Sumber
Sumber dan
dan Metode
Metode
Pemikiran
Pemikiran Politik
Politik Islam
Islam
MK. Pemikiran Politik Islam Pertemuan ke-2
Sumber
Sumber Pemikiran
Pemikiran Politik
Politik Islam
Islam
Dalam pergulatan pemikiran Islam, sumber yang menjadi
perdebatan sengit adalah tarik-ulur dominasi antara akal dan wahyu.Walaupun dalam literatur dasar ke-Islaman semisal Qur’an dan Hadist disebutkan bahwa wahyulah
acuan pertamanya, namun dalam histories pemikiran Islam, tidak dinafikan munculnya dominasi oleh akal, terutama hal itu di zaman pemikiran Islam modern, semisal Ali Abd itu di zaman pemikiran Islam modern, semisal Ali Abd Ar-Raziq.
Tanpa menafi’kan harmoni perkembangan pemikiran politik
Islam, dan tarik-ulur antara akal dan wahyu. Dalam banyak sumber dan literatur ke-Islaman, pemikiran politik Islam tidaklah berbeda jauh dengan persoalan-persoalan lain
dalam kehidupan ini, di mana Islam selalu meletakkan urutan sumber studi dan pemikiran pada sistematika berikut :
Wahyu
Wahyu
Islam menganggap sumber ambilan pertama adalah
wahyu, dalam bahasa istilah wahyu diartikan cahaya. Wahyu menurut Al-Gharisah (1997 :12) tidak hanya sebatas Al-Qur’an, namun juga As-Sunah yang
merupakan bagian dari wahyu (An-Najm :3-4).Wahyu merupakan bagian dari wahyu (An-Najm :3-4).Wahyu merupakan petunjuk dan arah ke mana sesuatu itu harus dijalankan (Assura :52-53). Kebenaran wahyu adalah pasti (Ali-Imran : 60). Kebenaran wahyu tidak pudar oleh waktu dan tempat, karena Allah
menjaganya (Al-hijr ; 11).Wahyu sifatnya sistematis dan tidak bisa dipeca-hbelah (Al-Maidah : 49).
Wahyu juga dianggap pengarahan hokum
menuju yang lebih baik (Assura : 40) dan
Albaqoroh : 237. Selain Qur’an ada
Sunnah, di mana Sunnah ini dianggap
Sunnah, di mana Sunnah ini dianggap
sebagai “saudara kandung” Al-Qur’an.
Sunnah juga merupakan ucapan, ketetapan
dan perbuatan Rasul, dan mendustakannya
adalah kekafiran, selain itu juga perbuatan
Rasul sebagai hakim dan imam.
Sirrah
Sirrah
Sumber ambilan kedua adalah Sirrah. Sirrah di sini lebih dimaknai dalam bentuk qiyas maupun ijma (ijtihad) yang dilakukan oleh para ulama. Dalam perkembangannya proses ini melahirkan tradisi atau madhab dalam
pemikiran Islam. Misalnya ada Sunni Hanafiyah, Safi’iyah, Hambaliah dan Malikiyah. Madhab Syi’ah ada Saba’iyyah, Zaidiyyah, Itsna Asy’ariyah dan lainnya.Ataupun madhab Hambaliah dan Malikiyah. Madhab Syi’ah ada Saba’iyyah, Zaidiyyah, Itsna Asy’ariyah dan lainnya.Ataupun madhab Khawarij dan lainnya ( tentang timbulnya aliran-aliran ini yang berimplikasi pada pemikiran politik Islam akan dibahas dalam peristiwa Tsaqifah di kuliah selanjutnya). Memang tentang kekuatan sirrah ini sebagai sumber pemikiran Islam masih debatibel, karena ada beberapa pemikir Islam terutama masa kontemporer semisal Ali Abd Raziq menafi’kan hal ini.
Akal
Akal
Akal sebagai ambilan ketiga. Paling tidak ada tiga
hal yang membuat akal mempunyai makna yang
besar dalam pemikiran politik Islam yakni : akal
telah terbukti berhasil mengungkap sebagian
hokum-hukum alam, seperti grafitasi, relatifitas,
peredaran bumi dan lainnya; akal juga telah
peredaran bumi dan lainnya; akal juga telah
mampu membantu manusia bijak dan mampu
mengambil keputusan yang tepat dan juga
dicapainya hakikat hipotesa atau teori yang
memberikan sumbangan besar dalam
Fiqh
Fiqh Ikhtilaf
Ikhtilaf
Fiqh Ikhtilaf. Sumber ini sebagai jembatan
bagi ketiga sumber di atas, karena pada
kenyataannya sering diketemukan
ketidaksesuaian satu dengan yang lainnya.
ketidaksesuaian satu dengan yang lainnya.
