ISLAM DAN ETIKA BANGSA
(Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan Politik Moral)
SKRIPSI
M. Aulia Afrianshah 030906049
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ISLAM DAN ETIKA BANGSA
(Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan Politik Moral)
M. Aulia Afrianshah 030906049
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
M. AULIA AFRIANSHAH (030906049)
ISLAM DAN ETIKA BANGSA
(Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan Politik Moral)
ABSTRAK
Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika Islam dalam kehidupan politik bangsa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Nurcholish Madjid, tokoh yang selama ini banyak memberikan sumbangan pemikirannya dalam kehidupan keagamaan dan politik di Indonesia, memiliki pandangan yang secara jelas menggambarkan keterkaitan antara agama (Islam) dan politik. Salah satunya mengenai hubungan antara kekuasaan dan moral. Menurutnya dalam kehidupan politik kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keagamaan. Kehidupan politik yang pada dasarnya bersifat duniawi, tidak bisa lepas dari tuntunan moral yang tinggi. Berpolitik haruslah dengan standar akhlak mulia, yang dikenal dengan etika politik. Melihat begitu besarnya peran etika, terutama prinsip moral kemanusiaan dan keadilan dalam menentukan kelangsungan hidup manusia -termasuk dalam kehidupan politik- maka sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk kembali bersandar pada kedua hal tersebut. Hal itu sebagai upaya untuk keluar dari berbagai persoalan yang menghimpit kehidupan politik bangsa saat ini. Dengan melihat hal tersebut, penelitian ini menjawab indikator pertanyaan Bagaimana pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika, terutama terkait dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan itu mampu menjadi solusi bagi persoalan kemerosotan moral dalam kehidupan politik bangsa Indonesia sekarang ini?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICS DEPARTMENT OF POLITICS
M. AULIA AFRIANSHAH (030906049)
ISLAM AND NATION ETHICS
(The Idea of Nurcholish Madjid about Ethics, Humanism and Justice as a Guide of Moral Politics)
ABSTRACT
This research tries to explain the idea of Nurcholish Madjid which is concerning about Islam ethics in life of Indonesian nation politics, especially related to human moral principle and justice. Nurcholish Madjid, figure which is during the time giving many idea contribution in political and religious life in Indonesia, owning view which clearly depict related between religion (Islam) and politics. One of them regarding relation between moral and power. According to him, in political life we may not leave religious values. Political life which is based on the character of earthlyly, cannot get out from high moral guide. Politics shall august behavior standard, which have recognized with political ethics. Seeing the great level of the ethics role, especially human moral principle and justice in determining the continuity of human life -included in political lifes- hence of vital importance to Indonesian nation for back again to rely on both of the things. That things is as an effort to go out from various problem which is squeezing life of nation politics in this time. Seen the mentioned, this research have answered the question indicator How the idea of Nurcholish Madjid is concerning about ethics, especially related to human moral principle and justice can become a solution for the problem of moral decline in political lifes of Indonesian nation this time?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Pengesahan
Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Dilaksanakan pada:
Hari :
Tanggal :
Pukul :
Tempat : Ruang Sidang Fisip USU
Tim Penguji:
Ketua :
Drs. Heri Kusmanto, MA. ( )
NIP. 132215084
Anggota 1 :
Warjio, SS., MA. ( )
NIP. 132316810
Anggota II :
Indra Fauzan, SIP., MSi. ( )
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Persetujuan
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh
Nama : M. Aulia Afrianshah
NIM : 030906049
Departemen : Ilmu Politik
Judul : ISLAM DAN ETIKA BANGSA
(Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan Politik Moral)
Menyetujui: Ketua
Departemen Ilmu Politik
(Drs. Heri Kusmanto, MA) NIP. 132215084
Dosen Pembimbing, Dosen Pembaca,
(Warjio, SS., MA) (Indra Fauzan, SIP., MSi)
NIP. 132316810 NIP.
Mengetahui: Dekan Fisip USU,
Segala puji bagi-Nya, Tuhan seluruh alam. Karya ini dipersembahkan untuk
KATA PENGANTAR
Skripsi ini berjudul “Islam dan Etika Bangsa: Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan dalam Politik Moral”. Skripsi ini menjelaskan tentang pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika Islam dalam kehidupan politik bangsa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Nurcholish Madjid, tokoh yang selama ini banyak memberikan sumbangan pemikirannya dalam kehidupan keagamaan dan politik di Indonesia, memiliki pandangan yang secara jelas menggambarkan keterkaitan antara agama (Islam) dan politik. Salah satunya mengenai hubungan antara kekuasaan dan moral.
Dalam skripsi ini mengungkapkan bahwa kehidupan politik kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keagamaan. Kehidupan politik yang pada dasarnya bersifat duniawi, tidak bisa lepas dari tuntunan moral yang tinggi. Berpolitik haruslah dengan standar akhlak mulia, yang dikenal dengan etika politik. Melihat begitu besarnya peran etika, terutama prinsip moral kemanusiaan dan keadilan dalam menentukan kelangsungan hidup manusia -termasuk dalam kehidupan politik- maka sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk kembali bersandar pada kedua hal tersebut. Hal itu sebagai upaya untuk keluar dari berbagai persoalan yang menghimpit kehidupan politik bangsa saat ini. Dengan melihat hal tersebut, penelitian ini menjawab indikator pertanyaan Bagaimana pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika, terutama terkait dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan itu mampu menjadi solusi bagi persoalan kemerosotan moral dalam kehidupan politik bangsa Indonesia sekarang ini.
Puji syukur saya kepada Allah Swt., yang telah memberi rahmat kesempatan dan kesehatan untuk menyelesaikan studi ini yaitu berupa penulisan skripsi dari hasil penelitian yang dikerjakan, dari proses awal, tidak kurang dari delapan bulan. Salawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw., Al Mahdi Al Mawdud, yang membawa dan menunjukkan kepada jalan yang lurus.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarnya kepada Bapak Warjio, S.S., M.A., selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bantuan dan bimbingan berupa masukan dan kritik yang membangun. Terimakasih pula saya sampaikan kepada Bapak Indra Fauzan, SIP., MSi., selaku dosen pembaca, yang memberikan masukan-masukan konstruktif kepada penulis. Dan ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Drs. Heri Kusmanto, MA., sebagai ketua penguji yang memberikan masukan dan koreksi bagi penulis.
penulis banyak mendapatkan pengalaman dan kenangan yang tidak dapat lekang selama berada dalam kehidupan kampus, dan itu memberikan makna tentang arti sebuah persahabatan.
Kepada seluruh orang yang telah membantu, meluangkan waktunya, meminjamkan kepada saya buku sebagai bahan refensi bagi penulis, dan serta memberikan segala informasi yang penulis butuhkan bagi penulisan skripsi ini. Maka atas semua itu saya mengucapkan terimakasih. Semoga kebaikan yang telah anda lakukan dan yang saya kerjakan ini mendapat berkah dan di ridhoi oleh Nya.
