• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA BEKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA BEKASI"

Copied!
287
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN

INKLUSIF DI KOTA BEKASI

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik

Program Studi Admninistrasi Negara

Disusun oleh : Nadia Nurul Kodariah

NIM 6661132716

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

O

Fainna ma'a al'usri yusran. Inna ma'a al'usri yusran

Artinya:

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan

itu ada kemudahan. (Q.S. Al-Insyirah ayat 5-6)

Sebagai bentuk terima kasih, skripsi ini dipersembahkan untuk

mamahku tercinta serta keluarga yang senantiasa selalu mendukung

(7)

ABSTRAK

Nadia Nurul Kodariah. 6661132716. Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi. Program studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I: Dr. Agus Sjafari, M.Si., dan Pembimbing II: Gandung Ismanto, M.M.

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai resiko untuk kecacatan. Akan tetapi, pemerintah sendiri belum memberikan perhatian sepenuhnya kepada mereka. Hal ini dapat dilihat dari hak-hak penyandang disabilitas yang seharusnya terpenuhi tetapi terabaikan oleh pemerintah. Saat ini keberadaan penyandang disabilitas masih dianggap sebelah mata, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pada wilayah Kota Bekasi sendiri penyandang disabilitas pun seringkali dilewatkan dalam pembangunan kota terutama pada aspek pendidikan, dalam hal ini pendidikan inklusif. Fakta yang peneliti temukan di Kota Bekasi yaitu standarisasi sarana dan prasarana dalam pengelolaan dan pembukaan pendidikan inklusif di sekolah reguler, keterbatasan aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam mendapatkan pendidikan, rendahnya pemahaman dari tenaga pendidik di sekolah reguler mengenai anak berkebutuhan khusus (ABK) dan sistem pendidikan inklusif, tidak adanya keberadaan guru pendamping khusus (GPK) dengan lulusan Pendidikan Luar Biasa yang terdapat di sekolah inklusif, serta kurang tertibnya administrasi pendataan dari dinas terkait mengenai pendidikan inklusif. Penelitian ini mengkaji tentang “Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi”. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi. Teori yang digunakan yaitu konsep implementasi Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono (2011:94). Teknik analisis data yang digunakan model Irawan Prasetya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi belum dilaksanakan secara optimal karena masih terdapat banyaknya hambatan dan kendala, baik pada sekolah inklusif maupun pemerintah Kota Bekasi. Oleh karena itu diperlukan usaha yang maksimal dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif dengan kerjasama dan koordinasi yang baik antar berbagai institusi dan lembaga pelaksana kebijakan.

(8)

ABSTRACT

Nadia Nurul Kodariah. 6661132716. Implementation of Inclusive Education Policy in Bekasi City. State Administration Science Study Program. Faculty of Social Science and Political Science. University of Sultan Ageng Tirtayasa. Advisor I: Dr. Agus Sjafari, M.Si., and Advisor II: Gandung Ismanto, M.M.

Indonesia is a country with various risks for disability. However, the government itself has not paid full attention to them. This can be seen from the rights of persons with disabilities that should be fulfilled but neglected by the government. Currently the existence of persons with disabilities is still considered one eye, both by the government and society. In the area of Kota Bekasi itself, people with disabilities are often overlooked in urban development especially on education aspect, in this case inclusive education. Facts that researchers find in Bekasi City is the standardization of facilities and infrastructure in the management and opening of inclusive education in regular schools, accessibility limitations for children with special needs (ABK) in getting education, low understanding of educators in regular schools about children with special needs (ABK) And inclusive education systems, the absence of special escort teachers (GPK) with graduates of Special Education in inclusive schools, and the lack of proper administration of data collection from related agencies on inclusive education. This study examines the "Implementation of Inclusive Education Policy in Bekasi City". This research was conducted to describe and analyze the implementation of inclusive education policy in Kota Bekasi, and what factors influence the implementation of inclusive education policy in Bekasi City. The theory used is the concept of Mazmanian and Sabatier implementation in Subarsono (2011: 94). Data analysis technique used Irawan Prasetya model. The results of this study indicate that Implementation of Inclusive Education Policy in Bekasi City has not been implemented optimally because there are still many obstacles and obstacles, both in inclusive school and Bekasi city government. Therefore, maximal effort is needed in providing inclusive education with good cooperation and coordination among various institutions and implementing agency of policy.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan inayah-Nya kepada peneliti untuk dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul berjudul “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA BEKASI”. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Ilmu Sosial pada konsentrasi kebijakan publik program studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Doa yang tiada henti dan jerih payah dari ibunda yang tulus, ikhlas dan tidak pantang menyerah dalam memberikan dukungan dan semangat kepada peneliti. Sehubungan dengan hal itu maka peneliti juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus selaku Pembimbing I yang selalu mengarahkan, memberikan masukan dan kritikan yang membangun, memberikan semangat, dan motivasi kepada peneliti.

3. Ibu Rahmawati, M.Si., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(10)

4 . Bapak Iman Mukhroman, M.Ikom., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

5 . Bapak Kandung Ismanto, M.Si Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

6 . Ibu Listyaningsih, S.Sos., M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

7 . Bapak Gandung Ismanto., S.Sos., M.M., Dosen Pembimbing Akademik Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah memberikan banyak arahan dan masukan dalam penelitian ini sekaligus selaku Pembimbing II yang juga selalu memberikan pengarahan, saran serta kritikan kepada penelitian skripsi ini.

8. Terimakasih kepada Mamah ku tercinta yang selalu mendoakan dan memberikan semangat.

9. Terimakasih kepada Bapak Didi Ruchdiana atau yang biasa dipanggil FF yang selalu memberikan dukungan, semangat serta selalu menemani peneliti dalam melakukan wawancara.

10.Terima kasih kepada teman-teman seperjuanganku yang kami namakan grup Skripsweet yaitu Nindya Noprianti Putri, Fita Fitriyah, Dyah Pratiwi, dan Rima Herdiyana.

(11)

Skripsi ini, yaitu Silvia Nur Hidayati, Galih Eka Ariska, Puri Ventika Malau, Sekar Andini, Mutia Rizky Septiani, Trisnawati Inas, Sintia Mutiarani, Dede Miladia, Puspita Sari, dan Meydiana Rosha.

12.Terima kasih kepada Terima kasih kepada seluruh informan yang telah bersedia untuk diwawancara dan telah memberikan informasi serta data-data yang dibutuhkan peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini.

13.Terima kasih kepada teman-teman seangkatan Administrasi Negara Untirta 2013.

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna sempurnakan skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi peneliti.

