• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam Dan Etika Bangsa (Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan Politik Moral)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Islam Dan Etika Bangsa (Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan Politik Moral)"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

ISLAM DAN ETIKA BANGSA

(Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan Politik Moral)

SKRIPSI

M. Aulia Afrianshah 030906049

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ISLAM DAN ETIKA BANGSA

(Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan Politik Moral)

M. Aulia Afrianshah 030906049

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

M. AULIA AFRIANSHAH (030906049)

ISLAM DAN ETIKA BANGSA

(Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan Politik Moral)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika Islam dalam kehidupan politik bangsa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Nurcholish Madjid, tokoh yang selama ini banyak memberikan sumbangan pemikirannya dalam kehidupan keagamaan dan politik di Indonesia, memiliki pandangan yang secara jelas menggambarkan keterkaitan antara agama (Islam) dan politik. Salah satunya mengenai hubungan antara kekuasaan dan moral. Menurutnya dalam kehidupan politik kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keagamaan. Kehidupan politik yang pada dasarnya bersifat duniawi, tidak bisa lepas dari tuntunan moral yang tinggi. Berpolitik haruslah dengan standar akhlak mulia, yang dikenal dengan etika politik. Melihat begitu besarnya peran etika, terutama prinsip moral kemanusiaan dan keadilan dalam menentukan kelangsungan hidup manusia -termasuk dalam kehidupan politik- maka sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk kembali bersandar pada kedua hal tersebut. Hal itu sebagai upaya untuk keluar dari berbagai persoalan yang menghimpit kehidupan politik bangsa saat ini. Dengan melihat hal tersebut, penelitian ini menjawab indikator pertanyaan Bagaimana pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika, terutama terkait dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan itu mampu menjadi solusi bagi persoalan kemerosotan moral dalam kehidupan politik bangsa Indonesia sekarang ini?

(4)
(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICS DEPARTMENT OF POLITICS

M. AULIA AFRIANSHAH (030906049)

ISLAM AND NATION ETHICS

(The Idea of Nurcholish Madjid about Ethics, Humanism and Justice as a Guide of Moral Politics)

ABSTRACT

This research tries to explain the idea of Nurcholish Madjid which is concerning about Islam ethics in life of Indonesian nation politics, especially related to human moral principle and justice. Nurcholish Madjid, figure which is during the time giving many idea contribution in political and religious life in Indonesia, owning view which clearly depict related between religion (Islam) and politics. One of them regarding relation between moral and power. According to him, in political life we may not leave religious values. Political life which is based on the character of earthlyly, cannot get out from high moral guide. Politics shall august behavior standard, which have recognized with political ethics. Seeing the great level of the ethics role, especially human moral principle and justice in determining the continuity of human life -included in political lifes- hence of vital importance to Indonesian nation for back again to rely on both of the things. That things is as an effort to go out from various problem which is squeezing life of nation politics in this time. Seen the mentioned, this research have answered the question indicator How the idea of Nurcholish Madjid is concerning about ethics, especially related to human moral principle and justice can become a solution for the problem of moral decline in political lifes of Indonesian nation this time?

(6)
(7)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Dilaksanakan pada:

Hari :

Tanggal :

Pukul :

Tempat : Ruang Sidang Fisip USU

Tim Penguji:

Ketua :

Drs. Heri Kusmanto, MA. ( )

NIP. 132215084

Anggota 1 :

Warjio, SS., MA. ( )

NIP. 132316810

Anggota II :

Indra Fauzan, SIP., MSi. ( )

(8)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh

Nama : M. Aulia Afrianshah

NIM : 030906049

Departemen : Ilmu Politik

Judul : ISLAM DAN ETIKA BANGSA

(Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan Politik Moral)

Menyetujui: Ketua

Departemen Ilmu Politik

(Drs. Heri Kusmanto, MA) NIP. 132215084

Dosen Pembimbing, Dosen Pembaca,

(Warjio, SS., MA) (Indra Fauzan, SIP., MSi)

NIP. 132316810 NIP.

Mengetahui: Dekan Fisip USU,

(9)

Segala puji bagi-Nya, Tuhan seluruh alam. Karya ini dipersembahkan untuk

(10)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “Islam dan Etika Bangsa: Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan dalam Politik Moral”. Skripsi ini menjelaskan tentang pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika Islam dalam kehidupan politik bangsa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Nurcholish Madjid, tokoh yang selama ini banyak memberikan sumbangan pemikirannya dalam kehidupan keagamaan dan politik di Indonesia, memiliki pandangan yang secara jelas menggambarkan keterkaitan antara agama (Islam) dan politik. Salah satunya mengenai hubungan antara kekuasaan dan moral.

Dalam skripsi ini mengungkapkan bahwa kehidupan politik kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keagamaan. Kehidupan politik yang pada dasarnya bersifat duniawi, tidak bisa lepas dari tuntunan moral yang tinggi. Berpolitik haruslah dengan standar akhlak mulia, yang dikenal dengan etika politik. Melihat begitu besarnya peran etika, terutama prinsip moral kemanusiaan dan keadilan dalam menentukan kelangsungan hidup manusia -termasuk dalam kehidupan politik- maka sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk kembali bersandar pada kedua hal tersebut. Hal itu sebagai upaya untuk keluar dari berbagai persoalan yang menghimpit kehidupan politik bangsa saat ini. Dengan melihat hal tersebut, penelitian ini menjawab indikator pertanyaan Bagaimana pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika, terutama terkait dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan itu mampu menjadi solusi bagi persoalan kemerosotan moral dalam kehidupan politik bangsa Indonesia sekarang ini.

Puji syukur saya kepada Allah Swt., yang telah memberi rahmat kesempatan dan kesehatan untuk menyelesaikan studi ini yaitu berupa penulisan skripsi dari hasil penelitian yang dikerjakan, dari proses awal, tidak kurang dari delapan bulan. Salawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw., Al Mahdi Al Mawdud, yang membawa dan menunjukkan kepada jalan yang lurus.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarnya kepada Bapak Warjio, S.S., M.A., selaku dosen pembimbing, yang telah memberikan bantuan dan bimbingan berupa masukan dan kritik yang membangun. Terimakasih pula saya sampaikan kepada Bapak Indra Fauzan, SIP., MSi., selaku dosen pembaca, yang memberikan masukan-masukan konstruktif kepada penulis. Dan ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Drs. Heri Kusmanto, MA., sebagai ketua penguji yang memberikan masukan dan koreksi bagi penulis.

(11)

penulis banyak mendapatkan pengalaman dan kenangan yang tidak dapat lekang selama berada dalam kehidupan kampus, dan itu memberikan makna tentang arti sebuah persahabatan.

Kepada seluruh orang yang telah membantu, meluangkan waktunya, meminjamkan kepada saya buku sebagai bahan refensi bagi penulis, dan serta memberikan segala informasi yang penulis butuhkan bagi penulisan skripsi ini. Maka atas semua itu saya mengucapkan terimakasih. Semoga kebaikan yang telah anda lakukan dan yang saya kerjakan ini mendapat berkah dan di ridhoi oleh Nya.

Medan, Januari 2010

(12)

DAFTAR ISI

1. Etika Politik dalam Perspektif Nurcholish Madjid 1.1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Etika Politik dalam Islam ... 7

1.2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid dalam Melihat Wacana Etika Politik di Barat ... 12

2. Prinsip Kemanusiaan dalam Perspektif Nurcholish Madjid 2.1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Kemanusiaan dalam Islam ………. 14

2.2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid dalam Melihat Wacana Kemanusiaan di Barat ... 17

3. Prinsip Keadilan dalam Perspektif Nurcholish Madjid 3.1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Keadilan dalam Islam ………. 20

3.2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid dalam Melihat Wacana Kemanusiaan di Barat ……… 28

E. Metodologi Penelitian ………... 30

1. Metode Penelitian ………... 30

2. Jenis Penelitian ………32

3. Metode Pengumpulan Data ………. 33

4. Metode Analisis Data ……….. 33

(13)

BAB II SEJARAH SOSIAL DAN INTELEKTUAL NURCHOLISH MADJID

A. Riwayat Hidup Nurcholish Madjid ………... 38 B. Perjalanan Intelektual Nurcholish Madjid ……… 48 C. Karya-karya Intelektual Nurcholish Madjid ………. 51

BAB III PEMIKIRAN NURCHOLISH MADJID:

