DI SEKOLAH X KOTA JAMBI
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagaian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Master Pendidikan
Program Studi Pendidikan Khusus
Oleh:
JOHANDRI TAUFAN 1101133
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di
Sekolah X Kota Jambi
Oleh Johandri Taufan S.Pd UNP Padang, 2011
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Sekolah Pascasarjana Pendidikan Kebutuhan Khusus
© Johandri Taufan 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Tesis ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,
Johandri Taufan
NIM. 1101133
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN KEPALA SEKOLAH DALAM
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF
DI SEKOLAH X KOTA JAMBI
Diketahui
Ketua Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus
Sekolah Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia
Dr. Djadja Rahardja, M.Ed.
ABSTRAK
JOHANDRI TAUFAN, 2013 “Kebijakan-Kebijakan Kepala Sekolah Dalam
ABSTRACK
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan ... i
Halaman Pernyataan... ii
Kata Pengantar ... iii
Ucapan Terimakasih... iv
Abstrak ... vi
Daftar Tabel ... x
Daftar Gambar ... xi
Daftar Lampiran ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11
A.Hakekat Kebijakan ... 11
1. Pengertian Kebijakan ... 11
2. Tahapan Kebijakan ... 12
3. Kebijakan Sekolah ... 14
4. Kebijakan yang Berhubungan dengan Pendidikan Inklusif ... 14
B.Kepala Sekolah ... 17
1. Pengertian Kepala Sekolah ... 17
2. Tugas Kepala Sekolah ... 17
3. Peran Kepala Sekolah ... 19
4. Kepemimpinan dan Kebijakan Sekolah ... 24
C.Hakekat Pendidikan Inklusif ... 25
1. Konsep Dasar Pendidikan Inklusif ... 26
3. Karakteristik Pendidikan Inklusif ... 30
4. Tujuan Pendidikan Inklusif ... 34
5. Manfaat Pendidikan Inklusif ... 35
6. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ... 38
7. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ... 41
8. Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif ... 42
9. Indikator-indikator Keberhasilan Pendidikan Inklusif ... 43
10.Menciptakan Sekolah dan Kelas yang lebih Inklusif ... 44
11. Dukungan Kepala Sekolah ... 46
BAB III METODE PENELITIAN ... 47
A.Pendekatan Penelitian ... 47
B. Informan dan Lokasi Penelitian ... 48
C.Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrument ... 49
D.Desain Penelitian ... 55
E. Definisi Konsep ... 57
F. Teknik Keabsahan Data ... 60
G.Teknik Analisis Data ... 61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 63
A. Hasil Penelitian ... 63
B.Pembahasan ... 107
BAB V PENUTUP ... 133
A.Kesimpulan ... 133
B. Rekomendasi ... 138
DAFTAR PUSTAKA ... 142
RIWAYAT HIDUP ... 145
DAFTAR TABEL
Tabel
4.1. Wawancara dan Observasi Kebijakan kepala sekolah dalam
penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus ... 64 4.2. Wawancara dan Observasi. Kebijakan kepala sekolah dalam
perekrutan tenaga pendidik dan kependidikan ... 67 4.3. Wawancara dan Observasi. Kebijakan kepala sekolah terhadap
penyesuaian kurikulum peserta didik berkebutuhan khusus ... 70 4.4. Wawancara dan Observasi guru terkait Kebijakan kepala sekolah
Terhadap penyesuaian kurikulum peserta didik berkebutuhan khusus .... 71 4.5. Wawancara dan Observasi kepala sekolah. Kebijakan kepala sekolah
terhadap kegiatan pembelajaran pada seting pendidikan inklusif ... 74 4.6. Wawancara dan Observasi guru terkait Kebijakan kepala sekolah
Terhadap kegiatan pembelajaran pada seting pendidikan inklusif ... 75 4.7. Wawancara dan Observasi. Kebijakan kepala sekolah dalam pendanaan
pendidikan inklusif ... 76 4.8. Wawancara dan observasi Kepala sekolah, guru dan orang tua.
Kebijakan kepala sekolah dalam pengadaan sarana dan prasarana
DAFTAR GAMBAR
Gambar
3.1. Desain Kebijakan ... 56 3.2. Langkah-langkah Analisis Data Kualitiatif
(Miles dan Huberman, 1984) ... 62 4.1. Rancangan Desain Kebijakan Kepala Sekolah berdasrakan kasijan penelti dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ... 124 4.2 Rancangan Desain Kebijakan Kepala Sekolah berdasarkan kaijan peneliti dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusif Hasil Expert Judgment oleh Pakar Kebijakan dan
Pendidikan Inklusif ... 132
DAFTAR LAMPIRAN
Pedoman Wawancara ... 146
Kebijakan Kepala sekolah dalam penerimaan Peserta didik berkebutuhan khusus ... 146
Kebijakan Kepala Sekolah dalam Perekrutan Tenaga Pendidik dan Kependidikan... 148
Kebijakan kepala sekolah terhadap penyesuaian kurikulum peserta didik berkebutuhan khusus ... 150
Kebijakan kepala sekolah terhadap kegiatan pembelajaran pada seting pendidikan inklusif ... …… 153
Kebijakan kepala sekolah terhadap pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif ... 156
Kebijakan Kepala Sekolah dalam Pengadaan Sarana dan Prasarana Pendidikan Inklusif ... 158
Pemahaman masyarakat sekolah tentang pendidikan inklusif ... 160
Dukungan dari semua masyarakat sekolah terkait pengambilan kebijakan ... 163
Partisipasi dari semua masyarakat sekolah terhadap kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif ... 165
Pedoman Observasi ... 166
Pedoman Dokumentasi ... 169
Catatan Lapangan ... 171
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Semua orang
berhak untuk mendapatkan pendidikan, karena dalam Undang-Undang Dasar
tahun 1945 yang sudah di amandemen memberikan jaminan seperti yang
tercantum pada pasal 31, ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga Negara
berhak mendapatkan pendidikan, ayat (2) setiap warga Negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Yang
dimaksud dengan pemerintah dalam undang-undang ini adalah Pemerintah
Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota. Termasuk untuk anak yang berkebutuhan
khusus dan yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Hal ini
sejalan dengan seruan Internasional Education for All (EFA) yang
dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global yaitu World
Education Forum di Dakar, Sinegal tahun 2000 bahwa penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015 dan Indonesia termasuk dalam
kesepakatan itu.
Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan hendaknya memberikan
jaminan bahwa setiap anak akan mendapat pelayanan untuk mengembangkan
potensinya secara individual. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Dasar
1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa setiap warganegara
mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Hal ini
menunjukkan bahwa anak yang berkebutuhan khusus berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama seperti anak lainnya (anak normal) dalam
mengakses pendidikan.
Pendidikan inklusif sebagai sebuah pendekatan untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan dan belajar dari semua anak, remaja dan orang dewasa
terpinggirkan dan terabaikan. Prinsip pendidikan inklusif diadopsi dari.
Konfrensi Salamanca tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus (UNESCO,
1994) dan di ulang kembali pada Forum Pendidikan Dunia di Dakar tahun
2000. Pendidikan inklusif mempunyai arti bahwa: sekolah harus
mengakomodasi semua anak tanpa memperdulikan keadaan fisik, intelektual,
social, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termasuk anak-anak
penyandang cacat, anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak dan
anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan
bahasa minoritas dan serta anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan
dari kelompok masyarakat (Salamanca Statement, 1994).
Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yang melihat
bagaimana mengubah sistem pendidikan agar dapat merespon dan menerima
keberagaman peserta didik, dengan tujuan guru dan siswa merasa nyaman
dalam keberagaman, dan melihat keberagaman sebagai suatu tantangan dan
pengayaan dalam lingkungan belajar, karena keberagaman bukanlah suatu
masalah yang harus ditakuti. Skjørten (2003; 50) menyatakan bahwa legislasi
dan peraturan saja tidak cukup untuk dapat melaksanakan inklusif. Proses
menuju inklusif ini panjang dan, antara lain, membutuhkan: 1) perubahan hati
dan sikap, 2) reorientasi yang berkaitan dengan asesmen, metode pengajaran
dasn manajemen kelas, termasuk penyesuaian lingkungan, 3) redefinisi peran
guru dan realokasi sumber daya manusia, 4) redefinisi peran SLB yang ada,
misalnya, dapatkah sekolah-sekolah ini secara bertahap mulai berfungsi
sebagai pusat sumber yang ekstensif?, 5) penyediaan bantuan professional
bagi para guru dalam bentuk: (a) reorientasi pendidikan guru sehingga
guru-guru baru dapat memberikan kontribusi kepada proses menuju inklusif dan
bersikap fleksibel jika diperlukan, (b) reorientasi pelatihan dalam jabatan dan
penataran guru, kepala sekolah dan guru kelas sehingga mereka juga akan
dapat memberikan kontribusi terhadap proses menuju inklusi dan bersikap
fleksibel jika diperlukan, dan (c) layanan guru kunjung menurut kebutuhan,
6) pembentukan, peningkatan dan pengembangan kemitraan antara guru dan
pertukaran pengalaman, bantuan dan nasehat. Menurut Stubbs (2002; 10), ada
tiga faktor utama penentu keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif,
yaitu: 1) kerangka kerja yang kuat, meliputi nilai-nilai, keyakinan,
prinsip-prinsip utama, indikator keberhasilan; 2) implementasi dalam budaya dan
konteks lokal; dan 3) monitoring partispatori berkesinambungan.
Dalam memulai menyelenggarakan pendidikan inklusif di sekolah,
perlu adanya sikap penerimaan dari hati, karena tanpa adanya sikap
menerima tersebut, maka pelaksanaan pendidikan inklusif tidak bisa
berjalan sebagaimana mestinya. Di sini kepala sekolahlah yang sangat
berperan dalam pengambilan keputusan untuk menyelenggarakan
pendidikan inklusif disekolahnya. Kebijakan-kebijakan yang diambil
merupakan hasil dari keputusan dan ketetapan yang di diskusikan secara
bersama-sama. Majunya sebuah organisasi dan lembaga itu semua
tergantung dari kemampuan manajemen pemimpinnya, termasuk juga
sekolah. Kepala sekolah adalah penanggung jawab pelaksanaan pendidikan
di sekolah termasuk didalamnya adalah penanggung jawab pelaksanaan
administrasi sekolah.
Bagi sekolah, kepemimpinan kepala sekolah mempunyai peranan
penting dalam mewujudkan sekolah inklusif, terutama bagaimana
mengembangkan budaya organisasi yang inklusif, mendorong kinerja guru
lebih tinggi, memotivasi guru, melakukan kerjasama dengan berbagai pihak
(orang tua, para ahli, dan stakeholder lainnya). Kepala sekolah memiliki
kewenangan dalam menerjemahkan kebijakan dari pimpinan lebih tinggi
sesuai dengan visi, misi dan sasaran sekolah yang mengacu kepada sumber
daya di dalam dan luar sekolah. Kepala sekolah dengan otonomi yang lebih
luas memiliki kewenangan utnuk membuat kebijakan pengembangan
sekolah. Karena itu, kebijakan pengembangan sekolah perlu dipahami agar
formulasi kebijakan dapat diarahkan untuk mencapai kualitas unggul dalam
Keberadaan sekolah sebagai lembaga formal penyelenggaraan
pendidikan memainkan peran strategis dalam keberhasilan sistem
pendidikan nasional. Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin adalah
bertanggung jawab dalam menerjemahkan dan melaksanakan kebijakan
pendidikan nasional yang ditetapkan pemerintah (Syafaruddin, 2008).
Berawal dari UUD 1945, Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
presiden, instruksi presiden, keputusan menteri, sampai kepada peraturan
daerah provinsi, peraturan daerah kabupaten dan kota, kemudian
diterjemahkan dan dilaksanakan oleh kepala sekolah untuk menyentuh
langsung keperluan stakholders pendidikan, khususnya anak didik. Jadi,
setiap kebijakan harus selalu berhubungan dengan kesejahteraan dan
pencerdasan masyarakat.
Sebagai pemimpin, keberadaan kepala sekolah menduduki peran yang
amat penting dalam melaksanakan kebijakan pimpinan puncak (top leader)
untuk mengelola seluruh sumber daya yang dapat mendukung pencapaian
keunggulan sekolah. Mengacu kepada hasil penelitian terhadap sekolah di
British, menurut Duke dan Candy (Syafaruddin ; 2008) ada beberapa fokus
kebijakan sekolah, yaitu: (1) melibatkan staf dalam pengambilan keputusan,
(2) kurikulum, (3) imbalan dan hukuman, (4) keterlibatan orang tua, (5)
peluang bagi pelajar, (6) iklim sekolah.
Perlu dicermati oleh kepala sekolah dalam membuat kebijakan baru
adalah menciptakan keadaan baru. Suatu kebijakan baru merupakan
penciptaan keadaan baru dari rutinitas yang memungkinkan mendapat
penolakan dari personel sekolah. Karena itu, perlu melibatkan personel
sekolah dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan baru sekolah
supaya ada proses pembelajaran, dan komitmen dalam keberhasilan
kebijakan meningkatkan mutu sekolah.
Kebijakan merupakan salah satu dari dimensi dalam indeks inklusi.
Indeks untuk Inklusi adalah satu set bahan untuk memandu sekolah melalui
masyarakat yang mendukung dan mendorong prestasi tinggi untuk semua
staf dan mahasiswa. Indeks Inklusi meliputi tiga dimensi perkembangan
sekolah yang saling terkait yaitu menciptakan budaya inklusif, membuat
kebijakan-kebijakan inklusif, dan mengembangkaan praktik-praktik inklusif.
Dimensi-dimensi tersebut mengarahkan cara berpikir kearah perubahan
sekolah yang lebih inklusif, oleh karena itu semua rencana perubahan
sekolah harus memperhatikan ketiga dimensi tersebut, sehingga dengan
adanya budaya inklusif dalam sekolah, perubahan kebijakan dan praktik
diharapkan akan dapat dijaga terus oleh semua komunitas yang ada
disekolah. Indeks inklusi menawarkan sebuah proses review diri dan
perkembangan yang bersifat mendukung atau suportif pada sekolah
inklusif, proses tersebut mengacu pada pandangan kepala sekolah, guru,
karyawan, siswa, orang tua, serta anggota komunitas lingkungan sekitar
yang lain. Pada sekolah Inklusif memerlukan dilakaukannya pengamatan
yang detail untuk mengetahui bagaimana hal-hal yang menghambat
partisipasi dan proses pembelajaran siswa dapat dikurangi.
