya, khususnya peta perpolitikan Mohammad Natsir di masa

orde lama.

b. Mengetahui Perjalanan hidup Mohammad Natsir selaras dengan

kehidupan politiknya.

c. Untuk mengetahui signifikansi pemikiran politik Mohammad Natsir.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Praktis

Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar

kesarjanaan strata 1 (S1) Fakultas Syariah dan Hukum di Jurusan

Ketatanegaraan Islam pada Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

b. Manfaat Akademis

1) Sebagai tambahan referensi atau perbandingan bagi studi-studi

yang akan datang, judul skripsi yang penulis angkat diharapkan

akan menambah jumlah studi mengenai politik Islam.

2) Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah

keilmuan dibidang ilmu poltik.

3) Bagi Fakultas, diharapkan memberikan sumbangan kepustakaan

(22)

Ketatanegaraan Islam.

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam menyusun

skripsi ini adalah library research yaitu metode penelitian yang

menggunakan teknik pengumpulan datanya dengan memanfaatkan

berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan permasalahan penelitian

baik dari buku-buku teks, media masa, ataupun jurnal, yang membicarakan

tentang pemikiran politik Mohammad Natsir. Namun yang tetap perlu

diperhatikan adalah unsur selektif yaitu tidak semua unsur bacaan yang di

temukan lalu ditelaah dan dipakai begitu saja, agar didapatkan hasil

penelitian yang relevan dan tidak meluas kemana-mana. Kajian inipun

sering juga disebut kajian literatur27.

Penelitian tokoh ini juga bersifat kualitatif yang berangkat dari

generalisasi empiris atau realitas-realitas sosial sejarahnya.

Realitas-realitas tersebut dideskripsikan dan di analisis secara komprehensif,

holistik, dan komparatif. Aspek yang bersifat fenomenal dan historis juga

didiskripsikan dan ditelaah secara kritis hingga melahirkan satu

generalisasi yang bersifat ideografis.

27

(23)

Menurut Bogdan dan Taylor (1973),28 penelitian kualitatif adalah

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau

tulisan, dan perilaku yang dapat diamati dari subyek itu sendiri.

Pendekatan ini menunjukkan langsung dari setting itu secara keseluruhan.

Subjek studi baik berupa organisasi, lembaga, atau individu tidak

dipersempit menjadi variable yang terpisah atau menjadi hipotesis, tetapi

dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan (holistik).

Strategi penelitian menggunakan studi tokoh kritis yang

merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif. Dalam studi tokoh kritis,

metode yang digunakan untuk meneliti subjek penelitian akan

mempengaruhi cara pandang subjek tersebut. Sehingga studi tokoh kritis

terletak pada kapasitas untuk menganalisa dan menginterpretasi tokoh

Mohammad Natsir secara kritis. Melalui metode ini juga, dapat dikenali

secara mendalam bagaimana Mohammad Natsir secara pribadi dengan

melihat konsepnya, sesuai dengan cara pandangnya terhadap dunia dengan

pemikiran, karya, dan perilaku politiknya. Penelitian kualitatif ini mencoba

mengeneralisasikan tokoh Mohammad Natsir, dari sisi pemikiran

politiknya khususnya tentang perpolitikan di masa orde lama.

Oleh karena itu, kajian literatur kritis yang baik menjadi prasyarat

wajib bagi setiap penelitian, baik untuk penjabaran atau mempertajam

permasalahan, merumuskan hipotesis, merumuskan konsep-konsep,

menentukan dasar-dasar teori yang dipergunakan dalam mengumpulkan

28

(24)

data, maupun dalam menafsirkan data. Penelitian kepustakaan ini

diperoleh dengan melakukan penalaran dedukatif secara simultan dari

sumber-sumber bacaan yang diperoleh. Jadi penelaahan ini tidaklah hanya

memindahkan buah pemikiran orang lain secara dogmatis tetapi

memerlukan proses berpikir seorang peneliti agar terhindar dari unsur

menjiplak.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan

sejarah (historical approach) dalam hal ini peneliti mengeksplorasi perkembangan konsep ataupun pemikiran serta aksi politik Mohammad

Natsir secara kronologis. Dengan mengunggkap perkembangan politik

Islam secara kronologis, dari itu akan dapat diketahui dengan lebih mudah

perihal sebab-sebab lahir dan berkembangnya kebijakan-kebijakan pada

masa itu. Pada akhirnya penulis dapat menemukan orisinalitas dan inti

pemikiran Mohammad Natsir tersebut.

2. Teknik Pengumpulan Data

a. Pengumpulan data

Sebagai implikasi dari pendekatan yang digunakan, maka

metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif,

ucapan atau tulisan, dan prilaku yang dapat diamati dari subyek itu

sendiri. dengan metode ini penulis mengkaji bahan atau data dari

sumber tulisan yang terkait, baik dari sumber primer maupun

sekunder.

(25)

karya tulis yang merupakan karya asli dari Mohammad Natsir antara

lain adalah Kebudayaan Islam dalam perspektif sejarah, Di bawah

Naungan Risalah, Islam Sebagai Dasar Negara, Demokrasi di Bawah Hukum, Indonesia di Persimpangan Jalan, dll.