Serang, Juni 2017 Peneliti

(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 20

1.3 Batasan Masalah ... 21

1.4 Rumusan Masalah ... 21

(13)

1.6 Manfaat Penelitian ... 22

1.6.1 Manfaat Praktis ... 22

1.6.2 Manfaat Teoritis ... 22

1.7 Sistematika Penulisan ... 22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR 2.1 Tinjauan Pustaka ... 25

2.1.1 Deskripsi Teori Kebijakan Publik ... 26

2.1.2 Tahapan-Tahapan dalam Pembentukan Kebijakan Publik ... 28

2.1.3 Ciri dan Jenis Kebijakan Publik ... 29

2.1.4 Proses Kebijakan Publik ... 31

2.2 Konsep Analisis Kebijakan Publik ... 33

2.2.1 Teori Analisis Kebijakan Publik ... 33

2.2.2 Pendekatan Analisis Kebijakan ... 34

2.2.3. Sistem Kebijakan ... 34

2.2.4 Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan ... 36

2.2.5 Metodologi dan Prosedur Analisis Kebijakan ... 38

(14)

2.3.1 Teori Implementasi Kebijakan ... 39

2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik ... 40

2.3.3 Model-model Implementasi Kebijakan Publik ... 41

2.4 Policy Evaluation (Evaluasi Kebijakan) ... 46

2.4.1 Konsep Evaluasi Kebijakan Publik ... 46

2.4.2 Model Evaluasi Kebijakan Publik ... 47

2.4.3 Sifat Evaluasi Kebijakan Publik ... 48

2.4.4 Fungsi Evaluasi ... 49

2.5. Konsep Pendidikan ... 49

2.6. Konsep Kebijakan Pendidikan ... 51

2.7. Tinjauan umum tentang Pendidikan inklusif dan Pendidikan khusus ... 53

2.7.1 Pengertian Pendidikan inklusif ... 53

2.7.2 Hakikat dan Tujuan Pendidikan Inklusif ... 53

2.7.3 Landasan Pendidikan Inklusif ... 54

(15)

2.7.5 Deskripsi Teori Pendidikan Khusus ... 57

2.7.6 Fungsi Pendidikan Kebutuhan Khusus ... 58

2.7.7 Pendidikan Khusus dan Sekolah Inklusif ... 59

2.8. Kebijakan dan Program Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif ... 60

2.9. Penyandang Disabilitas ... 69

2.9.1 Deskripsi Teori Penyandang Disabilitas ... 69

2.9.2 Jenis Penyandang Disabilitas ... 71

2.9.3 Hak Penyandang Disabilitas ... 73

2.10. Penelitian Terdahulu ... 76

2.11. Kerangka Berpikir ... 80

2.12. Asumsi Dasar ... 84

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian ... 85

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 86

3.3 Fokus Penelitian ... 87

(16)

3.5 Variabel Penelitian... 88

3.5.1 Definisi Konseptual ... 88

3.5.2 Definisi Operasional ... 89

3.6 Instrumen Penelitian ... 90

3.7 Informan Penelitian ... 92

3.8 Teknik Pengumpulan Data ... 94

3.9 Teknik Analisis Data ... 97

3.10. Uji Keabsahan Data ... 99

3.11. Agenda Penelitian ... 100

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Deskrpsi Objek Penelitian ... 102

4.1.1 Gambaran Umum Kota Bekasi ... 102

4.1.2 Gambaran Umum Dinas Pendidikan Kota Bekasi... 112

4.2 Deskripsi Data ... 118

4.2.1 Deskripsi Data Penelitian ... 118

4.2.2 Deskripsi Informan Penelitian ... 121

4.2.3 Model Analisis Data ... 124

(17)

4.3.1 Karakteristik Masalah ... 128

4.3.2 Karakteristik Kebijakan ... 162

4.3.3 Variabel Lingkungan ... 182

4.4 Pembahasan ... 186

4.4.1 Karakteristik Masalah ... 187

4.4.2 Karakteristik Kebijakan ... 194

4.4.3 Variabel Lingkungan ... 198

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 204

5.2 Saran ... 206

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Jumlah Penyandang Disabilitas yang ada di wilayah Kota Bekasi ... 3

Tabel 3.1 Daftar Informan Penelitian... 93

Tabel 3.2 Pedoman Wawancara ... 95

Tabel 3.3 Jadwal Penelitian... 101

Tabel 4.1 Daftar luas dan kelurahan berdasarkan kecamatan di wilayah Kota Bekasi ... 108

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk menurut kecamatan tahun 2011-2015 ... 111

Tabel 4.3 Daftar spesifikasi informan penelitian ... 122

Tabel 4.4 Daftar sekolah penerima peserta didik difabel di Kota Bekasi ... 128

Tabel 4.5 Persentase ABK pada sekolah inklusif ... 144

Tabel 4.6 Daftar Jumlah Guru di Kota Bekasi ... 156

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.1 Tiga Elemen Sistem Kebijakan ... 35

Gambar 3.2 Model Implementasi Grindle ... 38

Gambar 3.3 Model Kesesuaian Implementasi Kebijakan ... 42

Gambar 4.1 Peta Administratif Kota Bekasi ... 106

Gambar 4.2 Struktur Organisasi Dinas Pendidikan Kota Bekasi ... 111

Gambar 4.3 Ruang kelas SMP IT YPI 45 Bekasi ... 132

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Dokumentasi Foto

Lampiran 2 Member Check

Lampiran 3 Surat Pernyataan

Lampiran 4 Surat Ijin Mencari Data

Lampiran 5 Surat keterangan dari sekolah

Lampiran 6 Surat Data Sekolah Penerima Difabel

(21)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Penyandang disabilitas yang dalam percakapan sehari-hari disebut sebagai orang cacat, sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan. Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai resiko untuk kecacatan. Akan tetapi, pemerintah sendiri belum memberikan perhatian sepenuhnya kepada mereka. Hal ini dapat dilihat dari hak-hak penyandang disabilitas yang seharusnya terpenuhi, tetapi terabaikan oleh pemerintah.

(22)

pendidikan dan pekerjaan, mereka cukup dikasihani dan diasuh untuk keberlangsungan hidupnya.

Oleh karena itu, secara eksplisit Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang memberikan landasan hukum secara tegas untuk menjamin kelangsungan hidup setiap warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga negara Indonesia dan sebagai bagain yang tidak terpisahkan dari masyarakat sebagai warga negara Indonesia.

Penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara non disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Selain itu, hak untuk hidup berkaitan dengan isu-isu mengenai hak asasi manusia bahwa manusia sebagai warga negara yang memiliki hak sipil, hak politik, hak ekonomi, sosial dan budaya.

(23)

Penyandang disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan masyarakat non disabilitas dikarenakan hambatan dalam mengakses layanan umum seperti, akses dalam layanan pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan. Kecacatan seharusnya tidak menjadi halangan bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh hak hidup dan hak mempertahankan hidupnya.