Medan, Januari 2010
DAFTAR ISI
1. Etika Politik dalam Perspektif Nurcholish Madjid 1.1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Etika Politik dalam Islam ... 7
1.2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid dalam Melihat Wacana Etika Politik di Barat ... 12
2. Prinsip Kemanusiaan dalam Perspektif Nurcholish Madjid 2.1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Kemanusiaan dalam Islam ………. 14
2.2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid dalam Melihat Wacana Kemanusiaan di Barat ... 17
3. Prinsip Keadilan dalam Perspektif Nurcholish Madjid 3.1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Keadilan dalam Islam ………. 20
3.2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid dalam Melihat Wacana Kemanusiaan di Barat ……… 28
E. Metodologi Penelitian ………... 30
1. Metode Penelitian ………... 30
2. Jenis Penelitian ………32
3. Metode Pengumpulan Data ………. 33
4. Metode Analisis Data ……….. 33
BAB II SEJARAH SOSIAL DAN INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID
A. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid ………... 38 B. Perjalanan Intelektual Nurcholish Madjid ……… 48 C. Karya-karya Intelektual Nurcholish Madjid ………. 51
BAB III PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID:
ESENSI KEMANUSIAAN DAN KEADILAN DALAM POLITIK MENUJU BANGSA YANG BERETIKA
A. Etika dan Keteguhan Moral Bangsa ... 54 B. Kemanusiaan Melahirkan Demokrasi dalam Politik ... 60 C. Keadilan Melahirkan Obyektivitas dalam Politik ... 68
BAB IV ANALISIS
A. Etika dan Moralitas Kepemimpinan: Mampukah
Mengatasi Seluruh Persoalan Bangsa ... 75 B. Kemanusiaan Melahirkan Demokrasi: Sesuaikah
dengan Konteks Indonesia ... 85 C. Keadilan Melahirkan Obyektivitas dalam Politik:
Persoalan Panjang yang Tak Terselesaikan ... 90
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………... 99
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK
M. AULIA AFRIANSHAH (030906049)
ISLAM DAN ETIKA BANGSA
(Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan Politik Moral)
ABSTRAK
Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika Islam dalam kehidupan politik bangsa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Nurcholish Madjid, tokoh yang selama ini banyak memberikan sumbangan pemikirannya dalam kehidupan keagamaan dan politik di Indonesia, memiliki pandangan yang secara jelas menggambarkan keterkaitan antara agama (Islam) dan politik. Salah satunya mengenai hubungan antara kekuasaan dan moral. Menurutnya dalam kehidupan politik kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keagamaan. Kehidupan politik yang pada dasarnya bersifat duniawi, tidak bisa lepas dari tuntunan moral yang tinggi. Berpolitik haruslah dengan standar akhlak mulia, yang dikenal dengan etika politik. Melihat begitu besarnya peran etika, terutama prinsip moral kemanusiaan dan keadilan dalam menentukan kelangsungan hidup manusia -termasuk dalam kehidupan politik- maka sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk kembali bersandar pada kedua hal tersebut. Hal itu sebagai upaya untuk keluar dari berbagai persoalan yang menghimpit kehidupan politik bangsa saat ini. Dengan melihat hal tersebut, penelitian ini menjawab indikator pertanyaan Bagaimana pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika, terutama terkait dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan itu mampu menjadi solusi bagi persoalan kemerosotan moral dalam kehidupan politik bangsa Indonesia sekarang ini?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICS DEPARTMENT OF POLITICS
M. AULIA AFRIANSHAH (030906049)
ISLAM AND NATION ETHICS
(The Idea of Nurcholish Madjid about Ethics, Humanism and Justice as a Guide of Moral Politics)
ABSTRACT
This research tries to explain the idea of Nurcholish Madjid which is concerning about Islam ethics in life of Indonesian nation politics, especially related to human moral principle and justice. Nurcholish Madjid, figure which is during the time giving many idea contribution in political and religious life in Indonesia, owning view which clearly depict related between religion (Islam) and politics. One of them regarding relation between moral and power. According to him, in political life we may not leave religious values. Political life which is based on the character of earthlyly, cannot get out from high moral guide. Politics shall august behavior standard, which have recognized with political ethics. Seeing the great level of the ethics role, especially human moral principle and justice in determining the continuity of human life -included in political lifes- hence of vital importance to Indonesian nation for back again to rely on both of the things. That things is as an effort to go out from various problem which is squeezing life of nation politics in this time. Seen the mentioned, this research have answered the question indicator How the idea of Nurcholish Madjid is concerning about ethics, especially related to human moral principle and justice can become a solution for the problem of moral decline in political lifes of Indonesian nation this time?
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu persoalan besar dalam kehidupan politik bangsa Indonesia
adalah masalah kemerosotan moral, terutama moral pemimpin para elit di negeri
ini. Hal ini ditandai dengan terjadinya berbagai macam bentuk penyelewengan,
seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta tindakan pelanggaran lainnya
dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Dan hal ini pada akhirnya melahirkan
berbagai macam krisis dalam kehidupan politik bangsa.
Krisis telah menerpa kehidupan bangsa Indonesia sejak tahun 1997 lalu
hingga saat ini dan meninggalkan persoalan pelik di berbagai bidang kehidupan.
Berbagai persoalan terjadi di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya ini secara
signifikan membawa dampak yang besar bagi keberadaan bangsa dan negara
hingga saat ini.
Krisis di bidang ekonomi, telah menyebabkan kemerosotan yang luar biasa
pada kehidupan masyarakat, terutama terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan
pokok seperti pangan dan sandang. Di awal krisis, semua kebutuhan pokok
masyarakat mengalami kenaikan harga yang sangat tajam. Sektor riil menjadi
lumpuh dan dunia perbankan yang runtuh telah memperburuk kondisi
perekonomian di negeri ini.
Bidang politik turut mengalami kondisi serupa, bahkan menjadi salah satu
Masalah moralitas, kepemimpinan dan kesantunan dalam berpolitik menjadi
menjadi persoalan panjang yang tidak terselesaikan dalam kehidupan politik
bangsa. Perilaku para elit politik yang sering kali meninggalkan nilai-nilai moral
luhur dalam melakukan aktivitas politiknya, telah mencederai persoalan moral
dalam kehidupan politik bangsa ini.
Berbagai solusi telah ditawarkan, sebagai upaya penyelesaian persoalan
kemerosotan moral di bidang politik yang menimpa bangsa. Salah satunya adalah
agar bangsa Indonesia kembali pada ajaran agama, sebagai upaya mengatasi
persoalan kemerosotan moral, terutama yang terjadi pada elite politik. Dan juga,
yang tak kalah pentingnya pada masyarakat bangsa secara keseluruhan.
Islam sebagai agama terbesar yang dianut oleh mayoritas masyarakat
Indonesia, dipastikan mampu memberikan wawasan dan tuntunannya sebagai
solusi dari segala persoalan yang menimpa kehidupan bangsa Indonesia saat ini.
Terutama sebagai wawasan dan tuntunan moral dalam kehidupan politik bangsa.
Islam sendiri sebenarnya telah menjelaskan dan juga memberikan banyak
petunjuk mengenai berbagai persoalan hidup manusia di dunia. Salah satunya
adalah masalah hubungan antara agama dengan kehidupan masyarakat, termasuk
di dalamnya persoalan politik. Hal inilah yang menjadi salah satu keunikan Islam
diantara agama-agama lain.
Menurut telaah perbandingan yang lebih luas dengan agama-agama lain,
keunikan Islam sebenarnya bukan terletak pada persoalan keterkaitan yang erat
dengan politik. Bahkan bisa dikatakan menyatu atau tidak mengenal pemisahan
dengan masalah politik. Istilah perpolitikan ”theokrasi” sendiri sudah
menunjukkan adanya kemungkinan agama mana saja untuk menyatu dengan
politik, sehingga kekuasaan yang berlaku dipandang sebagai ”kekuasaan (politik)
Tuhan”.1
Terkait persoalan ini, Nurcholish Madjid, tokoh yang selama ini banyak
memberikan sumbangan pemikirannya dalam kehidupan keagamaan dan politik di
Indonesia, memiliki pandangan yang secara jelas menggambarkan keterkaitan
antara agama (Islam) dan politik. Salah satunya mengenai hubungan antara
kekuasaan dan moral.
Menurut Nurcholish Madjid, atau yang lebih akrab disapa Cak Nur, dalam
kehidupan politik kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keagamaan.
Kehidupan politik yang pada dasarnya bersifat duniawi, tidak bisa lepas dari
tuntunan moral yang tinggi. Berpolitik haruslah dengan standar akhlak mulia,
yang sekarang dikenal dengan etika politik.2
Persoalan etika ini menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan
kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat berperadaban.
Menurut bahasa politik modern, ini adalah orientasi hukum dan keadilan yang
mendasari perkembangan suatu peradaban. Orientasi ini sangat penting dalam
menumbuhkan negara hukum dan mencegah munculnya negara kekuasaan.3
1 Nurcholish Madjid. 2003. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Penerbit Paramadina. Hal. 188. 2 Nurcholish Madjid. 1999. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat. Jakarta: Tabloid Tekad
dan Penerbit Paramadina. hal. 52.