Adapun sumber data yang bersifat sekunder adalah dokumen

atau karya tulis yang ditulis oleh orang atau suatu lembaga tentang

sosok Mohammad Natsir dengan memberikan kategorisasi dan

pengelompokan kualitas pada data yang diperoleh baik yang berasal

dari dokumen pustaka misalnya Buku-buku yang mengkaji tentang

Mohammad Natsir adalah Pemikiran Natsir dalam perkumpulan

intelektual di Indonesia yang ditulis oleh Anwar Haryono dan

Lukman Hakim, dan juga buku Mohammad Natsir 70 tahun:

kenang-kenangan kehidupan dan perjuangan karangan Yusuf Abdullah Puar,

lalu ada pula buku yang menjelaskan tentang Biografi Mohammad

Natsir yaitu buku M. Natsir, sebuah biografi yang ditulis oleh Ajib

Rosyidi, kemudian ada buku tentang Gerakan Modernisme Islam di

Indonesia 1900-1942 yang ditulis oleh Deliar Noer dan Partai Islam di

Pentas Nasional, ataupun dari data lain seperti internet, kemudian

data-data tersebut dianalisis dengan kritis secara akademis. Oleh

karena itu, penulisan akan merujuk pada pengkajian pustaka, baik

karya asli mapun terjemahan, juga karya-karya yang sesuai atau

mendukung dengan tema bahasan.

b. Pengolahan Data

(26)

skripsi ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu memaparkan

hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data primer dan sekunder secara

apa adanya. Kemudian dianalisa dengan cara menginterpretasikan dari

hasil-hasil yang telah didapatkan. Kemudian data-data tersebut

diklasifikasikan sesuai dengan tema dan sub-sub bab yang akan

dibahas oleh penulis, kemudian penulis mendeskripsikan ini dengan

memaparkan secara sistematis yang disertai dengan membuat analisis,

kritik dan kesimpulan. Analisis yang digunakan penulis adalah analisis

hubungan yaitu memberikan analisis dengan menghubungkan uraian

dan penjelasan yang terdapat pada bab-bab sebelumnya diakhir

pembahasan.

c. Teknik Analisis Data

Analisis data dengan metode analisis induktif yaitu dengan

melakukan analisis secara menyeluruh terhadap data-data yang telah

didata, kemudian akan dihasilkan kesimpulan penelitian terhadap

permasalahan yang diangkat. Metode ini dilakukan penulis dengan

berbagai langkah yaitu dengan cara menghimpun seluruh data-data

tersebut dijadikan beberapa bab dan sub bab, setelah semuanya terdata

dengan baik, langkah selanjutnya data-data tersebut dianalisa oleh

penulis sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang sesuai dengan

informasi dan data-data yang didapatkan.

d. Teknik Penulisan Skripsi

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada Buku

(27)

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Fakultas

Syari‟ah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta

tahun 2012.

E. Review Studi Terdahulu

Sebagai seorang tokoh agama sekaligus negarawan, kehidupan dan

pemikiran Mohammad Natsir cukup banyak mendapat sorotan dari para

penulis, terutama berkaitan dengan perjuangan Islam dan bangsa Indonesia.

Sebagai contoh Deliar Noer dalam bukunya yang berjudul Gerakan Modern

Islam di Indonesia 1900-1942. Deliar Noer memaparkan tentang Mohammad

Natsir sebagai anggota Persis, permulaan karirnya, kaitannya dengan Partai

Islam Indonesia, dan Polemiknya dengan Soekarno.29 Abdul Munir Mulkhan

dalam bukunya yang berjudul Runtuhnya Mitos Politik Santri: Strategi

Kebudayaan dalam Islam : di dalamnya memaparkan pandangan Mohammad

Natsir tentang Perjuangan Islam dan Bangsa Indonesia.30 Meskipun kedua

buku ini membicarakan tentang Mohammad Natsir dalam Perjuangan Islam

dan Bangsa Indonesia, tapi ia bukanlah tema sentral dari tulisan tersebut.

Mohammad Natsir dibahas sebagai sebuah bagian yang berfungsi untuk

menyempurnakan tema sentral dari kedua tulisan.

Adapun tulisan yang menjadikan Mohammad Natsir sebagai tema

sentral antara lain: (1) Pak Natsir 80 Tahun: Pandangan dan Penilaian

Generasi Muda Antar Generasi. Tulisan ini merupakan kumpulan tulisan dari

29

Deliar Noer , Gerakan Modernisme Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), h.308-315.

30

(28)

beberapa tokoh tentang pandangan mereka terhadap Mohammad Natsir baik

sisi pribadinya, perjuangannya dalam agama dan Negara ataupun

pemikirannya tentang Islam dan Negara.31 (2) Percakapan antar Generasi:

Natsir Pesan Perjuangan seorang bapak adalah hasil wawancara A.W.

Praktiknya dan Amien Rais dengan Mohammad Natsir yang berkaitan dengan

Islam, Gerakan, dan Perkembangannya.32 (3) Natsir: Sebuah Biografi oleh

Ajib Rasidi. Dari judul tulisan ini dapat terlihat bahasa tulisan tersebut

memfokuskan diri pada biografi Mohammad Natsir dari awal kelahirannya

hingga perjuangan dan perannya dalam kehidupan beragama dan berbangsa.33

(4) Dasar Negara Islam Indonesia: Pemikran, Cita-cita, dan Semangat

Nasionalisme Natsir oleh Kholid O.Santosa: Memaparkan Perkembangan

Pemikiran Mohammad Natsir berkaitan dengan agama dan politik serta

konsep Negara Islam sebagai konsep usulannya.34 (5) Polemik Negara Islam:

Soekarno Versus Natsir oleh Ahmad Suhelmi. Fokus tulisan ini adalah

perdebatan antara Soekarno dan Natsir dalam memahami hubungan agama

dan Negara.35

Selain tulisan-tulisan diatas, terdapat juga tulisan dalam bentuk skripsi

31

Endang Saifuddin Anshari dan Amien Rais, Pak Natsir 80 Tahun: Pandangan dan Penilaian Generasi Muda (Jakarta: Media Dakwah, 1988), h.187-189.