ESENSI KEMANUSIAAN DAN KEADILAN DALAM POLITIK MENUJU BANGSA YANG BERETIKA

A. Etika dan Keteguhan Moral Bangsa ... 54 B. Kemanusiaan Melahirkan Demokrasi dalam Politik ... 60 C. Keadilan Melahirkan Obyektivitas dalam Politik ... 68

BAB IV ANALISIS

A. Etika dan Moralitas Kepemimpinan: Mampukah

Mengatasi Seluruh Persoalan Bangsa ... 75 B. Kemanusiaan Melahirkan Demokrasi: Sesuaikah

dengan Konteks Indonesia ... 85 C. Keadilan Melahirkan Obyektivitas dalam Politik:

Persoalan Panjang yang Tak Terselesaikan ... 90

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 99

(14)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

M. AULIA AFRIANSHAH (030906049)

ISLAM DAN ETIKA BANGSA

(Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Etika, Kemanusiaan dan Keadilan sebagai Tuntunan Politik Moral)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika Islam dalam kehidupan politik bangsa Indonesia, terutama yang berkaitan dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Nurcholish Madjid, tokoh yang selama ini banyak memberikan sumbangan pemikirannya dalam kehidupan keagamaan dan politik di Indonesia, memiliki pandangan yang secara jelas menggambarkan keterkaitan antara agama (Islam) dan politik. Salah satunya mengenai hubungan antara kekuasaan dan moral. Menurutnya dalam kehidupan politik kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keagamaan. Kehidupan politik yang pada dasarnya bersifat duniawi, tidak bisa lepas dari tuntunan moral yang tinggi. Berpolitik haruslah dengan standar akhlak mulia, yang dikenal dengan etika politik. Melihat begitu besarnya peran etika, terutama prinsip moral kemanusiaan dan keadilan dalam menentukan kelangsungan hidup manusia -termasuk dalam kehidupan politik- maka sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk kembali bersandar pada kedua hal tersebut. Hal itu sebagai upaya untuk keluar dari berbagai persoalan yang menghimpit kehidupan politik bangsa saat ini. Dengan melihat hal tersebut, penelitian ini menjawab indikator pertanyaan Bagaimana pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika, terutama terkait dengan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan itu mampu menjadi solusi bagi persoalan kemerosotan moral dalam kehidupan politik bangsa Indonesia sekarang ini?

(15)
(16)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICS DEPARTMENT OF POLITICS

M. AULIA AFRIANSHAH (030906049)

ISLAM AND NATION ETHICS

(The Idea of Nurcholish Madjid about Ethics, Humanism and Justice as a Guide of Moral Politics)

ABSTRACT

This research tries to explain the idea of Nurcholish Madjid which is concerning about Islam ethics in life of Indonesian nation politics, especially related to human moral principle and justice. Nurcholish Madjid, figure which is during the time giving many idea contribution in political and religious life in Indonesia, owning view which clearly depict related between religion (Islam) and politics. One of them regarding relation between moral and power. According to him, in political life we may not leave religious values. Political life which is based on the character of earthlyly, cannot get out from high moral guide. Politics shall august behavior standard, which have recognized with political ethics. Seeing the great level of the ethics role, especially human moral principle and justice in determining the continuity of human life -included in political lifes- hence of vital importance to Indonesian nation for back again to rely on both of the things. That things is as an effort to go out from various problem which is squeezing life of nation politics in this time. Seen the mentioned, this research have answered the question indicator How the idea of Nurcholish Madjid is concerning about ethics, especially related to human moral principle and justice can become a solution for the problem of moral decline in political lifes of Indonesian nation this time?

(17)
(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu persoalan besar dalam kehidupan politik bangsa Indonesia

adalah masalah kemerosotan moral, terutama moral pemimpin para elit di negeri

ini. Hal ini ditandai dengan terjadinya berbagai macam bentuk penyelewengan,

seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta tindakan pelanggaran lainnya

dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Dan hal ini pada akhirnya melahirkan

berbagai macam krisis dalam kehidupan politik bangsa.

Krisis telah menerpa kehidupan bangsa Indonesia sejak tahun 1997 lalu

hingga saat ini dan meninggalkan persoalan pelik di berbagai bidang kehidupan.

Berbagai persoalan terjadi di bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya ini secara

signifikan membawa dampak yang besar bagi keberadaan bangsa dan negara

hingga saat ini.

Krisis di bidang ekonomi, telah menyebabkan kemerosotan yang luar biasa

pada kehidupan masyarakat, terutama terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan

pokok seperti pangan dan sandang. Di awal krisis, semua kebutuhan pokok

masyarakat mengalami kenaikan harga yang sangat tajam. Sektor riil menjadi

lumpuh dan dunia perbankan yang runtuh telah memperburuk kondisi

perekonomian di negeri ini.

Bidang politik turut mengalami kondisi serupa, bahkan menjadi salah satu

(19)

Masalah moralitas, kepemimpinan dan kesantunan dalam berpolitik menjadi

menjadi persoalan panjang yang tidak terselesaikan dalam kehidupan politik

bangsa. Perilaku para elit politik yang sering kali meninggalkan nilai-nilai moral

luhur dalam melakukan aktivitas politiknya, telah mencederai persoalan moral

dalam kehidupan politik bangsa ini.

Berbagai solusi telah ditawarkan, sebagai upaya penyelesaian persoalan

kemerosotan moral di bidang politik yang menimpa bangsa. Salah satunya adalah

agar bangsa Indonesia kembali pada ajaran agama, sebagai upaya mengatasi

persoalan kemerosotan moral, terutama yang terjadi pada elite politik. Dan juga,

yang tak kalah pentingnya pada masyarakat bangsa secara keseluruhan.

Islam sebagai agama terbesar yang dianut oleh mayoritas masyarakat

Indonesia, dipastikan mampu memberikan wawasan dan tuntunannya sebagai

solusi dari segala persoalan yang menimpa kehidupan bangsa Indonesia saat ini.

Terutama sebagai wawasan dan tuntunan moral dalam kehidupan politik bangsa.

Islam sendiri sebenarnya telah menjelaskan dan juga memberikan banyak

petunjuk mengenai berbagai persoalan hidup manusia di dunia. Salah satunya

adalah masalah hubungan antara agama dengan kehidupan masyarakat, termasuk

di dalamnya persoalan politik. Hal inilah yang menjadi salah satu keunikan Islam

diantara agama-agama lain.

Menurut telaah perbandingan yang lebih luas dengan agama-agama lain,

keunikan Islam sebenarnya bukan terletak pada persoalan keterkaitan yang erat

(20)

dengan politik. Bahkan bisa dikatakan menyatu atau tidak mengenal pemisahan

dengan masalah politik. Istilah perpolitikan ”theokrasi” sendiri sudah

menunjukkan adanya kemungkinan agama mana saja untuk menyatu dengan

politik, sehingga kekuasaan yang berlaku dipandang sebagai ”kekuasaan (politik)

Tuhan”.1

Terkait persoalan ini, Nurcholish Madjid, tokoh yang selama ini banyak

memberikan sumbangan pemikirannya dalam kehidupan keagamaan dan politik di

Indonesia, memiliki pandangan yang secara jelas menggambarkan keterkaitan

antara agama (Islam) dan politik. Salah satunya mengenai hubungan antara

kekuasaan dan moral.

Menurut Nurcholish Madjid, atau yang lebih akrab disapa Cak Nur, dalam

kehidupan politik kita tidak boleh meninggalkan nilai-nilai keagamaan.

Kehidupan politik yang pada dasarnya bersifat duniawi, tidak bisa lepas dari

tuntunan moral yang tinggi. Berpolitik haruslah dengan standar akhlak mulia,

yang sekarang dikenal dengan etika politik.2

Persoalan etika ini menggambarkan makna sentral semangat kepatuhan

kepada hukum atau aturan sebagai tiang pancang masyarakat berperadaban.

Menurut bahasa politik modern, ini adalah orientasi hukum dan keadilan yang

mendasari perkembangan suatu peradaban. Orientasi ini sangat penting dalam

menumbuhkan negara hukum dan mencegah munculnya negara kekuasaan.3

1 Nurcholish Madjid. 2003. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Penerbit Paramadina. Hal. 188. 2 Nurcholish Madjid. 1999. Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat. Jakarta: Tabloid Tekad

dan Penerbit Paramadina. hal. 52.