Fakta bahwa para penyandang disabilitas masih dianggap sebelah mata berbanding lurus dengan fakta yang ada di Kota Bekasi. Kebijakan pemerintah Kota Bekasi masih terhambat dalam implementasinya. Faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi yaitu hubungan antar organisasi yang belum terjalin dengan baik, sumber daya organisasi yang kurang dan belum memahami dengan baik, kondisi lingkungan yang kurang memadai dan mendukung implementasi serta kinerja dari aparatur pemerintah yang kurang maksimal.

Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan jumlah penyandang disabilitas yang ada di wilayah Kota Bekasi.

Tabel 1.1

Jumlah Penyandang Disabilitas

Sumber : Dinas Sosial Kota Bekasi

No. Tahun Jumlah

1. 2013 1.771

2. 2014 1.125

(24)

Berdasarkan data pada tabel 1.1 terlihat bahwa jumlah penyandang disabilitas dari tahun 2013 hingga 2015 mengalami penurunan yang cukup signifikan setiap tahunnya. Namun, fakta yang peneliti temukan adalah Pemerintah Kota Bekasi sendiri kurang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan dari para penyandang disabilitas.

Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pedoman Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan di Kota Bekasi dalam pasal 9 dinyatakan bahwa salah satu program yang secara langsung ditujukan oleh masyarakat berupa subsidi, penyediaan pembiayaan untuk proyek-proyek pengembangan masyarakat, penyelenggaraan fasilitas umum atau bantuan modal usaha skala mikro atau kecil, bantuan sosial berupa bantuan dalam bentuk uang, barang maupun jasa pada panti-panti sosial/jompo, para korban bencana dan para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), dan perlindungan sosial berupa pemberian kesempatan kerja bagi para atlet nasional atau daerah yang sudah purna bakti dan bagi penyandang disabilitas yang mempunyai kemampuan khusus. Pasal 10 ayat 2 dinyatakan bahwa pemerintah wajib memulihkan PMKS dalam hal ini juga termasuk penyandang disabilitas agar mereka dapat menjalankan fungsi sosialnya.

(25)

Akan tetapi, kinerja Pemerintah Kota Bekasi selama ini dalam melakukan tanggungjawabnya kepada penyandang disabilitas dirasa belum maksimal. Bantuan yang diberikan pemerintah belum mencakup segala aspek. Dinas Sosial sendiri paling banyak memberikan bantuan berupa pelatihan-pelatihan khusus bagi penyandang disabilitas sekaligus memberikan alat yang menunjang untuk mempraktekannya dan pemberian alat bantu khusus seperti kursi roda, kaki palsu, alat bantu dengar, dan sebagainya.

Usaha yang dilakukan pemerintah sudah cukup membantu dan memperhatikan penyandang disabilitas, akan tetapi usaha tersebut belum bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Selayaknya pemerintah memberikan program kelanjutan dari pelatihan-pelatihan yang diberikan tersebut seperti kiat-kiat untuk berwirausaha, membantu mencari tempat usaha bagi kelompok disabilitas dan memastikan bahwa usaha tersebut berjalan dengan baik. Sehingga tidak hanya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan kemandirian para penyandang disabilitas, tetapi juga terbuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan menambah pendapatan daerah Kota Bekasi.

(26)

dinyatakan bahwa “setiap bangunan gedung kecuali rumah tinggal tunggal

dan rumah deret sederhana harus menyediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk menjamin terwujudnya kemudahan bagi penyandang cacat dan lanjut usia, masuk dan keluar bangunan gedung serta beraktivitas dalam bangunan gedung secara mudah, aman, nyaman dan mandiri.

Mayoritas penyandang disabilitas mengalami kesulitan menjalani kehidupan keseharian nya karena keterbatasan fasilitas publik transportasi dan informasi yang tidak dirancang sesuai dengan kebutuhannya. Hak asasi manusia masih menjadi masalah dalam implementasinya. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia sering sekali dirasakan oleh penyandang disabilitas. Kebebasan yang dirasakan oleh penyandang disabilitas masih saja belum memberikan ruang sepenuhnya. Dalam potret sosial, penyandang disabilitas masih dianggap sebelah mata. Terutama berkenaan dengan masalah pelayanan publik. Hal ini bisa dilihat dari beberapa fasilitas umum. Contohnya toilet yang belum disediakan untuk orang yang berkebutuhan khusus, tranportasi umum yang seharusnya memiliki sebuah ruang kosong yang diperuntukkan bagi para penyandang disabilitas, tangga landai yang dapat membantu para penyandang disabilitas, jembatan penyebrangan bagi penyandang disabilitas dan fasilitas lainnya.

(27)

daerah menjadi strategis dan penting karena faktor kekhususan daerah dan penjabaran perundang-undangan yang lebih tinggi.

Berdasarkan pasal 41 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 5 ayat 3 menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya namun dalam prakteknya regulasi kepada mayoritas lebih banyak daripada kelompok minoritas. Kelompok minoritas ini identik dengan masyarakat lemah yang memiliki banyak keterbatasan salah satunya adalah penyandang disabilitas.

Dengan demikian, pemerintah daerah wajib memiliki peraturan daerah yang mencakup pemenuhan hak-hak dari penyandang disabilitas agar layanan publik bisa lebih inklusif memberikan ruang pubblik kepada kelompok rentan seperti penyandang disabilitas karena kondisi yang terjadi saat ini pelayanan publik untuk penyandang disabbilitas belum inklusif dan masih diwarnai dengan sikap diskriminasi.

(28)

penyandang disabilitas sendiri. Keberadaan peraturan daerah tentang penyang disabilitas ini nantinya sangat penting mengingat sebagai upaya perlindungan bagi penyandang disabilitas, dimana selama ini mereka seringkali tidak menikmati kesempatan yang sama seperti masyarakat lainnya.

Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pedoman Tanggungjawab dan Lingkungan Perusahaan di Kota Bekasi menyatakan bahwa pelayanan sosial berupa layanan pendidikan, kesehatan, olahraga, serta santunan pekerja sosial dan perlindungan sosial berupa pemberian kesempatan kerja bagi para atlet nasional atau daerah yang sudah purna bakti dan bagi penyandang cacat yang mempunyai kemampuan khusus. Maka pemerintah wajib untuk memulihkan agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Namun, diskriminasi masih menjadi masalah yang tidak kunjung teratasi hingga saat ini. Diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat setempat, keluarga dari penyandang disabilitas yang bersangkutan serta pemerintah yang seyogyanya memperhatikan dan menangani mereka agar mendapatkan hak dan kedudukan yang sama dengan masyarakat yang lain. Penyandang disabilitas masih dianggap sebagai orang yang harus diperbaiki, tidak dapat mandiri, dan kehadirannya dapat mengganggu orang lain.

(29)

perkembangan industri dan infrastruktur yang pesat, bisa bersaing dengan ibu kota Jakarta.