32

A.W Praktiknya, Percakapan Antara Generasi: Natisr Pesan Perjuangan seorang Bapak (Yogyakarta : Labda, 1989), h.1-130.

33

Ajib Rosidi, M.Natsir: Sebuah Biografi, h.15-312.

34

Kholid O. Santosa, Dasar Negara Islam Indonesia: Pemikiran, Cita-cita dan Semangat Nasionalisme Mohammad Natsir (Bandung: LP2EPI, 2002), h.187-345.

35

(29)

yang membahas tentang Mohammad Natsir, antara lain (1) “Konsep

Kenegaraan Dalam Islam Menurut Mohammad Natsir” oleh Muhammad

Taisir. Tulisan ini menyoroti pandangan Mohammad Natsir tentang Negara

yang berpijak pada ajaran agama Islam.36 (2) “Natsir: Politikus Intelektual

Muslim” oleh Sri Murti. Tulisan ini tidak memfokuskan pada salah satu

pemikiran Natsir namun menyoroti segala sesuatu yang berkaitan dengan

Mohammad Natsir sebagai seorang politikus Muslim.37 (3) “Pemikiran

Mohammad Natsir tentang Negara dan Kiprahnya dalam Perpolitikan di Indonesia” oleh Adhiyat Bagus Nugraha. Dalam pembahasannya lebih

mengarah pada hubungan agama dan Negara.38

Dengan demikian, Penelitian ini berbeda dengan tulisan-tulisan tentang

Mohammad Natsir yang telah ada, penelitian ini lebih menekankan dan

membahas serta menitikberatkan tentang pemikiran politik Mohammad Natsir

dalam peta perpolitikan di Indonesia di masa orde lama. Oleh karena itu, studi

tentang pemikiran dan aksi politik Mohammad Natsir menjadi sangat menarik

dan patut untuk diteliti secara mendalam dalam rangka memberikan kontribusi

positif yang tinggi bagi upaya memahami format politik Islam di Indonesia

dalam kaitannya dengan Islam dan politik.

F. Sistematika Penulisan

36Muhammad Taisir, “Konsep KenegaraanIslam Menurut Mohammad Natsir”,

(Skripsi S1 Fakultas Adab, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, 1999).

37Sri Murti, “Politikus Intelektual Muslim”

, (Skripsi S1 Fakultas Adab, Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, 1996).

38Adhiyat Bagus Nugraha, “Pemikiran Mohammad Natsir tentang Negara dan Kiprahnya

(30)

Untuk memudahkan penulisan, maka penulis menggunakan

sistematika penulisan dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta agar pemaparan hasil penelitian dalam

bentuk penulisan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, penulis membagi

uraian skripsi ini menjadi lima bab, yakni masing-masing terdiri dari sub-sub

yang terdiri sebagai berikut:

Pada Bab I (bab Pertama) Penulisan ini dimulai bab pertama,

Merupakan bab pendahuluan yang diuraikan tentang Latar Belakang Masalah,

Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode

Penelitian, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan. Hal ini

dimaksudkan untuk memenuhi standar laporan penulisan dalam bentuk skripsi

sebagaimana lazimnya.

Selanjutnya diuraikan pula Pada Bab II (bab Kedua) Pada bagian ini

akan dibahas mengenai peta perpolitikan di Indonesia di masa orde lama, serta

pergulatan sejarah kekuatan politik Islam di Masa Orde lama, dan kebijakan

pemerintah Orde lama, serta kebijakan orde lama terhadap Islam secara

deskriptif. Uraian ini dimaksudkan untuk menggambarkan peta perpolitikan

pada umumnya di masa orde lama, uraian ini penulis tempatkan pada bab

Kedua.

Selanjutnya untuk mengenal lebih dekat sosok Mohammad Natsir,

pemikiran politik Mohammad Natsir di masa orde lama. Maka lebih dahulu

diuraikan dalam hal ini Biografi Mohammad Natsir adapun materi-materi

(31)

Riwayat Hidup, Riwayat Intelektual (Pendidikan), Corak dan Posisi

Mohammad Natsir diantara para pemikir Islam pada masanya, dan Pengaruh

Pemikiran Mohammad Natsir di Indonesia.

Masuk pada bab IV (Bab keempat). Pada bab keempat ini penulis

menjelaskan tentang pembahasan masalah, dimana didalamnya penulis

menjelaskan Signifikansi Pemikiran Mohammad Natsir tentang peta

perpolitikan di Indonesia di masa orde lama, dan penulis juga menjelaskan

Peran Mohammad Natsir di masa orde lama, serta Signifikansi Peran

Mohammad Natsir dalam Peranannya.