(21)

Tuntunan moral yang tinggi dalam etika politik, oleh Nurcholish Madjid

secara konsisten dijelaskan olehnya yaitu meliputi prinsip-prinsip moral

kemanusiaan dan keadilan. Permasalahan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan

ini, dalam pandangan Nurcholis Madjid merupakan hal yang mutlak penting

adanya. Karena merupakan landasan ketahanan suatu bangsa menghadapi

perubahan kehidupan yang semakin kompleks.

Tanpa adanya prinsip moral atau akhlak yang baik, kehidupan suatu

bangsa dipastikan akan dibinasakan oleh Tuhan. Sebuah syair dalam bahasa Arab

menerangkan masalah ini: “Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama

(mereka berpegang) pada akhlaknya, bila akhlak mereka rusak, maka rusak

binasa pulalah mereka”.4

Prinsip moral kemanusiaan itu sendiri sangat terkait dengan agama,

terutama dengan rasa ketuhanan. Rasa kemanusiaan hanya terwujud jika dilandasi

rasa ketuhanan. Rasa kemanusiaan yang lepas dari rasa ketuhanan, akan

menyebabkan terjadinya praktek-praktek pemutlakan sesama manusia. Karena itu

kemanusiaan sejati harus bertujuan pada keridlaan Tuhan semata. Orientasi

keridlaan Tuhan ini merupakan landasan bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan

seseorang.5

Mengenai hal tersebut dijelaskan dalam Al Quran: ”Barang siapa

menghendaki kemuliaan, pada Allah lah kemuliaan itu semua. Kepada Nyalah

4 Ibid. hal. 174.

5

(22)

naik ide-ide yang baik (al-khalim at-thayyib), dan Dia mengangkat (menghargai)

perbuatan kebajikan”.6

Nilai kemanusiaan dalam iman seseorang merupakan keseluruhan

pandangan transendental yang menyangkut kesadaran akan asal dan tujuan wujud

serta hidupnya, yang harus berpusat pada Tuhan Yang Maha Esa. Karena manusia

atau nilai kemanusiaan menjadi ukuran amal perbuatan. Maka segala sesuatu yang

ada di muka bumi ini, dan tak bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan akan

sirna. Sedangkan yang bermanfaat akan tetap bertahan.

Prinsip moral kemanusiaan ini pada hakikatnya meliputi pula kewajiban

menegakkan keadilan. Keadilan mempunyai kedudukan yang penting karena

merupakan bagian dari Sunatullah, dan merupakan fitrah manusia dari Allah,

perjanjian primordial antara manusia dengan Allah.

Sebagai sunatullah, kewajiban menegakkan prinsip keadilan merupakan

hukum obyektif, tidak bergantung pada kemauan pribadi manusia dan bersifat

immutable (tidak akan berubah). Masalah keadilan ini dalam Al Quran merupakan

bagian dari hukum kosmos, yaitu hukum keseimbangan (Al Mizan) yang menjadi

hukum bagi jagad raya.7

Al Quran dalam Q. S. Muhammad 47: 38 menegaskan prinsip keadilan ini,

terutama masalah keadilan sosial, berupa usaha pemerataan dan peringanan

penderitaan kaum yang tak berpunya. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah

6

Q. S. Al Fathir 35: 10.

(23)

akan membinasakan umat itu untuk diganti dengan umat lain yang secara moral

dan etika tidak seperti mereka.8

Sedangkan dalam Q. S. Al Isra’ 17: 16, didapati ancaman Allah untuk

membinasakan suatu negeri, jika negeri itu tidak lagi ada rasa keadilan dengan

indikasi leluasanya orang yang hidup mewah dan tidak peduli dengan keadaan

masyarakat sekelilingnya yang kurang beruntung.9

Melihat begitu besarnya peran etika, terutama prinsip moral kemanusiaan

dan keadilan dalam menentukan kelangsungan hidup manusia -termasuk dalam

kehidupan politik- maka sangatlah penting bagi bangsa Indonesia untuk kembali

bersandar pada kedua hal tersebut. Hal itu sebagai upaya untuk keluar dari

berbagai persoalan yang menghimpit kehidupan politik bangsa saat ini.

Pandangan Nurcholish Madjid terhadap kedua hal tersebut diharapkan

mampu menjadi pemicu tumbuhnya kesadaran dan kebangkitan sikap membangun

prinsip moral kemanusiaan dan keadilan sebagai sebuah landasan etis, dan

dijadikan sebagai upaya bagi bangsa ini untuk keluar dari persoalan politik yang

berkepanjangan. Serta dalam rangka mewujudkan kehidupan politik bangsa yang

beretika di masa yang akan datang.

8

Ibid. hal 175.

(24)

B. Rumusan Masalah

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana

pemikiran Nurcholish Madjid mengenai etika, terutama terkait dengan prinsip

moral kemanusiaan dan keadilan, mampu menjadi solusi bagi persoalan

kemerosotan moral dalam kehidupan politik bangsa Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan dan memahami pemikiran

Nurcholish Madjid mengenai etika Islam dalam kehidupan politik bangsa

Indonesia, terutama yang berkaitan dengan prinsip moral kemanusiaan dan

keadilan. Kemudian, memberikan solusi bagi persoalan kemerosotan moral dalam

berpolitik. Tulisan ini juga memberikan manfaat serta menambah wawasan dan

pemahaman tentang kehidupan politik yang lebih beretika dengan

mengedepankan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan di masa mendatang.

D. Tinjauan Pustaka

1. Etika Politik dalam Perspektif Nurcholish Madjid

1.1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Etika Politik dalam Islam

Salah satu hal yang sangat diperlukan dalam menghadapi perubahan

kehidupan politik dewasa ini adalah masalah akhlak atau moral. Keberadaan Islam

(25)

yang besar dalam membentuk sisi kesadaran moral dan wawasan etis dalam kehidupan

politik bangsa ini.10

Sisi kesadaran moral yang sangat terkait dengan masalah etika inilah yang

kemudian membentuk lahirnya prinsip atau segi etis dalam berpolitik yang sesuai dengan

ajaran agama Islam, yaitu etika Islam dalam politik.

Kegiatan politik sendiri adalah kegiatan yang bertujuan untuk merebut dan

memperoleh kekuasaan, karena dengan kekuasaan seseorang atau kelompok

masyarakat akan mempunyai akses yang besar untuk ikut merumuskan dan

menetapkan kebijakan publik yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Bahkan

kekuasaan politik dianggap sebagai kekuatan nyata untuk mengatur kehidupan

masyarakat dalam berbagai aspeknya, karena tanpa kekuasaan politik pengaruh

seseorang atau kelompok tidak akan efektif dalam kehidupan masyarakat.

Prinsip etika politik bersinggungan dengan mengatur, mengarahkan, dan

memaksakan masalah-masalah kebijakan serta keputusan publik. Pada kasus Islam,

diperlukan suatu pola dan sistem etika politik yang begitu jelas, mengingat bahwa selama

ini pertumbuhan Islam tidak dapat dilepaskan dari relasi kuasa-politik. Sampai saat ini

terkesan bahwa politik Islam merupakan suatu reaksi budaya yang bersifat defensif

terhadap perubahan sosial yang demikian cepat. Sejak abad ke-18, masalah Islam

modern sebagai sistem agama dibangun berdasarkan konfrontasi dengan

kekuasaan superior di dalam bidang sains, teknologi, yang disebut dengan Eropa

(26)

modern. Imbas secara politik adalah tidak terbangunnya suatu tatanan etik-politis dalam

berbagai lapisannya.11

Dalam konsep filsafat Islam, etika politik didasarkan pada politik moral, bukan

politik kekuasaan. Kekuasaan sifatnya relatif dan tidak mutlak, yang dijalankan

dengan pengetahuan konseptual yang berdimensi transendental. Kepemimpinan politik

Islam tidak terletak pada Islam yang formalistik, tetapi pada Islam yang substansinya

ada pada aktualitas prinsip musyawarah, keadilan, kebenaran, persamaan, dan kebebasan

berpikir. Oleh karena itu, pilar penyangga dari lembaga kepemimpinan politik Islam,

tidak hanya pada adanya lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, tetapi juga

berfungsinya lembaga pers dan organisasi non pemerintah atau lembaga swadaya

masyarakat (LSM).12

Dalam kehidupan politik, seringkali rnuncul fenomena politik kekuasaan, bukan

politik moral, yaitu tindakan politik yang semata-mata untuk merebut dan memperoleh

kekuasaan, karena dengan kekuasaan politik yang dimilikinya, seseorang atau

kelompok masyarakat akan memperoleh keuntungan materi, popularitas dan fasilitas

yang membuat hidupnya berkecukupan dan terhormat. Kondisi ini akan menyebabkan

seseorang menghalalkan segala macam cara dalam mencapai tujuan politiknya, termasuk

menjatuhkan kawan dan lawan sesuai dengan kepentingan politik yang ingin dicapai.

