• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Tinjauan Pustaka

3. Prinsip Keadilan dalam Perspektif Nurcholish

3. 1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Keadilan dalam Islam

Prinsip moral keadilan memiliki keterkaitan dengan iman. Keadilan bagi manusia merupakan tindakan persaksian, bagi Tuhan Yang Maha Adil. Menegakkan prinsip keadilan merupakan perbuatan yang mendekati takwa atau keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia.

Jika keadilan dikaitkan dengan agama, maka yang pertama-tama dapat dikatakan ialah bahwa usaha mewujudkan keadilan merupakan salah satu dari sekian banyak sisi kenyataan tentang agama. Sudah sejak umat manusia mengenal peradaban di lembah Sawab (Mesopotamia, Irak sekarang) sekitar 6000 tahun lalu, persoalan keadilan selalu merupakan tantangan hidup yang tidak pernah berhenti diperjuangkan.29

Sejarah manusia yang mengantarkannya untuk mengenal peradaban telah menyebabkan lahirnya tingkatan-tingkatan dalam kehidupan. Tingkatan dalam kehidupan ini menyebabkan ada kelompok manusia yang kuat dan menguasai kelompok yang lebih lemah. Hal inilah yang kemudian melahirkan masalah keadilan.

Keadilan berasal dari kata adil, istilah dalam bahasa Arab yaitu, adl atau qisth. Merupakan istilah yang serba meliputi, mencakup semua jenis kebaikan dalam pemikiran kefilsafatan. Namun, keadilan memiliki dasar rasa ketuhanan,

maka hal ini menyebabkan keadilan berdasarkan iman melahirkan makna yang lebih dalam dan manusiawi, dari sekedar keadilan formal dalam sistem hukum Romawi.30

Tetapi dalam Al Quran, pengertian adil atau justice ini ternyata tidak hanya diwakili oleh kata ’adl. Sebagai kata benda, paling tidak ada dua kata yang artinya adil atau justice, yakni ‘adl itu sendiri dan qisth. Dari akar kata ‘a-d-l, sebagai kata benda, kata ini disebut sebanyak 14 kali dalam Al Quran, sedangkan kata qisth berasal dari akar kata q-s-th, diulang sebanyak 15 kali sebagai kata benda.31

Kata yang artinya keadilan ini dalam Al Quran mula-mula diturunkan, baik kata 'adl maupun qisth adalah dalam surat Al A'raf 7: 29, 159 dan 18. Dalam Al A'raf 7: 29 ini kata keadilan dinyatakan dengan qisth. Arti dari ayat tersebut adalah: Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata: "Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan perbuatan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah: "Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji". Mengapa engkau mengada-ada terhadap Allah apa yang kamu tidak ketahui? Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan (qisth)". Dan katakanlah: "Luruskan mukamu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya, sebagaimana Dia

30 Nurcholish Madjid. 2003. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 115. 31

Muhammad Dawam Rahardjo. 2002. Ensiklopedia Al Quran. Jakarta: Penerbit Paramida bekerjasama dengan Jurnal Ulumul Quran. hal. 369.

telah menciptakan kamu pada awalnya, demikian pulalah kamu akan kembali kepada- Nya.32

Pada Al A'raf 28 dinyatakan bahwa Allah melarang perbuatan keji. Menurut riwayat, yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini adalah perbuatan syirik, seperti lari-lari (bertelanjang) di depan Ka'bah yang dilakukan orang-orang musyrik (agar Allah merasa senang). Ketika mereka diperingatkan bahwa perbuatan itu tidak sepantasnya, mereka memberi alasan, bahwa hal itu sudah menjadi tradisi turun- temurun dan suruhan Allah juga. Hal ini disanggah oleh Allah, bahwa dia tidak menyuruh orang melakukan perbuatan keji.33

Ayat 29, selanjutnya menjelaskan bahwa Allah menyuruh orang menjalankan keadilan. Secara konkret, yang disebut keadilan (qisth) ini adalah: (a) mengkonsentrasikan perhatian dan shalat kepada Allah, dan (b) mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya. "Meluruskan muka (wajah)" dalam shalat, pada ayat 29 ini maksudnya adalah tidak menyangkutkan perhatian kepada sesuatu yang lain, yang membuat seseorang seolah-olah menyembah sesuatu perantaraan, yang berarti syirik. Maksud lain keadilan pada ayat di atas adalah taat secara ikhlas kepada Allah. Ketaatan yang ikhlas ini artinya mendasarkan diri dan berorientasi kepada Allah, berbuat sesuatu karena diperintahkan Allah, dan tidak berbuat sesuatu karena dilarang oleh Allah. Keadilan kedua ini merupakan konsekuensi dari keadilan pertama.34

Lawan dari keadilan adalah tindakan yang meragikan manusia, yang merampas hak-hak manusia dan segala perbuatan yang dapat menimbulkan

32 Ibid. hal. 370. 33

Ibid. hal. 370.

kerusakan pada masyarakat. Apabila kita meletakkan keadilan pada konteks sekarang, maka perjuangan hak-hak asasi manusia adalah perjuangan menegakkan keadilan. Demikian pula perjuangan mencegah kerusakan lingkungan hidup. Semua kegiatan yang berusaha meniadakan kerugian pada masyarakat dan mengembalikan hak-hak rakyat, dapat disebut sebagai perjuangan menegakkan keadilan.