Tuntunan moral yang tinggi dalam etika politik, oleh Nurcholish Madjid
secara konsisten dijelaskan olehnya yaitu meliputi prinsip-prinsip moral
kemanusiaan dan keadilan. Permasalahan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan
ini, dalam pandangan Nurcholis Madjid merupakan hal yang mutlak penting
adanya. Karena merupakan landasan ketahanan suatu bangsa menghadapi
perubahan kehidupan yang semakin kompleks.
Tanpa adanya prinsip moral atau akhlak yang baik, kehidupan suatu
bangsa dipastikan akan dibinasakan oleh Tuhan. Sebuah syair dalam bahasa Arab
menerangkan masalah ini: “Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama
(mereka berpegang) pada akhlaknya, bila akhlak mereka rusak, maka rusak
binasa pulalah mereka”.4
Prinsip moral kemanusiaan itu sendiri sangat terkait dengan agama,
terutama dengan rasa ketuhanan. Rasa kemanusiaan hanya terwujud jika dilandasi
rasa ketuhanan. Rasa kemanusiaan yang lepas dari rasa ketuhanan, akan
menyebabkan terjadinya praktek-praktek pemutlakan sesama manusia. Karena itu
kemanusiaan sejati harus bertujuan pada keridlaan Tuhan semata. Orientasi
keridlaan Tuhan ini merupakan landasan bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan
seseorang.5
Mengenai hal tersebut dijelaskan dalam Al Quran: ”Barang siapa
menghendaki kemuliaan, pada Allah lah kemuliaan itu semua. Kepada Nyalah
4 Ibid. hal. 174.
5
naik ide-ide yang baik (al-khalim at-thayyib), dan Dia mengangkat (menghargai)
perbuatan kebajikan”.6
Nilai kemanusiaan dalam iman seseorang merupakan keseluruhan
pandangan transendental yang menyangkut kesadaran akan asal dan tujuan wujud
serta hidupnya, yang harus berpusat pada Tuhan Yang Maha Esa. Karena manusia
atau nilai kemanusiaan menjadi ukuran amal perbuatan. Maka segala sesuatu yang
ada di muka bumi ini, dan tak bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan akan
sirna. Sedangkan yang bermanfaat akan tetap bertahan.
Prinsip moral kemanusiaan ini pada hakikatnya meliputi pula kewajiban
menegakkan keadilan. Keadilan mempunyai kedudukan yang penting karena
merupakan bagian dari Sunatullah, dan merupakan fitrah manusia dari Allah,
perjanjian primordial antara manusia dengan Allah.
Sebagai sunatullah, kewajiban menegakkan prinsip keadilan merupakan
hukum obyektif, tidak bergantung pada kemauan pribadi manusia dan bersifat
immutable (tidak akan berubah). Masalah keadilan ini dalam Al Quran merupakan
bagian dari hukum kosmos, yaitu hukum keseimbangan (Al Mizan) yang menjadi
hukum bagi jagad raya.7
Al Quran dalam Q. S. Muhammad 47: 38 menegaskan prinsip keadilan ini,
terutama masalah keadilan sosial, berupa usaha pemerataan dan peringanan
penderitaan kaum yang tak berpunya. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah
6
Q. S. Al Fathir 35: 10.
akan membinasakan umat itu untuk diganti dengan umat lain yang secara moral
dan etika tidak seperti mereka.8
Sedangkan dalam Q. S. Al Isra’ 17: 16, didapati ancaman Allah untuk
membinasakan suatu negeri, jika negeri itu tidak lagi ada rasa keadilan dengan
indikasi leluasanya orang yang hidup mewah dan tidak peduli dengan keadaan
masyarakat sekelilingnya yang kurang beruntung.9
Melihat begitu besarnya peran etika, terutama prinsip moral kemanusiaan
dan keadilan dalam menentukan kelangsungan hidup manusia -termasuk dalam
kehidupan politik- maka sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk kembali
bersandar pada kedua hal tersebut. Hal itu sebagai upaya untuk keluar dari
berbagai persoalan yang menghimpit kehidupan politik bangsa saat ini.
Pandangan Nurcholish Madjid terhadap kedua hal tersebut diharapkan
mampu menjadi pemicu tumbuhnya kesadaran dan kebangkitan sikap membangun
prinsip moral kemanusiaan dan keadilan sebagai sebuah landasan etis, dan
dijadikan sebagai upaya bagi bangsa ini untuk keluar dari persoalan politik yang
berkepanjangan. Serta dalam rangka mewujudkan kehidupan politik bangsa yang
beretika di masa yang akan datang.
8
Ibid. hal 175.
B. Rumusan Masalah
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana
pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika, terutama terkait dengan prinsip
moral kemanusiaan dan keadilan, mampu menjadi solusi bagi persoalan
kemerosotan moral dalam kehidupan politik bangsa Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dan memahami pemikiran
Nurcholish Madjid mengenai etika Islam dalam kehidupan politik bangsa
Indonesia, terutama yang berkaitan dengan prinsip moral kemanusiaan dan
keadilan. Kemudian, memberikan solusi bagi persoalan kemerosotan moral dalam
berpolitik. Tulisan ini juga memberikan manfaat serta menambah wawasan dan
pemahaman tentang kehidupan politik yang lebih beretika dengan
mengedepankan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan di masa mendatang.
D. Tinjauan Pustaka
1. Etika Politik dalam Perspektif Nurcholish Madjid
1.1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Etika Politik dalam Islam
Salah satu hal yang sangat diperlukan dalam menghadapi perubahan
kehidupan politik dewasa ini adalah masalah akhlak atau moral. Keberadaan Islam
yang besar dalam membentuk sisi kesadaran moral dan wawasan etis dalam kehidupan
politik bangsa ini.10
Sisi kesadaran moral yang sangat terkait dengan masalah etika inilah yang
kemudian membentuk lahirnya prinsip atau segi etis dalam berpolitik yang sesuai dengan
ajaran agama Islam, yaitu etika Islam dalam politik.
Kegiatan politik sendiri adalah kegiatan yang bertujuan untuk merebut dan
memperoleh kekuasaan, karena dengan kekuasaan seseorang atau kelompok
masyarakat akan mempunyai akses yang besar untuk ikut merumuskan dan
menetapkan kebijakan publik yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Bahkan
kekuasaan politik dianggap sebagai kekuatan nyata untuk mengatur kehidupan
masyarakat dalam berbagai aspeknya, karena tanpa kekuasaan politik pengaruh
seseorang atau kelompok tidak akan efektif dalam kehidupan masyarakat.
Prinsip etika politik bersinggungan dengan mengatur, mengarahkan, dan
memaksakan masalah-masalah kebijakan serta keputusan publik. Pada kasus Islam,
diperlukan suatu pola dan sistem etika politik yang begitu jelas, mengingat bahwa selama
ini pertumbuhan Islam tidak dapat dilepaskan dari relasi kuasa-politik. Sampai saat ini
terkesan bahwa politik Islam merupakan suatu reaksi budaya yang bersifat defensif
terhadap perubahan sosial yang demikian cepat. Sejak abad ke-18, masalah Islam
modern sebagai sistem agama dibangun berdasarkan konfrontasi dengan
kekuasaan superior di dalam bidang sains, teknologi, yang disebut dengan Eropa
modern. Imbas secara politik adalah tidak terbangunnya suatu tatanan etik-politis dalam
berbagai lapisannya.11
Dalam konsep filsafat Islam, etika politik didasarkan pada politik moral, bukan
politik kekuasaan. Kekuasaan sifatnya relatif dan tidak mutlak, yang dijalankan
dengan pengetahuan konseptual yang berdimensi transendental. Kepemimpinan politik
Islam tidak terletak pada Islam yang formalistik, tetapi pada Islam yang substansinya
ada pada aktualitas prinsip musyawarah, keadilan, kebenaran, persamaan, dan kebebasan
berpikir. Oleh karena itu, pilar penyangga dari lembaga kepemimpinan politik Islam,
tidak hanya pada adanya lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, tetapi juga
berfungsinya lembaga pers dan organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya
masyarakat (LSM).12
Dalam kehidupan politik, seringkali rnuncul fenomena politik kekuasaan, bukan
politik moral, yaitu tindakan politik yang semata-mata untuk merebut dan memperoleh
kekuasaan, karena dengan kekuasaan politik yang dimilikinya, seseorang atau
kelompok masyarakat akan memperoleh keuntungan materi, popularitas dan fasilitas
yang membuat hidupnya berkecukupan dan terhormat. Kondisi ini akan menyebabkan
seseorang menghalalkan segala macam cara dalam mencapai tujuan politiknya, termasuk
menjatuhkan kawan dan lawan sesuai dengan kepentingan politik yang ingin dicapai.