Sedangkan dalam politik moral, kekuasaan politik bukan tujuan akhir, tetapi

merupakan alat perjuangan dan cita-cita moral dan kemanusiaan. Tujuan kekuasaan

11

Musa Asy’ arie. 1999. Filsafat Islam Sunah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI. hal. 105.

(27)

yang hendak dicapai, tidak menghalalkan segala cara, tetapi ditentukan oleh cara-cara

yang bijak, yang dibenarkan oleh moralitas kemanusiaan dan kepatutan sosial.

Melihat hubungan antara etika politik dengan upaya menumbuhkan prinsip moral

maka masalah moral atau akhlak ini menjadi penting, karena merupakan sendi atau

ketahanan suatu bangsa dalam menghadapi cobaan dan perubahan. Tanpa moral atau

akhlak yang baik suatu bangsa akan binasa. Sebuah syair dalam bahasa Arab menyatakan:

"Sesungguhnya bangsa-bangsa itu tegak selama (mereka berpegang pada) akhlaknya,

bila akhlak mereka rusak, maka rusak-binasa pulalah mereka".13

Saat ini moral atau akhlak merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam

menghadapi perubahan kehidupan bangsa yang sangat kompleks. Harapan pada

peranan ajaran Islam menjadi suatu hal yang wajar dalam menyikapi hal ini, terkait

dengan kesadaran keimanan seseorang karena beragama Islam, ataupun pada

kenyataan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia memeluk agama Islam.

Kondisi diatas diharapkan mampu melahirkan kesadaran bagi bangsa

Indonesia untuk melihat secara jujur dirinya melalui pertanyaan: “Benarkah bangsa

Indonesia, khususnya umat Islam, telah dijiwai dan dibimbing oleh akhlak yang

mulia?”. Sudahkah umat Islam memenuhi penegasan Nabi SAW, bahwa Beliau diutus

”hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran akhlak?”14

Bangsa Indonesia sering membanggakan diri sebagai “Bangsa Timur” (dengan

konotasi berbudaya tinggi dan sopan) atau “bangsa yang religius” (yang tentunya juga

berarti bangsa yang berakhlak tinggi). Tetapi dengan jujur harus diakui bahwa

13

Ibid. hal. 174.

(28)

kebanggaan tersebut sering kosong belaka. Mungkin sekali bahwa bangsa ini adalah

bangsa yang sopan dan ramah. Banyak orang asing yang membawa pulang kesan

positif itu, tetapi hal itu tampaknya terbatas hanya pada bidang-bidang pergaulan

perorangan sehari-hari. Meskipun hal ini juga penting, namun bukanlah hal yang sangat

sentral.15

Terkait dengan masalah moral atau akhlak tersebut, hal utama yang paling

menentukan bertahan atau hancurnya suatu bangsa adalah masalah keadilan,

sebagaimana menurut Al Quran, Q. S. Ar Rahman 55: 7-8, yang menerangkan bahwa

keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh jagad raya.

Melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos, dan dosa ketidakadilan

akan menyebabkan dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia, tidak peduli

apakah masyarakat itu (secara formal) terdiri dari masyarakat yang beragama atau tidak.

Namun, sebelum membicarakan prinsip moral keadilan ini, ada hal lain yang

lebih mendasar, dan bahkan menjadi landasan bagi umat manusia untuk mewujudkan

keadilan ini, yaitu adanya prinsip moral kemanusiaan yang menjelaskan mengenai

kesadaran manusia akan asal dan tujuan wujud serta hidupnya, yang harus berpusat

pada Tuhan Yang Maha Esa.

(29)

1. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid dalam Melihat Wacana Etika Politik di Barat

Sedangkan dalam perspektif Barat, pengertian etika yang digunakan di sini

mempunyai makna yang lebih mendasar, dari apa yang biasanya kita tangkap sebagai

arti dari kata etika itu sendiri. Etika tidak hanya diartikan sekedar masalah kesopanan

semata, melainkan dalam pengertiaannya yang lebih mendalam dimaksudkan sebagai

konsep dan ajaran yang serba meliputi atau komprehensif, yang menjadi pangkal

pandangan hidup tentang baik dan buruk, benar dan salah.

Ajaran etis dalam makna yang seluas-luasnya mencakup keseluruhan

pandangan dunia (Weltanschauung, world outlook) dan pandangan hidup

(liebenanschauung, way of life), dengan demikian pembicaraan tentang etika tidak dapat

lepas dari pembicaraan etika secara keseluruhan.

Menurut Karl Barth, etika (dari ethos) adalah sebanding dengan moral (dari

mos). Kedua-duanya merupakan filsafat tentang adat kebiasaan (sitten). Perkataan

Jerman sine (dari Jerman kuno, situ) menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku

manusia, suatu konstansi (constancy, kelumintuan) tindakan manusia. Karena itu,

secara umum etika atau moral adalah filsafat, ilmu, atau disiplin tentang moda-moda

tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia.16

Terkait dengan pengertian dan makna dari etika itu, maka dapat dikatakan bahwa

etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia.17

Walaupun, masih cukup banyak perdebatan mengenai apa yang dimaksud dengan

16 Nurcholish Madjid. 2003. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 466. 17

(30)

etika politik ini. Namun setidaknya, pengertian di atas cukup mampu mewakili apa yang

menjadi keterkaitan antara etika dan politik itu.

Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis

untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab.

Hal ini mempunyai arti tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori. Melainkan secara

rasional, obyektif dan argumentatif.

Etika politik tidak secara langsung mencampuri urusan politik praktis. Etika

politik tidak dapat menentukan apa yang harus dilakukan oleh seseorang. Etika politik

memiliki tugas subsider, yaitu membantu agar pembahasan masalah-masalah ideologis

dapat dijalankan secara obyektif, artinya berdasarkan argumen-argumen yang dapat

dipahami dan ditanggapi oleh semua yang mengerti permasalahan.18

Etika politik tidak dapat mengkhotbahi para politikus, tetapi dapat

memberikan patokan-patokan orientasi dan pegangan-pegangan normatif bagi mereka

yang berkeinginan untuk menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolok

ukur martabat manusia.19

Manfaat etika politik justru tidak bersifat "praktis". Melainkan sebaliknya, etika

politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat

dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Klaim-klaim legitimasi dari

segala macam kekuatan, baik bersifat langsung, maupun yang bersembunyi di belakang

pembenaran-pembenaran normatif dipaksa untuk membenarkan diri.

18

Ibid. hal. 3.

(31)

Etika politik ditempatkan sebagai upaya untuk mencari prinsip-prinsip moral

penataan masyarakat dan kritik terhadap klaim-klaim ideologis dalam negara yang

telah mendasarkan diri pada sebuah ideologi. Sebagaimana etika pada kehidupan

umumnya yang tidak berwenang untuk menawarkan suatu sistem moral, baik dalam

suatu masyarakat maupun individu, begitu pula etika politik tidak dapat menawarkan

suatu sistem normatif sebagai dasar negara.

Etika politik tidak berada di tingkat sistem legitimasi politik tertentu dan tidak

dapat menyaingi suatu ideologi negara. Tetapi etika politik dapat membantu usaha

masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas

politik yang nyata. Misalnya dengan merefleksikan apa inti keadilan sosial, apa

dasar etis kerakyatan, dan bagaimana kekuasaan harus ditangani supaya sesuai dengan

martabat manusia dan sebagainya.20

2. Prinsip Kemanusiaan dalam Perspektif Nurcholish Madjid

2. 1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Kemanusiaan dalam Islam

Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki kesempurnaan

tertinggi dan paling mulia. Manusia dianugerahi oleh Tuhan harkat dan martabat

kemanusiaan yang tinggi, namun manusia juga memiliki potensi yang besar untuk turun

derajat menjadi serendah-rendahnya mahluk, kecuali mereka yang beriman kepada Tuhan

dan berbuat kebaikan.