Berbuat adil, adalah standar minimal bagi perilaku manusia. Kelanjutan dari bersikap adil adalah berbuat kebajikan dan beramal sosial, setidak-tidaknya kepada kaum kerabatnya sendiri, berbarengan dengan itu, orang juga harus mampu menghindarkan diri dari berbagai perilaku keji, mungkar, dan permusuhan dengan sesama manusia.

Dalam Islam, keadilan pada akhirnya -dan dalam renungan tertinggi- dipahami sebagai "keadilan Illahi". Ada tiga nilai fundamental yang dinyatakan dalam Al Quran, yaitu: Tawhid atau pengesaan Tuhan, Islam atau penyerahan dan ketundukan kepada Allah, dan Keadilan, yaitu keyakinan bahwa segala perbuatan kita di dunia ini kelak akan dinilai Allah, Hakim Yang Maha Adil.

Rasa keadilan yang berdasarkan iman akan keluar dari hati nurani yang terdalam. Keadilan ini terkait erat dengan ihsan, yaitu keinginan berbuat baik untuk sesama manusia secara tulus dan murni karena perbuatan tersebut merupakan wujud persaksian kepada Tuhan, dan tidak akan pernah dapat disembunyikan,

Istilah lain mengenai "adil" juga berasal dari bahasa Arab, yang berarti tengah atau seimbang. Jadi dapat dikatakan bahwa prinsip dasar dari keadilan adalah keseimbangan (Al Mizan), yaitu suatu sikap tidak berlebihan, baik ke kanan atau ke

kiri. Kemampuan untuk berbuat adil senantiasa dikaitkan dengan kearifan atau wisdom, yang dalam bahasa Arab disebut sebagai hikmah, yaitu suatu kualitas pribadi yang diperoleh karena adanya pengetahuan yang menyeluruh dan seimbang (tidak pincang atau parsial) tentang suatu perkara.35

Terkait dengan masalah keadilan ini di dalam Al Quran dijelaskan bahwa hal ini dikaitkan hukum ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya. Pelanggaran terhadap prinsip keadilan dapat diartikan sebagai melanggar hukum kosmos, dan berarti merupakan sebuah dosa besar. Allah berfirman: "Dan langitpun ditinggikan oleh-Nya, dan ditetapkan-Nya (hukum) keseimbangan (Al Mizan). Maka hendaknya kamu (umat manusia) janganlah melanggar (hukum) keseimbangan itu, serta tegakkanlah timbangan dengan jujur, dan janganlah merugikan (hukum) keseimbangan ".36

Salah seorang ahli tafsir Al-Quran yang terkenal, Al Zamakhsyari, mengatakan bahwa perkataan "timbangan" atau "al-wazn" dalam firman Allah itu dapat diartikan secara metamorfosis. Maksud "timbangan" dalam artian ini ialah setiap rasa keadilan yang meliputi seluruh kegiatan hidup kita, baik yang lahir maupun bathin.

Maka perintah Allah agar kita "melakukan timbangan secara jujur itu" ialah perintah agar kita dalam segala perkara senantiasa memperhatikan rasa keadilan dan kejujuran. Jika tidak, maka berarti kita telah melanggar, merusak dan merugikan hukum seluruh alam raya. Ini berarti bahwa reaksi keberatan terhadap tindakan tidak adil dan tidak jujur, berasal tidak hanya dari orang yang dirugikan, tetapi juga berasal

35

Nurcholish Madjid. 2002. Pintu Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Penerbit Paramadina. hal. 41.

dari seluruh alam raya. Hal ini yang menjelaskan bahwa keadilan adalah sebuah hukum kosmos.

Terkait dengan masalah hukum kosmos ini juga maka dapat dikatakan bahwa keadilan adalah sunatullah ("sunat Allah"). Sebagai sebuah kepastian sunatullah maka keadilan adalah sesuatu yang obyektif dan tidak akan berubah (immutable). Keadilan dikatakan obyektif karena tidak tergantung pada pikiran atau kehendak manusia, dan tidak akan berubah karena berlaku selama-lamanya tanpa interupsi atau koneksi kepada seseorang.37 Sifat obyektif jugalah yang mengantarkan keadilan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemanusiaan, dimana manusia dalam keadilan ini dilihat dalam proporsi dan kedudukan yang sama tanpa adanya suatu perbedaan.

