• Tidak ada hasil yang ditemukan

diskursus pemikiran politik islam di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "diskursus pemikiran politik islam di Indonesia"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

ii

DR. Ainur Rofiq, M.Ag

Dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga NOTA DINAS

Hal : Skripsi Saudara Ahmad Anfasul Marom Kepada Yth:

Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Di Yogyakarta

As-salamu‟alaikum Wr.Wb.

Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka menurut kami skripsi saudara:

Nama : Ahmad Anfasul Marom NIM : 99363504

Judul : “DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

(Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi

Islam dan Negara),”

Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana strata satu dalam Perbandingan Mazhab dan Hukum pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera dimunaqasyahkan, untuk itu kami ucapkan terima kasih. Was-salamu‟alaikum Wr.Wb.

Yogyakarta, 29 Syawal 1424 H 23 Desember 2003 M

Pembimbing I

DR. Ainur Rofiq, M.Ag. NIP: 150289213

(2)

iii

M. Nur, S.Ag, M.Ag

Dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga NOTA DINAS

Hal : Skripsi Saudara Ahmad Anfasul Marom Kepada Yth:

Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Di Yogyakarta

As-salamu‟alaikum Wr.Wb.

Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka menurut kami skripsi saudara:

Nama : Ahmad Anfasul Marom NIM : 99363504

Judul : “DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

(Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi

Islam dan Negara)”.

Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar sarjana strata satu dalam perbandingan Mazhab dan Hukum pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Bersama ini kami ajukan skripsi tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera dimunaqasyahkan, untuk itu kami ucapkan terima kasih. Was-salamu‟alaikum Wr.Wb.

Yogyakarta, 29 Syawal 1424 H 23 Desember 2003 M

Pembimbing II

M. Nur, S.Ag, M.Ag. NIP: 150282522

(3)

iv

PENGESAHAN

Skripsi berjudul

DISKURSUS PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA (STUDI PEMIKIRAN M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID

TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA)

Yang disusun oleh: Ahmad Anfasul Marom

NIM: 99363504

Telah dimunaqasyahkan di depan sidang munaqasyah pada tanggal 10 Februari 2004 M / 19 Dzulhijjah 1424 H. Dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Hukum Islam.

Yogyakarta, 1 Muharram 1425 H

22 Februari 2004 M DEKAN

FAKULTAS SYARI‟AH IAIN SUNAN KALIJAGA

Drs. Malik Madany, M.Ag. NIP: 150182698 Panitia Munaqasyah

Ketua Sidang Sekretaris Sidang

Drs. Kholid Zulfa, M.Si Drs. Slamet Khilmi

NIP: 150266740 NIP:150252260

Pembimbing I Pembimbing II

DR. Ainur Rofiq, M.Ag. M. Nur, S.Ag, M.Ag.

NIP: 150289213 NIP: 150282522

Penguji I Penguji II

DR. Ainur Rofiq, M.Ag. A. Yani Anshori, S.Ag, M,Ag

(4)

v

Kupersembahkan; Untuk Kampus Putih IAIN Ibu (Almarhumah) dan Bapak Mbak Luluk, Mas Asfan, Mbak Arin, Adikku Azim, serta Ponakan-ponakanku Guru-Guruku Yang Penuh Ikhlas Mendidikku

Dan Yang Tak Sekedar Hasrat Perjuangan Yakni Sang Waktu Yang Setia Mengiringi

(5)

vi Motto:

كز دط لى ذسـشّ ٌىأ

كزشٗ لْػاْـؼػٗٗ

ـٖظ غقّأ ٙرىا

كس

كسمذ لى اْؼفزٗ

اسـعٝسعؼىا غٍ ُّئف

اسـعٝسعؼىا غٍ ُّإ

اذئف

ةـظّاف دغسف

ةـغزاف لّتز ٚىإٗ

Artinya:

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? (1) Dan kami telah

menghilangkan beban darimu (2) Yang memberatkan punggungmu (3) Dan kami

tinggikan sebutan (nama) mu (4) Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu

ada kemudahan (5) Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (6)

Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan

sungguh-sungguh (urusan) yang lain (7) Dan hanya kepada Tuhanmulah

hendaknya kamu berharap (8) .

(QS. Alam Nasyrah : 1-8)

(6)

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Penulisan transliterasi Arab-Latin dalam penyusunan skripsi ini menggunakan pedoman transliterasi dari keputusan bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no. 158 dan no. 0543 b/U/1987. Secara garis besar uraiannya adalah sebagai berikut:

A. Konsonan Tunggal

Huruf Arab Nama Huruf Latin Keterangan

ا ب خ ز ج ذ ش د ذ ز ش ض غ ص Alif Ba‟ Ta‟ Sa‟ Jim H{a Kha Dal Z|al Ra‟ Zai Sin Syin S{ad Tidak dilambangkan B T S| J H{ Kh D Z| R Z S Sy S{ Tidak dilambangkan Be Te Es (titik di atas) Je Ha (titik di bawah) Ka dan ha De Zet (titik di atas)

Er Zet

Es Es dan Ye Es (titik di bawah)

(7)

viii ع ؽ ظ ع ؽ ف ق ك ه ً ُ ٗ ـٕ ء ٛ D{ad T{a Z{a „Ain Gain Fa‟ Qaf Kaf Lam Mim Nun Wau Ha‟ Hamzah Ya D{ T{ Z{ „- G F Q K L M N W H ‟- Y De (titik di bawah) Te (titik di bawah) Zet (titik di bawah) Koma terbalik (di atas)

Ge Ef Qi Ka El Em En We Ha Apostrof Ye B. Konsonan Rangkap

Konsonan rangkap yang disebabkan Syaddah ditulis rangkap. Contoh : ه ّصّ ditulis nazzala.

ِّٖت ditulis bihinna.

C. Vokal Pendek

Fathah ( _ َ_ ) ditulis a, Kasrah ( _ َ_ ) ditulis I, dan Dammah ( _ َ_ ) ditulis

(8)

ix Contoh : دَزأ ditulis ah}mada.

ك فز ditulis rafiqa. ر يط ditulis s}aluha.

D. Vokal Panjang

Bunyi a panjang ditulis a, bunyi I panjang ditulis I dan bunyi u panjang ditulis u, masing-masing dengan tanda hubung ( - ) di atasnya.

1. Fathah + Alif ditulis a لاف ditulis fala> 2. Kasrah + Ya‟ mati ditulis i

قاثٍٞ ditulis mi>s}aq

3. Dammah + Wawu mati ditulis u ه٘طأ ditulis us}u>l

E. Vokal Rangkap

1. Fathah + Ya‟ mati ditulis ai ٜيٞزصىا ditulis az-Zuh}aili> 2. Fathah + Wawu mati ditulis au

ق٘ؽ ditulis t}auq

F. Ta’ Marbutah di Akhir Kata

Bila dimatikan ditulis h. Kata ini tidak berlaku terhadap kata „Arab yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti: salat, zakat dan sebagainya kecuali bila dikehendaki lafaz aslinya.

(9)

x

G. Hamzah

1. Bila terletak di awal kata, maka ditulis berdasarkan bunyi vokal yang mengiringinya.

ُإ ditulis inna

2. Bila terletak di akhir kata, maka ditulis dengan lambang apostrof ( ‟ ). ءؽٗ ditulis wat}‟un

3. Bila terletak di tengah kata dan berada setelah vokal hidup, maka ditulis sesuai dengan bunyi vokalnya.

ةئاتز ditulis raba>‟ib

4. Bila terletak di tengah kata dan dimatikan, maka ditulis dengan lambang apostrof ( ‟ ).

ُٗرخؤذ ditulis ta‟khużu>na.

H. Kata Sandang Alif + Lam

1. Bila diikuti huruf qamariyah ditulis al. جسقثىا ditulis al-Baqarah.

2. Bila diikuti huruf syamsiyah, huruf ا diganti dengan huruf syamsiyah yang bersangkutan.

(10)

xi KATA PENGANTAR

ميحرلا نمحرلا للها مسب

ادَسٍ ُأ دٖشأٗ الله لاإ ٔىإ لا ُأ دٖشأ ، َِٞىاؼىا بز لله دَسىا

جسثػ اٖيؼخٗ ، ِٝستاغىا ضظقت اّادٕ ٙرىا ُاسثظ ، الله ه٘ظز

ٗ جلاظىاٗ ، ِٝدىا ً٘ٝ ٚىإ ِٞؼتاريى

الله ه٘ظز دَسٍ اّدٞظ ٚيػ ًلاعىا

ِظاسٍٗ قلاخلأا ًزانَت جؤيٍَ ٔذاٞز دّام ٙرىا ، ٌيظٗ ٔٞيػ الله ٚيط

دؼت اٍأ ، ِٞؼَخأ ٔتاسطأٗ ٔىأ ٚيػٗ ، خافظىا

Puji syukur saya haturkan ke Hadirat Allah s.w.t. Yang telah menganugerahkan nikmat Islam dan Iman. Shalawat dan salam semoga senantiasa dicurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W. Rasul pembawa misi pembebasan dari pemujaan terhadap berhala, Rasul dengan misi suci untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Semoga kesejahteraan senantiasa menyelimuti keluarga dan sahabat Nabi beserta seluruh ummat Islam.