Selanjutnya dalam Bab V (Bab Kelima) adalah bab Penutup, dimana

dalam bab ini penulis mencoba menyimpulkan apa yang jadi tema skripsi ini

yang berisi kesimpulan dan Rekomendasi. Dalam bab ini disajikan

pokok-pokok temuan penelitian yang dihasilkan. Disamping itu, dimuat pula saran

(32)

21 A. Kondisi Sosial-Politik Di Masa Orde Lama

Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia

masuk dalam suatu babak kehidupan baru sebagai bangsa yang merdeka dan

berdaulat penuh. Dalam perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia mengalami

berbagai perubahan asas, paham, ideologi, dan doktrin dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan melalui berbagai hambatan dan

ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa Indonesia dalam

mempertahankan serta mengisi kemerdekaan.1

Wujud berbagai hambatan adalah disintegrasi dan Instabilisasi nasional

sejak periode orde lama yang berpuncak pada pemberontakan PKI 30

September 1945 sampai lahirlah Supersemar sebagai titik balik lahirnya

tonggak pemerintahan era orde baru yang merupakan koreksi total terhadap

budaya dan sistem politik orde lama dimana masih terlihat kentalnya

mekanisme, fungsi dan struktur politik yang tradisional berlandaskan ideologi

sosialisme komunisme.2

Konfigurasi politik yang ada pada periode lama membawa bangsa

Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan

berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur

1

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta:UII Press,1991), h.3.

2

(33)

pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah

pusat terhadap pemerintah daerah. Konfigurasi politik otoriter yang

dimaksudkan disini ialah dimana susunan sistem politik yang lebih

memungkinkan Negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh

inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan Negara. konfigurasi ini ditandai oleh

dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi

terbuka, dominasi pimpinan Negara untuk menentukan kebijaksanaan Negara

dan dominasi kekuasaan politik oleh elite politik yang kekal, serta dibalik

semua itu ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi kekuasaan.3

Konfigurasi politik diartikan sebagai kekuatan-kekuatan politik yang riil dan

eksis dalam suatu sistem politik.4 Pada masa ini pula politik kepartaian sangat

mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta

sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme.5

Sedangkan dibawah kepemimpinan rezim orde baru yang mengakhiri

tahapan tradisional tersebut pembangunan politik hukum memasuki era lepas

landas lewat proses rencana Pembangunan Lima Tahun yang

berkesinambungan dengan pengharapan Indonesia dapat menuju tahap

kedewasaan (maturing society) dan selanjutnya berkembang menuju bangsa

yang adil dan makmur.6

3 Gallenksonk,”Konfigurasi Politik”, artike

l diakses pada 19 Maret 2015 dari https// Kodifikasi.blog.spot.com

4 Gallenksonk,”Konfigurasi Politik”, artike

l diakses pada 19 Maret 2015 dari https// Kodifikasi.blog.spot.com

5

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h.91.

6

(34)

Presiden Soekarno pada tanggal 5 juli 1959 mengeluarkan Dekrit

Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi

dalam Lembaran Negara tahun 1959 No.75, Berita Negara 1959 No.69

berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi

UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar

pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya

konstitiuante melaksanakan tugasnya.7 Pada masa ini Soekarno memakai

sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada

tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis

konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang

“memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang

dilakukan melalui dekrit.8

Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma

yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik

ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh

kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari

masyarakat terjajah menjadi masyarakat merdeka.9 Masa orde lama bisa

diartikan juga sebagai masa pencarian bentuk implementasi Pancasila

terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam

7

Moh Mahfud MD, Politik Hukum Diklat Program Pasca Sarjana UII Tahun 1998/1999

(Yogyakarta: penerbit UII Press,1998), h.133-134.

8

M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.115.

9

(35)

bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama.10 Orde lama berlangsung dari

tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu tersebut, Indonesia

menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi

komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia

menggunakan sistem pemerintahan parlementer.11

Problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat

ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi

masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif

serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara

baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan

kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti

Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila.12

Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan

excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi

secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu

kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama

demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democraticie).13

10

Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 (Jakarta: Rajawali,1986), h.93.

11

Cita Dastmik. “Orde Lama”. artikel diakses pada 19 Maret 2015 dari https: // citadastmikpringsewu.wordpress.com

12

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik:Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Jakarta: Gema Insani Press,1996), h.31-32.

13

(36)

Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi ideologi dan

multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi mayoritas, keadaan

ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII yang berhaluan

theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian pemilu 1955

melahirkan empat partai besar yaitu Partai Nasionalis Indonesia (PNI),

Nahdhatul Ulama (NU), Majlis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) dan

Partai Komunis Indonesia (PKI) yang secara perlahan terjadi pergeseran

politik ke sistem catur mayoritas.14

Kenyataan ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita

bayar tinggi berupa :

1. Gerakan separatis pada tahun 1957;

2. Konflik ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam,

sehingga terjadi kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun

1959.

Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam

Fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17

Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959

dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional

yang seru antara Pro dan yang Kontra.15

Pihak yang pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang

Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional. Akhirnya memang masalah

Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru,

14Ibid

,. h.155.

15

(37)

sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada

perang revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga

merupakan prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah

memberikan pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita

bayar dengan biaya tinggi.16

B. Kekuatan Politik Islam di Masa Orde Lama

1. Politik Islam di Masa Kemerdekaan

Ketika Indonesia memasuki pintu gerbang kemerdekaan, muncul

persoalan yang sangat pelik atau kritis, yaitu mengenai pilihan dasar

negara atau undang-undang dasar negara. hal ini terkait dengan adanya

golongan masyarakat yang secara teoritis digambarkan oleh Geertz,

melalui kategori sosial santri, priyai dan abangan. Kalangan santri secara

politik mengelompokkan dalam aliran politik dengan ideologi yang agamis

(Islam), sedangkan kalangan priyayi (Islamiyah) ke dalam kelompok kecil

yang bercakupan Nasional dan Aksi Kesatuan Umat Islam (AKUI)

Madura ke dalam kelompok kecil yang bercakupan daerah.17

Berbicara secara Ideologis , perdebatan serius antara wakil-wakil

golongan Islam dan kelompok Nasionalis sekuler dalam BPUPKI (Badan

Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) harus dan

abangan secara politik mengelompokkan dalam aliran politik dengan

16

Ibid., h.124.