(32)

Sebagai mahluk sosial, manusia selalu berupaya untuk mempertahankan harkat

dan martabat kemanusiaannya, hal ini disebabkan karena manusia lebih banyak

mengalami kehilangan fithrah dan kebahagiannya karena berbagai kelemahan yang

dimiliki, kecuali jika dirinya memiiiki rasa ketuhanan yang kuat.

Prinsip moral kemanusiaan sangat terkait dengan agama, terutama dengan rasa

ketuhanan. Rasa kemanusiaan hanya terwujud jika dilandasi rasa ketuhanan. Rasa

kemanusiaan yang lepas dari rasa ketuhanan, akan menyebabkan terjadinya

praktek-praktek pemutlakan sesama manusia. Karena itu, kemanusiaan sejati harus bertujuan

pada keridlaan Tuhan semata. Orientasi keridlaan Tuhan ini merupakan landasan bagi

peningkatan nilai-nilai kemanusiaan seseorang.21 Mengenai hal ini dijelaskan dalam

Al Quran: "Barang siapa menghendaki kemuliaan, pada Allah-lah kemuliaan itu

semua. Kepada-Nyalah naik ide-ide yang baik (al khalim at thayyib), dan Dia

mengangkat (menghargai) perbuatan kebajikan".22

Nilai kemanusiaan dalam iman seseorang merupakan keseluruhan pandangan

transendental yang menyangkut kesadaran akan asal dan tujuan wujud serta hidupnya,

yang harus berpusat pada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia atau nilai kemanusiaan,

menjadi ukuran amal perbuatan, maka segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, yang

tidak bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan akan sirna, sedangkan yang

bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaaan akan tetap bertahan.23

21 Nurcholish Madjid. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah

Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Penerbit Paramadina. hal. 102.

22

Q. S. Al Fathir 35: 10.

(33)

Berdasarkan hal itu, manusia akan selalu memiliki kesadaran untuk

memusatkan pandangan kepada Tuhan, karena dengan demikian manusia akan

menemukan dirinya, dan memperoleh ketentraman lahir dan bathin serta rasa optimis

terhadap hidup serta kemantapan diri. Kondisi ini akan melahirkan manusia yang

berketuhanan, dan manusia yang berketuhanan secara otomatis akan menjadi manusia

yang berperikemanusiaan.24

Manusia yang berperikemanusiaan akan menjadi pribadi yang berpola hidup

saling menghormati sesama manusia. Pola hidup saling menghormati ini, merupakan

perwujudan saling memuliakan diantara manusia, sebagaiman Tuhan sendiri memuliakan

manusia.

Hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya ini membentuk sebuah

pola interaksi diantara pribadi-pribadi yang berbeda, yang pada akhirnya akan

berpengaruh pada kualitas dirinya sebagai manusia, yaitu kualitas harkat dan martabat.

Setiap pribadi harus memandang bahwa pola interaksi dengan pribadi yang lain

merupakan bentuk representasi seluruh kemanusiaan.

Perbuatan baik kepada seorang manusia akan bernilai sebagai perbuatan baik

kepada keseluruhan kemanusiaan, dan sebaliknya, perbuatan jahat kepada seorang

manusia akan bernilai sebagai perbuatan jahat kepada keseluruhan kemanusiaan.

Sebagaimana tercantum dalam Al Quran : "Oleh sebab itu telah kami (Tuhan) tetapkan

atas anak turun Israel bahwasanya barangsiapa membunuh seseorang tanpa

kesalahan (membunuh orang lain) atau membuat kerusakan di bumi maka

(34)

akan ia telah membunuh umat manusia seluruhnya, dan barangsiapa menghidupkan

(berbuat baik) kepadanya maka seakan-akan ia telah menghidupkan umat manusia

seluruhnya".25

Prinsip moral kemanusiaan yang berlandaskan rasa ketuhanan ini, pada

akhirnya akan mewujudkan pola hubungan antar manusia dalam semangat

egalitarianisme. Setiap pribadi manusia berharga sebagai mahluk Tuhan yang

bertanggungjawab langsung kepada-Nya, tidak seorangpun dari mereka itu yang

dibenarkan diingkari hak-hak azasinya, demikian pula sebaliknya. Maka dapat

disimpulkan bahwa prinsip moral kemanusiaan yang melahirkan semangat

egalitarianisme akan mampu melandasi demokrasi, dan menghindarkan dari

totalitarianisme, otoritarianisme dan tirani.26

2. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Kemanusiaan di Barat

Berbicara masalah kemanusiaan dalam perspektif Barat sangat terkait dengan

persoalan hak-hak azasi manusia (HAM). Persoalan HAM ini menjadi dasar bagi

persoalan kemanusiaan karena didalamnya terkait dengan hak-hak dasar manusia

yang berasal dari pemberian Tuhan, tanpa memandang berbagai perbedaan yang ada.

Kesadaran akan hak azasi manusia (HAM) mulai tumbuh di Barat dengan beberapa

tonggak penting diantaranya, yaitu :

25

Q. S. Al Maidah 5: 32.

(35)

a. Perjanjian Agung (Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian

dari pemberontakan para Baron Inggris terhadap Raja John (saudara raja Richard,

seorang pemimpin tentara Salib). Isi pokok dokumen ini adalah agar raja tidak

melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi dari seorang

rakyat. Pendorong pemberontakan para Baron itu sendiri antara lain karena

dikenakannya pajak yang sangat besar oleh raja, dan dipaksakannya para Baron

untuk membolehkan anak-anak perempuan mereka kawin dengan rakyat biasa.

b. Bill of Rights (1628), berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan

dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun, atau

untuk memenjara, menyiksa, dan mengirimkan tentara secara sewenang-wenang tanpa

dasar hukum.

c. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli 1776, memuat penegasan bahwa

setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup

dan mengejar kebahagiaan, serta keharusan mengganti pemerintahan yang tidak

mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut.

d. Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de l

'Homme et du Citoyen), Prancis, 4 Agustus 1789, dengan titik berat pada lima hak

azasi manusia, yaitu pemilikan harta (propiete), kebebasan (liberte), persamaan

(egalite), keamanan (securite) dan perlawanan terhadap penindasan (resistence a l

'oppression).

e. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Azasi Manusia, Desember 1948, yang memuat

(36)

perkawinan, pendidikan, pekerjaan dan kebebasan beragama (termasuk hak untuk

berpindah agama).27

Sejarah panjang kemanusiaan dalam upaya penegakan hak-hak azasi

manusia di atas merupakan bukti bahwa ide tentang hak azasi bukanlah sesuatu yang

muncul begitu saja, melainkan melalui suatu perjalanan panjang dan pengorbanan

yang besar. Seluruh umat manusia wajib menyadari dan menghayati hal ini serta

berapaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan pengakuan terhadap hak-hak

azasi manusia itu.

Hak-hak azasi manusia sesungguhnya juga merupakan bagian dari hakikat

kemanusiaan yang paling intrinsik, maka sejarah pertumbuhan konsep-konsepnya dan

perjuangan menegakkannya sekaligus menyatu dengan sejarah manusia dan kemanusiaan

itu sendiri semenjak dikenalnya peradaban. Hal ini dapat dilihat dari ajaran-ajaran agama,

terutama agama-agama semitik (Yahudi, Kristen dan Islam) dimana salah satu persoalan

kemanusiaan yang paling dini diungkapkan melalui penuturan tentang peristiwa

pembunuhan yang menyangkut dua anak lelaki Adam dan Hawa, yaitu Qadil (Cain) dan

Habil (Abel). Peristiwa pembunuhan pertama sesama manusia ini menghasilkan dekrit

Tuhan : "Bahwa barang siapa membunuh suatu jiwa tanpa (kesalahan) membunuh jiwa

yang lain atau membuat kerusakan di bumi, maka ia bagaikan membunuh umat manusia

seluruhnya, dan barang siapa menolong hidup suatu jiwa maka ia bagaikan menolong

hidup umat manusia seluruhnya". (Q. S. Al Maidah 5: 27-32 dan Kitab Kejadian 4. 1-16).28

27

Nurcholish Madjid. 2003. Islam Agama Kemanusiaan. Ibid. hal. 212.

(37)

3. Prinsip Keadilan dalam Perspektif Nurcholish Madjid

3. 1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Keadilan dalam Islam

Prinsip moral keadilan memiliki keterkaitan dengan iman. Keadilan bagi manusia

merupakan tindakan persaksian, bagi Tuhan Yang Maha Adil. Menegakkan prinsip

keadilan merupakan perbuatan yang mendekati takwa atau keinsyafan ketuhanan dalam

diri manusia.

