• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN M. NATSIR DAN

B. Perbedaan

Sedangkan sisi perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus Dur dalam memandang relasi Islam dan negara yang paling fundamental terdapat dua hal.

Pertama, respon mereka terhadap paham sekuler, yang memisahkan antara

agama dan negara. Kedua, pemikiran politik mereka dalam menyikapi demokrasi dan ideologi Pancasila sebagai dasar negara di Indonesia ini.

Berangkat dari wacana relasi Islam dan negara di atas, M. Natsir dengan tegas menolak negara yang berdasarkan sekularisme, menurutnya sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap yang hanya sebatas keduniawian saja. Walaupun para sekularis mengakui adanya Tuhan, tapi dalam kehidupan sehari-harinya tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku, ibadah dan tindakan sehari-harinya.

Ditarik dalam konteks Indonesia, tampaknya M. Natsir ingin membuktikan bahwa Indonesia telah terkontaminasi dengan paham ini. Baginya dengan adanya konsep Pancasila berarti telah terbukti bahwa negara Indonesia telah terjangkit penyakit sekularisme, karena konsep ini jelas bercorak La>-diniyyah yang tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya, di samping itu Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat.316

Dilihat dari beberapa pernyataan Natsir pada bab-bab sebelumnya, bisa dikatakan bahwa hubungan Islam dan negara, menurutnya tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mempunyai fungsi timbal balik, simbiosis 316 Ahmad Syafi‟i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 127.

cxxxv

mutualisme. Baginya, negara adalah sebuah alat bukan tujuan, berarti negara

di sini selain merupakan institusi pemerintahan, juga mempunyai kekuatan penuh untuk menjaga dan memberlakuan undang-undang Syari„ah, yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu, maupun masyarakat secara kolektif.317

Sedangkan Gus Dur, lebih mengasumsikan agama sebagai sumber motivasi pandangan hidup bangsa atau ideologi negara (Pancasila). Maksudnya agama berperan mendorong kegiatan individu melalui nilai-nilai yang diserap Pancasila dengan menjadikannya sebagai bentuk pandangan hidup bangsa.318 Jadi agama di sini hanyalah bersifat dialogis bukan simbiosis. Pola pemikiran Gus Dur ini bisa dikategorikan cukup sekuler, mengingat gagasan yang ia hasilkan selalu mengesampingkan simbolisasi agama terhadap negara atau sebaliknya. Ia tidak pernah berkeinginan untuk memanfaatkan negara sebagai alat pemberlakuan hukum agama tertentu, seperti tuntutan diberlakuannya syariah oleh negara, karena menurutnya hanya akan menciptakan diskriminasi agama.

Dan tentunya, kalau kebijakan tersebut sampai diterapkan di negara yang sangat heterogen ini, berarti kita telah melakukan pengingkarana terhadap nilai-nilai demokrasi, karena telah mengabaikan prinsip-prinsip pluralisme agama, persamaan hak dan kemaslahatan umat. Jadi, bagi Gus Dur, Pancasila sebagai ideologi negara sudah sesuai dengan konteks demokrasi dan tidak

317

Natsir, Capita Selecta, hlm. 442.

cxxxvi

perlu lagi diperdebatkan, apalagi diganti. Meskipun ia merupakan hasil ijtihad manusia.

Selain itu, demokrasi yang menurut Natsir dan Gus Dur merupakan konsep paling rasional untuk sistem negara. Secara tegas dikatakan Natsir, Islam tetap tidak perlu menganut demokrasi 100%, dan konsep demokrasi yang cocok bagi Indonesia adalah demokrasi yang tidak meninggalkan nilai-nilai ketuhanan, thestic democracy, maksudnya, keputusan mayoritas yang berpedoman pada ketuhanan.319 Ini menunjukkan bahwa Natsir selaku tokoh modernis muslim sangat selektif dalam menerapkan filterisasi (saringan) terhadap Barat.