17

(38)

ideologi yang sekuler.18

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 atau tepatnya

pada tanggal 3 November 1945, Wakil Presiden Mohammad Hatta

mengeluarkan Maklumat Pemerintah tentang hak hidup Partai-partai

politik Indonesia. Partai-partai tersebut diharapkan sudah berdiri sebelum

dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada

bulan Januari 1946. Pada saat inilah setelah Partai Nasional Indonesia

didirikan, Partai Muslim bernama Masyumi (Majlis Syuro Muslimin

Indonesia) didirikan pada tanggal 7 November 1945.19

Antara bulan November sampai Desember 1945, berbagai partai

politik bermunculan di tanah air. Umat Islam, sekalipun tidak secara

langsung berkaitan dengan seruan pemerintah itu, menyelenggarakan

kongres umat Islam Indonesia pada tanggal 7-8 November 1945 di

Yogyakarta. Semangat yang menjiwai kongres itu bukan saja semangat

persatuan, tetapi juga semangat kesatuan. Kongres yang dilaksanakan pada

saat seluruh bangsa tengah menghadapi tentara sekutu dan tentara Belanda

yang membonceng sekutu berniat kembali menjajah bangsa Indonesia,

dengan tegas dan penuh keyakinan mengumandangkan seruan Jihad fi

sabilillah untuk mempertahankan kemerdekaan.20

Pembentukan Partai Masyumi di Yogyakarta pada tahun 1945,

18

Firdaus Syam, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Di Pentas Politik Indonesia Modern (Jakarta: Khoirul Bayaan, Sumber Pemikiran Islam, 2003), h.47.

19

M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.94.

20

(39)

melalui kongres umat Islam, salah satu tujuannya adalah melaksanakan

cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Kongres ini mengahasilkan

kesepakatan bahwa Masyumi Merupakan satu-satunya institusi politik

umat Islam. Dari komposisi personalia kepengurusan Masyumi, tampak

bahwa partai ini melibatkan seluruh fungsionaris Islam pasca

kemerdekaan, seperti dalam Majlis Syuro diketuai oleh Hasyim Asy‟ari

(NU), Agus Salim (PSII) dan lain-lain; sedangkan Pengurus Besar diketuai

oleh Sukiman, Abikusno Tjokrosujoso, dan kemudian melibatkan M.

Natsir, Mohammad Roem, dan juga Kartosuwirjo.21

Mulai dilaksanakannya sistem pemerintahan parlementer berarti

membuka peluang lebih besar kepada partai politik untuk memainkan

perannya di legislatif. Partai apa pun yang bisa memperoleh suara

terbanyak di legislatif pada gilirannya ia akan mendapat kesempatan untuk

mendominasi kabinet atau lembaga eksekutif. Hal ini menjadi salah satu

pendorong bagi masyarakat yang terbelah menjadi lima aliran pemikiran

politik untuk mendirikan partai sesuai dengan aliran yang dimilikinya.

Kelima aliran itu adalah Komunisme, Sosialisme Demokratik, Islam,

Nasionalisme Radikal, dan Tradisionalisme Jawa.22

Pada bagian lain, Alfian membagi partai-partai yang muncul

pasca-Maklumat November 1945 menjadi lima bagian, yaitu Nasionalisme,

Islam, Komunis, Sosialis, dan Kristen/Nasrani. Sedangkan buku

21

Ibid,. h.122-123.

22

(40)

Kepartaian Indonesia terbitan Kementerian Penerangan tahun 1951

menggolongkannya menjadi 4 jenis, yakni (1) Dasar Ketuhanan, (2) Dasar

Kebangsaan, (3) Dasar Marxisme, dan (4) Partai Lain-lain.23 Sementara itu

Herbert Feith dengan mendasarkan diri pada hasil perolehan suara dan

jumlah kursi yang diperoleh partai-partai dalam pemilu 1955,

mengelompokkan partai menjadi empat bagian. Keempat bagian itu adalah

partai besar, partai menengah, kelompok kecil yang bercakupan nasional,

dan kelompok kecil yang bercakupan daerah. Mengikuti taksonomi ini,

Feith memasukkan Masyumi dan NU ke dalam Golongan Partai besar,

PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), PPTI (Partai Persatuan Tharikat

Indonesia).24

Pada 9 April 1945, BPUPKI (dalam bahasa jepang :Dokuritsu

Zyumbi Tyoosokai) dibentuk sebagai realisasi janji Jepang untuk

memberikan kemerdekaan kepada Indonesia sebagaimana telah

diumumkan Perdana Menteri Koiso pada 9 September 1944. Perdebatan

tentang dasar Negara dalam sidang-sidang BPUPKI memang tegang dan

panas. Ada dua aliran politik yang muncul ke permukaan: Islam dan aliran

pemisahan Negara dan Agama. Profesor Supomo menjelaskan tentang dua

aliran ini sebagai Perbedaan dua paham : Paham pertama dibela oleh

ahli-ahli agama yang bertujuan mendirikan suatu Negara Islam di Indonesia;

paham kedua, sebagaimana disarankan oleh Hatta ialah paham pemisahan

23

M.Rusli karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah potret pasang-surut

(Jakarta:Rajawali Press, 1993), h. 65-68.