Jika keadilan dikaitkan dengan agama, maka yang pertama-tama dapat

dikatakan ialah bahwa usaha mewujudkan keadilan merupakan salah satu dari

sekian banyak sisi kenyataan tentang agama. Sudah sejak umat manusia mengenal

peradaban di lembah Sawab (Mesopotamia, Irak sekarang) sekitar 6000 tahun

lalu, persoalan keadilan selalu merupakan tantangan hidup yang tidak pernah

berhenti diperjuangkan.29

Sejarah manusia yang mengantarkannya untuk mengenal peradaban telah

menyebabkan lahirnya tingkatan-tingkatan dalam kehidupan. Tingkatan dalam

kehidupan ini menyebabkan ada kelompok manusia yang kuat dan menguasai

kelompok yang lebih lemah. Hal inilah yang kemudian melahirkan masalah

keadilan.

Keadilan berasal dari kata adil, istilah dalam bahasa Arab yaitu, adl atau

qisth. Merupakan istilah yang serba meliputi, mencakup semua jenis kebaikan

dalam pemikiran kefilsafatan. Namun, keadilan memiliki dasar rasa ketuhanan,

(38)

maka hal ini menyebabkan keadilan berdasarkan iman melahirkan makna yang

lebih dalam dan manusiawi, dari sekedar keadilan formal dalam sistem hukum

Romawi.30

Tetapi dalam Al Quran, pengertian adil atau justice ini ternyata tidak

hanya diwakili oleh kata ’adl. Sebagai kata benda, paling tidak ada dua kata yang

artinya adil atau justice, yakni ‘adl itu sendiri dan qisth. Dari akar kata ‘a-d-l,

sebagai kata benda, kata ini disebut sebanyak 14 kali dalam Al Quran, sedangkan

kata qisth berasal dari akar kata q-s-th, diulang sebanyak 15 kali sebagai kata

benda.31

Kata yang artinya keadilan ini dalam Al Quran mula-mula diturunkan,

baik kata 'adl maupun qisth adalah dalam surat Al A'raf 7: 29, 159 dan 18. Dalam

Al A'raf 7: 29 ini kata keadilan dinyatakan dengan qisth. Arti dari ayat tersebut

adalah: Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami

mendapati nenek moyang kami mengerjakan perbuatan yang demikian itu, dan Allah

menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh

(mengerjakan) perbuatan yang keji". Mengapa engkau mengada-ada terhadap Allah

apa yang kamu tidak ketahui? Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan

keadilan (qisth)". Dan katakanlah: "Luruskan mukamu di setiap shalat dan

sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya, sebagaimana Dia

30 Nurcholish Madjid. 2003. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 115. 31

(39)

telah menciptakan kamu pada awalnya, demikian pulalah kamu akan kembali

kepada-Nya.32

Pada Al A'raf 28 dinyatakan bahwa Allah melarang perbuatan keji.

Menurut riwayat, yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini adalah perbuatan syirik,

seperti lari-lari (bertelanjang) di depan Ka'bah yang dilakukan orang-orang musyrik (agar

Allah merasa senang). Ketika mereka diperingatkan bahwa perbuatan itu tidak

sepantasnya, mereka memberi alasan, bahwa hal itu sudah menjadi tradisi

turun-temurun dan suruhan Allah juga. Hal ini disanggah oleh Allah, bahwa dia tidak

menyuruh orang melakukan perbuatan keji.33

Ayat 29, selanjutnya menjelaskan bahwa Allah menyuruh orang menjalankan

keadilan. Secara konkret, yang disebut keadilan (qisth) ini adalah: (a) mengkonsentrasikan

perhatian dan shalat kepada Allah, dan (b) mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.

"Meluruskan muka (wajah)" dalam shalat, pada ayat 29 ini maksudnya adalah tidak

menyangkutkan perhatian kepada sesuatu yang lain, yang membuat seseorang seolah-olah

menyembah sesuatu perantaraan, yang berarti syirik. Maksud lain keadilan pada ayat di

atas adalah taat secara ikhlas kepada Allah. Ketaatan yang ikhlas ini artinya

mendasarkan diri dan berorientasi kepada Allah, berbuat sesuatu karena diperintahkan

Allah, dan tidak berbuat sesuatu karena dilarang oleh Allah. Keadilan kedua ini

merupakan konsekuensi dari keadilan pertama.34

Lawan dari keadilan adalah tindakan yang meragikan manusia, yang

merampas hak-hak manusia dan segala perbuatan yang dapat menimbulkan

32 Ibid. hal. 370. 33

Ibid. hal. 370.

(40)

kerusakan pada masyarakat. Apabila kita meletakkan keadilan pada konteks

sekarang, maka perjuangan hak-hak asasi manusia adalah perjuangan menegakkan

keadilan. Demikian pula perjuangan mencegah kerusakan lingkungan hidup. Semua

kegiatan yang berusaha meniadakan kerugian pada masyarakat dan mengembalikan

hak-hak rakyat, dapat disebut sebagai perjuangan menegakkan keadilan.

Berbuat adil, adalah standar minimal bagi perilaku manusia. Kelanjutan dari

bersikap adil adalah berbuat kebajikan dan beramal sosial, setidak-tidaknya kepada

kaum kerabatnya sendiri, berbarengan dengan itu, orang juga harus mampu

menghindarkan diri dari berbagai perilaku keji, mungkar, dan permusuhan dengan sesama

manusia.

Dalam Islam, keadilan pada akhirnya -dan dalam renungan

tertinggi-dipahami sebagai "keadilan Illahi". Ada tiga nilai fundamental yang dinyatakan dalam

Al Quran, yaitu: Tawhid atau pengesaan Tuhan, Islam atau penyerahan dan ketundukan

kepada Allah, dan Keadilan, yaitu keyakinan bahwa segala perbuatan kita di dunia ini

kelak akan dinilai Allah, Hakim Yang Maha Adil.

Rasa keadilan yang berdasarkan iman akan keluar dari hati nurani yang

terdalam. Keadilan ini terkait erat dengan ihsan, yaitu keinginan berbuat baik untuk

sesama manusia secara tulus dan murni karena perbuatan tersebut merupakan wujud

persaksian kepada Tuhan, dan tidak akan pernah dapat disembunyikan,

Istilah lain mengenai "adil" juga berasal dari bahasa Arab, yang berarti tengah

atau seimbang. Jadi dapat dikatakan bahwa prinsip dasar dari keadilan adalah

(41)

kiri. Kemampuan untuk berbuat adil senantiasa dikaitkan dengan kearifan atau wisdom,

yang dalam bahasa Arab disebut sebagai hikmah, yaitu suatu kualitas pribadi yang

diperoleh karena adanya pengetahuan yang menyeluruh dan seimbang (tidak pincang atau

parsial) tentang suatu perkara.35

Terkait dengan masalah keadilan ini di dalam Al Quran dijelaskan bahwa hal ini

dikaitkan hukum ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya. Pelanggaran terhadap

prinsip keadilan dapat diartikan sebagai melanggar hukum kosmos, dan berarti

merupakan sebuah dosa besar. Allah berfirman: "Dan langitpun ditinggikan oleh-Nya,

dan ditetapkan-Nya (hukum) keseimbangan (Al Mizan). Maka hendaknya kamu (umat

manusia) janganlah melanggar (hukum) keseimbangan itu, serta tegakkanlah

timbangan dengan jujur, dan janganlah merugikan (hukum) keseimbangan ".36

Salah seorang ahli tafsir Al-Quran yang terkenal, Al Zamakhsyari,

mengatakan bahwa perkataan "timbangan" atau "al-wazn" dalam firman Allah itu

dapat diartikan secara metamorfosis. Maksud "timbangan" dalam artian ini ialah setiap

rasa keadilan yang meliputi seluruh kegiatan hidup kita, baik yang lahir maupun bathin.

Maka perintah Allah agar kita "melakukan timbangan secara jujur itu" ialah

perintah agar kita dalam segala perkara senantiasa memperhatikan rasa keadilan dan

kejujuran. Jika tidak, maka berarti kita telah melanggar, merusak dan merugikan

hukum seluruh alam raya. Ini berarti bahwa reaksi keberatan terhadap tindakan tidak

adil dan tidak jujur, berasal tidak hanya dari orang yang dirugikan, tetapi juga berasal

35

Nurcholish Madjid. 2002. Pintu Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Penerbit Paramadina. hal. 41.