Dalam modernisasi politik Islam, Natsir mempunyai pandangan untuk berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai, kerohanian, sosial, dan politik Islam yang terkandung di dalam al-Qur‟an dan sunnah dengan menyesuaikan terhadap perkembangan zaman. Selanjutnya, Natsir mewajibkan seoarang muslim untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam.320

Berbeda dengan Natsir, Gus Dur menilai demokrasi sebagai suatu kedaulatan rakyat sepenuhnya, ia tidak sepakat kalau urusan Tuhan dicampuradukkan dalam kepentingan ini. Baginya demokrasi adalah urusan manusia yang diberi kebebasan untuk mengatur dunia, sedangkan kedaulatan

319 Yusril Ihza Mahendra, “Modernisme Islam dan Demokrasi: Pandangan Politik M. Natsir,” Jurnal Islamika, No. 3, (1994), hlm. 79. baca juga Kamaruzaman, Relasi Islam dan

Negara, hlm. 71.

cxxxvii

Tuhan (Syari„ah) merupakan prinsip-prinsip universal yang menjadi patokan etik moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.321

Terlebih lagi, apabila hukum Islam atau hukum gereja harus diberlakukan oleh negara melalui (taqnin, legislasi) ajaran agama tersebut pada hakikatnya merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini,322 karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas dua dan kehilangan haknya dalam memperoleh keadilan sesama dalam bernegara.

Untuk merealisasikan demokrasi tersebut, ada enam kaidah demokrasi dalam Islam, yaitu: 1) Ta„a>ruf(saling mengenal); 2) Syu>ra (musyawarah); 3) Ta„a>wun (kerja sama); 4) Mas}lah}ah (menguntungkan masyarakat); 5)

„Adl (adil); dan 6) Tagyir(perubahan).323

Natsir dan Gus Dur sama-sama terlibat dalam pemerintahan, akan tetapi keduanya mempunyai tujuan politik yang berbeda, Natsir masuk dalam birokrasi pemerintahan berharap akan bisa memperjuangkan pemeberlakuan syari‟ah Islam melalui otoritas negara. Sedangkan Gus Dur justru sebaliknya, ia malah berkeinginan untuk meminimalisir intervensi negara terhadap agama, termasuk penolakannya terhadap pemberlakuan syari‟ah di negara ini.

Berbicara mengenai Syari„ah, terdapat berbagai macam pemahaman. Menurut terori klasik, Syari„ah merupakan kehendak Ilahi yang suci dan

321 Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien, hlm. 176.

322

Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 169.

cxxxviii

bertujuan mengatur kehidupan masyarakat muslim.324 Sedangkan dalam al-Qur‟an kata Syir„ahatau Syari„ahdimaknai agama,325 baik sebagai jalan lurus (T{ariq Mustaqi>mah) yang ditentukan oleh Allah untuk manusia atau suatu ketentuan yang harus dilaksanakan. Ketika nabi Muhammad S.A.W. ditanya tentang syari‟at Islam, beliau menjelaskan tentang sholat, zakat, puasa, dan haji.326

Ini menunjukkan bahwa secara terminologis, Syari„ah pada masa nabi Muhammad S.A.W. digunakan untuk menyebut masalah essensial dalam ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur‟an dan sunnah yang telah diyakini kesahihannya. Lebih lanjut, Manna al-Qattan (ahli fiqh) mendefiniskan

Syari„ah sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi masalah akidah, ibadah, dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagian mereka di dunia dan akhirat.

Berdasarkan definisi Syari„ah di atas, ulama fiqih dan usul fiqih menyatakan bahwa Syari„ah merupakan sumber fiqih. Dinyatakan demikian, karena fiqih merupakan hasil ijtihad atau pemahaman ulama terhadap ayat-ayat suci al-Qur‟an tersebut.

Ada beberapa definisi fiqih yang kemudian dikemukakan oleh ulama. Imam Abu Hanifah yang mendefinisikan fiqih dengan Ma„rifat al-Nafsi

ma>laha wa ma> „alaiha (pengetahuan seseorang tentang hak-hak dan

324 Mun‟im A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar, cet. ke-2 (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 16.