Dengan tetap mengharapkan pertolongan, karunia dan hidayah-Nya, al-hamdulillah penyusun mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk melengkapi salah satu syarat memperolah gelar sarjana dalam Fakultas Syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan judul : Diskursus Pemikiran Politik

Islam di Indonesia: Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid tentang Relasi Islam dan Negara.

Penyusun menyadari, penyusunan skripsi ini tentunya tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan serta menjadi pekerjaan yang berat bagi penyusun yang jauh dari kesempurnaan intelektual. Namun, berkat pertolongan Allah

(11)

xii

S.W.T. Dan bantuan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Karena itu, dalam kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

1. Malik Madany, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2. Drs. Abdul Halim, MA dan Moh. Agus Nadjib, M.Ag, selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan PMH.

3. Dr. Ainur Rofiq, M.Ag, selaku pembimbing I, dan sekaligus sahabat diskusi dalam penyusunan skripsi ini, yang dengan sabar bersedia membimbing kesulitan penyusun di tengah kesibukan waktunya. 4. M. Nur, S.Ag, M.Ag, selaku pembimbing II yang telah banyak

memberikan masukan dan arahannya yang sangat berharga dalam membantu penyempurnaan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen beserta seluruh civitas akademika Fakultas Syari‟ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penyusun ucapkan terima kasih atas semua pengetahuan yang telah diberikan. Selain itu, penyusun ucapkan terima-kasih pula pada pihak-pihak yang banyak membantu proses akumulasi data, di antaranya seluruh pegawai UPT dan perpustakaan Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, perpustakaan ST. Ignatius, dan Perpustakaan LKiS, yang semuanya ada di Yogyakarta.

(12)

xiii

6. Bank Indonesia (BI), yang telah memberikan bantuan beasiswa atas penulisan skripsi ini, sehingga meringankan penyusun dalam memperoleh data buku atau karya ilmiah yang berkaitan.

7. Seluruh keluarga yang berkat kasih-sayangnya benar-benar memahami kemauan saya, terkhusus Ayahanda dan Ibunda tercinta (almarhumah), yang senantiasa melantunkan do‟a di sela-sela waktunya dengan tulus dan ikhlas, demi proses pengembaraan intelektual ananda. Untuk kakak-kakak dan adikku: Mbak Luluk-Mas Sohib, Mas Asfan-Mbak Anis, Mbak Arin-Mas Jun, adinda Azim, serta keponakan-keponakanku, yaitu Bahru, Arul, Najib, Humaida, Nadim, Aliya, yang telah banyak menaruh perhatian, dan harapan pada diri penyusun. Tak lupa juga penyusun ucapkan terima-kasih kepada semua keluarga terkait yang mendukung studi saya di Yogyakarta.

8. Saudara Ahmad Sahidah, M.Ag, dan Ainul Yaqin, M.Ed, Mas Umarrudin Masdar, S.Ag, Mas Isfah (Alex), Mas Udin, dan Mas Atho‟ yang ikut memperkaya wawasan saya mengenai sejarah dan perkembangan politik di Tanah Air ini, melalui perbincangan ringan yang selalu menyegarkan, serta untuk seluruh komunitas “Griya Natural” 45i Sapen yang hampir setiap hari selalu bersama dalam menjalani proses belajar.

9. Rekan-rekan “Senat Mahasiswa” di Lembaga S M I (Senat Mahasiswa Institut) IAIN Sunan Kalijaga, sahabat-sahabat diskusi di pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), teman-teman kelas PMH-2 ‟99

(13)

xiv

yang sedikit banyak turut membantu proses pendewasaan berfikir, dan mereka yang tidak bisa penyusun sebut satu persatu di sini.

10. Yang tidak sekedar indah, yang terakhir dan yang telah memberikan arti dalam diri penyusun, Tatinia.

Semoga mereka semua selalu mendapatkan rahmat, hidayah dan ma‟unah dari Allah S.W.T. Amin.

Yogyakarta, 23 Desember 2003 Penyusun

(14)

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN NOTA DINAS ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...…. v

HALAMAN MOTTO ... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN ... vii

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xv

BAB I : PENDAHULUAN ...…... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pokok Masalah ... 7

C. Tujuan Dan Kegunaan ... 7

D. Telaah Pustaka ... 8

E. Kerangka Teoretis ... 11

F. Metode Penelitian ... 19

G. Sistematika Pembahasan ... 22

BAB II : ASAL - USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA ...… 24

(15)

xvi

A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia

... 24

B. Tipologi Pemikiran Islam dan Negara ... 45

1. Perspektif Modernisme ... 48

2. Perspektif Neo-Modernisme ... 51

BAB III : POKOK-POKOK PEMIKIRAN M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA ...………...….. 57

A. Sketsa Biografi M.Natsir ...…. 57

1. Latar belakang Sosial Politik ... 57

2. Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara ... 68

B. Sketsa Biografi Abdurrahman Wahid ... 85

1. Latar belakang Sosial Politik ... 85

2. Pemikiran Gus Dur tentang Relasi Islam dan Negara ... 96

BAB IV : ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID... 111 A. Persamaan ... 111 B. Perbedaan ... 117 C. Implikasi ... 129 BAB V : PENUTUP ... 148 A. Kesimpulan ... 148

(16)

xvii

B. Saran-Saran ... 150 BIBLIOGRAFI ... 151 LAMPIRAN-LAMPIRAN: ... I

Lampiran I. Terjemahan ... I Lampiran II. Biografi Ulama ... III Lampiran III. Daftar Istilah ... VII Lampiran IV. Curiculum Vitae ... IX

(17)

xviii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan mengalami fluctuative discourse dalam percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive pada momen-momen tertentu. Hampir bisa dipastikan ketegangan dan perdebatan ini muncul menjelang pemilu karena momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan yang ingin memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang berideologikan nasionalis, maupun Islam.

Sejak pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945 oleh Soekarno, pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tak terelakan oleh Politikus dan Agamawan, khususnya Islam.1 Pada tahun 1950-1955 melahirkan sistem multipartai, ini merupakan kesempatan besar bagi Partai Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai asas Negara, akan tetapi apa yang dicita-citakannya masih belum bisa dicapai sampai sekarang. Hal yang sama terjadi pada 1999 tahun lalu yang menggunakan sistem multipartai dan lagi-lagi Islam belum cukup kuat untuk meletakkan ideologi Islam sebagai dasar negara. Berhubung partai politik merupakan salah satu alat untuk mewujudkan cita-cita gagasan, tidak menutup kemungkinan bahwa 1 Douglas E. Ramage, Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi

(18)

xix

pemilu 2004 yang akan datang juga muncul polemik sistem negara apalagi Islam formalis masih berada di ujung kekakalahan.

Sebelumnya pada tahun 1978-1985 telah terjadi ideologisasi pancasila yang diinstruksikan oleh Soeharto, dan kemudian menimbulkan perdebatan yang luar biasa di kalangan tokoh dan gerakan ideologi Islam. Insiden politik semacam itu sempat terulang kembali pada tahun 1990 di negeri ini, yakni mengenai perdebatan ideologi. Sebenarnya sumber perdebatan itu adalah relasi Islam dan negara,2 khususnya mengenai sistem negara apa yang akan dipakai untuk membangun Indonesia, apakah berasaskan Islam atau sekuler ?

Penelitian ini mengambil judul "Diskursus Pemikiran Politik Islam di Indonesia (Studi Pemikiran M. Natsir dan Abdurrahman Wahid3 tentang Relasi Islam dan Negara)," penyusun lebih memfokuskan pada dua tokoh ini yang tentunya telah banyak mewarnai wacana perdebatan Islam dan Negara sepanjang lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia sampai saat ini.