Akan tetapi, menurut redaksi kabariindonesia.com, dalam perkembangan dan pertumbuhan wilayah Kota Bekasi, penyandang disabilitas seringkali dilewatkan dalam pembangunan kota. Di Kota Bekasi, ruang-ruang publik seperti trotoar dan jembatan penyeberangan serta sarana umum lainnya belum dirancang untuk memudahkan mereka para penyandang disabilitas. Di Kota Bekasi juga belum banyak lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan inklusif, yaitu menyediakan fasilitas fisik dan tenaga pendidik bagi siswa berkebutuhan khusus.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Bekasi, saat ini tercatat ada sembilan sekolah yang menerima peserta didik difabel atau sekolah inklusif di wilayah Kota Bekasi. Fakta tersebut sangat memprihatinkan apabila dibandingkan dengan jumlah sekolah penerima peserta didik difabel atau sekolah inklusif yang terdata oleh Dinas Pendidikan Kota Depok yaitu memiliki 80 sekolah inklusif pada semua jenjang, baik itu TK, SD, SMP, SMA dan SMK, yang kemudian 80 sekolah inklusif tersebut mengikuti pelatihan demi menunjang pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) yang diadakan oleh pemerintah terkait.

(30)

Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar,dan satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan satu-satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif sesuai dengan yang tertera pada Permendagri No. 70 Tahun 2009 sehingga semua anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ada pada wilayah Kota Bekasi mendapatkan akses pendidikan yang sama dengan anak normal lainnya.

Pada tahun 2012, provinsi Jawa Barat sendiri telah mendeklarasikan diri sebagai provinsi pendidikan Insklusif. Deklarasi tersebut ditandai dengan pembacaan naskah deklarasi oleh Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedi Mizwar, dan penandatanganan prasasti oleh Dedi Mizwar, Direktur Pendidikan Khusus dan Pelayanan Khusus (PKLK) Kemdikbud, Mudjito dan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Wahyudin Zarkasyi, di Gymnasium Universitas Pendidikan Indonesia. (disdik.depok.go.id/2017)

(31)

maka anak berkebutuhan khusus (ABK) menghadapi tantangan yang lebih besar akibat keterbatasan mereka dan berbagai rintangan yang dihadirkan oleh lingkungan sekitarnya.

Meremehkan kemampuan dari penyandang disabilitas merupakan hambatan utama untuk inklusi mereka dan untuk kesempatan yang setara. Sikap yang dimaksud terdapat dalam masyarakat mulai dari para profesional, politisi, dan pembuat keputusan lainnya terhadap keluarga dan teman-teman serta para penyandang disabilitas itu sendiri karena tidak adanya bukti bahwa mereka itu berharga dan didukung seringkali meremehkan kemampuan sendiri.

Sebuah lingkungan yang bisa diakses merupakan hal yang penting bagi anak-anak penyandang disabilitas untuk dapat menikmati hak-hak mereka untuk berpartisipasi dalam masyarakat dan mendapatkan kesempatan mewujudkan seluruh potensi mereka. Contohnya seperti anak berkebutuhan khusus (ABK) perlu akses pada seluruh sekolah untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari pendidikan. Anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mendapatkan pendidikan bersama dengan rekan-rekan mereka yang mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif dan menjadi terintegrasi dalam kehidupan masyarakat.

(32)

adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan inklusif bertujuan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik yang memiliki memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa perlu mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya.

(33)

dengan siswa atau peserta didik yang normal. Oleh karena itu, mereka tidak dapat dimasukkan ke dalam pendidikan atau sekolah inklusif dikarenakan keadaan yang mereka alami. Sedangkan siswa yang memiliki keterbatasan seperti tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan kelainan yang lain dapat diikutsertakan dalam pendidikan inklusif karena dibalik keterbatasan yang mereka miliki, namun secara keseluruhan mereka normal seperti peserta didik yang lain dalam hal nalar dan logikanya. Hanya mungkin mereka membutuhkan guru pendamping khusus (GPK) dimana guru yang dimaksud adalah guru yang ditugasi untuk membantu anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam pembelajaran di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.

Mengingat pentingnya pendidikan inklusif ini setiap daerah perlu memiliki peraturan daerah terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif sebagai kebijakan dari pemerintah daerah yang bersangkutan dengan mengacu pada peraturan dari pemerintah pusat agar dalam pelaksanaannyadi daerah tersebut memiliki acuan yang jelas sesuai dengan peraturan yang dibuat oleh daerah.

(34)

pendidikan. Pasal 105 menyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai kemampuannya.

Peraturan daerah tersebut belum diimplementasikan dengan baik, pemerintah semestinya dapat memberikan jaminan akses difabel untuk mendapatkan pendidikan dasar dan lanjutan inklusif. Tidak hanya sebatas membuka akses difabel bisa mengenyam bangku pendidikan saja, tetapi juga bisa menjamin keberlanjutan dalam menjalani proses pendidikan. Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam kehidupan, termasuk memperoleh pendidikan tetapi belum semua anak difabel dapat mengakses pendidikan dengan baik.

Beberapa permasalahan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Bekasi tergolong cukup banyak. Implementasi dari Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dalam hal ini penyelenggaraan pendidikan inklusif mengalami berbagai hambatan, masalah-masalah yang terjadi adalah sebagai berikut:

(35)

mekanisme yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku, persyaratan dan kriteria tertentu. Standarisasi yang dimaksud merupakan hal yang bersifat fisik yaitu sistem sarana dan prasarana di sekolah yang mendukung bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam mendapatkan proses pembelajaran di sekolah. Berdasarkan fakta yang ditemukan dalam penelitian, standarisasi sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah reguler tidak mendukung anak berkebutuhan khusus (ABK). Meskipun telah terdapat peraturan yang menegaskan bahwa semua sekolah di Kota Bekasi harus menyelenggarakan pendidikan inklusif, namun peraturan ini tidak diimplementasikan dengan baik. Sarana dan prasarana yang tidak mendukung menyebabkan anak berkebutuhan khusus (ABK) mengalami kesulitan dalam menjalani proses pembelajaran di sekolah karena sarana dan prasarana yang tidak tersedia. Contohnya seperti tidak tersedianya buku dengan huruf braile bagi anak penyandang tuna netra, dan jalan atau lintasan khusus kursi roda, tidak tersedianya alat bantu belajar, kursi atau meja khusus belajar dan metode pembelajaran ataupun kurikulum khusus yang sesuaikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam proses pembelajaran di sekolah.

(36)

memproses sampai dinas pendidikan provinsi menetapkan sekolah yang bersangkutan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya sekolah dapat dibantu oleh pemerintah karena sekolah tersebut sudah resmi dan terdaftar di dinas setempat. Hal ini kan membantu terselenggaranya pendidikan inklusif yang lebih baik, dari segi operasional maupun struktural.