325 Al-Qur‟an, Surat 5: 51: 17.

cxxxix

kewajibannya), definisi ini memberi gambaran bahwa fiqih meliputi aspek kehidupan, baik dari akidah, hukum sampai pada tingkah laku kehidupan.327

Sedangkan al- Amidi, seorang ulama Syafi‟iyyah terkemuka dalam bukunya al-Ih}kam fi us}uli al-Ah}ka>m, mendefinisikan fiqih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syari‟ah amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci („adilah tafs}iliyyah),328 selain itu, menurut fuqaha Malikiyyah, fiqih adalah ilmu tentang perintah-perintah syari‟ah dalam masalah khusus yang diperoleh dari aplikasi teori Istidla>l atau pencarian hukum dengan dalil (process of

reasoning).

Tampaknya, pola pemikiran Gus Dur di atas, didasarkan pada pertimbangan fiqih bahwa urusan politik atau negara lebih pada kepentingan dan kreativitas manusia, sehingga masuk dalam wilayah fiqih. Dan sebagai wilayah fiqih, setiap apa yang dirumuskan dan diinterpretasikan merupakan produk ijtihad yang bebas. Namun demikian, kreativitas itu harus mengacu pada kemaslahatan rakyat, sebagaimana dalam kaidah fiqihnya bahwa

“seluruh kebijakan penguasa harus sesuai dengan kepentingan seluruh warga negara”.

Paradigma di ataslah, yang kemudian secara teoritis membedakan gagasan kedua tokoh tersebut, Walaupun pada masalah-masalah tertentu mereka juga mempunyai persamaan pendapat. Pola pemikiran Natsir yang cenderung idealistik dalam memahami ad-Din wa ad-Daulah, sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari pemikiran politik yang didasarkan pada konsep tauhid.

327 Ibid., hlm. 13.

cxl

Konsep tauhid menderivasikan prinsip-prinsip universal yang kemudian menjadi sumber etik-moral bagi sebuah negara demokrasi, selain itu Natsir juga lebih suka mendasarkan gagasannya pada dua sumber utama Syari„ah, al-Qur‟an dan sunnah, daripada menggunakan metodologi khazanah intelektual sunni klasik, seperti fiqih, Us}ul al-Fiqh ataupun Qawa>„id al-Fiqhiyyah.

Di samping paradigma, faktor perbedaan masa kehidupan juga cukup mempengaruhi pola pemikiran keduanya, di mana Natsir hidup pada masa kolonial dan pasca kolonial yang selalu berjuang memerdekakan bangsa ini melalui jargon Islam. Sedangkan gagasan dan perjuangan Gus Dur dihadapkan pada masa 1980-an, pasca kolonial. Namun demikian, apa yang dihadapi Gus Dur tentang wacana keislaman sebenarnya juga masih banyak diwarnai wacana-wacana keislaman di masa Natsir hidup.

Perbedaan paradigma dan masa itulah yang kemudian melahirkan polarisasi aliran, antara modernisme dan neo-modernisme. Gerakan modernisme di Indonesia lahir sejak tahun 1912-an, sebagai salah satu respon intelektual terhadap berbagai persoalan aktual modern yang secara umum menempatkan Islam pada posisi dilematis, antara keharusan menyesuaikan diri dengan perubahan arus modernitas atau menegaskan diri sebagai agama secara eksklusif.

Modernisme Islam mempunyai kecenderungan kuat untuk mengembalikan kejayaan dan keunggulan Islam atas partai atau peradaban yang lain, dengan cara memperbaharui doktrin-doktrin sesuai dengan tuntutan zaman. Secara

cxli

teoritis gerakan ini cenderung eksklusif karena dasar argumentasinya lebih ditekankan pada sumber Syari„ah yang absolut, al-Qur‟an dan sunnah.

Lain halnya, dengan pemikiran neo-modernisme Islam, yang baru lahir pada masa 1970-an. Kalangan ini cenderung akomodasionis dalam merespon tradisionalisme dan modernisme. Menurutnya, sikap modernitas seharusnya tidak menggantikan sama sekali nulai-nilai lama dengan nilai-nilai baru, seperti apa yang diungkapkan oleh mayoritas kalangan modernis Islam saat ini, melainkan bahwa antara tradisi dan modernitas harus dilihat sebagai proses kontinuitas.

Sedangkan untuk mengelaborasi wacana pemikiran Islam semacam ini, bagi mereka penggunaan metodologi fiqh atau Qawa>„id al-Fiqh transformatif lebih cocok daripada memakai konsep tauhid yang cenderung dogmatis. Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa gagasan modern yang mereka tawarkan bukan berarti anti tradisionalisme sama-sekali, seperti apa yang tertulis dalam Qawa>„id al-Fiqh.

