BAB III : POKOK-POKOK PEMIKIRAN M. NATSIR DAN
A. Sketsa Biografi M.Natsir
1. Latar belakang Sosial Politik
Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, nama M. Natsir tidak pernah luput dari pembahasan. Selain seorang tokoh yang gigih memperjuangkan cita-cita Islam, dia juga dikenal sebagai bapak pemersatu bangsa karena mosi yang dilontarkannya dalam Sidang Parlemen RIS 3 April 1950, yang kemudian dikenal dengan Mosi Integral Nastir.142 M. Natsir berasal dari Sumatera Barat, daerah yang memang banyak memunculkan tokoh-tokoh pembaharu nasional, baik dalam bidang politik, pendidikan, maupun keagamaan. Diantaranya: Imam Bonjol, HAMKA, Haji Agus Salim, Muhammad Hatta, dan Sutan Sjahrir.143
Secara tidak langsung, masyarakat Minangkabau telah akrab dengan dunia politik, budaya dan agama. Hal ini bisa dilihat dari masyarakatnya sendiri yang terdiri dari sejumlah republik (negeri-negeri), dan dibentuk sesuai tradisi kepala kelompok suku keluarga yang didasarkan pada suatu sistem
142 Anwar Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, cet. ke-3 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm.10. Selama pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat), Indonesia terpecah-belah menjadi 17 negara bagian. Keadaan inilah yang akhirnya menggigihkan semangat M. Nastir untuk meyakinkan masyarakat bahwa ada kemungkinan RI bisa bersatu kembali.
143 Thohir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 21.
lxxv
Matriarchat.144 Di sisi lain adat-istiadat, suku juga sangat dipertahankan, terutama oleh golongan adat atau kaum tradisionalis.
Akibat tradisi keagamaan yang berlangsung di daerah itu, melahirkan para gerakan pembaharu Islam, mereka adalah ulama muda yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Arab Saudi dan gerakan pembaharuan Islam Mesir. Bahkkan di antara mereka itu ada yang berguru secara langsung kepada tokoh-tokoh Wahabi, dan dipengaruhi kuat dengan gagasan-gagasannya M. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh.145 Salah satu tuntutan gerakan ini adalah pemurnian ajaran Islam (purifikasi).
Menurut Mahmud Yunus, awal timbulnya aliran pembaharuan Islam ini disebabkan beredarnya buku yang mengecam ulama dengan melarang berdiri waktu membaca “Maulid Nabi” (waktu Marh}aban) dan melafalkan Us}alli
ketika niat sholat.146 Deliar Noer menambahkan, selain dua masalah di atas Syeikh Ahmad Khatib selaku penulis buku tersebut, juga menentang keras praktik T{ariqah Naqsabandiyyah dan peraturan-peraturan adat tentang warisan. Padahal kedua praktik itu telah menjadi tradisi masyarakat setempat.147
144
Dikutip dari, Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 29. lihat juga, B. Schrieke,
Indonesian Sociological Studies: Selected Writing, Vol. I, (Amsterdam: W Van Hoeve ltd, 1955),
hlm. 95.
145 Ibid.
146
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidayat Agung, 1982), hlm. 91. Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 29.
147 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 91.
lxxvi
Gerakan pembaharuan ini, menurut penyusun membawa implikasi besar dalam kehidupan masyarakat. Pertama, gerakan ini menimbulkan reaksi keras dari kalangan tradisionalis dan Kepala suku. Akibatnya masyarakat terpolarisasi menjadi kaum adat dan puritan. Kedua, gerakan ini membawa perubahan-perubahan positif bagi kehidupan keagamaan masyarakat Minangkabau, sehingga mengkondisikan lahirnya institusi keagamaan. Seperti yang di tulis Mahmud Yunus bahwa ada sisi positif dari dealektika dikotomi di atas, antara lain:
“Dari kalangan pembaharu melahirkan Sumatera Thawalib, majalah al-Munir, al-Bayan,
al-Imam al-Basyir dan al-Ittiqan, sedangkan dari kalangan tradisional ada Tarbiyah
Islamiyah dan majalah al-Mizan. Kedua golongan itu juga berlomba-lomba menyelidiki, membahas, mendalami ilmu-ilmu agama, dan mencari dalil untuk memperkuat fakta masing-masing, akibatnya ilmu agama semakin berkembang di Minangkabau dan melahirkan banyak madrasah agama.”148
M. Natsir lahir pada tgl 17 Jumadil Akhir 1326 H,
bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 di Jembatan
Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok. Ia
merupakan anak ketiga dari pasangan Idris Sutan
Saripado Dan Khadijah,
149pola pemikirannya sedikit
banyak dipengaruhi dengan kondisi sosiologis di mana
ia tumbuh, yakni saat masyarakat Minangkabau
bersemangat bangkit melawan politik kolonial dan
mengadakan perubahan doktrin keagamaan.