24

(41)

antara urusan Negara dan urusan Islam. Pendeknya bukan suatu Negara

Islam.25

Pendapat di atas dikemukakan Supomo pada 31 Mei 1945, yakni

sehari sebelum Soekarno menyampaikan usul Pancasila sebagai dasar

ideologi Negara. hanya perlu dicatat bahwa dalam Pancasila Soekarno, sila

Ketuhanan diletakkan sebagai sila kelima, sila pengunci. Dengan demikian

Soekarno tidak menjadikan sila Ketuhanan sebagai sumber moral bagi

sila-sila yang lain. Lebih dari itu, bagi Soekarno Pancasila dapat disarikan

menjadi Trisila, yakni : 1. Sosio-nasionalisme; 2. Sosio-demokrasi; 3.

Ketuhanan.26 Bahkan sila yang tiga ini dapat diperas menjadi Ekasila

dalam bentuk gotong-royong. Dalam perasan yang terakhir ini sila

Ketuhanan telah menghilang. Sudah barang tentu teori tipikal ini

dipandang tidak masuk akal oleh setiap Muslim yang sadar akan ajaran

agamanya. Itulah sebabnya mereka berusaha melakukan modifikasi

terhadap rumusan Pancasila Soekarno, jika memang Pancasila mau

dijadikan Falsafah Negara.27

Isu tentang dasar Negara telah memaksa para pendiri Republik

Indonesia untuk menjalani masa-masa yang sulit dalam sejarah modern

Indonesia. Tetapi Akhirnya, sebuah kompromi politik dalam bentuk

Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 dapat dicapai. Piagam Jakarta

adalah hasil kerja sebuah Panitia kecil dalam BPUPKI yang diketuai

25

Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h.17.

26Ibid,

. h.26.

27

(42)

Soekarno, dan ditandatangani oleh 9 anggota terkemuka, yaitu: Soekarno,

Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar

Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim dan

Muhammad Yamin.28

Piagam Jakarta sebenarnya adalah sebuah preambule (Pembukaan)

bagi konstitusi yang diajukan dalam sidang BPUPKI. Di dalamnya,

Pancasila sebagai dasar Negara yang telah disepakati, tetapi sila pertama,

yaitu sila Ketuhanan diikuti oleh klausul:…dengan kewajiban

menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Anak kalimat yang

dinilai strategis ini juga terdapat dalam pasal 29 ayat 1 Undang-Undang

Dasar 1945 yang diusulkan itu. Bagi ummat Islam, anak kalimat ini

menjadi sangat penting sebab dengan itu tugas pelaksanaan syari‟at Islam

secara konstitusional terbuka pada waktu yang akan datang. Inilah salah

satu alasan mengapa wakil-wakil ummat Islam dalam BPUPKI dapat

berkompromi dengan kelompok nasionalis.

Sisi lain yang menarik di sini ialah bahwa anggota panitia kecil,

kecuali Maramis yang Kristen, semuanya beragama Islam, sekalipun

hanya empat wakil saja yang membawa aspirasi politik Islam. Mereka

adalah Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Agus Salim dan

Wachid Hasjim. Sedangkan empat anggota lainnya telah sejak awal

menolak Islam sebagai dasar Negara.29

28

Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h.30.

29

(43)

2. Politik Islam dalam Pembentukan Negara Pada Masa Kemerdekaan

Sebagai realisasinya maka dibentuklah Badan Penyelidik

Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 9 April 1944.

Dalam pembahasan mengenai dasar negara Indonesia merdeka terdapat

dua golongan yang saling bertentangan yakni golongan Islam dan

nasionalis Sekuler.30 Salah satu kepentingan umat Islam ketika itu adalah

menjadikan Islam sebagai dasar negara. Tuntutan ini menimbulkan reaksi

dari kelompok nasionalis sekuler, sosialis, dan nasrani yang pada masa itu

merupakan mayoritas dalam BPUPKI. Kelompok tersebut mengajukan

pancasila sebagai dasar negara. untuk mengatasi permasalahan ini

dibentuklah “Panitia Sembilan”.

Panitia ini terdiri atas lima orang dari golongan nasionalis sekuler

dan empat orang dari golongan Islam. Berdasarkan keputusan dari “Panitia

Sembilan” pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai kesepakatan menambah

tujuh kata dalam sila pertama pancasila menjadi “Ketuhanan dengan

kewajiban menjalankan syari‟at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Konsep

ini kemudian disebut Piagam Jakarta.31 Piagam ini adalah sebuah

kompromi politis ideologis antara golongan yang beraspirasi Islam dan

kelompok nasionalis yang sebagian besar juga beragama Islam, akan tetapi

menolak ide negara berdasarkan Islam.

Meskipun demikian UUD 1945 yang disahkan sehari setelah

proklamasi kemerdekaan ternyata menghapuskan tujuh kata dalam Piagam

30

M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, h.112.