Pada dimensi kebijakan, kebijakan-kebijakan inklusif yang
memastikan bahwa inklusi dilakukan di semua rencana sekolah,
kebijakan-kebijakan yang dibuat mendorong adanya partisipasi siswa dan staf sejak
pertama kali mereka menjadi bagian dari sekolah, menjangkau semua siswa
di lingkungan sekolah, serta meminalisir adanya tekanan ekslusioner, semua
kebijakan menggunakan strategi perubahan yang jelas, yang dimaksud
dengan dukungan di sini adalah semua kegiatan yang meningkatkan
kapasitas sekolah untuk menanggapi perbedaan siswa. Semua bentuk
dukungan dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip inklusif dan
disatukan dalam sebuah kerangka tunggal.
Tahun 2004 pendidikan inklusif di Provinsi Jambi baru mulai dirintis
dengan ditunjuknya tiga Sekolah Dasar Negeri, yaitu satu di Kota Jambi,
satu di Kabupaten Muara Jambi dan satu lagi di Kabupaten Bungo. Di tiga
kesulitan yang perlu mendapatkan perhatian dan bantuan dari berbagai
pihak. Adapun dalam proses penyelenggaraan pendidikan inklusif tidaklah
mudah. Hambatan-hambatan yang sering terjadi pada sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif ini adalah kurangnya dukungan dari
berbagai pihak setempat. Namun seiring dengan meningkatnya kesadaran
(rasa penerimaan, keterbukaan, keingintahuan) khususnya dari kepala
sekolah dan sebagian guru reguler kini sekolah inklusif makin berkembang.
Pendidikan inklusi di Jambi bukan hanya berlangsung di beberapa
Sekolah Dasar tetapi juga di beberapa SMP dan SMA/SMK. Daftar siswa
inklusi Propinsi Jambi hingga Maret 2012 terdapat 72 orang siswa inklusi
yang terdiri dari siswa SD, SMP dan SMA/SMK (Sumber dari Ketua
Forum Komunikasi Inklusi Propinsi Jambi, Maret 2012)
Fenomena yang peneliti temukan dilapangan, tepatnya di salah satu
Sekolah X di Kota Jambi ini adalah, peneliti menemukan bahwasanya
Sekolah X telah menyelenggarakan pendidikan inklusif sejak tahun 2004
lalu dan merupakan sekolah pertama yang menyelenggarakan pendidikan
inklusif di sekolahnya. Di tengah minimnya dukungan dari pemerintah
daerah setempat terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif, menjadikan
Sekolah X Kota Jambi tidak patah semangat untuk tetap konsisten dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusif, bahkan Sekolah X Kota Jambi lebih
berusaha sendiri untuk mensukseskan penyelenggaraan pendidikan inklusif
ini. Penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X ini berjalan dengan
baik, diantaranya terlihat adanya sikap penerimaan dari semua masyarakat
sekolah terhadap peserta didik berkebutuhan khusus,
penerimaan-penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah tersebut pun
sangat terbuka, di adakannya sarana dan prasarana yang mendukung peserta
didik berkebutuhan khusus untuk menggunakannya, dan penyesuaian
kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan khusus yang di buat fleksibel.
Saat ini pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi bukanlah
itu pendidikan inklusif. Berbagai macam dukungan dari masyarakat sekolat
terkait kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif ini, karena semua
masyarakat sekolah sangat bersemangat dalam penyelenggaraannya.
Semangat dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif ini terlihat dengan
adanya partisipasi yang mendukung terlaksananya penyelenggaraa
pendidikan inklusif ini. Suksesnya penyelenggaraan pendidikan inklusif di
Sekolah X kota Jambi tersebut tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh kepala sekolah.
Adapun proses menuju sekolah penyelenggara pendidikan inklusif ini
tidaklah mudah. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan perjuangan dan tingkat
kesabaran yang cukup tinggi, karena tidak serta merta guru, komite dan
siswa maupun orang tua menerima keputusan tersebut. Terlebih Sekolah
Dasar X Kota Jambi selama dari tahun 2004 telah melakukan tiga kali
pergantian kepala sekolah, sehingga dalam proses pengambilan
kebijakannya tidaklah mudah. Beberapa faktor mempengaruhi dalam
pengambilan kebijakan-kebijakan terkait pelaksanaan pendidikan inklusif
ini, ada yang mendukung dan adapula yang menolak kebijakan tersebut.
Kepala sekolah sebagai pemimpin harus mampu memberikan penjelasan
yang jelas terkait kebijakan-kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif
di sekolahnya.
Terkait kebijakan-kebijakan yang di buat kepala sekolah dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif inilah yang mendasari peneliti tertarik
atas fenomena tersebut, dan ingin mengkaji kebijakan-kebijakan kepala
sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, karena tidak banyak
kepala sekolah yang berkeinginan untuk menyelenggarakan pendidikan
inklusif di sekolah nya. Di Provinsi Jambi sendiri belum ada yang mengatur
terkait kebijakan-kebijakan penyelenggaraan sekolah inklusif, baik itu
Peraturan Daerah atau pun Peraturan Gubernurnya, sehingga sosialisasi
Berangkat dari fenomena tersebut di atas, maka peneliti ingin
meneliti lebih dalam secara sistematis mengenai “Kebijakan –kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi”, sehingga kebijakan-kebijakan kepala sekolah ini mampu
mendorong partisipasi dari sekolah-sekolah lainnya agar bisa
menyelenggarakan sekolah inklusif secara bersama-sama, dan mendapatkan
dukungan dari pemerintah lebih baik lagi, khususnya di Kota Jambi.
Adapun kebijakan-kebijakan yang maksud merupakan usaha-usaha yang
dilakukan kepala sekolah untuk mengembangkan pendidikan inklusif agar
dalam proses penyelenggaraannya dapat berjalan.
B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian
Adapun fokus dari penelitian ini adalah Bagaimana “Kebijakan – kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di
Sekolah X Kota Jambi?”
Berdasarkan fokus masalah tersebut, selanjutnya diuraikan dalam
pertanyaan sebagai berikut.
1. Bagaimana kondisi faktual kebijakan kepala sekolah dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi?
2. Apa peran kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan
penyelenggaaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi?
3. Apa yang menjadi pendukung dan penghambat kepala sekolah dalam
pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah
X Kota Jambi?