Pendidikan formalnya ditempuh di HIS (Holland
Inlandische School) Adabiyah
150dan Madrasah
148 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, 92
149
Ajib Rosidi, M. Natsir, Sebuah Biografi, (Jakarta: Girimurti Pustaka, 1990), hlm. 145-152.
150 H.I.S. (Hollands Inlandsche School) Adabiyah adalah madrasah sekolah agama yang pertama di Minangkabau, sekolah ini didirikan oleh almarhum Abdullah Ahmad pada 1909.
lxxvii
Diniyah Solok pada tahun 1916-1923. setelah lulus
dari HIS ia melanjutkan ke MULO
151(Meer
Uitgerbreid Lager Onderswij) Padang. M. Natsir
mulai terlibat organisasi sejak di MULO, awalnya ia
masuk Jong Sumatranen Bond di Padang, dan
kemudian beralih ke Jong Islameten Bond (JIB),
kedua organisasi tersebut diketuai oleh Sanusi Pane.
Pada Juli 1927 ia tamat dari MULO dan melanjutkan
ke AMS
152(Algemene Middelbare School) dengan
jurusan sastra Barat (Eropa) klasik di Bandung.
153Jika dilihat dari jenjang pendidikannya, M. Natsir
tampak menguasai bahasa-bahasa Eropa tersebut,
dengan demikian bisa dipastikan kalau ia tidak banyak
mengalami kesulitan dalam memahami karya-karya
bangsa Eropa, di antaranya sejarah, filsafat, sastra,
politik dan orientalisme.
154Selain itu, M. Natsir
sendiri mengakui bahwa bahasa-bahasa Eropa;
Belanda, Inggris dan sebagainya memang banyak
membantu kecerdasan bangsa Indonesia.
155Adabiyah ini berlangsung sebagai sekolah agama sampai tahun 1914, yang kemudian berubah menjadi H.I.S pada tahun 1915. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, hlm. 63.
151 MULO adalah sekolah rendah dengan program yang diperluas. Sekolah ini berfungsi sebagai subkultur AMS, sekolah kejuruan, dan sekolah terminal bagi mereka yang tidak melanjutkan studinya. Di dalamnya terdiri 4 program bahasa, yaitu: Belanda, Prancis, Inggris, dan Jermaan. Setengah waktu digunakan untuk pelajaran bahasa, sepertiga untuk matematika dan ilmu pengetahuan sosial. Baca, S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 122 dan 128.
152
AMS adalah sekolah lanjutan MULO dan sebagai persiapan untuk Universitas di Nederland, oleh sebab itu bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa belanda. Ibid, hlm. 137-141.
153 Yusril Ihza Mahendra, “Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik Natsir,” Jurnal ISLAMIKA, no 13, (1994), hlm. 65.
154 Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara, hlm. 55.
lxxviii
Namun demikian, ia juga mempunyai kepedulian
khusus terhadap karya-karya klasik ulama Islam yang
berbahasa Arab. Baginya bahasa Arab bukanlah
bahasa agama semata, bukan satu dialek atau salah
satu bahasa propinsi, malainkan suatu bahasa dunia
yang merupakan kunci dari berbagai pengetahuan
yang kaya raya untuk mengutarakan suatu pengertian,
dari yang mudah sampai yang sesulit-sulitnya atau dari
yang bersifat Maddah (konkrit) sampai yang bersifat
Ma„nawi (abstrak), oleh sebab itu baginya bahasa
Arab lebih kaya dari bahasa Eropa manapun juga.
156Melalui bahasa arab tersebut, tidak heran juga kalau
M. Natsir sangat tertarik dengan karya Ibnu Taimiyah
dan Ibn Qayyim.
