• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teoretis

BAB I : PENDAHULUAN

E. Kerangka Teoretis

Lahirnya kemerdekaan Indonesia membuat para tokoh nasional, baik paham nasionalis, sekuler maupun Islam untuk berfikir serius dalam meletakan dasar filosofis negara, terlepas itu perjuangan atau kepentingan

xxix

golongan yang jelas Indonesia saat itu memerlukan konsep dasar negara yang kuat sehingga terjamin kemaslahatannya dan terhindar dari segala kemudlaratan .

Lebih lanjut, karena penelitian ini mengkaji masalah Islam dan negara maka penyusun mengkategorikannya dalam perspektif Fiqih as-Siyya>syah atau Siyya>syah as-Syar„iyyah. Menurut Abdul Wahab Khallaf definisi Siyya>syah as-Syar„iyyah ialah wewenang seorang penguasa atau pemimpin dalam mengatur kepentingan umum demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan.17 Dengan demikian siapapun yang ingin membangun pemerintahan yang baik harus berlandaskan pada Mas}lah}ah

al-Mursalah (kepentingan umum).

Menurut Imam Malik Mas}lah}ah al-Mursalah itu merupakan salah satu dari epistimologi syari'ah. Dengan syarat bahwa: 1) kepentingan umum itu bukanlah suatu hal yang berkaitan dengan ibadat (transeden). 2) kepentingan umum itu selaras dan tidak bertentangan dengan nilai dasar Syari„ah

(Al-qur'an dan Sunnah).3) kemaslahatan umum itu haruslah merupakan

kepentingan esensial yang sangat diperlukan.18

Setidaknya kepentingan esensial yang diperlukan di atas sejalan dengan dirumuskannya lima tujuan syari'ah meskipun tidak tercover secara Ka>ffah, lima tujuan tersebut yaitu: memelihara kemaslahatan agama, memelihara jiwa, 17 Abdul Aziz Dahlan (ed), dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)V: 1626, artikel "Siyasyah as-Syar'iyyah".

18 Dikutip dari, Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang

Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Madinah dan Masa Kini, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 7

xxx

memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta dan kehormatan.19

Objek kajian fiqih siyasah atau Siya>syah as-Syari„yyah menurut Abdul Wahab Khallaf adalah membuat peraturan dan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus negara sesuai dengan dasar ajaran agama yang bertujuan merealisasikan kemaslahatan manusia untuk kebutuhan mereka.20 Dengan demikian secara garis besar bahasan Fiqih as-Siya>syah meliputi tiga aspek utama di antaranya: 1) Peraturan dan Perundang-Undangan Negara sebagai pedoman dan landasaan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan umat. 2) Pengorganisasian untuk mewujudkan kemaslahatan. 3) Mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing-masing dalam usaha mencapai negara.21

Untuk mengkaji pemikiran politik Islam memang tidak lepas dari Fiqih as-Siya>syah dan hukum Islam. Hukum Islam dibagi menjadi dua yaitu hukum yang bersifat Qat}„i(Syari'ah) dan yang bersifat Z}anni (fiqih), karena politik seringkali mengalami perubahan sesuai dengan situasi maka penyusun memasukkanya dalam kategori fiqih. Dimana fiqih siyasah mempunyai

19 Ismail Muhammad Syah dkk., Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 67.

20 Abdul Wahab Khallaf, Al-Siyasat al-Syari'at, (AL-Qahirat: Dār al-Anshār, 1977), hlm. 4.

21 J. Suyuthi Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 28.

xxxi

dimensi yang sangat luas dalam mengimplementasikan kehidupan bernegara seperti menjamin kemaslahatan, keadilan dan kestabilan.22

Dengan demikian al-Mas}lahah al-Mursalah menempati posisi yang sangat penting dalam mengkaji diskursus relasi Islam dan negara, lebih khusus lagi dalam menentukan sistem dasar ketatanegaraan. Apakah berideologikan Islam atau sekuler? Karena yang terpenting bukanlah formalitas bentuk pemerintahan tetapi esensi nilai dasar al-Qur'an dan Sunnah tetap berjalan

(tidak kontradiktif),23 sehingga terciptalah kemaslahatan umum sesuai dengan kebutuhan zaman.

Dalam diskursus pemikiran politik Islam dewasa ini, penyusun meminjam istilah Munawir Sjadzali dalam mengkategorikan aliran yang concern terhadap relasi Islam dan negara, meskipun berbeda dalam menggunakan terma aliran ini akan tetapi substansinya sama. Ada tiga aliran dalam hal ini.