Menurut Munawir Sjadzali ada tiga kategori dalam memandang hubungan Islam dan negara di kalangan tokoh Islam. Pertama, aliran konservatif

tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah agama yang sempurna dalam

mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara, oleh sebab itu tidak ada alasan memisahkan keduanya. Di antara para tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara yang detail 2

Ibid., hlm. 19.

3 Untuk penulisan selanjutnya Penyusun akan mengganti nama Abdurrahman Wahid

(19)

xx

tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh yang terkemuka yaitu M. Husein Haikal. Dan yang Ketiga, aliran nasionalis

sekuler, Islam tidak ada hubunganya dengan negara karena menurut aliran ini

Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh utama aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.4

Dari ketiga aliran tersebut, M. Natsir dan Gus Dur memang masuk dalam kategori aliran integratif modernis yang sebenarnya dalam klasifikasinya Munawir Sjadzali merupakan terma dari modernis, dalam hal ini penyusun lebih suka memposisikan M. Natsir sebagai tokoh modernis, sedangkan Gus Dur sebagai tokoh neo-modernis (meminjam istilah Greg Barton), ini karena pemikirannya yang liberal dan rasional tentang isu kontemporer (baik itu politik, budaya dan agama) dengan tetap setia pada posisi konservatif-tradisional bahwa kejujuran dan kebenaran al-Qur'an tidak perlu diganggu gugat.5

Kedua tokoh ini menarik untuk dikaji. Pertama, secara umum keduanya masuk dalam kategori aliran yang sama yaitu integratif modernis tetapi beda pendapat mengenai relasi Islam dan negara, khususnya azas negara, apalagi kelompok (background) yang diwakilinya sangat kontradiktif dengan gagasan dan prilaku politik tokoh tersebut, Gus Dur yang dibesarkan dalam lingkungan

4 Baca, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi

ke-5 (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 1-2.

5 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme

Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, alih bahasa Nanang

(20)

xxi

kaum tradisionalis,6 yaitu NU yang nota bene orientasi politiknya berkiblat pada ulama klasik seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali ternyata mampu mengapresiasikan pemikiran liberal yang cenderung ala Ali Abd al-Raziq,7 sedangkan M. Natsir yang dibesarkan dalam lingkungan modernis justru lebih akrab dengan pemikiran politik Islam fundamentalis seperti al-Maududi yang sangat menginginkan Islam dijadikan sebuah dasar negara karena menurut M. Natsir sendiri meniru sistem pemerintahan Barat adalah tindakan sekuler yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.8

Kedua, wacana ini selalu aktual di Indonesia apalagi ketika mendekati

pemilu. Dan tentunya gagasan kedua tokoh tersebut juga masih banyak mempengaruhi wacana perdebatan Islam dan negara di Indonesia. Setidaknya kedua alasan inilah yang menyebabkan penelitian ini dilakukan.

M. Natsir menawarkan Islam sebagai azas negara bukanlah aksi pembangkangan negara (makar), akan tetapi lebih pada penghidupan demokrasi. Oleh sebab itu dalam pidatonya pada sidang pleno konstituante (12 November 1957) ia menghendaki negara Indonesia ini berazaskan ideologi Islam. "Negara demokrasi berdasarkan Islam".9 Keinginannya ini Bukan semata-mata karena Islam agama mayoritas di Indonesia melainkan ajaran

6

Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur di antara Keberhasilan dan Kenestapaan, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 39.

7 Andrée Feillard, NU vis-a-vis NEGARA: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna,

(Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 380.

8

M. Natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, cet. ke-1 (Jakarta: Media Dakwah, 2001), hlm. 200.

(21)

xxii

Islam mengenai ketatanegaraan dan kehidupan bermasyarakat itu mempunyai sifat yang sempurna dalam menjamin kerukunan beragama dan bernegara.10

Sementara mengenai sistem pemerintahan suatu negara, M. Natsir berpendapat boleh meniru pemerintahan Barat asalkan tidak melanggar nilai-nilai dasar Islam. Karena baginya Islam memang tidak mempunyai sistem ketatanegaraan yang sempurna.11 Ini menarik untuk dicermati satu sisi M. Natsir terbuka untuk memakai sistem apa yang akan dipakai di Indonesia sisi lain dia bersikeras memperjuangkan Islam sebagai azas ideologi negara.12

Sedangkan menurut Gus Dur apabila politik, budaya dan agama diideologikan fungsinya bisa terdistorsi karena yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan konflik horizontal.13 Hal yang senada diungkapkan oleh Cak Nur bahwa Islam bukanlah sebuah ideologi, sebab pendapat Islam sebagai ideologi hanya akan menyamakan agama itu setaraf dengan ideologi-ideologi yang ada di dunia.14

Dalam memandang relasi Islam dan negara, masalah ketatanegaraan merupakan hal yang tak bisa ditinggalkan, sebab faktor inilah yang kemudian seringkali memunculkan perdebatan antara kelompok muslim idealis dan 10 Ibid., hlm. 203.

11

Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis. (Magelang: IndonesiaTera, 2001), hlm. 70.

12 Natsir berpendapat bahwa Islam bukan hanya suatu agama tapi juga sebuah ideologi

karena di dalamnya mengandung dua unsur yaitu Mu„ammalah ma„a Allah dan Mu„a,,alah ma„a

an-Nas. baca M. Natsir, Agama dan Negara, 219.

13 Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia:

Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat, (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hlm. 77.

(22)

xxiii

realis di negara kita. Adanya “Sistem Kekhalifahan” di masa Rasulullah S.A.W. dan Sahabat membuat sebagian masyarakat muslim dunia semakin menyakini bahwa jauh sebelum sistem demokrasi muncul, sebenarnya Islam telah mempunyai sistem Tata Negara sendiri.

Dalam perspektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama>„ah pemerintahan dinilai dari segi fungsionalnya bukan pada formalitas bentuknya, apakah negara Islam atau bukan. Disamping itu, menurut Gus Dur Islam tidak mempunyai konsep pemerintahan yang definitif, misalnya tentang suksesi kepemimpinan terkadang memakai istikhla>f, bay„ah, dan ahl al-H{alli wa al-Aqdi (sistem formatur). Hal ini menunjukkan Islam inkonsisten dan tidak mempunyai konsep yang baku.15

Atas dasar pemikiran inilah, Gus Dur menerima ideologi pancasila sebagai azas negara, dan yang terpenting baginya adalah umat Islam bisa melaksanakan kehidupan beragama secara penuh dan tetap berpegang pada etika sosial (social ethic).

Berbeda dengan M. Natsir yang menolak secara tegas ideologi pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Tetapi bukan berarti jalannya pemerintahan terlepas dan terpisah dari keagamaan begitu saja karena baginya Islam sendiri tidak asing dengan nilai-nilai demokrasi dan kemajemukan. Menurut penyusun "posisi Gus Dur yang menempatkan pancasila sebagai pra-syarat

(23)

xxiv

demokratisasi dan pembangunan keIslaman yang sehat di Indonesia nampaknya harus dilihat dari perspektif neo-modernisme."16

Integrasi antara kemajemukan, demokrasi,

Islam dan nasionalisme inilah yang secara intelektual

politis melatarbelakangi keikutsertaan Islam dalam

diskursus politik dan ideologi negara di Indonesia

selama ini.

B. Pokok Masalah.

Dari uraian di atas dipaparkan bahwa ada persamaan dan perbedaan pemikiran di antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai hubungan Islam dan negara, keduanya sama-sama menjunjung nilai demokrasi tetapi berbeda dalam gagasan dan prilaku politiknya Hal ini bisa disebabkan latar belakang sosiohistoris yang berbeda. Oleh sebab itu perlu penyusun tegaskan bahwa fokus dari permasalahan ini yaitu:

1. Bagaimanakah pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara?

2. Mengapa kedua tokoh itu mengajukan tesis yang berbeda?

3. Apa implikasi tesis mereka terhadap pemikiran politik Islam di Indonesia? Tiga pokok masalah di atas diharapkan dapat mewakili (cover) dari beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Di samping itu juga berguna untuk memperjelas arah penelitian yang dimaksud.

C. Tujuan dan Kegunaan.

16 Andrrée Fillard dkk., Gus Dur NU dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm. 104.

(24)

xxv

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam bidang Perbandingan Madzhab Dan Hukum di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Selain itu juga ada tujuan yang lain yaitu:

1. Untuk mendapatkan penjelasan (explanation) yang lebih tajam tentang karakteristik pemikiran antara M. Natsir dan Gus Dur mengenai wacana Islam dan negara, khususnya azas negara Indonesia.