4. Bagaimana rancangan desain kebijakan kepala sekolah berdasarkan hasil
kajian peneliti dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X
C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang
kebijakan-kebijakan yang diambil kepala sekolah dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menemukan
dan mengkaji:
1. Kondisi faktual kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi
2. Peran kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi
3. Pendukung dan penghambat kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi
4. Rancangan desain kebijakan kepala sekolah berdasarkan hasil kajian
peneliti dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota
Jambi
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini di harapkan dapat berguna baik itu untuk
keperluan peneliti sendiri, orang tua, guru, kepala sekolah, sekolah, dan Dinas
Pendidikan.
a. Bagi peneliti, selain peneliti bisa mengetahui kebijakan-kebijakan yang di
laksanakan kepala sekolah untuk mengembangkan pendidikan inklusif,
peneliti juga dapat mengetahui sejauh mana pendidikan inklusif ini
berjalan pada sekolah tersebut serta dapat membantu kepala sekolah
dalam merancang sebuah desain kebijakan yang nantinya kebijakan yang
dikeluarkan lebih terarah.
b. Bagi orang tua, penelitian ini bermanfaat agar orang tua dapat mengetahui
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif ini, serta dapat mendukung
kebijakan tersebut.
c. Bagi guru, penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui dan memahami
serta menjalankan kebijakan-kebijakan yang telah di tetapkan kepala
sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah X.
d. Bagi kepala sekolah, manfaat dari penelitian ini agar kepala sekolah lebih
mengetahui peran kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif, dan agar kebijakan-kebijakan yang
di buat dapat diterima oleh semua pihak.
e. Bagi Dinas Pendidikan, diharapkan manfaat dari penelitian ini Dinas
Pendidikan lebih memperhatikan sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif, dan bisa mensosialisaikan sekolah inklusif ini ke semua sekolah
Johandri Taufan, 2013
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Menurut Mely G. Tan (Silalahi, 2009: 28)
mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu,
atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi
adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat.
Selanjutnya Nazir (2003: 63) mengemukakan pendapatnya berkaitan dengan
metode kualitatif yang bersfiat deskriptif sebagai berikut:
Metode deskriptif adalah suatu metode dengan meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran maupun sistem peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
A. Pendekatan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian,
fokus penelitian dan tujuan penelitian maka pendekatan penelitian yang
digunakan adalah pendekatan kualitatif. Dimana penelitian kualitatif menurut
Sugiyono (2008: 13) adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti
pada kondisi objek alamiah. Penelitian kualitatif harus mendasarkan pada
asumsi bahwa realitas merupakan dinamika. Tugas peneliti menjaring data
secara luas, mendalam, sehingga dapat ditarik menjadi suatu kesimpulan yang
absah. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Moleong (2004), bahwa:
“Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya, prilaku,
persepsi, motivasi, tindakan secara holistik, dengan cara deskripsi dalam
Johandri Taufan, 2013
Kebijakan-Kebijakan Kepala Sekolah Dalam Menyelenggarakan Pendidikan Inklusif Di Sekolah X Kota Jambi
Lebih lanjut Bogdan dan Biklen (Moleong, 2004) mengemukakan lima
karakteristik utama dari penelitian kualitatif, sebagai berikut:
1. Peneliti sendiri sebagai instrumen utama untuk mendatangi secara
langsung sumber data.
2. Menyimpulkan data yang dikumpul dalam penelitian ini lebih cenderung
dalam bentuk kata-kata dari pada angka.
3. Menjelaskan bahwa hasil penelitian lebih menekankan kepada proses,
tidak semata-mata kepada hasil.
4. Melalui analisis induktif peneliti mengungkapkan makna dari keadaan
yang diamati.
5. Mengungkapkan makna sebagai hasil yang esensial dari pendekatan
kualitatif.
Richie (Moleong, 2004) juga mengemukakan bahwa penelitian
Kualitatif adalah “ Upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang
manusia yang diteliti”. Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji fenomena-fenomena mengenai Kebijakan-kebijakan Kepala Sekolah dalam
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi.
B. Informan dan Lokasi Penelitian
Informan dalam penelitian ini adalah Kepala Sekolah, guru, pengawas
Provinsi, pengawas Kota, Koordinator pendidikan Inklusif Provinsi, orang
tua, pendamping siswa, dan siswa yang berada di sekolah penyelenggara
pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi.
Lokasi dalam penelitian ini adalah Sekolah yang menyelenggarakan
pendidikan Inklusif. Adapun Sekolah yang di pakai dalam penelitian ini
adalah Sekolah X Kota Jambi. Sekolah Dasar ini ditunjuk langsung oleh
pemerintah Provinsi sebagai sekolah yang pertama dalam menyelenggarakan
pendidikan Inklusif pada tahun 2004. Adapun penetapan pemilihan lokasi
Johandri Taufan, 2013
1. Sekolah X Kota Jambi merupakan sekolah pertama kali yang ditunjuk
sebagai sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif.
2. Jumlah siswa berkebutuhan khusus di Sekolah X Kota Jambi adalah yang
paling terbanyak.
3. Sekolah X Kota Jambi merupakan sekolah yang setiap tahunnya menerima
siswa berkebutuhan khusus.
4. Merupakan rujukan dari pengawas sekolah dan koordinator pendidikan
inklusif.
C. Teknik Pengumpulan Data dan Pengembangan Instrument
1. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan data yang diambil oleh peneliti mengenai
Kebijakan-kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di
Sekolah X Kota Jambi, maka peneliti akan terjun langsung kelapangan
untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, dengan menggunakan alat
pengumpulan data dan berupa pedoman observasi, wawacara dan studi
dokumentasi dengan menggunakan teknik pengumpulan data sebagai
berikut:
a. Observasi
Menurut Nasution (2009: 107) observasi sebagai alat
pengumpul data harus sistematis artinya observasi serta pencatatannya
dilakukan menurut prosedur dan aturan-aturan tertentu sehingga dapat
diulangi kembali oleh peneliti lain. Observasi sistematis di gunakan
selama penelitian berlangusung untuk mencermati fenomena-fenoma
di lapangan sejak tahap studi orientasi, implementasi, sampai evaluasi.
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini untuk melihat
Kebijakan-kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif di sekolah X kota Jambi.
Johandri Taufan, 2013
Kebijakan-Kebijakan Kepala Sekolah Dalam Menyelenggarakan Pendidikan Inklusif Di Sekolah X Kota Jambi
Wawancara digunakan dalam rangka memperoleh data
informasi verbal secara langsung dari sumber data. Wawancara yang
digunakan untuk mewawancarai para key informant yang dianggap
sebagai tokoh kunci dalam penelitian yaitu, kepala sekolah, pengawas
provinsi dan kota, koordinator inklusif di Kota Jambi, guru, orang tua,
dan siswa. Adapun wawancara yang digunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara terstruktur. Peneliti menggunakan pedoman
wawancara agar tidak keluar dari fokus penelitian yang telah
ditentukan.
c. Dokumentasi
Selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa
diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan
harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan
sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk
menggali infromasi yang terjadi di masa silam.Peneliti perlu memiliki
kepekaan teoretik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga
tidak sekadar barang yang tidak bermakna.
2. Pengembangan Instrument
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan manusia sebagai
instrument utama yaitu peneliti sendiri, karena instrument manusia dalam
penelitian kualitatif dipandang lebih cermat dan teliti. Sebagai instrument
dalam menjaring data, peneliti juga menggunakan instrument
pengumpulan data berupa pedoman wawancara, pedoman observasi, dan
KISI-KISI INSTRUMEN PENELITIAN
Kebijakan-Kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi
PERTANYAAN
PENELITIAN ASPEK INDIKATOR
TEKNIK
1. Penerimaan peserta didik
2. Perekrutan tenaga pendidik
dan kependidikan
3. Kurikulum
4. Proses Kegiatan Belajar
5. Pendanaan
6. Sarana Prasarana
1.Bagaimana kebijakan kepala sekolah
dalam penerimaan peserta didik
berkebutuhan khusus?