Sedangkan dalam politik moral, kekuasaan politik bukan tujuan akhir, tetapi
merupakan alat perjuangan dan cita-cita moral dan kemanusiaan. Tujuan kekuasaan
11
Musa Asy’ arie. 1999. Filsafat Islam Sunah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI. hal. 105.
yang hendak dicapai, tidak menghalalkan segala cara, tetapi ditentukan oleh cara-cara
yang bijak, yang dibenarkan oleh moralitas kemanusiaan dan kepatutan sosial.
Melihat hubungan antara etika politik dengan upaya menumbuhkan prinsip moral
maka masalah moral atau akhlak ini menjadi penting, karena merupakan sendi atau
ketahanan suatu bangsa dalam menghadapi cobaan dan perubahan. Tanpa moral atau
akhlak yang baik suatu bangsa akan binasa. Sebuah syair dalam bahasa Arab menyatakan:
"Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama (mereka berpegang pada) akhlaknya,
bila akhlak mereka rusak, maka rusak-binasa pulalah mereka".13
Saat ini moral atau akhlak merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam
menghadapi perubahan kehidupan bangsa yang sangat kompleks. Harapan pada
peranan ajaran Islam menjadi suatu hal yang wajar dalam menyikapi hal ini, terkait
dengan kesadaran keimanan seseorang karena beragama Islam, ataupun pada
kenyataan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia memeluk agama Islam.
Kondisi diatas diharapkan mampu melahirkan kesadaran bagi bangsa
Indonesia untuk melihat secara jujur dirinya melalui pertanyaan: “Benarkah bangsa
Indonesia, khususnya umat Islam, telah dijiwai dan dibimbing oleh akhlak yang
mulia?”. Sudahkah umat Islam memenuhi penegasan Nabi SAW, bahwa Beliau diutus
”hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran akhlak?”14
Bangsa Indonesia sering membanggakan diri sebagai “Bangsa Timur” (dengan
konotasi berbudaya tinggi dan sopan) atau “bangsa yang religius” (yang tentunya juga
berarti bangsa yang berakhlak tinggi). Tetapi dengan jujur harus diakui bahwa
13
Ibid. hal. 174.
kebanggaan tersebut sering kosong belaka. Mungkin sekali bahwa bangsa ini adalah
bangsa yang sopan dan ramah. Banyak orang asing yang membawa pulang kesan
positif itu, tetapi hal itu tampaknya terbatas hanya pada bidang-bidang pergaulan
perorangan sehari-hari. Meskipun hal ini juga penting, namun bukanlah hal yang sangat
sentral.15
Terkait dengan masalah moral atau akhlak tersebut, hal utama yang paling
menentukan bertahan atau hancurnya suatu bangsa adalah masalah keadilan,
sebagaimana menurut Al Quran, Q. S. Ar Rahman 55: 7-8, yang menerangkan bahwa
keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh jagad raya.
Melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos, dan dosa ketidakadilan
akan menyebabkan dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia, tidak peduli
apakah masyarakat itu (secara formal) terdiri dari masyarakat yang beragama atau tidak.
Namun, sebelum membicarakan prinsip moral keadilan ini, ada hal lain yang
lebih mendasar, dan bahkan menjadi landasan bagi umat manusia untuk mewujudkan
keadilan ini, yaitu adanya prinsip moral kemanusiaan yang menjelaskan mengenai
kesadaran manusia akan asal dan tujuan wujud serta hidupnya, yang harus berpusat
pada Tuhan Yang Maha Esa.
1. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid dalam Melihat Wacana Etika Politik di Barat
Sedangkan dalam perspektif Barat, pengertian etika yang digunakan di sini
mempunyai makna yang lebih mendasar, dari apa yang biasanya kita tangkap sebagai
arti dari kata etika itu sendiri. Etika tidak hanya diartikan sekedar masalah kesopanan
semata, melainkan dalam pengertiaannya yang lebih mendalam dimaksudkan sebagai
konsep dan ajaran yang serba meliputi atau komprehensif, yang menjadi pangkal
pandangan hidup tentang baik dan buruk, benar dan salah.
Ajaran etis dalam makna yang seluas-luasnya mencakup keseluruhan
pandangan dunia (Weltanschauung, world outlook) dan pandangan hidup
(liebenanschauung, way of life), dengan demikian pembicaraan tentang etika tidak dapat
lepas dari pembicaraan etika secara keseluruhan.
Menurut Karl Barth, etika (dari ethos) adalah sebanding dengan moral (dari
mos). Kedua-duanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitten). Perkataan
Jerman sine (dari Jerman kuno, situ) menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku
manusia, suatu konstansi (constancy, kelumintuan) tindakan manusia. Karena itu,
secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu, atau disiplin tentang moda-moda
tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia.16
Terkait dengan pengertian dan makna dari etika itu, maka dapat dikatakan bahwa
etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia.17
Walaupun, masih cukup banyak perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan
16 Nurcholish Madjid. 2003. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 466. 17
etika politik ini. Namun setidaknya, pengertian di atas cukup mampu mewakili apa yang
menjadi keterkaitan antara etika dan politik itu.
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis
untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab.
Hal ini mempunyai arti tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori. Melainkan secara
rasional, obyektif dan argumentatif.
Etika politik tidak secara langsung mencampuri urusan politik praktis. Etika
politik tidak dapat menentukan apa yang harus dilakukan oleh seseorang. Etika politik
memiliki tugas subsider, yaitu membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis
dapat dijalankan secara obyektif, artinya berdasarkan argumen-argumen yang dapat
dipahami dan ditanggapi oleh semua yang mengerti permasalahan.18
Etika politik tidak dapat mengkhotbahi para politikus, tetapi dapat
memberikan patokan-patokan orientasi dan pegangan-pegangan normatif bagi mereka
yang berkeinginan untuk menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok
ukur martabat manusia.19
Manfaat etika politik justru tidak bersifat "praktis". Melainkan sebaliknya, etika
politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat
dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Klaim-klaim legitimasi dari
segala macam kekuatan, baik bersifat langsung, maupun yang bersembunyi di belakang
pembenaran-pembenaran normatif dipaksa untuk membenarkan diri.
18
Ibid. hal. 3.
Etika politik ditempatkan sebagai upaya untuk mencari prinsip-prinsip moral
penataan masyarakat dan kritik terhadap klaim-klaim ideologis dalam negara yang
telah mendasarkan diri pada sebuah ideologi. Sebagaimana etika pada kehidupan
umumnya yang tidak berwenang untuk menawarkan suatu sistem moral, baik dalam
suatu masyarakat maupun individu, begitu pula etika politik tidak dapat menawarkan
suatu sistem normatif sebagai dasar negara.
Etika politik tidak berada di tingkat sistem legitimasi politik tertentu dan tidak
dapat menyaingi suatu ideologi negara. Tetapi etika politik dapat membantu usaha
masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas
politik yang nyata. Misalnya dengan merefleksikan apa inti keadilan sosial, apa
dasar etis kerakyatan, dan bagaimana kekuasaan harus ditangani supaya sesuai dengan
martabat manusia dan sebagainya.20
2. Prinsip Kemanusiaan dalam Perspektif Nurcholish Madjid
2. 1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Kemanusiaan dalam Islam
Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki kesempurnaan
tertinggi dan paling mulia. Manusia dianugerahi oleh Tuhan harkat dan martabat
kemanusiaan yang tinggi, namun manusia juga memiliki potensi yang besar untuk turun
derajat menjadi serendah-rendahnya mahluk, kecuali mereka yang beriman kepada Tuhan
dan berbuat kebaikan.