2. Mengidentifikasi asal-usul gagasan kedua tokoh tersebut dalam perspektif perbandingan, baik itu latar belakang sosial, pendidikan dan politik.

3. Mendapatkan deskripsi yang jelas mengenai implikasi kedua gagasan tersebut dalam konteks perkembangan Islam dan politik Indonesia saat ini.

Adapun dari penulisan ini diharapkan dapat diambil beberapa manfaat atau kegunaan, di antaranya:

1. Dapat diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi secara signifikan terhadap karakteristik pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mengkaji azas negara (Pancasila).

2. Bisa dijadikan salah satu sumber diskusi dalam mengkaji relasi Islam dan negara di Indonesia, khususnya dalam perspektif Islam modernis dan neo-modernis.

3. Sebagai prediksi, sejauh mana implikasi kedua pemikiran itu dalam perubahan dan perkembangan politik Islam di Indonesia saat ini.

(25)

xxvi

M. Natsir dan Gus Dur adalah tokoh pemikir dan sekaligus seorang

politikus yang sangat dikenal oleh masyarakat luas, meskipun keduanya hidup pada masa yang berlainan, namun gagasannya selalu aktual bahkan sering dijadikan rujukan dalam diskusi dan aksi politik.

Penelitian ini mempunyai Dua variabel. Pertama, mengenai diskursus pemikiran politik Islam di Indonesia. Kedua, pemikiran M. Natsir dan Gus Dur mengenai Relasi Islam dan Negara di Indonesia. Banyak buku atau karya ilmiah yang membahas M. Natsir dan Gus Dur, baik itu biografi, prilaku politik maupun gagasannya. Akan tetapi pembahasan itu sering kali tidak dilakukan secara bersamaan hanya difokuskan pada satu tokoh saja kalau memang ada yang mengkaji perbandingan itu juga tidak membahas M. Natsir dan Gus Dur sekaligus. Karena penulisan ini meliputi dua variabel di atas, maka penyusun merasa perlu menelaah buku-buku yang berkaitan dengan variabel tersebut.

Dalam tesisnya A. Syafi'i Maarif yang dibukukan dengan judul Islam dan

Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Karya

ini meneliti tentang relasi Islam dan politik yang kemudian menggambarkan prilaku partai-partai Islam dalam menghadapi kebijakan politik Soekarno saat itu, khususnya partai Masyumi yang dibubarkannya. Di sini penyusun sempat membahas M. Natsir namun tidak lengkap karena lebih memfokuskan pada gerakan partai politiknya.

Disamping itu, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:

(26)

xxvii

(Pakistan) karya Yusril Ihza Mahendra, buku ini lebih menitik beratkan pada

partai-partai di atas meskipun ada tokoh yang dilibatkan seperti M. Natsir dan Maududi sebagai representasi dari modernisme dan fundamentalisme akan tetapi kedua tokoh itu tidak menjadi fokus kajiannya karena lebih pada partai tempat tokoh ini berpolitik.

Bahtiar Effendy dalam bukunya Islam dan Negara: Transformasi

Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998) yang menjelaskan

relasi Islam dan negara di Indonesia. Dengan kesimpulan bahwa buku ini hanya menyoroti keterwakilan kaum muslim secara proporsional dalam lembaga-lembaga negara dan dipertahankannya komitmen bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Di samping itu penulis juga menyinggung sedikit polemik M. Natsir dengan Soekarno mengenai azas negara.

Sedangkan Ahmad Suhelmi dalam bukunya Soekarno Versus Natsir:

Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi Nasionalis Sekuler (1999) juga

mengkaji pemikiran kenegaraan dalam perspektif M. Natsir, khususnya pandangan M. Natsir vis-a-vis Soekarno. Buku ini lebih melihat sosok pemikir M. Natsir dibanding Natsir yang mewakili tokoh modernisme Islam.

Sementara itu, Buku politics in Indonesia: Democracy, Islam and Ideology

of Tolerance yang ditulis Douglas E. Ramage membahas Islam dan

demokrasi, khususnya mengenai ideologi pancasila dalam relevansinya dengan persoalan dekonfensionalisasi politik Islam di Indonesia. Buku ini merupakan hasil penelitian yang banyak didasarkan pada wawancara personal

(27)

xxviii

untuk melihat pola pemikirannya Abdurrrahman Wahid dalam mengakaji pancasila sebagai asas negara.

Skrpisi yang dibukukan dengan judul Membaca Pikiran Gus Dur dan

Amin Rais tentang Demokrasi. Karya Umaruddin Masdar, berusaha melacak

pola pemikiran kedua tokoh tersebut dalam mempertemukan Islam dan demokrasi. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan pada konsep demokrasi dengan menggunakan teori politik sunni sebagai rujukan utama untuk meneliti gagasan kedua tokoh tersebut.

Sedangkan buku Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Perjuangan

Umat Model Gus Dur dan Amien Rais yang disunting oleh Arief Affandi

merupakan buku yang lebih menyoroti tentang strategi perjuangan kedua tokoh tersebut dalam menyikapi gerakan demokratisasi di Indonesia.

Dan yang terakhir tesis yang berjudul Menyingkap Pemikiran Politik Gus

Dur Dan Amien Rais Tentang Negara karya Ma'mun Murod al-Brebesy, tesis

ini telah dibukukan dengan fokus kajian membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut mengenai relasi Islam dan negara, civil society dan demokratisasi.

Selain buku-buku di atas penyusun juga menelaah karya asli dari kedua tokoh tersebut yang banyak berupa tulisan lepas dan artikel media.

E. Kerangka Teoretis.

Lahirnya kemerdekaan Indonesia membuat para tokoh nasional, baik paham nasionalis, sekuler maupun Islam untuk berfikir serius dalam meletakan dasar filosofis negara, terlepas itu perjuangan atau kepentingan

(28)

xxix

golongan yang jelas Indonesia saat itu memerlukan konsep dasar negara yang kuat sehingga terjamin kemaslahatannya dan terhindar dari segala kemudlaratan .

Lebih lanjut, karena penelitian ini mengkaji masalah Islam dan negara maka penyusun mengkategorikannya dalam perspektif Fiqih as-Siyya>syah atau Siyya>syah as-Syar„iyyah. Menurut Abdul Wahab Khallaf definisi Siyya>syah as-Syar„iyyah ialah wewenang seorang penguasa atau pemimpin dalam mengatur kepentingan umum demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan.17 Dengan demikian siapapun yang ingin membangun pemerintahan yang baik harus berlandaskan pada Mas}lah}ah

al-Mursalah (kepentingan umum).

Menurut Imam Malik Mas}lah}ah al-Mursalah itu merupakan salah satu dari epistimologi syari'ah. Dengan syarat bahwa: 1) kepentingan umum itu bukanlah suatu hal yang berkaitan dengan ibadat (transeden). 2) kepentingan umum itu selaras dan tidak bertentangan dengan nilai dasar Syari„ah

(Al-qur'an dan Sunnah).3) kemaslahatan umum itu haruslah merupakan

kepentingan esensial yang sangat diperlukan.18

Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan dirumuskannya lima tujuan syari'ah meskipun tidak tercover secara Ka>ffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, 17 Abdul Aziz Dahlan (ed), dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1996)V: 1626, artikel "Siyasyah as-Syar'iyyah".

18 Dikutip dari, Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang

Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 7

(29)

xxx

memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan kehormatan.19

Objek kajian fiqih siyasah atau Siya>syah as-Syari„yyah menurut Abdul Wahab Khallaf adalah membuat peraturan dan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan dasar ajaran agama yang bertujuan merealisasikan kemaslahatan manusia untuk kebutuhan mereka.20 Dengan demikian secara garis besar bahasan Fiqih as-Siya>syah meliputi tiga aspek utama di antaranya: 1) Peraturan dan Perundang-Undangan Negara sebagai pedoman dan landasaan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat. 2) Pengorganisasian untuk mewujudkan kemaslahatan. 3) Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai negara.21

Untuk mengkaji pemikiran politik Islam memang tidak lepas dari Fiqih as-Siya>syah dan hukum Islam. Hukum Islam dibagi menjadi dua yaitu hukum yang bersifat Qat}„i(Syari'ah) dan yang bersifat Z}anni (fiqih), karena politik seringkali mengalami perubahan sesuai dengan situasi maka penyusun memasukkanya dalam kategori fiqih. Dimana fiqih siyasah mempunyai

19 Ismail Muhammad Syah dkk., Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992),

hlm. 67.