2.Bagaimana kebijakan kepala sekolah
dalam perekrutan tenaga pendidik dan
kependidikan?
3.Bagaimana kebijakan kepala sekolah
dalam penyesuaian kurikulum untuk
peserta didik berkebutuhan khusus?
4.Bagaiamana kebijakan kepala sekolah
dalam kegiatan belajar pada seting
pendidikan inklusif?
5.Bagaimana kebijakan kepala sekolah
dalam pendanaan penyelenggaraan
Johandri Taufan, 2013
Kebijakan-Kebijakan Kepala Sekolah Dalam Menyelenggarakan Pendidikan Inklusif Di Sekolah X Kota Jambi 6.Bagaimana kebijakan kepala sekolah
1 2 3 4 5 6
dalam pengadaaan sarana dan
prasarana pendidikan inklusif?
1. Kepala sekolah sebagai
educator
2. Kepala sekolah sebagai
manajer
3. Kepala sekolah sebagai
administrator
4. Kepala sekolah sebagai
supervisor
5. Kepala sekolah sebagai
leader
6. Kepala sekolah sebagai
innovator
7. Kepala sekolah sebagai
motivator
1. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai
educator dalam pengambilan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif?
2. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai
manejer dalam pengambilan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif?
3. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai
administrator dalam pengambilan
kebijakan penyelenggaraan pendidikan
inklusif?
4. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai
supervisior dalam pengambilan
kebijakan penyelenggaraan pendidikan
inklusif?
5. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai
leader dalam pengambilan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif?
wawancara Pedoman
wawancara
6. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai
1 2 3 4 5 6
innovator dalam pengambilan
kebijakan penyelenggaraan pendidikan
inklusif?
7. Apa kebijakan kepala sekolah sebagai
motivator dalam pengambilan
kebijakan penyelenggaraan pendidikan
1.Pemahaman kepala sekolah terhadap
pendidikan inklusif.
2.Dukungan dari semua masyarakat
sekolah terkait pengambilan kebijakan.
3.Partisipasi dari semua masyarakat
sekolah terhadap kebijakan
Johandri Taufan, 2013
Kebijakan-Kebijakan Kepala Sekolah Dalam Menyelenggarakan Pendidikan Inklusif Di Sekolah X Kota Jambi
2 3 4 5 6
Rancangan desain
kebijakan kepala
sekolah berdasarkan
hasil kajian peneliti
dalam
penyelenggaraan
pendidikan inklusif di
Sekolah X Kota Jambi
Proses Pengambilan Kebijakan 1.Formulasi kebijakan kepala sekolah
dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif.
2.Implementasi kebijakan kepala sekolah
dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif.
3.Evaluasi kebijakan kepala sekolah
dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif.
Observasi
Wawancara
1. Pedoman
observasi
2. Pedoman
wawancara
D. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan rencana tentang cara mengumpulkan dan
menganalisis data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi
dengan tujuan penelitian itu (Nasution, 2009: 23). Untuk menerapkan metode
ilmiah dalam praktek penelitian, maka diperlukan suatu desain penelitian
yang sesuai dengan kondisi, seimbang dengan dalam dangkalnya penelitian
yang akan dikerjakan.
Di mulai dengan studi pendahuluan yang peneliti lakukan pada tanggal
30 Juni 2012 dan studi kepustakaan, peneliti mendapatkan beberapa masukan
terkait Kebijakan-kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif. Dengan teknik pengumpulan data yaitu obesrvasi,
wawancara dan dokumentasi, maka ditemukanlah beberapa ruang lingkup
dalam penelitian ini, yang selajutnya akan dilakukan teknik keabsahan dan
teknik analisis data. Dari hasil tersebut didapatkanlah hal-hal terkait
mengenai kebijakan-kebijakan kepala sekolah dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif, yang selanjutnya dibuat keseimpulan dan saran serta
rekomendasi.
Untuk selanjutnya desain penelitian tersebut digambarkan pada bagan
DESAIN PENELITIAN
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF
DI SEKOLAH X KOTA JAMBI
HASIL ANALISIS
Kesimpulan Rekomendasi dan Saran
Kondisi factual
DI SEKOLAH X KOTA JAMBI
E. Definisi Konsep
1. Kebijakan
Kebiajakan (policy) secara etimologi (asal kata) diturunkan dari
bahasa Yuani, yaitu “Policy” yang artinya kota (city). Dapat ditambahkan, kebijakan mengacu kepada cara-cara dari semua bagian pemerintah
mengarahkan untuk mengelola kegiatan mereka. Dalam hal ini, kebijakan
berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola
formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sehingga dengan hal
itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan dan Hengst dalam
Syafaruddin, 2008: 75).
Definisi lain dijelaskan oleh Gamage dan Pang (Syafaruddin, 2008:
75), “kebijakan adalah terdiri dari pernyataan tentang sasaran dan satu atau
lebih pedoman yang luas untuk mencapai sasaran tersebut sehingga di
capai yang dilaksanakan bersama dan memberikan kerangka kerja bagi
pelaksanaan program”.
Ada tiga proses kebijakan, yaitu: formulasi, implementasi, dan
evaluasi (Putt dan Springer, dalam Syafaruddin, 2008: 81). 1. Formulasi
Kebijakan mengandung beberapa isi penting yang dijadikan sebagai
pedoman tindakan sesuai yang direncanakan. Adapun isi kebijakan
mencakup: a. kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, b. jenis
manfaat yang akan dihasilkan, c. derajat perubahan yang diinginkan, d.
kedudukan pembuat kebijakan, e. (siapa) pelaksana program, f. sumber
daya yang dikerahkan. 2. Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah
cara yang dilaksanakan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya
(Dwijowijoto, 2003: 158). Dijelaskan pula oleh Putt dan Springer
(Syafaruddin, 2008: 86) implementasi kebijakan adalah serangkaian
aktivitas dan keputusan yag memudahkan pernyataan kebijakan dalam
formulasi terwujud ke dalam praktik organisasi. 3. Evaluasi Kebijakan,
menurut Putt dan Springer (Syafaruddin, 2008: 88) menjelaskan evaluasi
Mengacu kepada Dunn (2003) evaluasi kebijakan dapat disamakan dengan
penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating), dan penilaian
(assessment).Dengan demikian, evaluasi berkenaan dengan produksi
informan mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan.
2. Kepala Sekolah
Sedangkan Kepala sekolah bersal dari dua kata yaitu “Kepala” dan “Sekolah” kata kepala dapat diartikan ketua atau pemimpin dalam suatu
organisasi atau sebuah lembaga. Sedang sekolah adalah sebuah lembaga di
mana menjadi tempat menerima dan memberi pelejaran. Jadi secara umum
kepala sekolah dapat diartikan pemimpin sekolah atau suatu lembaga di
mana temapat menerima dan memberi pelajaran. Wahjosumidjo (2002: 83)
mengartikan bahwa: “Kepala sekolah adalah seorang tenaga fungsional
guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah di mana
diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat di mana terjadi
interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima
pelajaran. Sementara Rahman dkk dalam Sri Damayanti (2008)
mengungkapkan bahwa “Kepala sekolah adalah seorang guru (jabatan
fungsional) yang diangkat untuk menduduki jabatan structural (kepala
sekolah) di sekolah”.