Pertama, aliran konservatif tradisionalis, yang berpendapat Islam adalah

agama yang sempurna dalam mengatur aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara karena menurutnya Islam adalah ad-Din wa ad-Daulah, tokoh aliran ini ialah Rasyid Ridha dan Al-Maududi. Kedua, aliran integratif

modernis, yang berpendapat bahwa Islam tidak mempunyai sistem negara

yang detail tetapi di dalamnya terdapat nilai etika kehidupan bernegara. Tokoh aliran ini ialah Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal. Ketiga, 22 K.H. Ibrahim Hoesen, “Fiqih Siyasi dalam Tradisi Pemikiran Islamik Klasik”, Jurnal

Ulumul Qur'an, No.2 Vol. IV (1993), hlm. 58. lihat, Muhammad Azhar, Filsafat Politik Perbandingan Antara Islam Dan Barat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 15.

23 Nilai dasar al-Qur‟an dalam hal ini ialah amanah, musyawarah, keadilan, kebebasan, perdamaian, kesejahteraan dan ketaatan rakyat. Lihat, M. Tahir Azhary, Negara Hukum, hlm. 79.

xxxii

aliran nasionalis sekuler, yang mengatakan Islam tidak ada hubungannya dengan negara karena menurut aliran ini Muhammad tidak pernah mengepalai dan mendirikan negara. Tokoh aliran ini ialah Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.24

Dalam paragraf ini penyusun mencoba memaparkan beberapa tokoh politik sunni kontemporer sebagai landasan teoritis penelitian ini, diantaranya Jamaluddin al-Afghani, Abdul Raziq dan Fazlur Rahman.25 Tokoh-tokoh ini dikaji guna membidik kerangka teoritis pemikiran M. Natsir dan Gus Dur.

Jamaluddin al-Afghani, 26 Pemikiran politiknya besifat reaktif terhadap kondisi kemunduran umat Islam saat itu, dengan menganjurkan pembentukan

Jam„iyah Isla>miyah yang biasa disebut Pan-Islamisme,27 ikatan ini didasarkan pada akidah Islam yang bertujuan 1) menentang sistem pemerintahan yang despotik (sewenang-wenang) dan diganti dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang diajarkan Islam, 2) menentang kolonialisme atas dominasi barat.28

24 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 1-2. M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 14. lihat juga Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual

Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi 1966-1993, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999),

hlm. 57.

25

Untuk memastikan tokoh-tokoh tersebut adalah kelompok pemikir kontemporer, baca. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 111. M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 142.

26 Ia dilahirkan pada tahun 1838 di As'adabad, dekat Kanar, wilayah Kabul, Afganistan. Dikutip dari Munawir Sjadzali, Ibid, hlm. 117.

27

Pan-Islamisme yaitu suatu ikatan politik yang bertujuan mempersatukan seluruh ummat Islam di dunia, yang kemudian saat ini berembrio menjadi OKI, yang tidak jauh berbeda visi dan misinya. Lihat, M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 107.

xxxiii

Dalam perjalanan politiknya ia selalu memunculkan gagasan revolusioner, seperti pembentukan pemerintah dan dewan melalui partisipasi rakyat, selain itu dia juga menganjurkan kepada rakyat untuk merebut kebebasan dan kemerdekaannya melalui revolusi kalau perlu dengan pertumpahan darah.29 Hal inilah yang sering kali mengakibatkan pengusiran atas dirinya dari negara yang ia kunjungi.30 Oleh sebab itu Afghani lebih cocok diposisikan sebagai tokoh aktivis dan agitator politik daripada pemikir politik.

Ali Abdul Raziq,31 menurutnya nabi Muhammad hanyalah seorang utusan Allah yang ditugaskan syiar agama Islam, untuk itu tidak ada maksud dalam misinya mendirikan sebuah negara Islam (Khilafah).32 Dia sama seperti nabi-nabi sebelumnya bukan nabi-nabi atau pendiri negara yang diutus mendirikan kerajaan dalam arti politik, lebih lanjut ia menolak adanya keharusan sistem khilafah dalam pengertian pemimpin negara, karena menurutnya tidak ada ayat ataupun hadis yang bisa dijadikan dasar kuat untuk mendirikan khilafah. al-Raziq memang mengakui perlunya pemerintahan untuk mengatur negara

29

Ibid., hlm.128-129.

30

Negara-negara tersebut yaitu: Afganistan, India, Mesir, Inggris, Prancis, Teheran, dan Persia. Baca, Ibid., hlm. 117.