20 Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasat al-Syari'at, (AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977), hlm.

4.

21 J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja

(30)

xxxi

dimensi yang sangat luas dalam mengimplementasikan kehidupan bernegara seperti menjamin kemaslahatan, keadilan dan kestabilan.22

Dengan demikian al-Mas}lahah al-Mursalah menempati posisi yang sangat penting dalam mengkaji diskursus relasi Islam dan negara, lebih khusus lagi dalam menentukan sistem dasar ketatanegaraan. Apakah berideologikan Islam atau sekuler? Karena yang terpenting bukanlah formalitas bentuk pemerintahan tetapi esensi nilai dasar al-Qur'an dan Sunnah tetap berjalan

(tidak kontradiktif),23 sehingga terciptalah kemaslahatan umum sesuai dengan kebutuhan zaman.

Dalam diskursus pemikiran politik Islam dewasa ini, penyusun meminjam istilah Munawir Sjadzali dalam mengkategorikan aliran yang concern terhadap relasi Islam dan negara, meskipun berbeda dalam menggunakan terma aliran ini akan tetapi substansinya sama. Ada tiga aliran dalam hal ini.

Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah

agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara karena menurutnya Islam adalah ad-Din wa ad-Daulah, tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif

modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara

yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh aliran ini ialah Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal. Ketiga, 22 K.H. Ibrahim Hoesen, “Fiqih Siyasi dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik”, Jurnal

Ulumul Qur'an, No.2 Vol. IV (1993), hlm. 58. lihat, Muhammad Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam Dan Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 15.

23 Nilai dasar al-Qur‟an dalam hal ini ialah amanah, musyawarah, keadilan, kebebasan,

(31)

xxxii

aliran nasionalis sekuler, yang mengatakan Islam tidak ada hubungannya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.24

Dalam paragraf ini penyusun mencoba memaparkan beberapa tokoh politik sunni kontemporer sebagai landasan teoritis penelitian ini, diantaranya Jamaluddin al-Afghani, Abdul Raziq dan Fazlur Rahman.25 Tokoh-tokoh ini dikaji guna membidik kerangka teoritis pemikiran M. Natsir dan Gus Dur.

Jamaluddin al-Afghani, 26 Pemikiran politiknya besifat reaktif terhadap kondisi kemunduran umat Islam saat itu, dengan menganjurkan pembentukan

Jam„iyah Isla>miyah yang biasa disebut Pan-Islamisme,27 ikatan ini didasarkan pada akidah Islam yang bertujuan 1) menentang sistem pemerintahan yang despotik (sewenang-wenang) dan diganti dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, 2) menentang kolonialisme atas dominasi barat.28

24 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-2. M. Azhar, Filsafat Politik, hlm.

14. lihat juga Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual

Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999),

hlm. 57.

25

Untuk memastikan tokoh-tokoh tersebut adalah kelompok pemikir kontemporer, baca. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 111. M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 142.

26 Ia dilahirkan pada tahun 1838 di As'adabad, dekat Kanar, wilayah Kabul, Afganistan.

Dikutip dari Munawir Sjadzali, Ibid, hlm. 117.

27

Pan-Islamisme yaitu suatu ikatan politik yang bertujuan mempersatukan seluruh ummat Islam di dunia, yang kemudian saat ini berembrio menjadi OKI, yang tidak jauh berbeda visi dan misinya. Lihat, M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 107.

(32)

xxxiii

Dalam perjalanan politiknya ia selalu memunculkan gagasan revolusioner, seperti pembentukan pemerintah dan dewan melalui partisipasi rakyat, selain itu dia juga menganjurkan kepada rakyat untuk merebut kebebasan dan kemerdekaannya melalui revolusi kalau perlu dengan pertumpahan darah.29 Hal inilah yang sering kali mengakibatkan pengusiran atas dirinya dari negara yang ia kunjungi.30 Oleh sebab itu Afghani lebih cocok diposisikan sebagai tokoh aktivis dan agitator politik daripada pemikir politik.

Ali Abdul Raziq,31 menurutnya nabi Muhammad hanyalah seorang utusan Allah yang ditugaskan syiar agama Islam, untuk itu tidak ada maksud dalam misinya mendirikan sebuah negara Islam (Khilafah).32 Dia sama seperti nabi-nabi sebelumnya bukan nabi-nabi atau pendiri negara yang diutus mendirikan kerajaan dalam arti politik, lebih lanjut ia menolak adanya keharusan sistem khilafah dalam pengertian pemimpin negara, karena menurutnya tidak ada ayat ataupun hadis yang bisa dijadikan dasar kuat untuk mendirikan khilafah. al-Raziq memang mengakui perlunya pemerintahan untuk mengatur negara

29

Ibid., hlm.128-129.

30

Negara-negara tersebut yaitu: Afganistan, India, Mesir, Inggris, Prancis, Teheran, dan Persia. Baca, Ibid., hlm. 117.

31 Lahir pada tahun 1888 dan wafat 1966 M, ia penganut Abduh meskipun secara

langsung tidak sempat belajar banyak darinya. Disamping itu dia cukup reseptif dan akomodaif terhadap peradaban Barat yang kemudian membawanya pada semangat nasionalisme dan paham sekulerisme di kalangan cendikiawan Islam Mesir. Karyanya yang terkenal yaitu Islam wa Usul

al-Hukm. Dikutip dari Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 139.

(33)

xxxiv

tapi bukan berarti harus bentuk khilafah boleh konstitusional, diktator, republik atau totaliter.33

Meskipun ia mengakui Ijma„ sebagai H{ujjah Syar„iyyah akan tetapi dalam hal ini ia tidak mengakuinya sebagai ijma' yang shahih, alasannya sejak sistem khilafah dibentuk sampai sekarang selalu saja ada pihak oposisi yang tidak setuju dan seringkali menimbulkan bencana bagi Islam dan umatnya, terkecuali Abu Bakar, Umar dan Usman.34

Fazlur Rahman,35 pada hakikatnya Pemikiran politik Rahman didasarkan pada konsepsi al-Qur'an. Dalam al-Qur'an, menurut Rahman, umat merupakan suatu "penengah" sehingga menjadi saksi terhadap umat manusia. Umat Islam diharapkan mampu menengahi antara sikap kekakuan ideologi komunisme dan kapitalisme atau sikap ekstrem yang lain.36 "Tugas umat adalah menciptakan ketertiban di muka bumi di mana tata tertib itu merupakan sosiopolitis yang harus ditegakkan atas dasar etika yang sah dan viable.37 Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur‟an.38

33

M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 116.

34

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 141.

35 Dikutip dari Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas

Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan,1989), hlm. 79.

36

M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 155.

37 Ibid.

(34)

xxxv

ـٍأ سٞخ ٌرْم

ِػ ُْٖ٘ـذٗ فٗسؼَىات ُٗسٍؤذ ضاـْيى دخسخأ

ى بارـنىا وٕأ ٍِأ٘ىٗ للهات ٍُْ٘ؤذٗسنَْىا

ٌٍْٖ ٌٖىاسٞخ ُان

ُ٘ـقظافىا ٌٕسثمأٗ ٍُْ٘ؤَىا

:ُاسَػ ها(

١١۰

)

الله غفد٘ىٗ اللهاـْتزا٘ى٘قٝ ُالاإ كزسٞـغت ٌٕزاٝد ٍِا٘خسخأ ِٝرىا

خا٘يطٗ غٞتٗ غٍا٘ط دٍدٖى غؼثت ٌٖؼؼت ضاْىا

ٙ٘قى الله ُإ ٓسظْٝ ٍِ الله ُسظْٞىٗاسـٞثم الله ٌظااٖٞفسمرٝدخاعٍٗ

صٝصػ

:حسىا(

٤۰

)

Lebih lanjut, menurut Rahman Istilah syura yang merupakan nilai dasar al-Qur'an bisa dikembangkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan permanen seperti halnya di Barat, akan tetapi apabila secara formal institusional proses dan bentuk demokrasi „ala Barat itu tetap sejalan dengan orientasi nilai dasar Islam maka sistem ini bisa diterapkan di dunia Islam.39

Rahman memang liberal dan radikal dalam gagasannya, menurut hemat penyusun sikap ini muncul sebagai respon terhadap tantangan modernitas yang tak terelakan. Rahman dikenal sebagai pemikir kontemporer yang menggagas aliran neo-modernisme Islam. Dikatakan demikian karena pemikirannya yang selalu berusaha menemukan titik temu antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisionalis, bagi Rahman meskipun modernisme memberikan sumbangan positif pada era kebangkitan Islam tetapi tetap memperlihatkan kelemahan dan kekurangan tertentu.40

39 Ibid., hlm. 156.

40

"Salah satu kelemahan tersebut ialah kurangnya sistematika dan metodologi yang komprehensif untuk menafsirkan al-Qur'an dan Sunnah, selain itu penolakannya terhadap potensi kekayaan pemikiran Islam tradisional."Baca, Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 12.