Sebagai mahluk sosial, manusia selalu berupaya untuk mempertahankan harkat
dan martabat kemanusiaannya, hal ini disebabkan karena manusia lebih banyak
mengalami kehilangan fithrah dan kebahagiannya karena berbagai kelemahan yang
dimiliki, kecuali jika dirinya memiiiki rasa ketuhanan yang kuat.
Prinsip moral kemanusiaan sangat terkait dengan agama, terutama dengan rasa
ketuhanan. Rasa kemanusiaan hanya terwujud jika dilandasi rasa ketuhanan. Rasa
kemanusiaan yang lepas dari rasa ketuhanan, akan menyebabkan terjadinya
praktek-praktek pemutlakan sesama manusia. Karena itu, kemanusiaan sejati harus bertujuan
pada keridlaan Tuhan semata. Orientasi keridlaan Tuhan ini merupakan landasan bagi
peningkatan nilai-nilai kemanusiaan seseorang.21 Mengenai hal ini dijelaskan dalam
Al Quran: "Barang siapa menghendaki kemuliaan, pada Allah-lah kemuliaan itu
semua. Kepada-Nyalah naik ide-ide yang baik (al khalim at thayyib), dan Dia
mengangkat (menghargai) perbuatan kebajikan".22
Nilai kemanusiaan dalam iman seseorang merupakan keseluruhan pandangan
transendental yang menyangkut kesadaran akan asal dan tujuan wujud serta hidupnya,
yang harus berpusat pada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia atau nilai kemanusiaan,
menjadi ukuran amal perbuatan, maka segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, yang
tidak bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan akan sirna, sedangkan yang
bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaaan akan tetap bertahan.23
21 Nurcholish Madjid. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Penerbit Paramadina. hal. 102.
22
Q. S. Al Fathir 35: 10.
Berdasarkan hal itu, manusia akan selalu memiliki kesadaran untuk
memusatkan pandangan kepada Tuhan, karena dengan demikian manusia akan
menemukan dirinya, dan memperoleh ketentraman lahir dan bathin serta rasa optimis
terhadap hidup serta kemantapan diri. Kondisi ini akan melahirkan manusia yang
berketuhanan, dan manusia yang berketuhanan secara otomatis akan menjadi manusia
yang berperikemanusiaan.24
Manusia yang berperikemanusiaan akan menjadi pribadi yang berpola hidup
saling menghormati sesama manusia. Pola hidup saling menghormati ini, merupakan
perwujudan saling memuliakan diantara manusia, sebagaiman Tuhan sendiri memuliakan
manusia.
Hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya ini membentuk sebuah
pola interaksi diantara pribadi-pribadi yang berbeda, yang pada akhirnya akan
berpengaruh pada kualitas dirinya sebagai manusia, yaitu kualitas harkat dan martabat.
Setiap pribadi harus memandang bahwa pola interaksi dengan pribadi yang lain
merupakan bentuk representasi seluruh kemanusiaan.
Perbuatan baik kepada seorang manusia akan bernilai sebagai perbuatan baik
kepada keseluruhan kemanusiaan, dan sebaliknya, perbuatan jahat kepada seorang
manusia akan bernilai sebagai perbuatan jahat kepada keseluruhan kemanusiaan.
Sebagaimana tercantum dalam Al Quran : "Oleh sebab itu telah kami (Tuhan) tetapkan
atas anak turun Israel bahwasanya barangsiapa membunuh seseorang tanpa
kesalahan (membunuh orang lain) atau membuat kerusakan di bumi maka
akan ia telah membunuh umat manusia seluruhnya, dan barangsiapa menghidupkan
(berbuat baik) kepadanya maka seakan-akan ia telah menghidupkan umat manusia
seluruhnya".25
Prinsip moral kemanusiaan yang berlandaskan rasa ketuhanan ini, pada
akhirnya akan mewujudkan pola hubungan antar manusia dalam semangat
egalitarianisme. Setiap pribadi manusia berharga sebagai mahluk Tuhan yang
bertanggungjawab langsung kepada-Nya, tidak seorangpun dari mereka itu yang
dibenarkan diingkari hak-hak azasinya, demikian pula sebaliknya. Maka dapat
disimpulkan bahwa prinsip moral kemanusiaan yang melahirkan semangat
egalitarianisme akan mampu melandasi demokrasi, dan menghindarkan dari
totalitarianisme, otoritarianisme dan tirani.26
2. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Kemanusiaan di Barat
Berbicara masalah kemanusiaan dalam perspektif Barat sangat terkait dengan
persoalan hak-hak azasi manusia (HAM). Persoalan HAM ini menjadi dasar bagi
persoalan kemanusiaan karena didalamnya terkait dengan hak-hak dasar manusia
yang berasal dari pemberian Tuhan, tanpa memandang berbagai perbedaan yang ada.
Kesadaran akan hak azasi manusia (HAM) mulai tumbuh di Barat dengan beberapa
tonggak penting diantaranya, yaitu :
25
Q. S. Al Maidah 5: 32.
a. Perjanjian Agung (Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian
dari pemberontakan para Baron Inggris terhadap Raja John (saudara raja Richard,
seorang pemimpin tentara Salib). Isi pokok dokumen ini adalah agar raja tidak
melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi dari seorang
rakyat. Pendorong pemberontakan para Baron itu sendiri antara lain karena
dikenakannya pajak yang sangat besar oleh raja, dan dipaksakannya para Baron
untuk membolehkan anak-anak perempuan mereka kawin dengan rakyat biasa.
b. Bill of Rights (1628), berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan
dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun, atau
untuk memenjara, menyiksa, dan mengirimkan tentara secara sewenang-wenang tanpa
dasar hukum.
c. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli 1776, memuat penegasan bahwa
setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup
dan mengejar kebahagiaan, serta keharusan mengganti pemerintahan yang tidak
mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut.
d. Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de l
'Homme et du Citoyen), Prancis, 4 Agustus 1789, dengan titik berat pada lima hak
azasi manusia, yaitu pemilikan harta (propiete), kebebasan (liberte), persamaan
(egalite), keamanan (securite) dan perlawanan terhadap penindasan (resistence a l
'oppression).
e. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Azasi Manusia, Desember 1948, yang memuat
perkawinan, pendidikan, pekerjaan dan kebebasan beragama (termasuk hak untuk
berpindah agama).27
Sejarah panjang kemanusiaan dalam upaya penegakan hak-hak azasi
manusia di atas merupakan bukti bahwa ide tentang hak azasi bukanlah sesuatu yang
muncul begitu saja, melainkan melalui suatu perjalanan panjang dan pengorbanan
yang besar. Seluruh umat manusia wajib menyadari dan menghayati hal ini serta
berapaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan pengakuan terhadap hak-hak
azasi manusia itu.
Hak-hak azasi manusia sesungguhnya juga merupakan bagian dari hakikat
kemanusiaan yang paling intrinsik, maka sejarah pertumbuhan konsep-konsepnya dan
perjuangan menegakkannya sekaligus menyatu dengan sejarah manusia dan kemanusiaan
itu sendiri semenjak dikenalnya peradaban. Hal ini dapat dilihat dari ajaran-ajaran agama,
terutama agama-agama semitik (Yahudi, Kristen dan Islam) dimana salah satu persoalan
kemanusiaan yang paling dini diungkapkan melalui penuturan tentang peristiwa
pembunuhan yang menyangkut dua anak lelaki Adam dan Hawa, yaitu Qadil (Cain) dan
Habil (Abel). Peristiwa pembunuhan pertama sesama manusia ini menghasilkan dekrit
Tuhan : "Bahwa barang siapa membunuh suatu jiwa tanpa (kesalahan) membunuh jiwa
yang lain atau membuat kerusakan di bumi, maka ia bagaikan membunuh umat manusia
seluruhnya, dan barang siapa menolong hidup suatu jiwa maka ia bagaikan menolong
hidup umat manusia seluruhnya". (Q. S. Al Maidah 5: 27-32 dan Kitab Kejadian 4. 1-16).28
27
Nurcholish Madjid. 2003. Islam Agama Kemanusiaan. Ibid. hal. 212.