Dari penjelesan diatas dapat disimpulkan bahwa kebijakan kepala
sekolah adalah hasil keputusan yang dibuat oleh kepala sekolah untuk
seseorang atau sekelompok orang untuk suatu tujuan yang diinginkan
secara bersama-sama.
3. Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa: sekolah inklusi
adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama.
Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang,
tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun
berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak
dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu
dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar
kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.Menurut Permendiknas No 70
Tahun 2009 pasal 1 menyatakan:
Pendidikan Inklusif adalah system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
UNESCO 1994 (Alimin; 2008), memberikan gambaran bahwa:
Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali ada perbedaan secara fisik, intelektual, social, emosional, bahasa, atau kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan, anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa minoritas dan kelopok anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan.Inilah yang dimaksud dengan one school for all.
Sementara menurut Juang Sunanto (2004: 3) mengemukakan
pendidikan inklusif adalah:
Pendidikan yang memberikan layanan kepada setiap anak, tidak terkecuali. Tanpa memandang kondisi fisik, mental, intelektual, social, emosi, ekonomi, jenis kelamin, suku, budaya, tempat tinggal, bahasa dan sebagainya.Semua anak belajar bersama baik dikelas/sekolah formal maupun non formal yang berada di tempat tinggalnya yang diseduaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing anak.
Dari berbagai pendapat dan teori di atas dapat disimpulkan bahwa
Sekolah Penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah formal yang
mengikutsertakan anak-anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran
bersama siswa-siswa umunya, dengan mengakomodir seluruh kebutuhan
F. Teknik Keabsahan Data
Keabsahan data yang berhubungan dengan masalah seberapa jauh
kebenaran dan kenetralan hasil penelitian ini diperoleh melalui beberapa
kegiatan. Adapun menurut Moleong (2012) mengemukakan beberapa teknik
keabsahan data yang diuraikan sebagai berikut:
1. Perpanjangan keikutsertaan
Dalam penelitian kualitatif peneliti adalah instrument itu
sendiri.Keikutsertaan peneliti itu sendiri sangat menetukan dalam
pengumpulan data.Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam
waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan pada latar
penelitian.
2. Ketekunan Pengamatan
Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri atau
unsur-unsur dalam situasi yang relevan dengan persoalan atau isu yang sedang
dicari kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci dan
teliti terhadap faktor-faktor yang menonjol. Dengan demikian didapatlah
informasi secara mendalam mengenai Kajian Kebijkan-Kebijakan Kepala
Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota
Jambi.
3. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding data itu. Jadi triangulasi merupakan
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan atau keabsahan
data dengan memanfaatkan sesuatu yang diluar data itu sendiri. Teknik
yang dipakai melalui sumber yaitu memandingkan derajat kepercayaan
dari obeservasi dan wawancara dengan subjek sendiri serta pihak terkait
4. Analisis Kasus Negatif
Teknik analisis kasus negative dilakukan dengan jalan mengumpulkan
contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecendrungan
informasi yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan
pembanding.
5. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi
Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau
hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan
sejawat. Teknik ini mengandung beberapa maksud sebagai salah satu
teknik pemeriksaan keabsahan data.
6. Mengadakan audit dengan dosen pembimbing yang bertujuan untuk
memeriksa kelengkapan dan ketelitian yang dilakukan sehingga timbul
keyakinan bahwa yang diperoleh adalah tepat mencapai kebenaran yang
diharapkan.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Sugiyono (2008) adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentansi dengan cara mengorganisasikan data kedalam
kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke
dalam pola, memilih nama yang penting dan yang perlu dipelajari, dan
membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun
orang lain.
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data yang dikemukakan oleh Nasution (2003). Adapun analisis data
yang maksud adalah
1. Reduksi Data (Penyajian Data)
Reduksi data berarti mengambil bagian pokok atau intisari dari data yang
telah diperoleh yang mencakup kondisi faktual kebijakan kepala sekolah
kepala sekolah dalam pengembilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan
inklusif di Sekolah X Kota Jambi, pendukung dan penghambat kepala
sekolah dalam pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif
di Sekolah X Kota Jambi dan desain kebijakan kepala sekolah dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi. Data
tersebut kemudian marangkum dan mencari tema atau pola dari setiap data
agar mudah dipahami.
2. Display Data (Pengelompokan Data)
Data yang diperoleh kemudian dikelompokkan berdasarkan sistematis
rumusan masalah kemudian disajikan dalam deskriptif sehingga data mudah
dibaca dan dipahami serta mampu menggambarkan keseluruhan atau
bagian-bagian tertentu dari penelitian.
3. Vervikasi Data (Penarikan Keseimpulan)
Penarikan keseimpulan dilakukan sejak dari aawal hingga akhir proses
penelitian guna mempermudah peneliti untuk mendapatkan makna dari
setiap dara yang dikumpulkan. Kesimpulan yang diambil senantiasa
diverivikasi selama penelitian berlangsung untuk menjaga tingkat
kepercayaan peneliti.
Adapun skema analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut ini.
Gambar. 3.2. Langkah-langkah Analisis Data Kualitiatif (Miles dan Huberman, 1984:16)
Data Collection
Data Display
Data
Reduktion Conciusion
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Merujuk kepada hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya berdasarkan fenomena-fenomena yang ditemukan di lapangan,
maka dapat dirumuskan kesimpulan terkait Kebijakan-kebijakan Kepala
Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota
Jambi sebagai berikut:
1. Kondisi Faktual Kebijakan Kepala Sekolah dalam Penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kondisi faktual kebijakan
kepala sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah X
kota Jambi, dimana terdapat beberapa aspek terkait kebijakan kepala
sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif seperti, kebijakan
kepala sekolah dalam penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus,
kebijakan kepala sekolah dalam perekrutan tenaga pendidik dan
kependidikan, kebijakan kepala sekolah terhadap penyesuaian kurikulum,
kebijakan kepala sekolah terhadap kegiatan pembelajaran pada seting
pendidikan inklusif, kebijakan kepala sekolah dalam pendanaan
penyelenggaraan pendidikan inklusif, kebijakan kepala sekolah dalam
pengadaan sarana dan prasarana pada penyelenggaraan pendidikan
inklusif, maka dapat disimpulkan berdasarkan aspek-aspek tersebut
sebagai berikut:
a. Kebijakan kepala sekolah dalam penerimaan peserta didik
berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang dilakukan kepala sekolah
dalam penerimaan peserta didik khususnya peserta didik berkebutuhan
khusus yaitu diadakannya tes terlebih dahulu. Adapun tes yang
yang diundang langsung oleh kepala sekolah. Selanjutnya adalah
asesmen, yang dilakukan oleh guru-guru Sekolah Luar Biasa yang
mana merupakan bentuk kerjasama antara Sekolah X dan SLB.
b. Kebijakan kepala sekolah dalam perekrutan tenaga pendidik dan
kependidikan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat
disimpulkan bahwa di Sekolah X Kota Jambi belum ada guru
berlatarbelakang Pendidikan Luar Biasa/Pendidikan Khusus. Sehingga
untuk guru pembimbing khusus (GPK) kepala sekolah memberikan
kebijakan kepada orang tua untuk mencari sendiri pendamping anak,
atau orang tua sendiri boleh untuk mendampingi anak di dalam kelas
ketika pembelajaran berlangsung.