Kedua, berdasarkan hasil wawancara dan temuan lapangan dapat dinyatakan bahwa keterbatasan aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam mendapatkan pendidikan juga menjadi persoalan. Anak berkebutuhan khusus (ABK) ini tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan anak-anak normal lainnya dalam mengenyam pendidikan. Keterbatasan aksesibilitas dapat menyebabkan timbulnya tindakan diskriminatif pada anak berkebutuhan khusus (ABK) dikarenakan masih terdapat adanya perbedaan antara anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan anak yang normal. Keterbatasan aksesibilitas dalam hal ini, ditunjukkan dengan tidak adanya rasa toleransi dan perlakuan yang sama terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah. Salah satu fakta dari keterbatasan aksesibilitas yang terjadi di Kota Bekasi yaitu anak berkebutuhan khusus (ABK) tidak memiliki kesempatan yang sama dalam mengikuti kejuaraan ataupun lomba yang ada di sekolah karena keterbatasan yang mereka miliki.

(37)

memperlakukan peserta didik berkebutuhan khusus dan pemahaman penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidik dan tenaga kependidikan merupakan orang-orang yang sangat berperan penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif memang tidak semua orang bisa paham dan mau menerima sistem pelaksanaannya. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan para pendidik dan tenaga kependidikan tentang pendidikan inklusif. Tidak mudah bagi pendidik untuk menyatukan keberadaan anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada sekolah reguler, baik dalam aspek akademik maupun sosialnya. Anak berkebutuhan khusus (ABK) memang harus mendapatkan perlakuan yang sama dengan anak normal lainnya, namun karena keterbatasan yang dimiliki maka tenaga pendidik pun perlu memperlakukan mereka sesuai dengan kebutuhan khusus yang mereka miliki agar dengan begitu mereka dapat merasakan kemudahan dan kenyamanan dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah. Rendahnya pemahaman tenaga pendidik di sekolah reguler terjadi karena pemerintah Kota Bekasi kurang berupaya dalam memberikan pengetahuan kepada para tenaga pendidik tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif, dimana upaya ini dapat diwujudkan melalui adanya sosialisasi, seminar dan lain sebagainya.

(38)

(ABK) dalam pembelajaran di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Kelancaran penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif ini sangat berpengaruh pada kemampuan para guru pembimbing khusus. Pihak sekolah juga harus mendukung keberadaan guru pendamping khusus (GPK) dan bekerja sama dengan sebaik mungkin. Akan tetapi, sampai saat ini pemerintah Kota Bekasi belum juga menyediakan guru pendamping khusus pada sekolah reguler terutama sekolah yang memiliki siswa berkebutuhan khusus. Bahkan pada saat dilakukan penelitian pihak sekolah pun dirasa kurang familiar dengan istilah guru pendamping khusus.

Kurangnya kesadaran dari berbagai pihak yaitu baik dari pemerintah maupun pihak sekolah mengenai pentingnya keberadaan guru pendamping khusus (GPK) dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Bekasi, menyebabkan keberadaan guru pendamping khusus (GPK) dengan lulusan pendidikan luar biasa di sekolah umum atau reguler sangat kurang jika dibandingkan dengan Kabupaten Sukabumi yang saat ini memiliki jumlah guru pembimbing khusus mencapai 24 guru dari 23 sekolah inklusif di wilayahnya. Jumlah guru pembimbing khusus ini akan terus meningkat karena Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi telah menargetkan tahun 2017 bisa mencetak minimal 47 guru pembimbing khusus pada tahun ini. (pojokjabar.com)

(39)

faktor-faktor yang menyebabkan hal ini terjadi yaitu tercecernya data-data pada tahun sebelumnya, pendataan yang tidak dilakukan secara rutin setiap tahunnya dan kurangnya perhatian dari pihak dinas terkait untuk memiliki data-data yang lengkap mengenai pendidikan inklusif. Pendataan menjadi salah satu kegiatan yang penting dilakukan oleh dinas untuk mengetahui dengan jelas kondisi yang terjadi pada wilayahnya melalui jumlah yang didapatkan dari hasil pendataan tersebut. Manajemen penyimpanan data juga sangat penting diperhatikan oleh dinas agar data-data yang telah diperoleh dapat tersimpan sebagai arsip bagi dinas untuk dapat menganalisa data-data tahun sebelumnya dan membandingkan dengan data yang ada pada tahun yang akan datang karena pembangunan yang terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan baik memerlukan data dan informasi yang akurat serta dapat dipertanggung jawabkan.

(40)

Beranjak dari gejala-gejala masalah diatas, kemudian penulis memutuskan untuk melakukan penelitian lebih mendalam yang kemudian dituangkan ke dalam skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA BEKASI” dengan mengacu pada Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan serta peraturan tentang kebijakan pendidikan inklusif lainnya.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjelasan yang telah peneliti uraikan dalam latar belakang masalah diatas, maka peneliti melakukan identifikasi masalah yaitu sebagai berikut:

1. Belum akuratnya standarisasi sarana dan prasarana dalam pengelolaan dan pembukaan pendidikan inklusif di sekolah umum atau reguler.

2. Keterbatasan aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam mendapatkan pendidikan.

3. Rendahnya pemahaman dari tenaga pendidik di sekolah umum atau reguler mengenai anak berkebutuhan khusus (ABK) dan sistem pendidikan inklusif.

4. Tidak adanya keberadaan guru pendamping khusus (GPK) dengan lulusan Pendidikan Luar Biasa yang terdapat di sekolah inklusif.

(41)

1.3. Batasan masalah

Dengan uraian-uraian yang ada dalam latar belakang dan identifikasi masalah, peneliti mempunyai keterbatasan kemampuan dan berfikir secara menyeluruh. Maka dengan itu peneliti mencoba membatasi penelitiannya yang ada dalam identifikasi masalah yaitu tentang “Implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi” dengan mengacu pada peraturan daerah

nomor 13 tahun 2014 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan serta peraturan tentang kebijakan pendidikan inklusif lainnya.

1.4. Rumusan Masalah

Berdasarkan judul dan latar belakang masalah yang terdapat dalam penelitian ini maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut.

Bagaimanakah implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi?

1.5. Tujuan penelitian

Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai rumusan rmasalah yang terdapat pada implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi maka tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan dan menganalisis implementasi kebijakan pendidikan

(42)

2. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi.

1.6. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang bersangkutan, baik manfaat secara praktis maupun manfaat secara teoritis.

1.6.1. Manfaat praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini antara lain:

1. Bagi peneliti, dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Bekasi

2. Bagi pembaca, penelitian ini dapat memberikan informasi secara tertulis maupun referensi lokal khususnya pada pemerintah daerah Kota Bekasi.

1.6.2. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi upaya mengaplikasikan teori-teori administrasi negara atas permasalahan pada lingkup pengetahuan sosial.