3. Prinsip Keadilan dalam Perspektif Nurcholish Madjid
3. 1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Keadilan dalam Islam
Prinsip moral keadilan memiliki keterkaitan dengan iman. Keadilan bagi manusia
merupakan tindakan persaksian, bagi Tuhan Yang Maha Adil. Menegakkan prinsip
keadilan merupakan perbuatan yang mendekati takwa atau keinsyafan ketuhanan dalam
diri manusia.
Jika keadilan dikaitkan dengan agama, maka yang pertama-tama dapat
dikatakan ialah bahwa usaha mewujudkan keadilan merupakan salah satu dari
sekian banyak sisi kenyataan tentang agama. Sudah sejak umat manusia mengenal
peradaban di lembah Sawab (Mesopotamia, Irak sekarang) sekitar 6000 tahun
lalu, persoalan keadilan selalu merupakan tantangan hidup yang tidak pernah
berhenti diperjuangkan.29
Sejarah manusia yang mengantarkannya untuk mengenal peradaban telah
menyebabkan lahirnya tingkatan-tingkatan dalam kehidupan. Tingkatan dalam
kehidupan ini menyebabkan ada kelompok manusia yang kuat dan menguasai
kelompok yang lebih lemah. Hal inilah yang kemudian melahirkan masalah
keadilan.
Keadilan berasal dari kata adil, istilah dalam bahasa Arab yaitu, adl atau
qisth. Merupakan istilah yang serba meliputi, mencakup semua jenis kebaikan
dalam pemikiran kefilsafatan. Namun, keadilan memiliki dasar rasa ketuhanan,
maka hal ini menyebabkan keadilan berdasarkan iman melahirkan makna yang
lebih dalam dan manusiawi, dari sekedar keadilan formal dalam sistem hukum
Romawi.30
Tetapi dalam Al Quran, pengertian adil atau justice ini ternyata tidak
hanya diwakili oleh kata ’adl. Sebagai kata benda, paling tidak ada dua kata yang
artinya adil atau justice, yakni ‘adl itu sendiri dan qisth. Dari akar kata ‘a-d-l,
sebagai kata benda, kata ini disebut sebanyak 14 kali dalam Al Quran, sedangkan
kata qisth berasal dari akar kata q-s-th, diulang sebanyak 15 kali sebagai kata
benda.31
Kata yang artinya keadilan ini dalam Al Quran mula-mula diturunkan,
baik kata 'adl maupun qisth adalah dalam surat Al A'raf 7: 29, 159 dan 18. Dalam
Al A'raf 7: 29 ini kata keadilan dinyatakan dengan qisth. Arti dari ayat tersebut
adalah: Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami
mendapati nenek moyang kami mengerjakan perbuatan yang demikian itu, dan Allah
menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh
(mengerjakan) perbuatan yang keji". Mengapa engkau mengada-ada terhadap Allah
apa yang kamu tidak ketahui? Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan
keadilan (qisth)". Dan katakanlah: "Luruskan mukamu di setiap shalat dan
sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya, sebagaimana Dia
30 Nurcholish Madjid. 2003. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 115. 31
telah menciptakan kamu pada awalnya, demikian pulalah kamu akan kembali
kepada-Nya.32
Pada Al A'raf 28 dinyatakan bahwa Allah melarang perbuatan keji.
Menurut riwayat, yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini adalah perbuatan syirik,
seperti lari-lari (bertelanjang) di depan Ka'bah yang dilakukan orang-orang musyrik (agar
Allah merasa senang). Ketika mereka diperingatkan bahwa perbuatan itu tidak
sepantasnya, mereka memberi alasan, bahwa hal itu sudah menjadi tradisi
turun-temurun dan suruhan Allah juga. Hal ini disanggah oleh Allah, bahwa dia tidak
menyuruh orang melakukan perbuatan keji.33
Ayat 29, selanjutnya menjelaskan bahwa Allah menyuruh orang menjalankan
keadilan. Secara konkret, yang disebut keadilan (qisth) ini adalah: (a) mengkonsentrasikan
perhatian dan shalat kepada Allah, dan (b) mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.
"Meluruskan muka (wajah)" dalam shalat, pada ayat 29 ini maksudnya adalah tidak
menyangkutkan perhatian kepada sesuatu yang lain, yang membuat seseorang seolah-olah
menyembah sesuatu perantaraan, yang berarti syirik. Maksud lain keadilan pada ayat di
atas adalah taat secara ikhlas kepada Allah. Ketaatan yang ikhlas ini artinya
mendasarkan diri dan berorientasi kepada Allah, berbuat sesuatu karena diperintahkan
Allah, dan tidak berbuat sesuatu karena dilarang oleh Allah. Keadilan kedua ini
merupakan konsekuensi dari keadilan pertama.34
Lawan dari keadilan adalah tindakan yang meragikan manusia, yang
merampas hak-hak manusia dan segala perbuatan yang dapat menimbulkan
32 Ibid. hal. 370. 33
Ibid. hal. 370.
kerusakan pada masyarakat. Apabila kita meletakkan keadilan pada konteks
sekarang, maka perjuangan hak-hak asasi manusia adalah perjuangan menegakkan
keadilan. Demikian pula perjuangan mencegah kerusakan lingkungan hidup. Semua
kegiatan yang berusaha meniadakan kerugian pada masyarakat dan mengembalikan
hak-hak rakyat, dapat disebut sebagai perjuangan menegakkan keadilan.
Berbuat adil, adalah standar minimal bagi perilaku manusia. Kelanjutan dari
bersikap adil adalah berbuat kebajikan dan beramal sosial, setidak-tidaknya kepada
kaum kerabatnya sendiri, berbarengan dengan itu, orang juga harus mampu
menghindarkan diri dari berbagai perilaku keji, mungkar, dan permusuhan dengan sesama
manusia.
Dalam Islam, keadilan pada akhirnya -dan dalam renungan
tertinggi-dipahami sebagai "keadilan Illahi". Ada tiga nilai fundamental yang dinyatakan dalam
Al Quran, yaitu: Tawhid atau pengesaan Tuhan, Islam atau penyerahan dan ketundukan
kepada Allah, dan Keadilan, yaitu keyakinan bahwa segala perbuatan kita di dunia ini
kelak akan dinilai Allah, Hakim Yang Maha Adil.
Rasa keadilan yang berdasarkan iman akan keluar dari hati nurani yang
terdalam. Keadilan ini terkait erat dengan ihsan, yaitu keinginan berbuat baik untuk
sesama manusia secara tulus dan murni karena perbuatan tersebut merupakan wujud
persaksian kepada Tuhan, dan tidak akan pernah dapat disembunyikan,
Istilah lain mengenai "adil" juga berasal dari bahasa Arab, yang berarti tengah
atau seimbang. Jadi dapat dikatakan bahwa prinsip dasar dari keadilan adalah
kiri. Kemampuan untuk berbuat adil senantiasa dikaitkan dengan kearifan atau wisdom,
yang dalam bahasa Arab disebut sebagai hikmah, yaitu suatu kualitas pribadi yang
diperoleh karena adanya pengetahuan yang menyeluruh dan seimbang (tidak pincang atau
parsial) tentang suatu perkara.35
Terkait dengan masalah keadilan ini di dalam Al Quran dijelaskan bahwa hal ini
dikaitkan hukum ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya. Pelanggaran terhadap
prinsip keadilan dapat diartikan sebagai melanggar hukum kosmos, dan berarti
merupakan sebuah dosa besar. Allah berfirman: "Dan langitpun ditinggikan oleh-Nya,
dan ditetapkan-Nya (hukum) keseimbangan (Al Mizan). Maka hendaknya kamu (umat
manusia) janganlah melanggar (hukum) keseimbangan itu, serta tegakkanlah
timbangan dengan jujur, dan janganlah merugikan (hukum) keseimbangan ".36
Salah seorang ahli tafsir Al-Quran yang terkenal, Al Zamakhsyari,
mengatakan bahwa perkataan "timbangan" atau "al-wazn" dalam firman Allah itu
dapat diartikan secara metamorfosis. Maksud "timbangan" dalam artian ini ialah setiap
rasa keadilan yang meliputi seluruh kegiatan hidup kita, baik yang lahir maupun bathin.