31

(44)

Jakarta diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menetapkan

Pancasila sebagai dasar Negara. Umat Islam terpaksa mengalah dengan

tuntutan kelompok pendukung Pancasila. Perubahan ini dipandang oleh

sebagian orang sebagai kekalahan politik wakil-wakil umat Islam.32

Pada era pasca kemerdekaan harapan untuk semakin berperan

dalam politik tetap ada. Sarana perjuangan politik yang paling utama di era

ini adalah melalui partai Masyumi, yang mewadahi dua kelompok besar,

yaitu kelompok tradisional dan kelompok modernis. Di era Demokrasi

Liberal (1945-1959)33 peran partai Masyumi cukup menggembirakan.

Tetapi partai ini pecah menjadi dua setelah Nahdlatul Ulama (NU) yang

pada awalnya merupakan sebuah organisasi keagamaan keluar dari

Masyumi dan membentuk partai baru pada tahun 1952.

Pemilu pertama tahun 1955 yang dilaksanakan selama dua kali.

Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR

sedang yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota

Dewan Konstituante. Pemilu tahun 1955 ini telah menghasilkan empat

partai besar pemenang pemilu yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI.34 Setelah

pemilu tahun 1955 selesai, terjadi perkembangan politik yang cukup

menarik. Pertentangan antara kelompok Islam dengan kelompok nasionalis

sekuler mulai terlihat dalam majelis konstituante yang membahas tentang

rancangan UUD perihal dasar Negara yang akan digunakan. Pada saat itu

32

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, h.108-109.

33

Deliar Noer, Partai-partai Islam di pentas nasional (1945-1965), h.49-50.

34Ibid

(45)

ada tiga rancangan dasar negara yaitu Islam, Pancasila dan

Sosial-ekonomi. Rancangan tentang sosial-ekonomi yang diajukan oleh partai

buruh dan Murba hanya didukung oleh sebagian kecil anggota Majelis

Konstituante sehingga akhirnya perdebatan didominasi antara golongan

Islam dan Nasionalis sekuler yang mengajukan Pancasila sebagai dasar

negara. Perdebatan tentang dasar negara ini berakhir setelah Bung karno

membubarkan Majelis Konstituante dengan keluarnya Dekrit Presiden 5

juli 1959 dan menyerukan kembali pada UUD 1945 dengan tetap

berdasarkan pancasila.35

Suasana di atas setidaknya menggambarkan dinamika pemikiran

politik pasca kemerdekaan berkenaan dengan upaya untuk merumuskan

kembali hubungan antara agama (Islam) dan Negara yang dapat diterima

secara luas oleh bangsa Indonesia. Dalam beberapa peristiwa politik

tampak bahwa upaya untuk membangun hubungan formalistik dan

Legalistik antara Islam dan sistem politik Negara selalu berujung pada

kebuntuan dan pertentangan ideologis antara dua kelompok pemikiran

politik di kalangan aktivis politik Muslim yakni kelompok Islam dan

kelompok Nasionalis sekuler. Kelompok pertama menuntut dijadikannya

Islam sebagai dasar Negara sedangkan kelompok kedua menolak

hubungan agama dan Negara yang bersifat formalistik dan legalistik

seperti yang dituntut oleh kelompok Islam.

35

(46)

3. Peranan Islam dalam Konstituante

Pemimpin-pemimpin Islam Indonesia dari semua golongan

menjelang Proklamasi telah berusaha agar pelaksanaan syariah diakui

secara konstitusional dengan dicapainya suatu kesepakatan antara

wakil-wakil Islam dengan para pemimpin Nasionalis yang netral agama melalui

Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945. Piagam ini hanya berumur selama

57 hari, yakni sampai dengan tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai gantinya

maka sila pertama Pancasila yang semula Ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti menjadi

Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada saat itu juga Presiden Soekarno

memberikan janji kepada umat Islam untuk menjadikan UUD 1945

bersifat sementara. Janji Presiden Soekarno pada tanggal 18 Agustus 1945

tersebut sejalan dengan janjinya terdahulu dalam pidatonya tanggal 1 Juni

1945 ketika dia mengusulkan prinsip permusyawaratan sebagai salah satu

sila dasar Negara.36

Pada tanggal 27 Januari 1953 Presiden Soekarno menyampaikan

pernyataan yang mengagetkan di Amuntai, Kalimantan Selatan,

sebagaimana yang dikutip oleh H. Endang saifuddin Anshori ketika

Soekarno berkata: “Negara yang kita susun dan yang kita ingini ialah

Negara Nasional yang melliputi seluruh Indonesia. Kalau kita dirikan

Negara berdasarkan Islam, maka banyak daerah-daerah yang

penduduk-penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya

Maluku, Bali, Flores, Timor, Kutai dan juga Irian barat yang belum masuk

36

(47)

wilayah Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik”.37 Pidato

Soekarno ini mengandung banyak reaksi dan protes dari berbagai

kelompok Islam diantaranya adalah dari Gerakan Pemuda Islam.

Usaha-usaha yang ditempuh untuk memperjelas apa yang menjadi

pemikiran Soekarno tersebut secara detail dapat dilihat dalam diskusi yang

dilakukan oleh A. Dahlan Ranuwiharjo, ketua Pengurus Besar Himpunan

Mahasiswa Islam yang menulis surat kepada Soekarno untuk meminta

penjelasan tentang hubungan antara negara nasional dan negara Islam, dan

antara Pancasila dan Ideologi Islam.38

Dalam masa kepemimpinan Mohammad Natsir ini juga, Masyumi

ikut dan berpartisipasi aktif dalam menyukseskan Pemilihan Umum tahun

1955, yang merupakan pemilu pertama dalam sejarah Republik Indonesia.