1.7. Sistematika Penulisan

(43)

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan berisi tentang materi dasar yang akan diuraikan pada bab-bab selanjutnya yaitu mengenai masalah, identifikasi masalah dan uraian pembahasannya, yang berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR

Pada bab tinjauan pustaka, kerangka pemikiran dan hipotesis berisi tentang teori-teori dari beberapa ahli yang relevan terhadap masalah. Deskripsi teori yang dimulai dari teori kebijakan publik, konsep pendidikan, konsep kebijakan pendidikan, tinjauan umum tentang pendidikan inklusif dan pendidikan khusus, kebijakan dan program sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, teori penyandang disabilitas, dilanjutkan dengan penelitian terdahulu dan kemudian peneliti membuat kerangka berpikir yang merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang diteliti. Terakhir terdapat asumsi dasar sebagai pendapat atas masalah yang peneliti temukan.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

(44)

penelitian, teknik pengolahan dan analisis data, serta waktu dan tempat penelitian tersebut dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA

Memuat daftar referensi (literature lainnya) yang dipergunakan dalam penelitian.

LAMPIRAN

(45)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN

ASUMSI DASAR

2.1. Tinjauan Pustaka

Berdasarkan teori-teori yang akan dicantumkan oleh penulis. Kebijakan Publik merupakan salah satu wujud dari usaha pemerintah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, para penyandang disabilitas atau difabel juga merupakan masyarakat Indonesia yang perlu mendapat perhatian yang sama dari pemerintah. Terutama masalah Pendidikan bagi anak penyandang disabilitas atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Di sebagian besar wilayah di Indonesia, khususnya pada wilayah Kota Bekasi, pelayanan pendidikan belum dapat dirasakan sepenuhnya oleh para penyandang disabilitas sehingga mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan layaknya masyarakat atau anak normal yang lain. Untuk memecahkan masalah ini diperlukan adanya kebijakan publik yang diartikan oleh James Anderson sebagai berikut: “serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud atau tujuan

(46)

tersebut adalah pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di Kota Bekasi.

2.1.1. Deskripsi Teori Kebijakan Publik

Menurut Robert Eyestone dalam Agustino (2014:6-7), mendefinisikan kebijakan publik sebagai berikut:

“Hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Heinz Eulau dan Kenneth Prewitt dalam perspektif mereka mendefinisikan kebijakan publik sebagai: ”keputusan tetap yang dicirikan dengan konsistensi dan pengulangan (repitisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut.”

Richard Rose dalam Agustino (2014:7) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “sebuah rangkaian panjang dari banyak atau sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan memiliki konsekuensi bagi yang berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan.”

Sedangkan menurut Carl Frederich dalam Agustino (2014:7) mengatakan bahwa:

“Kebijakan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.”

(47)

Konsep kebijakan ini menitikberatkan pada apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang diusulkan atau dimaksud. Hal inilah yang membedakan kebijakan dari suatu keputusan yang merupakan pilihan diantara beberapa alternatif yang ada.

Hogwood dan Gunn dalam Indiahono (2009: 17-18) menyatakan bahwa terdapat 10 istilah kebijakan dalam pengertian modern, yaitu:

1. Sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas

2. Sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan 3. Sebagai proposal spesifik

4. Sebagai keputusan pemerintah 5. Sebagai otorisasi formal 6. Sebagai sebuah program 7. Sebagai output

8. Sebagai hasil (outcome) 9. Sebagai teori dan model 10.Sebagai sebuah proses

Sementara itu, Lasswell dalam Indiahono (2009:18) menginginkan ilmu kebijakan publik mencakup tiga hal yakni:

1) metode penelitian proses kebijakan 2) hasil dari studi kebijakan

3) hasil temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan intelegasi era sekarang.

(48)

Dari teori-teori yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah keputusan yang diambil oleh stakeholder sebagai serangkaian tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat.

2.1.2. Tahapan-Tahapan dalam Pembentukan Kebijakan Publik

Suatu kebijakan dihasilkan melalui serangkaian kegiatan yang dilakukan para aktor kebijakan melalui proses kebijakan publik. Proses kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis.

Aktivitas politis dalam proses kebijakan publik tersebut menurut William N. Dunn (2003: 26-28) melalui 5 tahap yang meliputi:

1. Tahap Perumusan Masalah

Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru. 2. Tahap Forecasting (Peramalan)

(49)

3. Tahap Rekomendasi Kebijakan

Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda, menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan, dan menentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.

4. Tahap Monitoring Kebijakan

Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan. Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program, mengidentifikasikan hambatan dan rintangan implementasi, dan menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahap kebijakan.

5. Tahap Evaluasi Kebijakan

Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Dengan demikian, membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan.

2.1.3. Ciri dan Jenis Kebijakan Publik

Menurut Suharno (2010: 22-24) ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan. Ciri-ciri kebijakan publik antara lain:

a) Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan. Kebijakan-kebijakan publik dalam sistem politik modern merupakan suatu tindakan yang direncanakan.

(50)

oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri.

c) Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang tertentu.

d) Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, munkin pula negatif, kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah dimana justru campur tangan pemerintah diperlukan.

James Anderson dalam Suharno (2010: 24-25) menyampaikan kategori kebijakan publik sebagai berikut:

a. Kebijakan substantif versus kebijakan prosedural

Kebijakan substantif yaitu kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan.

b. Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan redistributif.

Kebijakan distributif menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau individu. Kebijakan regulatori merupakan kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok masyarakat. Sedangkan, kebijakan redistributif merupakan kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan atau hak-hak diantara berbagai kelompok dalam masyarakat.

c. Kebijakan materal versus kebijakan simbolik

Kebijakan materal adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya komplet pada kelompok sasaran. Sedangkan, kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran.

d. Kebijakan yang barhubungan dengan barang umum (public goods) dan barang privat (privat goods).

(51)

2.1.4. Proses Kebijakan Publik

Tahapan kebijakan publik menurut Ripley dalam Indiahono (2009: 22) menyatakan dua proses kebijakan publik yang lahir dari siklus pendek dan

Sedangkan siklus panjang kebijakan adalah sebagai berikut: a. Penyusunan agenda pemerintah

h. Evaluasi terhadap implementasi, kinerja, dan dampak kebijakan i. Keputusan tentang masa depan kebijakan (keputusan baru)

Dalam tahapan kebijakan ini, kebijakan dipandang sebagai sebuah siklus yang dimungkinkan akan terjadi evolusi kebijakan. Sebuah kebijakan akan melewati serangkaian prose implementasi, monitoring dan evaluasi. Kebijakan akan lahir kembali dengan perubahan secara inkremental dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi perubahan yang mendasar meskipun amat jarang terjadi. Oleh karenanya tidaklah heran jika teori kebijakan inkrementalism lebih banyak terhadi ketimbang teori kebijakan yang lain seperti rational comprehensive. (Indiahono,2009: 23)

(52)

Fase penyusunan agenda

1) Persepsi masalah publik, yaitu menunjuk bagaimana isu masalah publik dipersepsikan oleh masyarakat, termasuk isu atau masalah pertingkah, seriuskah atau biasa-biasa saja

2) Pendefinisian masalah, yaitu menunjuk adanya pembatasan masalah yang dilakukan oleh publik sendiri. Meskipun di masyarakat banyak terdapat isu yang berbeda dan juga persepsi, namun ranah masalah pada fase ini sudah dapat diidentifikasi

3) Mobilisasi dukungan untuk masuknya isu atau masalah publik menjadi agenda pemerintah, yaitu menunjuk upaya dari masyarakat untuk memasukkan masalah atau isu publik tertentu ke dalam agenda pemerintah.