Maka perintah Allah agar kita "melakukan timbangan secara jujur itu" ialah
perintah agar kita dalam segala perkara senantiasa memperhatikan rasa keadilan dan
kejujuran. Jika tidak, maka berarti kita telah melanggar, merusak dan merugikan
hukum seluruh alam raya. Ini berarti bahwa reaksi keberatan terhadap tindakan tidak
adil dan tidak jujur, berasal tidak hanya dari orang yang dirugikan, tetapi juga berasal
35
Nurcholish Madjid. 2002. Pintu Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Penerbit Paramadina. hal. 41.
dari seluruh alam raya. Hal ini yang menjelaskan bahwa keadilan adalah sebuah hukum
kosmos.
Terkait dengan masalah hukum kosmos ini juga maka dapat dikatakan bahwa
keadilan adalah sunatullah ("sunat Allah"). Sebagai sebuah kepastian sunatullah
maka keadilan adalah sesuatu yang obyektif dan tidak akan berubah (immutable).
Keadilan dikatakan obyektif karena tidak tergantung pada pikiran atau kehendak
manusia, dan tidak akan berubah karena berlaku selama-lamanya tanpa interupsi atau
koneksi kepada seseorang.37 Sifat obyektif jugalah yang mengantarkan keadilan
memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemanusiaan, dimana manusia
dalam keadilan ini dilihat dalam proporsi dan kedudukan yang sama tanpa adanya suatu
perbedaan.
Selain itu, keadilan juga memiliki makna yang sangat penting, ketika
dikaitkan dengan "amanat" (amanah), yang berarti titipan suci dari Tuhan kepada umat
manusia untuk sesamanya, terutama amanat ini terkait dengan masalah memerintah
atau kekuasaan.
Kekuasaan pemerintahan adalah sesuatu yang tak terhindarkan demi
ketertiban tatanan kehidupan manusia. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah
kepatuhan dari banyak orang kepada para penguasa (ulu al-amr, bentuk dari wali al-amr).
Kekuasaan dan ketaatan adalah dua segi dari satu kenyataan. Namun, kekuasaan yang
patut dan harus ditaati hanyalah yang berasal dari orang banyak dan mencerminkan rasa
keadilan karena menjalankan amanat Tuhan. Maka yang pertama-tama harus dipenuhi bagi
suatu kekuasaan untuk mendapatkan keabsahan atau legitimasinya, adalah menjalankan
amanat itu, dengan menegakkan keadilan sebagai saksi kehadiran Tuhan.38
Hal itu tertulis dalam Al Quran: "Hai sekalian orang beriman, taatlah kepada
Allah, dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada para pemegang kekuasaan dari
antara kamu. Jika kamu berselisih tentang suatu perkara, kembalikanlah kepada
Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Itulah keputusan yang lebih baik dan lebih tepat".39
Beberapa pendekatan kebahasaan di atas sudah cukup menjelaskan apa yang
dimaksud dengan "adil" dan "keadilan" menurut ajaran agama Islam. Sedangkan
sebagai konsep, makna keadilan itu jauh lebih luas dan rumit daripada makna
kebahasaannya. Menurut Murtadla al Muthahhari, salah seorang pemikir muslim zaman
modem, terdapat empat pengertian pokok tentang adil dan keadilan:40
Pertama, keadilan mengandung pengertian perimbangan atau keadaan
seimbang (mawzun, balanced), tidak pincang. Jika suatu kesatuan terdiri dari
bagian-bagian yang kesemuanya secara bersama-sama dalam kesatuan itu menuju satu tujuan
yang sama, maka dituntut beberapa syarat tertentu, bahwa masing-masing bagian itu
mempunyai ukuran yang tepat dan berada dalam kaitan yang tepat pula antara satu
dengan lainnya dan antara setiap bagian itu dengan keseluruhan kesatuan. Kondisi
ini akan menyebabkan keseluruhan kesatuan tersebut akan mampu untuk
mempertahankan diri dan mencapai tujuan yang diharapkan.
38 Nurcholish Madjid. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 116. 39
An Nisa 4: 58.
Kedua, keadilan mengandung makna persamaan (musawah, egalite) dan tidak
adanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Berdasarkan makna ini seseorang dikatakan
bertindak adil jika dirinya memperlakukan orang lain secara sama. Perlakuan yang
sama ini dengan tetap memperhatikan adanya perbedaan kemampuan, tugas, dan
fungsi dari masing-masing orang. Perlakuan sama tanpa memperhatikan hal-hal tersebut
justru merupakan sebuah kezaliman. Tetapi jika perlakuan yang sama dilakukan
terhadap orang yang memiliki hak yang sama (kemampuan, fungsi dan tugas yang
sama), maka pengertian persamaan sebagai makna keadilan dapat dibenarkan.
Ketiga, keadilan bermakna sebagai pemberian perhatian kepada hak-hak pribadi
dan penunaian hak kepada siapa saja yang berhak. Perampasan hak dan pelanggaran hak
oleh orang yang tidak berhak merupakan bentuk kezaliman dari pengertian ini. Keadilan
dalam makna ini menyangkut dua hal penting, yaitu: (a) masalah hak dan kepemilikan
(al-huquq wa al-uluwiyyat, rights and properties). Hal ini tidak saja mencakup hak dan
pemilikan seseorang sesuai dengan usaha dan hasil usahanya, tetapi juga mencakup hak
dan pemilikan alami, seperti hak seorang bayi untuk mendapatkan susuan ibunya,
berdasarkan "design" alami berkenaan dengan kebutuhan bayi itu untuk
pertumbuhannya. (b) kekhususan hakiki manusia, yaitu kualitas manusiawi tertentu
yang haras dipenuhi oleh dirinya dan diakui oleh orang lain untuk dapat mencapai
tujuan hidupnya yang lebih tinggi. Menghalangi orang lain dari memenuhi kualitas itu
atau mengingkarinya adalah kezaliman.
Keempat, makna keadilan adalah keadilan Tuhan (al-Ad'l al-lllahi), berupa
dengan kesediaannya untuk menerima eksistensi dirinya sendiri dan pertumbuhannya ke
arah kesempurnaan.
Sedangkan menurut Baharuddin Lopa ada lima model keadilan yang
didapatkan dari ajaran Islam. Pertama, keadilan hukum, yakni keadilan yang dapat
mewujudkan ketentraman, kebahagiaan dan ketenangan secara wajar dalam
masyarakat (Q. S. Al Maidah: 8, Q. S. An Nisa: 5-6, Q. S. An Nisa: 58, Q. S. Al
Hujurat: 12, Q. S. Al Isra: 15 dan Q. S. Al Hadid: 25). Kedua, keadilan dalam
kehidupan sosial ekonomi (Q. S. Al Jumu' ah: 10, Q. S. Al Baqarah: 29, Q. S. Al
Baqarah: 188, Q. S. Al Mulk: 15, Q. S. At Taubah: 105, Q. S. Al Qashash: 77, Q. S.
An Nisa: 58, Q. S. At Thur: 21). Ketiga, keadilan dalam kehidupan beragama (Q. S.
Ar Ruum: 30, Q. S. Al Baqarah: 111, Q. S. Al Baqarah: 170, Q. S. Al Ankabut: 46, Q.
S. Al An’ am: 148, Q. S. Saba': 24, Q. S. Al Ahqaf: 4, Q. S. At Thur: 34, Q. S. Al
Maidah: 6, Q. S. Al Maidah: 104, Q. S. Al Hasyr: 2, Q. S. An Nisa: 59, Q. S. An
Nisa: 82, Q. S. As Syura: 10, Q. S. Al Isra': 36, Q. S. Yunus: 68, Q. S. An Nahl: 43, Q.