(42)

dari seluruh alam raya. Hal ini yang menjelaskan bahwa keadilan adalah sebuah hukum

kosmos.

Terkait dengan masalah hukum kosmos ini juga maka dapat dikatakan bahwa

keadilan adalah sunatullah ("sunat Allah"). Sebagai sebuah kepastian sunatullah

maka keadilan adalah sesuatu yang obyektif dan tidak akan berubah (immutable).

Keadilan dikatakan obyektif karena tidak tergantung pada pikiran atau kehendak

manusia, dan tidak akan berubah karena berlaku selama-lamanya tanpa interupsi atau

koneksi kepada seseorang.37 Sifat obyektif jugalah yang mengantarkan keadilan

memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemanusiaan, dimana manusia

dalam keadilan ini dilihat dalam proporsi dan kedudukan yang sama tanpa adanya suatu

perbedaan.

Selain itu, keadilan juga memiliki makna yang sangat penting, ketika

dikaitkan dengan "amanat" (amanah), yang berarti titipan suci dari Tuhan kepada umat

manusia untuk sesamanya, terutama amanat ini terkait dengan masalah memerintah

atau kekuasaan.

Kekuasaan pemerintahan adalah sesuatu yang tak terhindarkan demi

ketertiban tatanan kehidupan manusia. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah

kepatuhan dari banyak orang kepada para penguasa (ulu al-amr, bentuk dari wali al-amr).

Kekuasaan dan ketaatan adalah dua segi dari satu kenyataan. Namun, kekuasaan yang

patut dan harus ditaati hanyalah yang berasal dari orang banyak dan mencerminkan rasa

keadilan karena menjalankan amanat Tuhan. Maka yang pertama-tama harus dipenuhi bagi

(43)

suatu kekuasaan untuk mendapatkan keabsahan atau legitimasinya, adalah menjalankan

amanat itu, dengan menegakkan keadilan sebagai saksi kehadiran Tuhan.38

Hal itu tertulis dalam Al Quran: "Hai sekalian orang beriman, taatlah kepada

Allah, dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada para pemegang kekuasaan dari

antara kamu. Jika kamu berselisih tentang suatu perkara, kembalikanlah kepada

Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari

kemudian. Itulah keputusan yang lebih baik dan lebih tepat".39

Beberapa pendekatan kebahasaan di atas sudah cukup menjelaskan apa yang

dimaksud dengan "adil" dan "keadilan" menurut ajaran agama Islam. Sedangkan

sebagai konsep, makna keadilan itu jauh lebih luas dan rumit daripada makna

kebahasaannya. Menurut Murtadla al Muthahhari, salah seorang pemikir muslim zaman

modem, terdapat empat pengertian pokok tentang adil dan keadilan:40

Pertama, keadilan mengandung pengertian perimbangan atau keadaan

seimbang (mawzun, balanced), tidak pincang. Jika suatu kesatuan terdiri dari

bagian-bagian yang kesemuanya secara bersama-sama dalam kesatuan itu menuju satu tujuan

yang sama, maka dituntut beberapa syarat tertentu, bahwa masing-masing bagian itu

mempunyai ukuran yang tepat dan berada dalam kaitan yang tepat pula antara satu

dengan lainnya dan antara setiap bagian itu dengan keseluruhan kesatuan. Kondisi

ini akan menyebabkan keseluruhan kesatuan tersebut akan mampu untuk

mempertahankan diri dan mencapai tujuan yang diharapkan.

38 Nurcholish Madjid. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 116. 39

An Nisa 4: 58.

(44)

Kedua, keadilan mengandung makna persamaan (musawah, egalite) dan tidak

adanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Berdasarkan makna ini seseorang dikatakan

bertindak adil jika dirinya memperlakukan orang lain secara sama. Perlakuan yang

sama ini dengan tetap memperhatikan adanya perbedaan kemampuan, tugas, dan

fungsi dari masing-masing orang. Perlakuan sama tanpa memperhatikan hal-hal tersebut

justru merupakan sebuah kezaliman. Tetapi jika perlakuan yang sama dilakukan

terhadap orang yang memiliki hak yang sama (kemampuan, fungsi dan tugas yang

sama), maka pengertian persamaan sebagai makna keadilan dapat dibenarkan.

Ketiga, keadilan bermakna sebagai pemberian perhatian kepada hak-hak pribadi

dan penunaian hak kepada siapa saja yang berhak. Perampasan hak dan pelanggaran hak

oleh orang yang tidak berhak merupakan bentuk kezaliman dari pengertian ini. Keadilan

dalam makna ini menyangkut dua hal penting, yaitu: (a) masalah hak dan kepemilikan

(al-huquq wa al-uluwiyyat, rights and properties). Hal ini tidak saja mencakup hak dan

pemilikan seseorang sesuai dengan usaha dan hasil usahanya, tetapi juga mencakup hak

dan pemilikan alami, seperti hak seorang bayi untuk mendapatkan susuan ibunya,

berdasarkan "design" alami berkenaan dengan kebutuhan bayi itu untuk

pertumbuhannya. (b) kekhususan hakiki manusia, yaitu kualitas manusiawi tertentu

yang haras dipenuhi oleh dirinya dan diakui oleh orang lain untuk dapat mencapai

tujuan hidupnya yang lebih tinggi. Menghalangi orang lain dari memenuhi kualitas itu

atau mengingkarinya adalah kezaliman.

Keempat, makna keadilan adalah keadilan Tuhan (al-Ad'l al-lllahi), berupa

(45)

dengan kesediaannya untuk menerima eksistensi dirinya sendiri dan pertumbuhannya ke

arah kesempurnaan.

Sedangkan menurut Baharuddin Lopa ada lima model keadilan yang

didapatkan dari ajaran Islam. Pertama, keadilan hukum, yakni keadilan yang dapat

mewujudkan ketentraman, kebahagiaan dan ketenangan secara wajar dalam

masyarakat (Q. S. Al Maidah: 8, Q. S. An Nisa: 5-6, Q. S. An Nisa: 58, Q. S. Al

Hujurat: 12, Q. S. Al Isra: 15 dan Q. S. Al Hadid: 25). Kedua, keadilan dalam

kehidupan sosial ekonomi (Q. S. Al Jumu' ah: 10, Q. S. Al Baqarah: 29, Q. S. Al

Baqarah: 188, Q. S. Al Mulk: 15, Q. S. At Taubah: 105, Q. S. Al Qashash: 77, Q. S.

An Nisa: 58, Q. S. At Thur: 21). Ketiga, keadilan dalam kehidupan beragama (Q. S.

Ar Ruum: 30, Q. S. Al Baqarah: 111, Q. S. Al Baqarah: 170, Q. S. Al Ankabut: 46, Q.

S. Al An’ am: 148, Q. S. Saba': 24, Q. S. Al Ahqaf: 4, Q. S. At Thur: 34, Q. S. Al

Maidah: 6, Q. S. Al Maidah: 104, Q. S. Al Hasyr: 2, Q. S. An Nisa: 59, Q. S. An

Nisa: 82, Q. S. As Syura: 10, Q. S. Al Isra': 36, Q. S. Yunus: 68, Q. S. An Nahl: 43, Q.

S. At Taubah: 122).41

3. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Keadilan di Barat

Keadilan dalam perspektif Barat, diartikan sebagai memberi

masing-masing pihak apa yang menjadi haknya. Jadi, sasarannya adalah hak-hak manusia, baik

sebagai perorangan maupun sebagai masyarakat dan warga negara. Manusia

mempunyai hak-hak, baik sebagai perorangan maupun sebagai warga masyarakat atau

41

(46)

negara. Demikian pula masyarakat dan negara mempunyai hak-hak yang harus

dihormati oleh para anggotanya.

Keadilan dapat pula ditinjau dari beberapa aspek, yaitu aspek hukum,

politik, materi dan kesempatan.42 Keadilan dilihat dari segi hukum berarti adanya

persamaan di depan hukum atau adanya kesamaan kedudukan yang dimiliki oleh

setiap individu di depan hukum. Keadilan dalam arti ini tidak pernah terwujud

sepenuhnya, karena dalam hukum tetap ditemukan adanya perlakuan yang berbeda

menyangkut keberadaan seseorang dari segi fisik, seperti anak-dewasa, pria-wanita,

sehat-sakit. Melihat kenyataan ini maka digunakanlah istilah "keadilan prosedural"

untuk keadilan hukum ini. Menurut Almond, keadilan prosedural menunjukkan

kondisi-kondisi, pembatasan-pembatasan dan proses-proses tertentu yang dibutuhkan

dalam penerapan hukum terhadap para pelanggar hukum.