Setelah masalah publik masuk agenda pemerintah, masalah publik tersebut harus melewati mekanisme politik untuk mendapatkan solusi terbaik. Fase ini sering disebut sebagai tahapan formulasi dan legitimasi, adapun fase-fase yang dapat dilalui dalam mekanisme ini adalah :

1) Tujuan dan program, yaitu masing-masing kelompok kepentingan mulai berlomba untuk menginterpretasikan masalah publik yang dihadapi dan menciptakan tujuan dan desain program yang dapat diterima sebagai solusi dari masalah publik.

2) Informasi dan analisis yaitu untuk dapat mengidentifikasikan masalah publik secara cermat, masing-masing kelompok dalam proses politik ini membutuhkan informasi dan analisis dari para ahli sehingga, kebijakan yang diambil nantinya dapat berkualitas.

3) Pembangunan alternatif-alternatif yaitu tindak lajut dari pengumpulan informasi dan analisis maka mulailah dirancang alternatif-alternatif kebijakan yang diyakini dapat menjadi solusi dari masalah publik.

4) Advokasi dan pembangunan koalisi, yaitu setelah masing-masing kelompok kepentingan mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan yang sejauh mungkin memenuhi kaidah rasionalitas. 5) Kompromi, negosiasi dan keputusan yaitu merupakan fase akhir dari

pengambilan kebijakan.

James Anderson dalam Subarsono (2005: 12) menetapkan proses kebijakan publik sebagai berikut:

1) Formulasi masalah (problem formulation): apa masalanya? Apa yang membuat masalah tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah?

(53)

tersebut? siapa yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan tersebut?

3) Penentuan kebijakan (adoption): bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau kriteria apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi kebijakan yang telah ditetapkan? 4) Implementasi (implementations): siapa yang terlibat dalam

implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?

5) Evaluasi (evaluation): bagaimana tinggkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk melaksanakan perubahan atau pembatalan?

2.2. Konsep Analisis Kebijakan Publik

2.2.1. Teori Analisis Kebijakan Publik

Analisis kebijakan merupakan kajian yang tidak tertutup pada kajian di sektor publik saja, karena sektor privat pun pada banyak hal memanfaatkan metode-metode analisis kebijakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. (Indiahono, 2009: 1)

Analisis kebijakan adalah sebuah aktivitas yang dilakukan untuk mendampingi klien dalam menghadapi masalah tertentu, mengenali masalah, mengembangkan alternatif kebijakan, menilai dan memprediksi kebijakan serta memberikan rekomendasi kebijakan terbaik untuk menghadapi masalah yang dihadapi klien tersebut. (Indiahono,2009: 4) Suatu deskripsi mengenai analisis kebijakan yang disajikan oleh E.S. Quade (dalam Dunn,2012: 95-96) , mantan Kepala Departemen Matematika di perusahaan Rand, menyajikan dasar kebijakan untuk mendefisikan analisis kebijakan. Analisis kebijakan adalah :

(54)

alternatif-alternatif baru. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat direntangkan mulai penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pendangan-pandangan terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang terantisipasi sampai mengevaluasi suatu program yang lengkap. Beberapa analisis kebijakan bersifat informal, meliputi tidak lebih dari proses berpikir yang keras dan cermat, sementara lainnya memerlukan pengumpulan data yang ekstensif dan penghitungan yang teliti dengan menggunakan proses matematis yang canggih.”

2.2.2. Pendekatan Analisis Kebijakan

William Dunn (2012: 98) terdapat tiga pendekatan dalam analisis kebijakan:

1. Pendekatan Empiris: menjelaskan hubungan sebab akibat dari suatu kebijakan

2. Pendekatan Valuatif: menilai manfaat (value) dari suatu kebijakan.

3. Pendekatan Normatif: memberikan rekomendasi untuk perumusan kebijakan mendatang.

2.2.3. Sistem Kebijakan

Analisis kebijakan adalah salah satu diantara sejumlah banyak aktor lainnya didalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional di mana di dalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu : kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkugan kebijakan. Kebijakan publik merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keutusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah diformulasikan didalam bidang-bidang isu sejak pertahanan, energi, dan kesehatan sampai ke pendidikan, kesejahteraan, dan kejahatan. (Dunn,2012: 109)

(55)

Gambar 3.1

Tiga Elemen Sistem Kebijakan

Gambar 1. Hub. Tiga elemen sistem kebijakan publik.

Sumber : William N. Dunn

Definisi dari masalah kebijakan tergantung pada pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholder) yang khusus, yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil di dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Pelaku kebijakan, misalnya kelompok warga negara, perserikatan buruh, partai politik, agen-agen pemerintah, pemimpin terpilih, dan para analis kebijakan sendri sering menangkap secara berbeda informasi yang sama mengenai lingkungan kebijakan. Lingkungan kebijakan yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian di sekeliling isu terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Oleh karena itu, sistem kebijakan berisi proses yang bersifat dialektis, yeng berarti bahwa dimensi obyektif dan subyektif dari pembuatan kebijakan tidak terpisahkan didalam prakteknya. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subyektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Sistem kebijakan adalah realitas obyektif yang dimanifestasikan ke dalam tindakan-tindakan yang teramati berikut konsekuensinya, para pelaku kebijakan merupakan produk dari sistem kebijakan. (Dunn,2012: 111)

Pelaku kebijakan dalam Pendidikan Khusus atau Sekolah Inklusif disini adalah Pemerintah, unsur pendidik dan anak berkebutuhan khusus

Pelaku Kebijakan

(56)

(ABK). Lingkungan dapat berupa lingkungan internal yaitu di dalam sekolah maupun lingkungan eksternal yaitu di luar sekolah, dapat berarti pula masyarakat sekitar sekolah.

Arah kebijakan pembangunan pendidikan tahun 2017, salah satunya adalah memastikan rakyat miskin dan kelompok marjinal lebih mudah mengakses layanan pendidikan dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Dalam rangka mencapai arah kebijakan pembangunan pendidikan yang dimaksud, salah satu alternatif kebijakan yang dipilih adalah dengan adannya Pendidikan Khusus atau sekolah inklusif. (Sumber: kemendikbud,2016)

2.2.4. Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru.