S. At Taubah: 122).41
3. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Keadilan di Barat
Keadilan dalam perspektif Barat, diartikan sebagai memberi
masing-masing pihak apa yang menjadi haknya. Jadi, sasarannya adalah hak-hak manusia, baik
sebagai perorangan maupun sebagai masyarakat dan warga negara. Manusia
mempunyai hak-hak, baik sebagai perorangan maupun sebagai warga masyarakat atau
41
negara. Demikian pula masyarakat dan negara mempunyai hak-hak yang harus
dihormati oleh para anggotanya.
Keadilan dapat pula ditinjau dari beberapa aspek, yaitu aspek hukum,
politik, materi dan kesempatan.42 Keadilan dilihat dari segi hukum berarti adanya
persamaan di depan hukum atau adanya kesamaan kedudukan yang dimiliki oleh
setiap individu di depan hukum. Keadilan dalam arti ini tidak pernah terwujud
sepenuhnya, karena dalam hukum tetap ditemukan adanya perlakuan yang berbeda
menyangkut keberadaan seseorang dari segi fisik, seperti anak-dewasa, pria-wanita,
sehat-sakit. Melihat kenyataan ini maka digunakanlah istilah "keadilan prosedural"
untuk keadilan hukum ini. Menurut Almond, keadilan prosedural menunjukkan
kondisi-kondisi, pembatasan-pembatasan dan proses-proses tertentu yang dibutuhkan
dalam penerapan hukum terhadap para pelanggar hukum.
Keadilan dari segi politik, berarti persamaan politik (political equality),
meliputi kesamaan hak memilih seseorang untuk menduduki suatu jabatan tertentu,
mencalonkan diri untuk suatu jabatan tertentu (rekrutmen politik) dan berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatan politik.
Keadilan dari segi materi, berarti persamaan materi (material equality).
Terdapat perdebatan terkait dengan keadilan materi ini, yaitu apakah suatu
keputusan politik dapat memberikan, atau bahkan harus memberikan persamaan materi
kepada mereka yang memilikinya. Jadi menyangkut distribusi barang-barang dan
jasa, atau sama dengan keadilan distributif tersebut di atas. Sering dikatakan bahwa
42
persamaan materi merupakan suatu prasyarat bagi persamaan-persamaan lain, dalam
kasus di mana konflik di antara nilai-nilai politik tidak dapat ditangani atau diselesaikan
dengan mudah.
Keadilan dari segi kesempatan, berarti adanya persamaan kesempatan (equal
opportunity), bahwa semua orang mempunyai kesempatan yang sama dan memiliki
hak-hak yang sama untuk menggunakan kesempatan tersebut. Menghormati hak-hak-hak-hak tersebut
adalah adil dan melanggar hak-hak tersebut adalah tidak adil.
E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi tentang pemikiran Nurcholish Madjid
mengenai segi etis dalam Islam, yang secara konsisten dijelaskan olehnya meliputi prinsip
moral kemanusiaan dan keadilan. Segi etis inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
etika politik dalam kehidupan politik modern sekarang ini.
Pilihan ini kemudian menjadikan metode penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif menjadi relevan untuk digunakan karena akan banyak bermanfaat dalam proses
analisa dan pemaknaan data yang tidak bersifat statistika.
Adapun langkah-langkah metodis yang ditempuh dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Inventarisasi; untuk mengurai berbagai konsep mengenai etika Islam ini,
pertama-tama akan dihimpun berbagai literature yang memperjelas identifikasi konsep etis
keadilan. Kemudian akan ditampilkan berbagai perspektif tentang prinsip-prinsip
moral ini, berbagai pandangan pakar atau filosof tentang hal ini, mengkomparasikan
pandangan-pandangan tersebut dan juga akan digali bagaimana praksis-praksis
mengenai kedua prinsip ini dalam kehidupan politik yang banyak mengalami
berbagai tafsir konseptual dan perdebatan karena adanya perbedaan pandangan.
b. Analisis konsep; langkah selanjutnya adalah analisis konsep yang berguna untuk
melihat dan memaknai sejauh mana prinsip-prinsip yang ditawarkan ini mampu
memberikan solusi bagi persoalan yang timbul, kelebihan dan kelemahan yang
dimiliki, serta faktor ideologis atau strategis apa yang menyebabkan lahirnya
pemikiran tersebut.
c. Komparasi; langkah berikutnya adalah dengan mengkomparasikan dan
mempertentangkan konsep ini dengan konsep serupa menurut pemikiran Barat maupun
Islam sendiri dalam Al Quran, sehingga akan diketahui sisi-sisi persamaan
ataupun perbedaan diantara keduanya atau bahkan gabungan dari dua jalur pemikiran
itu.
d. Sintesis; langkah berikutnya adalah dengan "mengendapkan" hakikat dari seluruh
hal yang ada untuk kemudian dapat diperoleh pemaknaan yang utuh dan menyeluruh
mengenai konsep tersebut, dan kesesuaiannya untuk menghadapi berbagai
persoalan dalam kehidupan sosial dan politik yang diharapkan akan memperoleh
"pencerahan" dengan kembali ke jalan agama ini.
e. Heuristika; setelah berbagai konsep mengenai prinsip-prinsip moral ini dikupas
pandangan tokoh yang menelurkan pemikiran tersebut, atau bahkan lahir suatu cara
pemaknaan baru melihat konsep etis dalam Islam ini, terutama terkait dengan
persoalan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Hal ini diharapkan bisa
membuka cakrawala dan pemahaman baru mengenai cara berpolitik yang lebih santun
dan bermartabat melalui penerapan etika politik yang benar menurut ajaran agama
Islam.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kepustakaan (library
research). Penelitian ini akan merujuk pada berbagai pustaka yang telah disiapkan,
baik dari buku-buku yang merupakan sumber utama dari pemikiran Nurcholish Madjid,
maupun tulisan orang lain mengenai pemikiran Nurcholish Madjid ini, juga buku-buku
yang memuat konsep mengenai etika politik, segi etis dalam Islam, maupun
prinsip-prinsip moral kemanusiaan dan keadilan dalam berbagai tulisan dan pendapat, baik
yang berbahasa Indonesia, Inggris, maupun Arab.
Kajian ini juga akan memanfaatkan referensi dari berbagai artikel, baik di koran,
majalah, dan situs-situs internet yang mendukung tema bahasan. Berbagai pustaka yang
telah disiapkan ini, diharapkan bisa mendukung, memperlancar dan mempermudah
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan melalui cara mengumpulkan data yang
berupa bahan-bahan tertulis, termasuk arsip-arsip, buku-buku tentang pendapat, teori,
dalil atau hukum-hukum yang berhubungan dengan penelitian.43
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer berupa karya-karya Nurcholish Madjid, baik berupa tulisan
maupun pernyataan-pernyataannya, baik berupa buku maupun artikel di berbagai media
massa cetak.44
Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah data pendukung yang
relevan dan berkaitan secara langsung maupun tidak langsung, seperti tulisan ataupun
pemyataan yang membahas pemikiran dari Nurcholish Madjid oleh tokoh lain.
4. Metode Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan ke dalam pola,
kategori, dan satuan uraian dasar sehmgga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan
hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.45
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan tahap-tahap seperti di bawah ini:
a. Membaca dan melakukan telaah terhadap sumber data yang terkait dengan penelitian
ini.
43
Hadari Nawawi dan Martini Hadari. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Press. hal. 69-70.
44 Anton Baker dan Ahmad Chariss Zubair. 1994. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta:
Kanisius. hal. 61.
45
b. Mengadakan reduksi data untuk mengidentifikasikan aspek-aspek penting dari isu-isu
penting dalam pertanyaan, memfokuskan pengumpulan data dan metode, sampai
dengan kesimpulan. Reduksi data ini dapat dilakukan dengan membuat abstraksi,
yaitu usaha membuat rangkuman yang inti, proses, pernyataan-pernyataan yang
perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya.46
c. Menyusun dalam satuan-satuan kategorisasi yang lebih spesifik.
d. Pemeriksaan terhadap keabsahan data.
e. Penafsiran atau intepretasi atas teks sampai pada penarikan kesimpulan sesuai dengan
pertanyaan penelitian.