(35)

xxxvi

Demikianlah sepintas gambaran mengenai tokoh-tokoh Islam kontempoer yang nantinya diharapkan banyak membantu penyusun dalam membuat kerangka teoritis, menurut penyusun tidak ada seorang tokohpun yang bisa dibidik Pemikirannya menganut satu paham tokoh sebelumnya karena dalam kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham tertentu untuk masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain pula.

Hal yang sama terjadi pada M. Natsir dan Gus Dur, sekilas pemikiran Natsir tampak maududian akan tetapi banyak juga diwarnai paham Abduhis.

F. Metode Penelitian.

Dalam sub bab ini perlu penyusun paparkan tentang metode penelitian yang digunakan. Antara lain meliputi jenis penelitian, sifat penelitian, tehnik pengumpulan data, pendekatan-pendekatannyadan analisa data.

1. Jenis penelitian.

Kajian ini merupakan penelitian pustaka (library research), yang mana lebih mengutamakan bahan perpustakaan sebagai sumber utamanya. Karena ini studi tokoh maka ada dua metode pokok untuk memperoleh pemikiran tokoh tersebut. Pertama, penelitian pikiran dan keyakinan kedua tokoh tersebut. Kedua, penelitian tentang biografinya sejak dari permulaan sampai akhir pemikiran politiknya.41

2. Sifat Penelitian.

41 H. A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),

(36)

xxxvii

Studi yang merupakan penelitian pustaka ini lebih bersifat

deskriptif-analisis dan komparatif. Yang dimaksud dengan deskriptif adalah

menggambarkan karakteristik dan fenomena yang terdapat dalam masyarakat atau literatur. Dengan kata lain karakter dan fenomena yang dikaji dalam penelitian ini ialah karakter dari kedua tokoh tersebut dan fenomena yang mempengaruhi pemikiran mereka. Adapun analisis disini adalah analisis dalam pengertian historis, yakni meneliti akar sejarah yang melatarbelakangi gagasan mereka, dalam hal ini penyusun lebih memfokuskan pada dua aliran pemikiran Islam kontemporer yakni modernis dan neo-modernis yang penyusun anggap sebagai representasi dari kedua tokoh tersebut.

Sedangkan komparatif berarti membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut dalam proses penelitiannya, supaya mendapatkan letak persamaan dan perbedaan yang tepat.

3. Tehnik Pengumpulan Data.

Data yang digunakan dalam penelitian ini

meliputi dua macam yaitu: data primer dan data

sekunder. Karya-karya asli dari kedua tokoh tersebut

baik buku, artikel dan kumpulan tulisan yang

dibukukan dianggap sebagai data primer. Sedangkan

karya yang mengkaji tentang gagasan kedua tokoh

tersebut dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan

kajian ini dimasukkan sebagai data sekunder.

4. Pendekatan.

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif dan sosio-historis. Yang dimaksud pendekatan normatif ialah suatu

(37)

xxxviii

pendekatan untuk menjelaskan masalah yang dikaji dengan norma atau hukum (fiqih) yang berlaku sebagai upaya penegasan. Hal ini penting untuk dilakukan karena diskursus Islam dan negara merupakan bagian dari kajian hukum Islam, khususnya fiqih siya>sah.

Adapun pendekatan sosio-historis yaitu pendekatan yang menyatakan bahwa setiap produk pemikiran itu merupakan hasil interaksi pemikir dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-politik yang mengitarinya.42 Berkaitan dengan penelitian ini sudah barang tentu sosial politik dan kultur yang melatarbelakangi metode pemikiran M. Natsir dan Gus Dur akan dikaji sepanjang peristiwa tersebut mempengaruhi pemikiran mereka dalam masalah ini.

5. Analisa Data

Setelah data terkumpul penyusun akan menganalisa dengan metode kualitatif analisis deduksi dan komparasi. Deduksi yaitu metode yang berawal dari pengetahuan umum ditarik ke pengetahuan khusus.43 Dalam hal ini analisa dari kedua tokoh tersebut tentang Islam dan negara di Indonesia, khususnya mengenai asas negara akan dipersempit dalam paradigma modernisme dan neo-modernisme Islam. Sementara komparasi dimaksudkan

42 M. Atho' Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,

(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 105.

43

Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach, (Yogyakarta:Andi Offset, 1989), hlm. 42. Di samping itu penelitian ini berupa telaah pustaka maka metode yang dipakai adalah deduksi sebab metode ini memang tidak menuntut penelitiaan lapangan. Baca, Soenjoto, Peneliti dan Peteliti, (Yogyakarta: Ranggon Studi, 1983), hlm. 8.

(38)

xxxix

untuk membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut apakah terdapat persamaan dan perbedaan yang tajam dan signifikan di antara keduanya.44

G. Sistematika Pembahasan.

Dalam pembahasan ini penyusun membagi menjadi lima bab. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan yang terakhir sistematika pembahasan.

Bab kedua melacak asal-usul dan tipologi relasi agama dan negara dalam sejarah politik Islam, yang tentunya berimplikasi terhadap pemikiran tokoh politik Islam Indonesia dalam mengkaji hubungan Islam dan negara di Indonesia. Selain itu karakteristik pemikiran ini kemudian dibagi pada dua perspektif, yaitu modernisme dan neo-modernisme. Yang dalam pembahasannya kedua perspektif tersebut akan dihadapkan pada dua tokoh yang dikaji.

Bab ketiga memaparkan biografi M. Natsir dan Gus Dur. Penelaahan ini meliputi latar belakang sosial dan prilaku politik kedua tokoh tersebut dalam menggagas relasi Islam dan negara di Indonesia. Bab ini juga menyinggung sedikit cita-cita ideologi negara yang mereka perjuangkan sebagai repesentasi tokoh muslim yang peduli terhadap bangsa, di antaranya yang berkaitan dengan Islam, demokrasi dan dasar negara.

44 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat,

(39)

xl

Bab keempat menganalisa pemikiran kedua tokoh tersebut tentang relasi Islam dan negara, khususnya tentang demokrasi dan ideologi pancasila, yaitu dengan membandingkan gagasan kedua tokoh di atas, apakah dalam

penelitian ini terdapat persamaan dan perbedaan yang signifikan. Selain itu, bab ini juga berusaha menjelaskan implikasi gagasan kedua tokoh tersebut terhadap tokoh politisi muslim Indonesia dan pemikiran politik Islam generasi saat ini.

Bab kelima penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan dimaksudkan untuk memperlihatkan letak signifikansi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan memberikan konklusi pemikiran M. Natsir dan Gus Dur tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia, sedangkan saran-saran ditujukan bagi para penyusun atau peneliti yang akan mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan variabel skripsi ini lebih lanjut.

(40)

xli

BAB II

ASAL-USUL DAN TIPOLOGI PEMIKIRAN

TENTANG RELASI ISLAM DAN NEGARA

A. Awal Perdebatan Islam dan Negara di Indonesia.

Wacana tentang makna, penafsiran dan fungsi pancasila telah menjadi perdebatan sepanjang sejarah perpolitikan Indonesia, setidaknya sejak bangsa ini merdeka, perdebatan ini selalu menjadi aktual di kalangan akademisi dan politisi Indonesia sampai saat ini. Apalagi didorong dengan lahirnya beberapa Partai Islam, permintaan diberlakukannya syariat Islam di Aceh (NAD), munculnya teroris-teroris yang berkedok Islam, laskar serta organisasi yang bernafaskan Islam kanan, di antaranya Laskar Jihad, Hizbu Tahrer, Jaringan Islamiyah dan Front Pembela Islam (FPI). Selain itu yang paling jelas menjadi indikator perlunya kejelasan relasi Islam dan negara dalam kehidupan berbangsa terlihat pada menguatnya ide-ide pencantuman Syari„at Isla>m dalam amandemen UUD 45 setiap ST MPR hasil pemilu 1999.45

Hal ini juga sering terjadi dalam wacana politik Indonesia di penghujung tahun 1990-an yang juga sibuk memperdebatkan ideologi dan peristiwa-peristiwa politik yang pernah terjadi dalam sejarah bangsa ini, di antaranya mengenai hubungan Islam dan negara, peran ABRI dalam politik, dan bentuk demokrasi yang sesuai dengan negara ini.46 Dalam skripsi ini penyusun 45 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, cet. ke-1 (Bandung:

Teraju, 2002), hlm. xi

(41)

xlii

menitikberatkan pada masalah yang pertama yaitu mengenai hubungan Islam dan negara.