157Di samping itu ia juga tertarik
dengan pemikiran-pemikiran keagamaan para tokoh
modernis, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
Ahmad Khan, dan Syed Amir Ali di Asia Selatan.
158Pada dasarnya M. Natsir telah mengenal
ajaran-ajaran Islam yang bercorak pembaharuan sejak usia
muda, hal ini bisa dilihat dari pengaruh gurunya,
Tuanku Mudo Amid, seorang pengikut gerakan
pembaharuan Islam yang juga merupakan kawan
dekat Haji Rasul yakni seorang tokoh pembaharu
pemikiran di Minangkabau. Selain itu, M. Natsir
mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan Haji
156
Ibid., hlm. 133.
157 Dikutip dari, Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 55.
158
Ali Nuhannif, Mohammad Natsir Pemadu Politik dan Dakwah, dalam Azyumardi Azra dan Saiful Umam (ed.). Tokoh dan Pimpinan Agama: Biografi Sosial-Intelektual, (Jakarta: Badan Litbang Agama Depag RI dan PPIM, 1998). Hlm. 227. Lihat juga, Kamarruzaman, Relasi
lxxix
Abdullah Ahmad secara teratur, seorang tokoh
pembaharu di Padang.
159Pemikiran Natsir semakin berkembang ketika ia
belajar pada tokoh utama Persis (Persatuan Islam) di
Bandung
160, Ahmad Hassan, salah seorang pendiri
organisasi Persis, selain Ahmad Hassan ada juga Haji
Zamzam dan Haji Muhammad Yunus yang ikut
mendirikan organisasi tersebut, tanpa bermaksud
memperkecil peranan Haji Zamzam dan Haji
Muhammad Yunus sebagai pelopor pendiri Persis,
namun organisasi ini memang baru terlihat
karakternya sebagai kubu gerakan muslim modernis
pada waktu dipimpin oleh Ahmad Hassan.
161Menurut M. Natsir ada dua alasan mengapa ia
tertarik berguru pada Ahmad Hassan. Pertama,
Hassan sangat menguasai berbagai ajaran Islam, hal
ini terlihat bagaimana Hassan mampu menghadapi
persoalan masyarakat muslim yang berkembang saat
itu. Kedua, pendekatan Hassan terhadap kajian Islam
sangatlah menarik bagi generasi muda muslim karena
cara yang digunakan sangat berbeda dengan para
ulama lainnya.
162159 Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 56.
160
Persis resmi dibentuk pada tanggal 12 September 1923 oleh sekelompok Muslim yang pada dasarnya menaruh perhatian pada kajian dan kegiatan keagamaan, tetapi kemudian meluas pada diskusi pergerakan dan wacana pembaharuan Islam. Lihat Howard Fidersfield, Persatuan
Islam: Islamic Reform in Twentith Century Indonesia, (Ithacha: Cornell University Press, 1970),
hlm. 11.,Baca juga, Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 95.
161
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 36.
162 Akhmad Minhaji, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesia (1887-1958), (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2001), Hlm. 340; Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 56.
lxxx
Selain pengaruh dari tokoh-tokoh di atas, kondisi
sosial masyarakat Minangkabau juga ikut
mempengaruhi corak pemikiran M. Natsir. Karena
pada masa kecil, ia telah menyaksikan pertentangan
antara kaum adat dan agamawan di daerahnya. Oleh
sebab itu tidak menutup kemungkinan kalau
pandangan Natsir tentang keagamaan nanti sedikit
banyak terpengaruh dengan fenomena yang ia lihat
sewaktu kecil, yaitu pertentangan antara kaum adat
dengan kaum muslim puritan, yang kemudian ikut
membentuk pemikirannya dalam menentang paham
sekulerisme.
Pola pemikiran politik Natsir mulai terlihat khas
ketika ia berdomisili di Bandung, di mana ia banyak
terlibat dalam organisasi, di antaranya Jong Islamieten
Bond
163(the Association of Muslim Youth) dan Persis
(The Unity of Islam). JIB berdiri pada tanggal 1
Januari 1925, organisasi ini merupakan perkumpulan
generasi muda muslim yang didirikan di Jakarta dan
kemudian membuka cabang di daerah-daerah. Pada
tahun 1929 M. Natsir menjadi anggota JIB cabang
Bandung.