Hal ini merupakan suatu kewajaran,
karena dimungkinkan perbedaan
pemaknaan dari sumber, kuat tidaknya
sandaran (hujjah) dari sumbernya.
Dalam pemikiran, termasuk pemikiran politik Islam,
ikhtilaf merupakan sebuah kemestian, karena : pertama, Islam tidak melarang hal itu, dan hukum Islam sendiri memiliki kecenderungan ada yang implisit, maupun
eksplisit, ada yang tersembunyi dan juga ada yang sudah jelas, dan juga ada yang pasti ada juga yang belum pasti
(Dhanni). Selain itu juga persoalan bahasa, dimungkinkan
ada perbedaan interpretasi terjemahan, karena lafadh ada perbedaan interpretasi terjemahan, karena lafadh arab ada khas, amm, majaz, musytarak dan lainnya.
Tabeat manusia juga dalam mensikafi suatu persoalan sangat variatif, di mana kebanyakan manusia biasanya
taken for grented dengan kondisi sebelumnya yang sudah
mapan.Tabeat alam juga memberikan pengaruh besar dalam pemikiran seseorang, untuk hal ini bisa
dicontohkan antara madhab Sunni Syafi’iyah dan
Malikiyah misalnya. Madhab Syi’ah ada tsna Asyariyah, Ja’fariayah dll, Madhab Khawarij dan lain-lain.
Metode
Metode Pemikiran
Pemikiran Politik
Politik
Islam
Islam
Thomas Khun dalam The Structure of Scientific
Revolution (1970) mengartikan bahwa metode
merupakan cara bagaimana sesuatu berproses. Sedangkan metode ilmu pengetahuan adalah cara berprosesnya sesuatu hal-hal ilmiah di alam ini untuk menjadi ilmu dan ilmu pengetahuan.Tentu saja bahasannya adalah proses pertumbuhan ilmu, untuk menjadi ilmu dan ilmu pengetahuan.Tentu saja bahasannya adalah proses pertumbuhan ilmu, pengukuran, perifikasi maupun proses
rasionalisasi.
Dalam literatur dasar Islam metode disamakan dengan manhaj. Dalam Islam manhaj pemikiran
selalu didasarkan pada kedudukan manusia sebagai khalifah yang diberi tanggung jawab untuk
mengelola diri, orang lain dan lingkungannya. Serta pemanfaatan maksimal dari akal untuk
Dua pemikir Islamisasi Ilmu Islam yakni
Ismail Raji Al-Faruqi dan Abdul Hamid
Sulaiman mengakui bahwa kerangka
manhaj pemikiran politik Islam masih
manhaj pemikiran politik Islam masih
banyak dipengaruhi oleh metode
pemikiran Barat yang masih sangat
positivis, yang tentunya menempatkan akal
dan penginderaan di atas segalanya.
Namun, para pemikir mengambil yang
selaras dengan Islam, memberikan warna
dengan Islam dan memperbaiki
Pemikiran Politik Barat Pemikiran Politik Islam
Mean-stream : Positivis Mean-stream : Religius-ilmiah Sumber : Kemanfaatan, konsistensi
dan koherensi
Sumber : Wahyu Tuhan Proses penyusunan struktur Ilmu :
pengukuran, perifikasi lewat akal dan sejarah dan rasionalisasi
Realitas, perifikasi lewat sumber hukum Islam, Ushul fiqh, dan proses istimbath (pergulatan), baru kesimpulan
Tingkat kebenaran akan sangat ditentukan oleh proses pengukuran dan verifikasi dan logika akal
Kebenaran akan sangat ditentukan oleh dasar atau hujjah yang kuat serta kemampuan akal melalui dan verifikasi dan logika akal serta kemampuan akal melalui kualifikasi 3 tingkatan untuk mencapai kesempurnaan (kafa’ah) yakni akal manusia yakni alwihdaniyyah, alkhilafah dan pertanggungjawaban moral
Objek kajian sudah baku yakni tentang Negara dan metamorfosenya. Kecenderungan kajian dominant pada politik sebagai policy
Objek kajian lebih umum, kajian Negara merupakan salah satu kajian dalam fikh siyasah. Kajian Negara masih terfokus pada ada tidaknya konsep Negara dalam Islam
Polarisasi
Polarisasi Metodologi
Metodologi
Perbedaan pendapat sebagaimana diuraikan
diatas sebahagian muncul dari perbedaan
metodologi dalam memahami
sumber-sumber Islam, antara kelompok
skripturalistik berhadapan dengan
rasionalistik, kelompok idealistik dan realistik,
rasionalistik, kelompok idealistik dan realistik,
kelompok formalistik versus substantivistik.