Keadilan dari segi politik, berarti persamaan politik (political equality),

meliputi kesamaan hak memilih seseorang untuk menduduki suatu jabatan tertentu,

mencalonkan diri untuk suatu jabatan tertentu (rekrutmen politik) dan berpartisipasi

dalam kegiatan-kegiatan politik.

Keadilan dari segi materi, berarti persamaan materi (material equality).

Terdapat perdebatan terkait dengan keadilan materi ini, yaitu apakah suatu

keputusan politik dapat memberikan, atau bahkan harus memberikan persamaan materi

kepada mereka yang memilikinya. Jadi menyangkut distribusi barang-barang dan

jasa, atau sama dengan keadilan distributif tersebut di atas. Sering dikatakan bahwa

42

(47)

persamaan materi merupakan suatu prasyarat bagi persamaan-persamaan lain, dalam

kasus di mana konflik di antara nilai-nilai politik tidak dapat ditangani atau diselesaikan

dengan mudah.

Keadilan dari segi kesempatan, berarti adanya persamaan kesempatan (equal

opportunity), bahwa semua orang mempunyai kesempatan yang sama dan memiliki

hak-hak yang sama untuk menggunakan kesempatan tersebut. Menghormati hak-hak-hak-hak tersebut

adalah adil dan melanggar hak-hak tersebut adalah tidak adil.

E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi tentang pemikiran Nurcholish Madjid

mengenai segi etis dalam Islam, yang secara konsisten dijelaskan olehnya meliputi prinsip

moral kemanusiaan dan keadilan. Segi etis inilah yang kemudian dikenal dengan istilah

etika politik dalam kehidupan politik modern sekarang ini.

Pilihan ini kemudian menjadikan metode penelitian kualitatif yang bersifat

deskriptif menjadi relevan untuk digunakan karena akan banyak bermanfaat dalam proses

analisa dan pemaknaan data yang tidak bersifat statistika.

Adapun langkah-langkah metodis yang ditempuh dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Inventarisasi; untuk mengurai berbagai konsep mengenai etika Islam ini,

pertama-tama akan dihimpun berbagai literature yang memperjelas identifikasi konsep etis

(48)

keadilan. Kemudian akan ditampilkan berbagai perspektif tentang prinsip-prinsip

moral ini, berbagai pandangan pakar atau filosof tentang hal ini, mengkomparasikan

pandangan-pandangan tersebut dan juga akan digali bagaimana praksis-praksis

mengenai kedua prinsip ini dalam kehidupan politik yang banyak mengalami

berbagai tafsir konseptual dan perdebatan karena adanya perbedaan pandangan.

b. Analisis konsep; langkah selanjutnya adalah analisis konsep yang berguna untuk

melihat dan memaknai sejauh mana prinsip-prinsip yang ditawarkan ini mampu

memberikan solusi bagi persoalan yang timbul, kelebihan dan kelemahan yang

dimiliki, serta faktor ideologis atau strategis apa yang menyebabkan lahirnya

pemikiran tersebut.

c. Komparasi; langkah berikutnya adalah dengan mengkomparasikan dan

mempertentangkan konsep ini dengan konsep serupa menurut pemikiran Barat maupun

Islam sendiri dalam Al Quran, sehingga akan diketahui sisi-sisi persamaan

ataupun perbedaan diantara keduanya atau bahkan gabungan dari dua jalur pemikiran

itu.

d. Sintesis; langkah berikutnya adalah dengan "mengendapkan" hakikat dari seluruh

hal yang ada untuk kemudian dapat diperoleh pemaknaan yang utuh dan menyeluruh

mengenai konsep tersebut, dan kesesuaiannya untuk menghadapi berbagai

persoalan dalam kehidupan sosial dan politik yang diharapkan akan memperoleh

"pencerahan" dengan kembali ke jalan agama ini.

e. Heuristika; setelah berbagai konsep mengenai prinsip-prinsip moral ini dikupas

(49)

pandangan tokoh yang menelurkan pemikiran tersebut, atau bahkan lahir suatu cara

pemaknaan baru melihat konsep etis dalam Islam ini, terutama terkait dengan

persoalan prinsip moral kemanusiaan dan keadilan. Hal ini diharapkan bisa

membuka cakrawala dan pemahaman baru mengenai cara berpolitik yang lebih santun

dan bermartabat melalui penerapan etika politik yang benar menurut ajaran agama

Islam.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian kepustakaan (library

research). Penelitian ini akan merujuk pada berbagai pustaka yang telah disiapkan,

baik dari buku-buku yang merupakan sumber utama dari pemikiran Nurcholish Madjid,

maupun tulisan orang lain mengenai pemikiran Nurcholish Madjid ini, juga buku-buku

yang memuat konsep mengenai etika politik, segi etis dalam Islam, maupun

prinsip-prinsip moral kemanusiaan dan keadilan dalam berbagai tulisan dan pendapat, baik

yang berbahasa Indonesia, Inggris, maupun Arab.

Kajian ini juga akan memanfaatkan referensi dari berbagai artikel, baik di koran,

majalah, dan situs-situs internet yang mendukung tema bahasan. Berbagai pustaka yang

telah disiapkan ini, diharapkan bisa mendukung, memperlancar dan mempermudah

(50)

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan melalui cara mengumpulkan data yang

berupa bahan-bahan tertulis, termasuk arsip-arsip, buku-buku tentang pendapat, teori,

dalil atau hukum-hukum yang berhubungan dengan penelitian.43

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer berupa karya-karya Nurcholish Madjid, baik berupa tulisan

maupun pernyataan-pernyataannya, baik berupa buku maupun artikel di berbagai media

massa cetak.44

Sedangkan data sekunder yang digunakan adalah data pendukung yang

relevan dan berkaitan secara langsung maupun tidak langsung, seperti tulisan ataupun

pemyataan yang membahas pemikiran dari Nurcholish Madjid oleh tokoh lain.

4. Metode Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan ke dalam pola,

kategori, dan satuan uraian dasar sehmgga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan

hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.45

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan tahap-tahap seperti di bawah ini:

a. Membaca dan melakukan telaah terhadap sumber data yang terkait dengan penelitian

ini.

43

Hadari Nawawi dan Martini Hadari. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: UGM Press. hal. 69-70.

44 Anton Baker dan Ahmad Chariss Zubair. 1994. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta:

Kanisius. hal. 61.

45

(51)

b. Mengadakan reduksi data untuk mengidentifikasikan aspek-aspek penting dari isu-isu

penting dalam pertanyaan, memfokuskan pengumpulan data dan metode, sampai

dengan kesimpulan. Reduksi data ini dapat dilakukan dengan membuat abstraksi,

yaitu usaha membuat rangkuman yang inti, proses, pernyataan-pernyataan yang

perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya.46

c. Menyusun dalam satuan-satuan kategorisasi yang lebih spesifik.

d. Pemeriksaan terhadap keabsahan data.

e. Penafsiran atau intepretasi atas teks sampai pada penarikan kesimpulan sesuai dengan

pertanyaan penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana membuat packaging untuk coklat praline dengam bentuk candi prambanan.

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum / skripsi dengan judul: “ PENEGAKAN HUKUM TERHADAP KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP SEBAGAI AKIBAT PERTAMBANGAN

Pemerintah Daerah perlu melakukan sosialisasi mengenai Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pertambangan rakyat kepada aparat.. pemerintah maupun aparat yang

Berdasar temuan lapangan dan analisis yang diperoleh, strategi kampanye Mahamentor terfokus pada keberadaan mentor sebagai model bagi siswa – siswa SMA dan menjadi kunci utama

Communicator.. The communication object : kampanye memiliki pesan yang berbeda satu sama lain. Pengelolaan model kampanye harus disesuaikan dengan pesan yang

• sediaan cair yang dibuat untuk pemberian oral, mengandung satu atau lebih zat dengan atau tanpa bahan pengaroma, pemanis, atau pewarna yang larut dalam air atau

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas tabir surya dari masing-masing ekstrak etanol, fraksi n-heksan, fraksi etil asetat dan fraksi air rimpang

untuk menentukan aktivitas antioksidan dan faktor pelindung surya pada ekstrak kulit buah pisang ambon putih dengan menggunakan pelarut etanol, air dan etil