ـظفاسَىا

ريطلأا دٝددىات رخلأاٗ رىاظىا ٌٝدقىا ٚيػ

Selain kaidah di atas, masih banyak kaidah lain yang digunakan sebagai upaya melaksanakan transformasi gagasan. Di antaranya,329 yaitu:

رىاظَىا ةيخ ٚيػ ًدقٍ دظ افَىا ءزد

ـخاسىا

جزٗسؼىا هصٍْ هصْـذ

ىا

جز٘ظسَىا رٞثذ جزٗسؼ

Selanjutnya, Gus Dur menjelaskan bahwa apa yang ditawarkan kelompok modernis, seperti legalisme (pemikiran keislaman yang telah dibakukan lewat 329 Abd al-Hamid Hakim, Ibid, II: 65.

cxlii

mazhab yang empat) baik dalam kerangka mazhab fiqih, maupun melalui pembaharuan (pemurnian) ternyata malah tidak mampu menjawab tantangan zaman. Ditambah lagi, over idealissasi Islam sebagai sistem kehidupan alternatif tidak menunjukkan prospek yang baik, bahkan menjurus ke situasi traumatik di masa depan.

Untuk itu, menurutnya perlu dibuat kerangka pemahaman kontekstualisasi ajaran Islam dengan berdasarkan asas-asas sebagai berikut: 1) asas menyeluruh. 2) asas keterbukaan. 3) asas kontinuitas sejarah. 4) asas deinstitusionalisasi Islam, 5) asas depoloitisasi Islam. 6) asas kesejarahan 7) asas pluralitas. 8) dan asas konvergensi.330

Beradasarkan uraian di atas dan bab-bab sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa antara M. Natsir dan Gus Dur sangat berbeda dalam memandang relasi Islam dan negara, Natsir beranggapan bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan sebagai konsekuensi dari penolakannya atas paham sekular, sebaliknya dengan Gus Dur, ia lebih mengarah pada paham sekular, memisahkan agama dan negara, tetapi dengan tetap menjadikan nilai-nilai agama sebagai motivasi bukan formalisasi dalam berbangsa dan bernegara.

Dan pandangan inilah, yang kemudian mempengaruhi sikap mereka dalam menerima ideologi Pancasila. Bagi Gus Dur, meskipun Pancasila merupakan hasil ijtihad manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya, akan tetapi konsep ini harus tetap dipertahankan demi kemaslahatan bangsa Indonesia yang plural ini, sedangkan Natsir lebih memilih Islam sebagai ideologi negara 330 Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 182.

cxliii

daripada Pancasila, karena dengan ideologi ini masyarakat akan terjamin kehidupan beragama dan bernegaranya.331

Demikianlah persamaan dan perbedaan antara pemikiran M. Natsir dan Gus Dur. Sebenarnya apa yang ingin penyusun tegaskan di sini adalah bahwa pemikiran kedua tokoh di atas, sangat dipengaruhi oleh realitas sosial politik di saat mereka hidup. Dan dari sisi inilah, yang kemudian melahirkan klasifikasi pemikiran, yakni modernisme dan neo-modernisme. Untuk lebih singkatnya bisa dilihat dalam tabel berikut ini.

PERSAMAAN PEMIKIRAN

M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID

331 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 114

cxliv

PERBEDAAN PEMIKIRAN

M. NATSIR DAN ABDURRAHMAN WAHID

1. Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion) yang membebaskan manusia dari segala bentuk eskploitasi dan diskriminasi. 2. Sebagai agama pembebasan Islam sepenuhnya kompatibel dengan

demokrasi.

3. Demokrasi diterima sebagai sistem yang paling rasional dan realistik untuk mewujudkan masyarakat yang adil, egaliter, dan manusiawi sebagaimana yang diidealkan Islam.

4. Seorang pemikir dan praktisi politik yang terlibat langsung dalam lembaga kenegaraan.

5. Penggagas dan pendiri partai politik.

cxlv

Dalam dokumen diskursus pemikiran politik islam di Indonesia (Halaman 133-144)

Dokumen terkait