31 Lahir pada tahun 1888 dan wafat 1966 M, ia penganut Abduh meskipun secara langsung tidak sempat belajar banyak darinya. Disamping itu dia cukup reseptif dan akomodaif terhadap peradaban Barat yang kemudian membawanya pada semangat nasionalisme dan paham sekulerisme di kalangan cendikiawan Islam Mesir. Karyanya yang terkenal yaitu Islam wa Usul

al-Hukm. Dikutip dari Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 139.

xxxiv

tapi bukan berarti harus bentuk khilafah boleh konstitusional, diktator, republik atau totaliter.33

Meskipun ia mengakui Ijma„ sebagai H{ujjah Syar„iyyah akan tetapi dalam hal ini ia tidak mengakuinya sebagai ijma' yang shahih, alasannya sejak sistem khilafah dibentuk sampai sekarang selalu saja ada pihak oposisi yang tidak setuju dan seringkali menimbulkan bencana bagi Islam dan umatnya, terkecuali Abu Bakar, Umar dan Usman.34

Fazlur Rahman,35 pada hakikatnya Pemikiran politik Rahman didasarkan pada konsepsi al-Qur'an. Dalam al-Qur'an, menurut Rahman, umat merupakan suatu "penengah" sehingga menjadi saksi terhadap umat manusia. Umat Islam diharapkan mampu menengahi antara sikap kekakuan ideologi komunisme dan kapitalisme atau sikap ekstrem yang lain.36 "Tugas umat adalah menciptakan ketertiban di muka bumi di mana tata tertib itu merupakan sosiopolitis yang harus ditegakkan atas dasar etika yang sah dan viable.37 Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur‟an.38

33

M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 116.

34

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hlm. 141.

35 Dikutip dari Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas

Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan,1989), hlm. 79.

36

M. Azhar, Filsafat Politik, hlm. 155.

37 Ibid.

xxxv

ـٍأ سٞخ ٌرْم

ِػ ُْٖ٘ـذٗ فٗسؼَىات ُٗسٍؤذ ضاـْيى دخسخأ

ى بارـنىا وٕأ ٍِأ٘ىٗ للهات ٍُْ٘ؤذٗسنَْىا

ٌٍْٖ ٌٖىاسٞخ ُان

ُ٘ـقظافىا ٌٕسثمأٗ ٍُْ٘ؤَىا

:ُاسَػ ها(

١١۰

)

الله غفد٘ىٗ اللهاـْتزا٘ى٘قٝ ُالاإ كزسٞـغت ٌٕزاٝد ٍِا٘خسخأ ِٝرىا

خا٘يطٗ غٞتٗ غٍا٘ط دٍدٖى غؼثت ٌٖؼؼت ضاْىا

ٙ٘قى الله ُإ ٓسظْٝ ٍِ الله ُسظْٞىٗاسـٞثم الله ٌظااٖٞفسمرٝدخاعٍٗ

صٝصػ

:حسىا(

٤۰

)

Lebih lanjut, menurut Rahman Istilah syura yang merupakan nilai dasar al-Qur'an bisa dikembangkan menjadi sebuah institusi yang efektif dan permanen seperti halnya di Barat, akan tetapi apabila secara formal institusional proses dan bentuk demokrasi „ala Barat itu tetap sejalan dengan orientasi nilai dasar Islam maka sistem ini bisa diterapkan di dunia Islam.39

Rahman memang liberal dan radikal dalam gagasannya, menurut hemat penyusun sikap ini muncul sebagai respon terhadap tantangan modernitas yang tak terelakan. Rahman dikenal sebagai pemikir kontemporer yang menggagas aliran neo-modernisme Islam. Dikatakan demikian karena pemikirannya yang selalu berusaha menemukan titik temu antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisionalis, bagi Rahman meskipun modernisme memberikan sumbangan positif pada era kebangkitan Islam tetapi tetap memperlihatkan kelemahan dan kekurangan tertentu.40

39 Ibid., hlm. 156.

40

"Salah satu kelemahan tersebut ialah kurangnya sistematika dan metodologi yang komprehensif untuk menafsirkan al-Qur'an dan Sunnah, selain itu penolakannya terhadap potensi kekayaan pemikiran Islam tradisional."Baca, Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan, hlm. 12.

xxxvi

Demikianlah sepintas gambaran mengenai tokoh-tokoh Islam kontempoer yang nantinya diharapkan banyak membantu penyusun dalam membuat kerangka teoritis, menurut penyusun tidak ada seorang tokohpun yang bisa dibidik Pemikirannya menganut satu paham tokoh sebelumnya karena dalam kenyataannya banyak tokoh yang mengadopsi suatu paham tertentu untuk masalah tertentu dan paham lain untuk masalah yang lain pula.

Hal yang sama terjadi pada M. Natsir dan Gus Dur, sekilas pemikiran Natsir tampak maududian akan tetapi banyak juga diwarnai paham Abduhis.

Dokumen terkait