Selain itu, keadilan juga memiliki makna yang sangat penting, ketika dikaitkan dengan "amanat" (amanah), yang berarti titipan suci dari Tuhan kepada umat manusia untuk sesamanya, terutama amanat ini terkait dengan masalah memerintah atau kekuasaan.

Kekuasaan pemerintahan adalah sesuatu yang tak terhindarkan demi ketertiban tatanan kehidupan manusia. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah kepatuhan dari banyak orang kepada para penguasa (ulu al-amr, bentuk dari wali al-amr). Kekuasaan dan ketaatan adalah dua segi dari satu kenyataan. Namun, kekuasaan yang patut dan harus ditaati hanyalah yang berasal dari orang banyak dan mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan. Maka yang pertama-tama harus dipenuhi bagi

suatu kekuasaan untuk mendapatkan keabsahan atau legitimasinya, adalah menjalankan amanat itu, dengan menegakkan keadilan sebagai saksi kehadiran Tuhan.38

Hal itu tertulis dalam Al Quran: "Hai sekalian orang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul-Nya, dan kepada para pemegang kekuasaan dari antara kamu. Jika kamu berselisih tentang suatu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Itulah keputusan yang lebih baik dan lebih tepat".39

Beberapa pendekatan kebahasaan di atas sudah cukup menjelaskan apa yang dimaksud dengan "adil" dan "keadilan" menurut ajaran agama Islam. Sedangkan sebagai konsep, makna keadilan itu jauh lebih luas dan rumit daripada makna kebahasaannya. Menurut Murtadla al Muthahhari, salah seorang pemikir muslim zaman modem, terdapat empat pengertian pokok tentang adil dan keadilan:40

Pertama, keadilan mengandung pengertian perimbangan atau keadaan

seimbang (mawzun, balanced), tidak pincang. Jika suatu kesatuan terdiri dari bagian- bagian yang kesemuanya secara bersama-sama dalam kesatuan itu menuju satu tujuan yang sama, maka dituntut beberapa syarat tertentu, bahwa masing-masing bagian itu mempunyai ukuran yang tepat dan berada dalam kaitan yang tepat pula antara satu dengan lainnya dan antara setiap bagian itu dengan keseluruhan kesatuan. Kondisi ini akan menyebabkan keseluruhan kesatuan tersebut akan mampu untuk mempertahankan diri dan mencapai tujuan yang diharapkan.

38 Nurcholish Madjid. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Ibid. hal. 116. 39

An Nisa 4: 58.

Kedua, keadilan mengandung makna persamaan (musawah, egalite) dan tidak

adanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Berdasarkan makna ini seseorang dikatakan bertindak adil jika dirinya memperlakukan orang lain secara sama. Perlakuan yang sama ini dengan tetap memperhatikan adanya perbedaan kemampuan, tugas, dan fungsi dari masing-masing orang. Perlakuan sama tanpa memperhatikan hal-hal tersebut justru merupakan sebuah kezaliman. Tetapi jika perlakuan yang sama dilakukan terhadap orang yang memiliki hak yang sama (kemampuan, fungsi dan tugas yang sama), maka pengertian persamaan sebagai makna keadilan dapat dibenarkan.

Ketiga, keadilan bermakna sebagai pemberian perhatian kepada hak-hak pribadi

dan penunaian hak kepada siapa saja yang berhak. Perampasan hak dan pelanggaran hak oleh orang yang tidak berhak merupakan bentuk kezaliman dari pengertian ini. Keadilan dalam makna ini menyangkut dua hal penting, yaitu: (a) masalah hak dan kepemilikan (al-huquq wa al-uluwiyyat, rights and properties). Hal ini tidak saja mencakup hak dan pemilikan seseorang sesuai dengan usaha dan hasil usahanya, tetapi juga mencakup hak dan pemilikan alami, seperti hak seorang bayi untuk mendapatkan susuan ibunya, berdasarkan "design" alami berkenaan dengan kebutuhan bayi itu untuk pertumbuhannya. (b) kekhususan hakiki manusia, yaitu kualitas manusiawi tertentu yang haras dipenuhi oleh dirinya dan diakui oleh orang lain untuk dapat mencapai tujuan hidupnya yang lebih tinggi. Menghalangi orang lain dari memenuhi kualitas itu atau mengingkarinya adalah kezaliman.

Keempat, makna keadilan adalah keadilan Tuhan (al-Ad'l al-lllahi), berupa

dengan kesediaannya untuk menerima eksistensi dirinya sendiri dan pertumbuhannya ke arah kesempurnaan.