Untuk memperjelas tahap-tahap perjuangan umat Islam Indonesia dalam merespon perdebatan Islam dan negara. M. Rusli Karim membagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, 1912 hinggga proklamasi kemerdekaan, tahap kedua 1945-1955, tahap ketiga, 1955-1965 dan tahap keempat 1965 sampai sekarang.47 Akan tetapi dalam bab ini penyusun akan memfokuskan asal-usul lahirnya perdebatan Islam dan negara sepanjang sejarah perpolitikkan Indonesia secara global.

Perdebatan ini mulai aktual sejak dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai upaya persiapan kemerdekaan yang diharapkan,48 dan telah disetujui oleh pemerintahan Jepang. Hal ini juga dinyatakan dalam pidato Perdana Menteri Kuniaki Koiso kepada Parlemen Jepang pada tahun 1944 yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia dalam "waktu dekat".49

Akan tetapi kalau kita teliti lebih dalam bahwa persinggungan antara Islam dan negara di Nusantara ini sudah berlangsung lama sebelum Indonesia merdeka yakni di bawah tekanan kolonial Belanda dan Jepang, namun 47 Tahap keempat ini masih dibagi lagi menjadi empat era: 1965-1972 sebagai era

mencari bentuk, 1973-1985 sebagai era partai tunggal, 1985 1989 sebagai era transisi rekonsiliasi, dan 1990 sampai sekarang sebagai era akomodasi, baca M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran

Islam Politik, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 21.

48Badan Penyelidik Usaha-Usaha kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di bentuk pada

tanggal 7 Desember 1945 yang terdiri dari tokoh-tokoh kelompok sosial, etnis, regional dan politisi di Hindia Belanda yang diduduki Jepang. Lihat, Douglas E Ramage, ibid, hlm. 18.

49Deliar Noer, Partai Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti, 1987), hlm. 30. Lihat juga Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, vol. VI (Jakarta: Departemen P&K, 1984), hlm. 66.

(42)

xliii

demikian untuk melacak isu tentang istilah negara Islam di Indonesia bukanlah suatu pekerjaan mudah, karena sejauh ini yang diketahui hanyalah pemimpin-pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Surjopronoto dan Dr. Sukiman Wirjosandjojo yang telah mewacanakan suatu kekuasaan atau pemerintahan Islam di akhir tahun 1920-an.50 Saat itu Surjopronoto menggunakan tema een

Islamietsche regeering (Suatu Pemerintahan Islam) sementara Sukiman

memakai istilah een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen vlag (Suatu kekuassan Islam di bawah benderanya sendiri) semua ini digunakan untuk menciptakan kekuasaan Islam di Indonesia yang substansinya sebagai alat mencapai kemerdekaan.51

Barangkali wacana dan teori tentang Negara Islam ini belum banyak ditulis secara terperinci oleh pemimpin Islam pada saat itu, sehingga dalam sidang BPUPKI pada 1945 wacana ini terkesan begitu aktual diperdebatkan karena secara resmi peristiwa ini muncul pertama kalinya dalam panggung politik Indonesia.

Anggota BPUPKI ini terdiri dari berbagai macam kelompok ideologi yang akhirnya mengalami kesulitan dalam mencari titik temu (Kalimah as-Sawa‟) posisi masing-masing anggota tersebut, di antaranya. Pertama, mereka yang ingin menegakkan demokrasi konstitusional sekuler. Kedua, mereka yang menganjurkan negara integralistik, dan ketiga. Yang paling emosional dan

50 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. Viii.

(43)

xliv

konfrontasional adalah mereka yang menginginkan Islam dijadikan dasar negara.52

Badan penyelidik ini mengadakan dua kali sidang, pada sidang pertama, dari 29 Mei - 2 Juni 1945 membahas masalah umum, dalam sidang ini Soekarno membuat pidato yang sangat berpengaruh tentang dasar negara dan kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila.53 Sedangkan pada sidang

kedua, 10-14 Juni 1945 membahas tentang isi konstitusi negara yang akan

dibentuk.54 Dalam kedua pembahasan sidang ini menimbulkan perdebatan keras di antara para anggota penyelidik terutama kalangan Islam yang diwakili Abdoel Kahar Moezakkir dengan cita-cita ideologi Islamnya dan kalangan nasionalis diwakili oleh Soekarno yang cenderung netral terhadap agama. Masalah yang sangat krusial dan mengundang perdebatan dalam sidang ini adalah tentang “peletakkan dasar negara” sebab masalah ini berkaitan dengan

integritas agama, budaya dan bangsa yang plural. Karena khawatir akan

kegagalan Badan Penyelidik yang terus-menerus semakin memanas maka para

52 Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 19.

53Departemen Penerangan, Lahirnya Pancasila, (Jakarta:). kalau memang tulisan Yamin

tentang perdebatan sidang BPUPKI dapat dipercaya maka lahirnya pancasila itu belum tentu gagasan Soekarno murni karena sebelum Soekarno melahirkan konsep Pancasila , Yamin telah mengemukakan kelima sila tesebut dalam pidatonya di depan sidang Badan Penyelidik, yaitu: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ke-Tuhanan, peri kerakyatan , peri kesejahteraan rakyat yang juga meliputi keadilan sosial. lihat, Muhamad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar

1945, (Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959), hlm. 87-21.

54 Mengenai sidang BPUPKI terdapat perbedaan dalam tenggang waktunya, dalam

bukunya Deliar Noer sidang pertama berlangsung dari 29-Mei-2 Juni 1945 dan sidang kedua dari 10-14 Juni 1945, sedangkan menurut Yamin sidang pertama berlangsung dari 29 Mei-1 Juni dan sidang keduanya berlangsung dari 10-16 Juli 1945, dikutip dari karyanya Faisal Ismail, Ideologi

Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, cet. ke-1

(44)

xlv

anggota mengambil iniasiatif dengan membentuk panitia BPUPKI yang terdiri dari 9 orang.55

Semula anggota BPUPKI ini berjumlah 62 orang, lalu ditambah enam orang yang kebanyakan berasal dari Jawa dan satu orang lagi dari Jepang yakni Ichibangase yang menjabat sebagai ketua yunior dan anggota luar biasa, untuk mengamati secara lebih detail keanggotaan Badan Penyelidik ini maka penyusun paparkan pendapat Prawoto Mangkusasmito, dari 68 anggota BPUPKI, hanya 15 orang (+ 20%) yang menyuarakan aspirasi politik Islam yakni berasal dari nasionalisme-Islam, sedangkan 80 %-nya berasal dari kelompok nasionalis-sekuler.56 Statistik ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya representasi dari masing-masing kelompok itu.

Di antara wakil dari kelompok Islam yaitu; K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Masykur, K.H. A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosujoso, H. Agus Salim, Sukiman Wiryosanjoyo, K.H. A. Sanusi, dan K.H. Abdul Halim, sedangkan wakil dari kelompok

nasionalis, antara lain, Rajiman Widiodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta,

Prof. Soepomo, Wongsonegoro, Sartono, R. P. Soeroso, Dr. Buntaran Martoatmojo dan Muhammad Yamin, untuk Ketua dan wakil ketua BPUPKI dijabat oleh Rajiman Widiodiningrat dan R. P. Soeroso, ini menunjukkan bahwa kepemimpinan BPUPKI berada di tangan kelompok nasionalis. 57

55

Deliar Noer, Parta-Partai Islam, hlm. 34-35.

56 Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah

Refleksi, (Jakarta: Hudaya, 1970), hlm. 60-61.