Dalam proses pencarian konsep tentang
negara, para pemikir politik Islam berhadapan
dengan dua tantangan yang saling tarik
menarik, yaitu tantangan realitas politik yang
harus dijawab dan tantangan idealistik agama
yang harus dipahami untuk menemukan
Oleh karena itu, perbedaan konsepsi lebih berada pada tataran metodologis, yang pada giliran berikutnya
menentukan perbedaan substansi pemikiran. Polarisasi itu dapat diuraikan sebagai berikut :
Pertama polarisasi skripturalistik dan rasionalistik,
Polarisasi ini berhubungan dengan pendekatan terhadap sumber utama Islam yakni Al-Qur’an dan Hadits.
Kecendrungan skripturalistik menampilkan pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, yaitu penafsiran yang yang bersifat tekstual dan literal, yaitu penafsiran yang mengandalkan pengertian bahasa. Sedangkan
kecendrungan rasionalistik menampilkan penafsiran yang rasional dan kontekstual. Kedua pendekatan ini melahirkan paham yang berbeda tentang konsepsi negara. Misalnya tentang ayat yang berbicara tentang khalifah (Q.S. 2 : 30), dalam pendekatan yang
berkecendrrungan skriptulaistik menjadi dasar dan landasan teologis bagi ditegakkannya kekhalifahan sebagai sistem ideal Islam.
Pemahaman demikian dianut oleh para pemikir
yang melegitimasi kekhalifahan, dan bahkan
menganggap sang khalifah sebagai “bayangan
Tuhan dimuka bumi (dzillullah fi al-ardli)”,
seperti yang dipahami pada era Dinasti
Ummayyah dan Abbasiyah.
Sedang dalam perspektif pendekatan
Sedang dalam perspektif pendekatan
rasionalistik, ayat tersebut dipahami
berhubungan dengan missi kehadiran setiap
manusia dimuka bumi, yaitu sebagai wakil
Tuhan, karenanya berlaku menyeluruh, tidak
untuk pribadi tertentu, dan tidak pula ada
sangkut pautnya dengan konsep politik.
Kedua polarisasi idealistik berhadapan dengan
realistik. Pendekaan pertama cendrung
melakukan idealisasi (atau romantisasi)
terhadap sistem pemerintahan dengan
menawarkan nilai-nilai Islam yang ideal.
Termasuk dalam kecendrungan ini adalah
konsepsi negara yang bersifat filosofis, seperti
konsepsi negara yang bersifat filosofis, seperti
yang dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ikhwan
al-Shofa, dalam ungkapan yang populer dengan
al-Madinah al-Fadlilah (Negara Utama). Namun
konsepsi yang yang bersifat filosofis ini tidak
pernah menjadi kenyataan dalam sejarah.
Sebaliknya kaum realistik lebih toleran dan
Para pemikir Sunni seperti al-Mawardi dan
Al-Ghazali sebagaimana telah
dikemukakan diatas, merupakan contoh
pemikir klasik Islam yang
pemikir klasik Islam yang
berkecendrungan realistik. Implikasi politis
dari pemikiran yang realistik ini yaitu
kecendrungan untuk melegitimasi
kekuasaan yang ada atau mengoreksi tapi
disampaikan dengan isyarat pesan yang
lebih kompromistis, tidak konfrontatif dan
frontal.
Ketiga, polarisasi formalistik dan substantivistik. Sesuai dengan arti kata kedua istilah tersebut, pendekatan
formalistik cendrung mementingkan “bentuk” daripada “isi”. Pendekatan ini akan menampilkan konsep tentang negara dengan simbolisme keagamaan, seperti tampak pada model “Negara Islam, Partai Islam, IPTEK Islam, Ekonomi Islam, dll”. Pendekatan substantivistik ,
sebaliknya cendrung menekankan “isi” daripada sebaliknya cendrung menekankan “isi” daripada “bentuk”. Mereka tidak terlalu mempersoalkan
bagaimana bentuk atau format dari pada negara itu, tapi memusatkan perhatian kepada bagaimana mengisinya dengan etika dan moralitas agama. Implikasinya muncul kedalam aksi politik, dimana kelompok formalisme
keagamaan akan cendrung melakukan politisasi agama, sedang kelompok substantivistik kedalam proses
Ketiga pendekatan diatas memiliki kekuatan
dan kelemahan masing-masing, kalau didekati
secara ekstrim. Dalam sejarah ternyata
memang pendeakatan formalistik lebih
banyak mewarnai sejarah, dan belum
banyak mewarnai sejarah, dan belum
memantulkan etika dan moralitas Islam
dalam proses dan isinya. Saat ini – dalam
bentuk yang agak mirip --juga berlaku
kecendrungan yang sama, lebih
mementingkan simbol, nama, daripada isi dan
bentuk.
Referensi
Referensi
Pemikiran Politik Islam, Surwandono tahun
2001
Ali Al-gharisah, Metodologi Politik Islam,
tahun 1997
tahun 1997
Abd Qadir Zailani, Sekitar Pemikiran Politik
Islam, 1994