c. Kebijakan kepala sekolah dalam penyesuaian kurikulum bagi peserta
didik berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh
kepala sekolah terkait kurikulum, yaitu memberikan kepercayaan
sepenuhnya kepada guru kelas untuk memberikan materi dan
membuat program pembelajaran yang disesuaikan dengan
kemampuan anak. Untuk pembuatannyapun kepala sekolah
memberikan kebijakan kepada guru untuk dapat bekerja sama
menyusun program pembelajaran tersebut bersama pendamping/orang
tua peserta didik.
d. Kebijakan kepala sekolah terhadap kegiatan pembelajaran pada seting
pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
dapat disimpulkan bahwa untuk kegiatan pembelajaran pada seting
pendidikan inklusif, kepala sekolah memberikan kebijakan
sepenuhnya kepada guru di kelas untuk mengkondisikan kelasnya
masing-masing. Meminta gutu menggunakan pendekatan-pendekatan
atau metode-metode mengajar yang disesuaikan dengan karakteristik
peserta didik. Selanjutnya dimana kepala sekolah juga meminta para
suasana kelas menjadi lebih inklusif. Salah satunya adalah seting
tempat duduk.
e. Kebijakan kepala sekolah dalam pendanaan pendidikan inklusif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
bahwa minimnya perhatian dari pemerintah provinsi dan kota
menjadikan pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif di
Sekolah X Kota Jambi berjalan mandiri. Sehingga kepala sekolah
membuat kebijakan untuk membuat proposal pengajuan dana,
sehingga saat ini telah ada beberapa donatur-donatur yang
memberikan perhatian kepada Sekolah X Kota Jambi, terkait
penyelenggaraan pendidikan inklusif.
f. Kebijakan kepala sekolah dalam pengadaan sarana dan prasarana
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang dilakukan
kepala sekolah adalah, mendirikan beberapa bangunan dan perbaikan
infrastruktur dimana hal ini untuk menciptakan suasana yang inklusif
dan aksesibitas yang mudah dijangkau dan digunakan oleh peserta
didik berkebutuhan khusus.
2. Peran Kepala Sekolah dalam Pengambilan Kebijakan
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi
a. Peran kepala sekolah sebagai educator dalam pengambilan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang diambil kepala
sekolah sebagai educator adalah melakukan pembinaan kepada guru
tentang pendidikan inklusif dan memberikan pemahaman kepada
orang tua tentang pendidikan inklusif setiap tahunnya.
b. Peran kepala sekolah sebagai manajer dalam pengambilan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang diambil kepala
menjalankan pendidikan inklusif di sekolah X Kota Jambi. Tentunya
untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif di perlukan manajemen
yang baik, disinilah peran kepala sekolah sebagai seorang manejer.
c. Peran kepala sekolah sebagai administrator dalam pengambilan
kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang
berkaitan dengan administrasi adalah kebijakan kepala sekolah dalam
pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif.
d. Peran kepala sekolah sebagai supervisor dalam pengambilan
kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil
penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan kepala
sekolah sebagai supervisor dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif adalah bekerjasama dengan coordinator pendidikan inklusif
untuk menilai sejauh mana guru kelas mampu memberikan
pembelajaran terhadap peserta didik berkebutuhan khusus. Kebijakan
ini merupakan langkah yang di ambil kepala sekolah sebagai seorang
yang ikut mengawasi dan menilai kinerja para guru dalam
menyukseskan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X
Kota Jambi. Selain itu ikut terlibat dalam proses penerimaan peserta
didik baru khususnya peserta didik berkebutuhan khusus.
e. Peran kepala sekolah sebagai leader dalam pengambilan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan terkait peran kepala sekolah sebagai leader dalam
pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat
disimpulkan bahwa sebagai seorang pemimpin tentu kepala sekolah
memiliki wewenang dalam pengambilan kebijakan, kebijakan yang
diambil adalah tetap konsistensi dengan penyelenggaraan pendidikan
inklusif di Sekolah X Kota Jambi. Konsistensi penyelenggaraan
pendidikan inklusif ini merupakan kebijakan yang diambil kepala
f. Peran kepala sekolah sebagai innovator dalam pengambilan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan adapun peran kepala sekolah sebagai innovator dalam
pengambilan kebijakan adalah dapat disimpulkan dimana kebijakan
tersebut terkait seting pembelajaran dalam pendidikan inklusif.
Kebijakan ini merupakan sebuah upaya dari kepala sekolah sebagai
seorang innovator untuk memberikan semangat baru dan keantusiasan
para peserta didik serta guru dalam menyukseskan penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi ini.
g. Peran kepala sekolah sebagai motivator dalam pengambilan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang dilakukan JM
sebagai kepala sekolah terkait perannya sebagai seorang motivator
adalah mengadakan studi banding ke sekolah-sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif di daerah lain. Kebijakan ini merupakan langkah
yang tepat untuk membangkitkan semangat dan pemahaman para guru
terhadap sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
3. Pendukung dan Penghambat Kepala Sekolah dalam Pengambilan
Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota
Jambi
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terkait pendukung
dan penghambat kepala sekolah dalam pengambilan kebijakan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi dapat
disimpulkan bahwa, terdapat beberapa faktor yang mendukung kepala
sekolah dalam pengambilan kebijakan. Adapun faktor pendukung tersebut
antara lain:
a. Kepala sekolah beserta tenaga pendidik dan kependidikan memiliki
sikap penerimaan yang besar terhadap perbedaan-perbedaan.
b. Adanya donator-donatur yang memberikan bantuan beasiswa kepada
c. Kurikulum sekolah yang fleksibel,
d. Adanya sarana dan prasarana serta sumber belajar yang
mendukung,dan
e. Dekat dengan Sekolah Luar Biasa.
Adapun faktor penghambat pengambilan kebijakan kepala sekolah
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi
antara lain:
a. Tidak adanya guru pembimbing khusus
b. Sikap penerimaan orang tua yang belum menerima peserta didik
berkebutuhan khusus untuk belajar bersama anaknya.
c. Minim dukungan dari dinas kota dan provinsi.
Selanjutnya untuk partisipasi dari semua komponen sekolah
terhadap kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat
disimpulkan bahwa seluruh masyarakat sekolah sangat berpartisipasi
dalam menyukseskan semua kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kepala
sekolah, terutama para pendidik/guru sangat bersemangat dalam
menjalankan semua kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah.
4. Rancangan Desain Kebijakan Kepala Sekolah berdasarkan Hasil
Kajian Peneliti dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di
Sekolah X Kota Jambi
Desain kebijakan yang disusun merupakan desain berdasarkan hasil
kajian peneliti di lapangan. Desain kebijakan ini mengacu pada tiga aspek
yaitu formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Sehingga tersusunlah sebuah rancangan desain kebijakan kepala sekolah
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif yang di sesuaikan dengan
kondisi di lapangan.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, dapat di
1. Orang Tua.
Masih ada beberapa dari orang tua peserta didik yang masih belum
bisa menerima adanya pendidikan inklusif ini, bahkan cendrung berniat
untuk membubarkan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Sekolah X
Kota Jambi ini. Oleh kareana itu diharapkan kepada semua orang tua dari
peserta didik pada umumnya (normal) dan peserta didik berkebutuhan
khusus memiliki sikap penerimaan untuk dapat menerima semua
perbedaan yang ada pada setiap peserta didik. Diharapkan untuk tidak
adanya sikap diskriminatif kepada semua peserta didik, memahami
bahwasanya setiap anak memiliki hak belajar yang sama, dan memiliki
kesempatan yang sama. Diharapkan juga orang tua dapat berpartisipasi
penuh dalam semua kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah terkait
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Serta orang tua dapat mendukung
semua kebijakan yang dibuat oleh kepala sekolah dan sama-sama
menyukseskan kebijakan tersebut.