164Dan kemudian ia mengajar Islam di
Hollands Inlandse Kweekkschool (HIK) atau sekolah
guru dan MULO di kota ini juga.
163
JIB merupakan organisasi yang bertujuan untuk mempelajari dan memotivasi hidupnya agama Islam, menumbuhkan rasa simpati dan toleran antar sesama muslim atau dengan golongan yang lain, menyelenggarakan kursus agama, seni, darmawisata dan olah raga dengan menggunakan label Islam, selain itu orgainasasi ini juga meningkatkan kemajuan jasmani dan rohani anggotanya dengan cara menahan diri dan sabar. Untuk lebih detailnya baca, Mohammad Roem, Sejarah Berdirinya Jong Islamieten Bond, dalam Kustiniyati Mochtar (peny), Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, (Jakarta: Gramedia, 1989), hlm 129.
lxxxi
Namun demikian, pengaruh Persis terhadap dirinya
lebih dominan ketimbang JIB. Karena dalam Persis M.
Natsir merasa lebih banyak mendapatkan teman yang
dapat memecahkan masalah yang sedang berkembang
dalam pemikirannya, khususnya dalam bidang politik
dan agama.
165M. Natsir mempunyai hubungan yang
dekat dengan tokoh-tokoh Persis, apalagi ia juga
sangat tekun dalam mengikuti kelas khusus yang
memang diperuntukkan anggota muda Persis oleh
Hassan, terutama yang sedang belajar di sekolah
menengah Belanda.
166Ditambah lagi, adanya majalah Persis Pembela
Islam
167yang memberinya kesempatan untuk
menuangkan pendapat-pendapatnya dalam bentuk
tulisan, selain itu yang menarik bagi Natsir adalah
perhatian besarnya Persis pada kegiatan-kegiatan
pendidikan, tabligh dan publikasi.
168Yang semuanya
itu mengantarkannya sebagai pejuang, negarawan, dan
agamawan di negara Republik Indonesia ini.
169Oleh
sebab itu, bisa dikatakan bahwa Persis merupakan
wahana awal yang menjadikannya sebagai tokoh
nasional, karena melalui kegiatan yang dipelopori
Persis seperti tablig, penerbitan majalah, buku, dan
165Deliar Noer, Gerakan Modern Islam, hlm. 100.
166 Ibid.
167 Pembela Islam adalah Majalah tengah bulanan yang diterbitkan tokoh-tokoh Persis di Bandung (1929-1935), dan kemudian majalah ini dilarang penguasa karena dianggap menyerang misi Kristen.
168 Ibid.
169 Thoir Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, hlm 29; Kamaruzaman, Relasi
lxxxii
pendidikan itulah ia berkesempatan terjun langsung
sebagai juru bicara, pendidik, dan team redaksi
Pembela Islam.
170Selain pengalaman organisasi di atas, secara
akademis ia juga terlihat lebih serius dalam
mempelajari ilmu pengetahuan Barat di AMS
Bandung daripada sebelumnya, di sekolahan ini ia
telah banyak mempelajari berbagai aspek sejarah
peradaban Islam, Romawi, dan Yunani dengan
menggunakan literatur yang berbahasa Arab, Prancis
dan Latin.
171Jadi bisa dikatakan bahwa dalam usia yang relatif
muda (21 tahun) Natsir telah menguasai lima bahasa
asing (Belanda, Arab, Inggris, Prancis, dan Latin),
dengan demikian tidak heran apabila ia dengan mudah
menjelajahi dunia intelektual. Melihat kecerdasan
yang dimiliki Natsir, Pemerintah Belanda sempat
menawarkan sebuah beasiswa untuk mengantarkannya
ke Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta atau Sekolah
Tinggi Ekonomi di Rotterdam Belanda, tetapi ia
menolak tawaran beasiswa tersebut karena
kecintaannya terhadap studi keislaman saat itu.