William Dunn (2012: 117-124) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu:

1) Analisis kebijakan prospektif

(57)

2) Analisis kebijakan retrospektif

Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan, mencakup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok analis: 1. Analisis yang berorientasi pada disiplin (Discipline- oriented analysts)

(Kajian murni berdasarkan disiplin ilmu)

Mengembangkan dan menguji teori yang didasarkan pada teori dan menerangkansebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan. 2. Analisis yang berorientasi pada masalah (Problem-oriented analysts) (Kajian sebab dan konsekuensi kebijakan terhadap masalah kebijakan)

Menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi dari kebijakan, dan kurang menaruh perhatian pada pengembangan dan pengujian teori-teori yang dianggap penting didalam disiplin ilmu sosial, menaruh perhatian pada identifikasi variabel-variabel yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah.

3. Analisis yang berorientasi pada aplikasi (application-oriented analysts) (Kajian implementasi kebijakan sampai pada sejauh mana outcome danmanfaat kebijakan, concern terhadap pencapaian tujuan dan objektif daripolicy makers dan stakeholders)

Menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan-kebijakan dan program publik, tidak menaruh perhatian terhadap pengembangan dan pengujian teori-teori dasar.

Analisis retrospektif memberikan penekanan utamanya pada hasil-hasil aksi dan tidak berisi informasi mengenai tujuan-tujuan dan sasaran kebijakan, seperti yang terdapat pada analisis prospektif. Analisis retrospektif merupakan yang paling penting didalam pengaruhnya terhadap prioritas dan pemahaman intelektual, dan tidak begitu efektif dalam menawarkan solusi terhadap masalah-masalah politik yang spesifik.

3) Analisis kebijakan yang terintegrasi

(58)

2.2.5. Metodologi dan Prosedur Analisis Kebijakan

Metodologi analisis kebijakan adalah prosedur umum untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan kebijakan dalam berbagai konteks. Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. (Dunn, 2012: 22)

Gambar 3.2

Proses Analisis Kebijakan

Sumber : Wiliiam N Dunn

(59)

analisis kebijakan. Seluruh proses diatur melalui perumusan masalah yang diletakkan pada pusat kerangka kerja.

2.3. Konsep Implementasi Kebijakan Publik

2.3.1. Teori Implementasi Kebijakan

Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2008:146-147) mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai berikut:

“Tindakan-tindakan dalam keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan tersebut mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul Sabatier dalam Wahab (2008:65) mengatakan bahwa:

“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.

(60)

tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak baik dampak yang diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan.

Hasil akhir implementasi kebijakan paling tidak terwujud dalam beberapa indikator yakni hasil atau output yang biasanya terwujud dalam bentuk konkret semisal dokumen, jalan, orang, lembaga, keluaran atau outcome yang biasanya berwujud rumusan target semisal tercapainya pengertian masyarakat atau lembaga,manfaat yang wujudnya beragam, dan dampak baik yang diinginkan maupun yang tak diinginkan serta kelompok targetbaik individu maupun kelompok.

2.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik

Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak faktor dan masing-masing faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain. Untuk memperkaya pemahaman mengenai berbagai faktor yang terlibat di dalam implementasi, maka beberapa teori implementasi menurut para ahli yaitu :

Edward III dalam Subarsono (2011: 90-92) berpandangan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:

a) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.

(61)

c) Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.

d) Struktur Birokrasi, bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.

Teori Grindle dalam Wibawa (1994: 22-23) ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut:

a. Jenis manfaat yang akan dihasilkan. b. Derajat perubahan yang diinginkan. c. Kedudukan pembuat kebijakan. d. (Siapa) pelaksana program. e. Sumber daya yang dihasilkan.

Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono (2011: 94) ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni karakteristik dari masalah (tractability of the problems), karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation) dan variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).

Menurut Meter dan Horn dalam Subarsono (2011: 99) ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni standar dan sasaran kebijakan, sumberdaya, komunikasi antarorganisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana dan kondisi sosial, ekonomi dan politik.

2.3.3. Model-model Implementasi Kebijakan Publik

(62)

Gambar 3.3

Model Implementasi Grindle

Sumber : Grindle

(63)

Selain model implementasi kebijakan di atas Van Meter dan Van Horn mengembangkan Model Proses Implementasi Kebijakan. (Tarigan, 2000: 20). Keduanya meneguhkan pendirian bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur implementasi. Keduanya mengembangkan tipologi kebijakan menurut: (i) jumlah perubahan yang akan dihasilkan, dan (ii) jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan mengenai tujuan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam proses implementasi.

Gambar 3.4

Model Kesesuaian Implementasi Kebijakan PROGRAM

Output Tugas

Kebutuhan Kompetensi

PEMANFAAT ORGANISASI Tuntutan Putusan

(64)

pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang disyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran program.

Namun, menurut Imronah (2017: 1098) pola yang dikembangkan Korten, dapat dipahami sebagai berikut:

“Jika tidak terdapat kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan, kinerja program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika output program tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran jelas outputnya tidak dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh program maka organisasinya tidak dapat menyampaikan output program dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh karena itu, kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan mutlak diperlukan agar program berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.”

Gambar

Tabel 1.1
Gambar 1. Hub. Tiga elemen sistem kebijakan publik.
Gambar 3.2 Proses Analisis Kebijakan
      Model Implementasi GrindleGambar 3.3
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Hak semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus temporer dan permanen untuk memperoleh penyesuaian pendidikan agar dapat mengikuti sekolah.. • Hak semua anak

Supardjo, Pengelolaan Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Dasar Penyelenggara Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar Negeri III Giriwono Wonogiri.

mempersiapkan guru pendamping khusus, yang bisa didatangkan dari sekolah untuk anak berkebutuhan khusus (sLB) sebagai sekolah basis, ataupun guru di sekolah umum

Wawancara dengan Kepala Bidang Pemerintahan Desa pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Kabupaten Sintang berkaitan dengan sarana dan prasarana menyatakan bahwa:

Adapun bentuk-bentuk pendidikan ramah anak yang telah dilaksanakan di sekolah meliputi; ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh siswa seperti dalam kaitannya

Adapun bentuk-bentuk pendidikan ramah anak yang telah dilaksanakan di sekolah meliputi; ketersediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh siswa seperti dalam kaitannya

Berdasarkan pengamatan peneliti di tiga satuan PAUD di.. Kecamatan Tembalang dapat diketahui bahwa belum seluruh PAUD mempunyai sarana dan prasarana yang baik,

Untuk laporan hasil belajar yang dipakai dalam pendidikan inklusif yang menggunakan kurikulum modifikasi, maka raport yang digunakan dikedua sekolah tersebut sebagai