Sedangkan menurut Baharuddin Lopa ada lima model keadilan yang didapatkan dari ajaran Islam. Pertama, keadilan hukum, yakni keadilan yang dapat mewujudkan ketentraman, kebahagiaan dan ketenangan secara wajar dalam masyarakat (Q. S. Al Maidah: 8, Q. S. An Nisa: 5-6, Q. S. An Nisa: 58, Q. S. Al Hujurat: 12, Q. S. Al Isra: 15 dan Q. S. Al Hadid: 25). Kedua, keadilan dalam kehidupan sosial ekonomi (Q. S. Al Jumu' ah: 10, Q. S. Al Baqarah: 29, Q. S. Al Baqarah: 188, Q. S. Al Mulk: 15, Q. S. At Taubah: 105, Q. S. Al Qashash: 77, Q. S. An Nisa: 58, Q. S. At Thur: 21). Ketiga, keadilan dalam kehidupan beragama (Q. S. Ar Ruum: 30, Q. S. Al Baqarah: 111, Q. S. Al Baqarah: 170, Q. S. Al Ankabut: 46, Q. S. Al An’ am: 148, Q. S. Saba': 24, Q. S. Al Ahqaf: 4, Q. S. At Thur: 34, Q. S. Al Maidah: 6, Q. S. Al Maidah: 104, Q. S. Al Hasyr: 2, Q. S. An Nisa: 59, Q. S. An Nisa: 82, Q. S. As Syura: 10, Q. S. Al Isra': 36, Q. S. Yunus: 68, Q. S. An Nahl: 43, Q. S. At Taubah: 122).41

3. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Keadilan di Barat

Keadilan dalam perspektif Barat, diartikan sebagai memberi masing- masing pihak apa yang menjadi haknya. Jadi, sasarannya adalah hak-hak manusia, baik sebagai perorangan maupun sebagai masyarakat dan warga negara. Manusia mempunyai hak-hak, baik sebagai perorangan maupun sebagai warga masyarakat atau

41

Anas Urbaningrum. 2004. Islamo Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid. Jakarta: Katalis dan Penerbit Republika. hal. 95.

negara. Demikian pula masyarakat dan negara mempunyai hak-hak yang harus dihormati oleh para anggotanya.

Keadilan dapat pula ditinjau dari beberapa aspek, yaitu aspek hukum, politik, materi dan kesempatan.42 Keadilan dilihat dari segi hukum berarti adanya persamaan di depan hukum atau adanya kesamaan kedudukan yang dimiliki oleh setiap individu di depan hukum. Keadilan dalam arti ini tidak pernah terwujud sepenuhnya, karena dalam hukum tetap ditemukan adanya perlakuan yang berbeda menyangkut keberadaan seseorang dari segi fisik, seperti anak-dewasa, pria-wanita, sehat-sakit. Melihat kenyataan ini maka digunakanlah istilah "keadilan prosedural" untuk keadilan hukum ini. Menurut Almond, keadilan prosedural menunjukkan kondisi-kondisi, pembatasan-pembatasan dan proses-proses tertentu yang dibutuhkan dalam penerapan hukum terhadap para pelanggar hukum.

Keadilan dari segi politik, berarti persamaan politik (political equality), meliputi kesamaan hak memilih seseorang untuk menduduki suatu jabatan tertentu, mencalonkan diri untuk suatu jabatan tertentu (rekrutmen politik) dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan politik.

Keadilan dari segi materi, berarti persamaan materi (material equality). Terdapat perdebatan terkait dengan keadilan materi ini, yaitu apakah suatu keputusan politik dapat memberikan, atau bahkan harus memberikan persamaan materi kepada mereka yang memilikinya. Jadi menyangkut distribusi barang-barang dan jasa, atau sama dengan keadilan distributif tersebut di atas. Sering dikatakan bahwa

42

Andre Bayo Ala. 1985. Hakekat Politik, Siapa Melakukan Apa untuk Memperoleh Apa. Yogyakarta: Penerbit Akademia. hal. 39.

persamaan materi merupakan suatu prasyarat bagi persamaan-persamaan lain, dalam kasus di mana konflik di antara nilai-nilai politik tidak dapat ditangani atau diselesaikan dengan mudah.

Keadilan dari segi kesempatan, berarti adanya persamaan kesempatan (equal opportunity), bahwa semua orang mempunyai kesempatan yang sama dan memiliki hak- hak yang sama untuk menggunakan kesempatan tersebut. Menghormati hak-hak tersebut adalah adil dan melanggar hak-hak tersebut adalah tidak adil.

E. Metodologi Penelitian

Dokumen terkait