172Kesadaran Natsir untuk menentang sistem kolonial
Belanda, mulai terlihat saat ia mengkritik pandangan
guru Belandanya yang menganggap bahwa sistem
kerja kolonial di pabrik-pabrik gula di Jawa telah
banyak memberi keuntungan kepada petani. Menurut
170 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 37.171
Dikutip dari Ahmad Suhelmi, Ibid, hlm. 33.
lxxxiii
M. Natsir yang mendapat keuntungan bukanlah petani
melainkan para pemilik modal dan bupati yang
memaksa rakyatnya untuk menyewakan tanah mereka
dengan sewa rendah. Dan justru sistem inilah
menurutnya yang membuat petani semakin menderita
karena tidak pernah bebas dari beban-beban hutang.
173Inilah awal perlawanan Natsir terhadap kolonial
Belanda, ia mulai berontak akan penindasan yang
dilakukan Belanda atas bangsanya. Dari peristiwa
tersebut, ia terdorong untuk mempelajari politik lebih
dalam, ia sadar bahwa untuk melawan tirani
kolonialisme sangat ditentukan oleh perjuangan politik
rakyat.
174Oleh sebab itu bisa dimungkinkan bahwa
pemikiran politik Natsir pasca kemerdekaan juga
dipengaruhi atas perjuangan politiknya ketika
memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini melawan
bangsa kolonial.
Sedangkan Peristiwa lain yang juga memperkuat cita-cita politik keislaman Natsir pada periode ini adalah responnya terhadap kalangan nasionalis netral agama atau yang biasa dikenal dengan sebutan kalangan sekuler, yang dipelopori oleh PNI dengan tokoh utamanya Ir. Soekarno, Tjipto Mangunkusumo dan lain-lain.175 Organisasi ini berbasiskan anggota di Bandung, tempat di mana Natsir mengembangkan pemikiran politik dan agamanya. Sebagai aktivis Persis yang bermukim di kota tersebut, M. Natsir 173 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 34.174
Ibid.
175 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan
Politik Indonesia 1945-1965, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 2000), hlm 49. Lihat juga, Ahmad
lxxxiv
tertarik dan seringkali mengujungi propoganda PNI yang dikampanyekan Soekarno, hanya saja ia tidak suka ketika kampanye PNI merendahkan aturan-aturan agama.176
Perbedaan ideologi politik itulah, yang kemudian mempengaruhi perdebatan keras di antara keduanya dalam menentukan bentuk dan dasar negara, setelah kemerdekaan Indonesia ini tercapai. Dan selanjutnya, yang perlu dicermati setelah kondisi di atas adalah keterlibatan Natsir dalam mendirikan partai Islam di Indonesia yaitu Masyumi. Partai ini didirikan pada tanggal 7 Novemper 1945 dalam kondisi revolusi yang bergolak untuk menentang tentara kolonial yang hendak kembali lagi ke Indonesia.177
Menurut Yusril Ihza Mahendra, ide pembentukan partai ini datang dari sejumlah tokoh politik dan pergerakan sosial keagamaan Islam Indonesia yang telah aktif sejak zaman Belanda. Di antaranya adalah Haji Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Sukiman Wiryosajoyo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.178
M. Natsir sendiri pernah memimpin partai ini selama beberapa periode, dalam pidatonya yang disampaikan pada hari jadinya Masyumi yang kesebelas (7 november 1956), ia menyampaikan bahwa Masyumi didirikan
176 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 39.
177
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia dan Partai Jama‟at I-islami (Pakistan), (Jakarta:
Paramadina, 1999), hlm. 62.
lxxxv
atas hasrat umat Islam yang diwakili oleh para tokoh Ulama dan Zuama dari seluruh kepulauan Indonesia di ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.179
Dalam organisasi partai tersebut, pada tahun 1945, M. Natsir masih menjadi anggota, selanjutnya pada tahun 1945 ia dipilih sebagi ketua sampai lima kali berturut-turut dari tahun 1951, 1952, 1954, dan 1956.180 Masyumi merupakan partai Islam yang asalnya terdiri dari empat macam organisasi masyarakat yang bernafaskan Islam, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Perikatan Umat Islam, dan persatuan Umat Islam Indonesia.181
Namun demikian, pada bulan April 1952 Nahdlatul Ulama sebagai Organisasi Masyarakat terbesar di nusantara ini, yang sekaligus menjadi salah satu anggota Partai Masyumi sebelumnya, akhirnya memisahkan diri dari keanggotaan partai tersebut dan kemudian mendirikan partai politik sendiri.182