(45)

xlvi

Akan tetapi karena banyaknya anggota Badan Penyelidik yang malah dikhawatirkan akan membawa kegagalan Badan Penyelidik itu sendiri (atas perdebatan yang semakin memanas) maka dibentuklah Panitia Kecil BPUPKI yang hanya terdiri dari 9 orang itu, yaitu: empat orang dari kalangan Islam (H. Agus salim, K.H. Wahid Hasyim, Abikusno, dan Abdul Kahar Muzakkir) dan lima orang dari kalangan Naionalis (Soekarno, Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Achmad Subarjo, dan M. Yamin).58

Dalam panitia ini, Islam politik mempunyai kepentingan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, sebab menurutnya yang paling banyak berkorban dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah kelompok Islam. Kepentingan tersebut menimbulkan reaksi keras dari kelompok nasionalis sekuler yang memang secara kuantitatif anggota mereka dalam badan ini merupakan mayoritas, sebagai jalan tengah akhirnya Jepang membentuk “Panitia Sembilan” di atas.

Pada tanggal 21 Juni 1945 BPUPKI menyetujui Piagam Jakarta yang rumusan sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari„at Isla>m bagi pemeluk-pemeluknya”,59 kesepakatan ini merupakan hasil perjuangan Islam politik dalam kepentingannya saat itu, akan tetapi umat Islam terpaksa harus kecewa karena dalam UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 itu, ternyata telah

58 Deliar Noer, Partai-Partai Islam, hlm. 35.

(46)

xlvii

menghapuskan Piagam Jakarta tersebut.60 Ini merupakan kekecewaan Islam politik yang pertama dalam perjuangan politiknya.

Diterimanya pancasila sebagai asas dan ideologi negara merupakan puncak dari pertentangan dan sekaligus menunjukkan kekalahan kelompok Islam yang harus berkompromi dengan kepentingan lain. Umat Islam yang sebelumnya memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar negara dalam mukadimah UUD 1945 harus mengalah dengan pancasila. Keinginan keras umat Islam saat itu bisa dimaklumi, selain sebagai pejuang mayoritas kemerdekaan, pancasila sendiri menyimpan dua faktor yang sangat debatable.

Pertama, tentang kandungan pancasila itu sendiri. Kedua, tentang makna

penting pancasila jika dibanding dengan agama.61

Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari, ini dikarenakan pengiring redaksi sila pertama yang mewajibkan umat Islam menjalankan Syari„at Isla>mdirasakan oleh kawasan Timur Indonesia sebagai sikap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain.62 Maka demi persatuan bangsa akhirnya para pemimpin politik Islam terpaksa menelan kekecewaan cita-cita politiknya pada 18 Agustus 1945 dengan menghilangkan anak kalimat tersebut dari pembukaan UUD 1945.

Peristiwa ini dikenal sebagai sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang merupakan pengganti dari BPUPKI yang telah dibubarkan. 60

Ibid., hlm. 23.

61 Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, (Jakarta: yayasan perkhidmatan,

1983), hlm.108.

(47)

xlviii

Jumlah anggota PPKI semula sebanyak 21 orang, kemudian atas usul Soekarno akhirnya ditambah menjadi 27 orang, dan yang menarik dicermati dari total jumlah ini ternyata hanya tiga anggota dari organisasi Islam, yaitu Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo.63 Betapa ironisnya umat Islam sebagai mayoritas populasi dan penggerak melawan penjajah di negeri ini hanya diwakili oleh tiga anggota.

Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 bertujuan menetapkan UUD dan memilih presiden dan wakilnya, kebetulan presiden yang dipilih adalah ketua dan wakil PPKI saat itu yaitu Soekarno dan Hatta. Secara kultural Soekarno mewakili kultur Jawa sedangkan Hatta dari kultur Minang/Sumatera, terang saja latar belakang Hatta ini bisa dijadikan pelebur sikap keras Ki Bagus yang selalu bersekukuh mempertahankan rumusan Piagam Jakarta. Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi konsistensi Ki Bagus yang tetap bertahan dengan Piagam tersebut, maka melalui Hatta yang memanfaatkan Teuku Moehammad Hassan anggota PPKI dari Sumatera berhasil melunakan sikap keras Ki Bagus dan dalam waktu 15 menit anak kalimat pada sila Ketuhanan itu diganti dengan Yang Maha Esa.64

Akar perdebatan ini tidak lepas dari letupan pertarungan ideologi saat itu, yaitu Nasionalis dan Islam.65 Golongan nasionalis adalah kelompok yang 63 Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi

Terpimpin 1959-1965, cet. ke-1 (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 29.

64 Prawoto Mangkusasmito, Perumusan Historis, hlm 21-22. Hatta, Memoir, hlm

457-458.

65 Akan tetapi apabila diteliti lebih jauh pertarungan ideologi yang menjadi pertimbangan

dalam peletakkan dasar negara saat itu bukan hanya ideologi nasionalis dan Islam, tetapi lebih besar dari itu yaitu pertarungan dua ideologi besar dunia antara kapitalis dan komunis. Baca

(48)

xlix

berprinsip bahwa ad-Din wa ad-Daulah(agama dan negara) harus dipisahkan secara tegas dan proporsional, dengan keyakinan bahwa fungsi agama hanya mengurusi ajaran-ajaran yang berkaitan dengan kehidupan akhirat dan urusan pribadi saja, Sedangkan negara memang merupakan masalah politik yang berurusan dengan duniawi.66 Sementara itu golongan Islam saat itu berprinsip bahwa agama (dalam hal ini Islam) tidak dapat dipisahkan dari urusan kenegaraan, karena Islam menurut mereka tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja, melainkan juga hubungan sesama manusia, lingkungan dan alam semesta.67

Indikasi pertarungan ideologi ini bisa dilihat sejak tahun 1920-1930-an dari kasus retaknya hubungan Sarekat Islam (SI) dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kasus Jawi Hisworo, majalah Timboel, Swara Oemoem dan peristiwa itu perdebatan sengit antara tokoh Nasionalis-Muslim, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Ahmad Hassan dan M. Natsir dengan tokoh-tokoh Nasionalis-sekuler yang diwakili Tjipto Mangunkusumo, Soekarno dan lain-lain, Polemik inilah yang kemudian berlanjut sampai sekarang. 68

Hasyim Wahid dkk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangkitan Indonesia, cet. ke-1 (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm.17-24.

66 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 4.

67 Ibid., lihat juga, Endang Saefuddin Anshary, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah

Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler, tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1949-1959, (Bandung: Pustaka Salman, 1981), hlm. 8.

68 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm 4 dan 54-55. Yang dimaksud nasionalis

sekuler adalah kelompok pemimpin politik Indonesia yang menolak secara tegas agama sebagai dasar negara, kelompok ini terdiri dari muslim, katolik, protestan, Hindu dll. Meskipun secara personal mereka bukan kaum sukularis dan kelompok yang tidak lepas dari sentimen, tendensi dan afiliasi keagamaan. Mereka tetap memilih untuk tidak menggunakan agama sebagai ideologi politik. Sebaliknya apa yang dimaksud nasionalis muslim adalah kelompok pemimpin muslim yang menginginkan Islam harus dijadikan dasar negara, karena bagi mereka agama dan politik

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu tugas auditor di Inspektorat Kabupaten Banyuwangi merupakan rutinitas yang diulang untuk setiap periode kerja auditor yaitu memeriksa seluruh SKPD yang ada di

Model Jigsaw mempermudah siswa mendapatkan pembelajaran yang lebih karena Type Jigsaw menujukan kepada kelompok kecil atau tim khususl yang mempunyai tugas untuk menyampaikan

x memberikan penjelasan tentang proses pembelajaran yang akan dilakuykan dan tujuan yang akan dicapai. x Melakukan proses pretest dengan alokasi waktu 10 menit. x Siswa

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan diatas, peneliti dapat menyatakan bahwa standarisasi sarana dan prasarana bagi anak berkebutuhan pada

Dengan memasukkan seluruh aset perusahaan berarti perusahaan berarti perusahaan tidak hanya terfokus pada suatu tipe investor saja yaitu investor dalam bentuk saham namun

Apabila terjadi perubahan ketentuan Polis mengenai tapi tidak terbatas pada ketentuan manfaat, biaya, dan risiko akan diberitahukan kepada Pemegang Polis melalui nomor atau

Akun 524119 (Belanja Perjalanan Lainnya) adalah Pengeluaran untuk perjalanan dinas dalam rangka kegiatan rapat, seminar, dan sejenisnya yang dilaksanakan di luar

Penghapusan pajak untuk lahan teba merupakan salah satu cara agar lahan teba dapat dipertahankan, disamping penyuluhan tentang vegetasi yang cocok untuk mendukung