2. Guru
Sebagai guru kelas, tentu kesulitan yang dihadapi oleh guru sangat
banyak. Kesulitan itu sering terjadi ketika harus memahami karakter
peserta didiknya. Pemberian layanan pendidikan yang disesuaikan dengan
karakteristik peserta didik harus di fahami oleh setiap guru. Oleh karena
itu di upayakan semua guru-guru dapat lebih memahami semua
karakteristik peserta didik. Beberapa kebijakan kepala sekolah agar para
guru dapat lebih memahami karakteristik individu setiap anak adalah
dengan cara mengikutsertakan para guru dalam pelatihan-pelatihan,
workshop dan seminar-seminar tentang anak berkebutuhan khusus dan
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kegiatan ini dapat menambah
pengetahuan para guru tentang bagaimana menangani peserta didik
berkebutuhan khusus, sehingga nantinya di kelas guru mampu
menciptakan proses belajar mengajar yang inklusif, yang nyaman, aman
dan menyenangkan. Di harapkan guru-guru dapat berpartisipasi dalam
3. Kepala Sekolah
Masih ada beberapa orang tua siswa yang belum memahami arti
makna dari pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi, serta masih ada
beberapa dari masyarakat sekolah terutama orang tua yang masih
memandang sebelah mata bagi peserta didik yang memiliki kebutuhan
khusus dan sempat terhentinya program guru kunjung dari Sekolah Luar
Biasa yang dulu pernah ada. Oleh karena itu Kepala sekolah harus lebih
giat dalam mensosialisaikan pendidikan inklusif di Sekolah X Kota Jambi,
serta dapat lebih memberikan contoh sikap terbuka dan sikap penerimaan
terhadap semua perbedaan yang ada pada peserta didik. Diharapkan kepala
sekolah dapat bekerjasama dengan semua komponen-komponen pelaksana
pendidikan inklusif, seperti kerjasama dengan Sekolah Luar Biasa dengan
mendatangi guru kunjung sebagai pengganti guru pembimbing khusus
yang belum ada di Sekolah X Kota Jambi, dan berkerjasama dengan
pusat-pusat terapi yang dapat membantu sekolah dalam memberikan pelatihan
terkait perkembangan peserta didik. Selanjutnya kepala sekolah
diharapkan dapat membuat kebijakan-kebijakan yang mengakomodir
semua kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Serta perlu adanya
penyusunan kebijakan – kebijakan terkait pendidikan inklusif yang dalam
penyusunannya mengikuti semua elemen pelaksana pembuatan kebijakan
tersebut.
4. Dinas Pendidikan
Minimnya dukungan yang ada terhadap penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Provinsi Jambi, menjadikan beberapa sekolah
penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kesulitan dalam memperoleh dukungan dan terlebih belum adanya
Peraturan daerah dan peraturan Gubernur yang terkait penyelenggaraan
pendidikan inklusif ini. Oleh karena itu di rekomendasikan kepada Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota dan Provinsi agar dapat memberikan
perhatian terhadap sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif di
peserta didik berkebutuhan khusus. Diharapkan agar segera menyusun
peraturan daerah dan peraturan gubernur terkait penyelenggaraan
pendidikan inklusif ini. Diharapkan juga Dinas Pendidikan dapat
mendukung program-program terkait pelaksanaan pendidikan inklusif di
Sekolah X Kota Jambi dan mendukung kebijakan-kebijakan yang dibuat
kepala sekolah dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang lebih baik
serta perlu adanya dukungan berupa pendanaan dan penyediaan sarana
prasarana serta sumber belajar yang dapat menjadikan Sekolah X Kota
Jambi menjadi sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif yang ideal..
Adapun rancangan desain kebijakan kepala sekolah dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif ini adalah merupakan sebuah usaha
peneliti untuk membantu kepala sekolah nantinya dalam merumuskan
sebuah kebijakan yang lebih terarah. Oleh karena itu desain kebijakan
yang di rekomendasikan adalah sebagai berikut:
Gambar 5.1.
Rancangan desain Kebijakan Kepala Sekolah berdasarkan hasil kajian penelitian dalam Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Sekolah X Kota Jambi
Formulasi Kebijakan
1. Kebijakan dalam penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus
2. Kebijakan dalam perekrutan tenaga pendidik dan kependidikan
3. Kebijakan dalam penyesuaian kurikulum peserta didik berkebutuhan khusus
4. Kebijakan dalam kegiatan pembelajaran pada seting pendidikan inklusif
5. Kebijakan dalam pendanaan pendidikan inklusif 6. Kebijakan dalam pengadaan sarana dan
prasarana pendidikan inklusif
Konteks Implementasi:
1. Dukungan terhadap pengambilan kebijakan pendidikan inklusif
2. Hambatan terhadap pengambilan kebijakan pendidikan inklusif
3. Partisipasi masyarakat sekolah terhadap kebijakan pendidikan inklusif
Kepala Sekolah, Pengawas SDLB Kota, Pangawas SLB Provinsi, Guru, Orang Tua, Peserta didik
DAFTAR PUSTAKA
Alimin, Z. Dkk. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jurusan Pendidikan Khusus, FIP UPI
Aminawa, Oki. (2008). Sikap Kepala Sekolah dan Guru terhadap Pendidikan Inklusif. (Tesis). Bandung: SPs UPI
Arikunto. Suharsimi, (2000). Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Asdi Mahasatya
Booth, T. and Ainscow, M. (2002). Index for Inclusion. Developing Learning and Participation in School, London: CSIE
Damayanti, Sri. (2008). Profesionalisme Kepemimpinan Kepala Sekolah.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/18/profesionalisme-kepemimpinan-kepala-sekolah/
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Direktorat Pendidikan Luar Biasa. (2006). Manajemen Sekolah Dalam Pendidikan Inklusif. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Dunn, W, N. (2004). Publik Policy Analysis. An Introduction, (Third Edition), Prentice Hall Inc. Englewood Clifts New Jersey.
Dwijowijoto, Rian Nugroho. (2003). Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi, Evaluasi. Jakarta: Elek Comutindo.
Johsen, Berit H dan Miriam D. Skjorten. (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar. Bandung: Unipub Forlag.
Jetje, T, L. (2012). Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Pada Sekolah Menengah Pertama di Kota Ambon (Tesis). SPs UPI.
Fattah, N. (2007). Analisis Kebijakan dan Pengelolaan Pendidikan Dasar. Bandung: SPs UPI.
Kementrian Pendidikan Nasional. (2010). Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif.
Kholis.Cek. (2012). Menjunjung Nurani Ditengah Minimnya Perhatian Pendidikan Inklusi. http://kholiscak.blogspot.com