Pemilu 1955 dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk

di DPR dan di Konstituante. Menurut Badruzzaman Busyairi, “Dasar

hukum penyelenggaraan Pemilu 1955 adalah UUDS 1950, khususnya

Pasal 1 Ayat 2 dan Pasal 35”.39 Partisipasi aktif Masyumi terlihat sejak

awal persiapan dan pelaksanaan pemilu itu, termasuk ikut berkompetisi

bersama partai-partai lain pada hari pelaksanaannya.

Berdasarkan telaahan dari berbagai sumber, penulis menyimpulkan

bahwa Pemilu 1955 adalah unik dan istimewa, karena melibatkan tiga

37Ibid

,. h.153.

38

Soekarno, Bung Karno: Negara Nasional dan Cita-cita Islam, h.103.

39

(48)

kabinet berturut-turut secara langsung, yakni Kabinet Wilopo, Kabinet Ali

I, dan Kabinet Boerhanuddin, mulai masa persiapan, masa kampanye,

sampai tahap pelaksanaannya sejak 1952 hingga awal 1956.

C. Kebijakan Politik Orde Lama

1. Kebijakan Pemerintah Orde Lama

Pendeknya usia Piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme

Indonesia tidak mengendorkan semangat politik umat Islam dalam

perpolitikan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka. Gerak politik

umat Islam diwadahi melalui Partai Masyumi buatan Indonesia. Partai

Masyumi sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam memiliki

keanggotaan dari berbagai organisasi Islam maupun perorangan. NU dan

Muhammadiyah merupakan anggota yang mendominasi Masyumi.

Namun, keutuhan keanggotaan Partai Masyumi tidak bisa bertahan lama.

Keluarnya PSII dari Masyumi merupakan awal dari perpecahan dalam

tubuh Masyumi.

Pada tahun 1952 menyusul NU sebagai penyokong besar

Masyumi keluar dari partai tersebut. NU mengubah dirinya dari jami‟ah

(gerakan sosio-keagamaan) menjadi partai politik yang berdiri sendiri.

Keluarnya NU dari tubuh Masyumi merupakan goncangan hebat bagi

Masyumi mengingat pengikut NU yang cukup banyak di tiga daerah yaitu

Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.40 Dengan tampilnya

NU sebagai partai politik, maka umat Islam terbagi menjadi dalam empat

40

(49)

partai yaitu Masyumi, PSII, NU, dan Perti.41

Pada awal Demokrasi Parlementer, Masyumi masih memegang

peranan aktif dalam politik. Pada masa kabinet Natsir dan Kabinet

Soekiman, posisi menteri Agama berada ditangan K.H. Wahid Hasyim

(tokoh NU dalam Masyumi). Namun, pada masa Kabinet Wilopo-Prawoto

yang dimulai sejak April 1952, posisi Menteri agama dipegang oleh K.H.

Fakih Usman (unsur Muhammadiyah dalam Masyumi). Dalam masa

kabinet ini NU memang tidak terwakili, sementara Masyumi menduduki

empat kursi dan PSII satu kursi. Pertengahan tahun 1953 Kabinet Wilopo

digantikan dengan Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini NU

telah berdiri sendiri sebagai partai politik dan mula-mula hanya

menduduki tiga kursi namun setelah terjadi perubahan, NU mendapat

empat kursi yang meliputi kursi wakil perdana menteri I, menteri dalam

negeri, menteri agama, dan menteri agraria. Kabinet Ali I jatuh pada bulan

Juli 1955 dan digantikan oleh kabinet Burhanudin Harahap (Masyumi).

Kabinet ini merupakan kabinet terakhir sampai partai tersebut bubar pada

tahun 1960. Salah satu prestasi dari kabinet ini adalah berhasil

menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955.42

Sebelum dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959, pada tanggal 22 April

1959, Soekarno sebagai Presiden pertama RI menyampaikan definisi

41

Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) (Yogyakarta:IAIN Suka Press, 1988), h. 38.

42

Referensi

Dokumen terkait

Key Words: Deradikalisasi, Pemikiran Politik dan Keagamaan, Organisasi Ekstra Kampus,

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan konsep pemikiran keagamaan ‘Aisyiyah dan Muslimat NU dalam bidang dakwah, politik dan gender tahun 2000 hingga 2010.. Pemikiran

Megawati naik ke pucuk pimpinan NKR1 membawa tiga masalah besar dalam kaitannya dengan politik Islam, sehingga belum dapat sepenuhnya diterima umat Islam. Media massa pernah

Politik hukum pemerintah dalam regulasi wakaf di atas, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004,

Pada masa Pra-Modern pemikiran politik Islam cenderung bersifat legalistic formalistis, para teoritikus kenegaraan dan politik Islam cenderung melegalisasi kebijakan yang

Dengan menghadirkan tiga isu utama, yaitu tentang piagam Jakarta, partai Islam dan jihad-terorisme, kajian ini mencoba menjelaskan varian pemikiran politik kaum modernis yang

hal yang membuat akal mempunyai makna yang besar dalam pemikiran politik Islam yakni : akal telah terbukti berhasil mengungkap sebagian hokum-hukum alam, seperti grafitasi,

kajian Teori Pemikiran Politik dalam Islam Secara etimologi, politik berasal dari Bahasa Latin politicos atau politicus, artinya relating to citizen hubungan warga negara, keduanya