• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Tinjauan Pustaka

2. Prinsip Kemanusiaan dalam Perspektif Nurcholish

2. 1. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Kemanusiaan dalam Islam

Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki kesempurnaan tertinggi dan paling mulia. Manusia dianugerahi oleh Tuhan harkat dan martabat kemanusiaan yang tinggi, namun manusia juga memiliki potensi yang besar untuk turun derajat menjadi serendah-rendahnya mahluk, kecuali mereka yang beriman kepada Tuhan dan berbuat kebaikan.

20 Ibid. hal 7.

Sebagai mahluk sosial, manusia selalu berupaya untuk mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaannya, hal ini disebabkan karena manusia lebih banyak mengalami kehilangan fithrah dan kebahagiannya karena berbagai kelemahan yang dimiliki, kecuali jika dirinya memiiiki rasa ketuhanan yang kuat.

Prinsip moral kemanusiaan sangat terkait dengan agama, terutama dengan rasa ketuhanan. Rasa kemanusiaan hanya terwujud jika dilandasi rasa ketuhanan. Rasa kemanusiaan yang lepas dari rasa ketuhanan, akan menyebabkan terjadinya praktek- praktek pemutlakan sesama manusia. Karena itu, kemanusiaan sejati harus bertujuan pada keridlaan Tuhan semata. Orientasi keridlaan Tuhan ini merupakan landasan bagi peningkatan nilai-nilai kemanusiaan seseorang.21 Mengenai hal ini dijelaskan dalam Al Quran: "Barang siapa menghendaki kemuliaan, pada Allah-lah kemuliaan itu semua. Kepada-Nyalah naik ide-ide yang baik (al khalim at thayyib), dan Dia mengangkat (menghargai) perbuatan kebajikan".22

Nilai kemanusiaan dalam iman seseorang merupakan keseluruhan pandangan transendental yang menyangkut kesadaran akan asal dan tujuan wujud serta hidupnya, yang harus berpusat pada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia atau nilai kemanusiaan, menjadi ukuran amal perbuatan, maka segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, yang tidak bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan akan sirna, sedangkan yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaaan akan tetap bertahan.23

21 Nurcholish Madjid. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah

Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Penerbit Paramadina. hal. 102.

22

Q. S. Al Fathir 35: 10.

Berdasarkan hal itu, manusia akan selalu memiliki kesadaran untuk memusatkan pandangan kepada Tuhan, karena dengan demikian manusia akan menemukan dirinya, dan memperoleh ketentraman lahir dan bathin serta rasa optimis terhadap hidup serta kemantapan diri. Kondisi ini akan melahirkan manusia yang berketuhanan, dan manusia yang berketuhanan secara otomatis akan menjadi manusia yang berperikemanusiaan.24

Manusia yang berperikemanusiaan akan menjadi pribadi yang berpola hidup saling menghormati sesama manusia. Pola hidup saling menghormati ini, merupakan perwujudan saling memuliakan diantara manusia, sebagaiman Tuhan sendiri memuliakan manusia.

Hubungan antara manusia yang satu dengan lainnya ini membentuk sebuah pola interaksi diantara pribadi-pribadi yang berbeda, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada kualitas dirinya sebagai manusia, yaitu kualitas harkat dan martabat. Setiap pribadi harus memandang bahwa pola interaksi dengan pribadi yang lain merupakan bentuk representasi seluruh kemanusiaan.

Perbuatan baik kepada seorang manusia akan bernilai sebagai perbuatan baik kepada keseluruhan kemanusiaan, dan sebaliknya, perbuatan jahat kepada seorang manusia akan bernilai sebagai perbuatan jahat kepada keseluruhan kemanusiaan. Sebagaimana tercantum dalam Al Quran : "Oleh sebab itu telah kami (Tuhan) tetapkan atas anak turun Israel bahwasanya barangsiapa membunuh seseorang tanpa kesalahan (membunuh orang lain) atau membuat kerusakan di bumi maka seakan-

24 Ibid. hal. 101.

akan ia telah membunuh umat manusia seluruhnya, dan barangsiapa menghidupkan (berbuat baik) kepadanya maka seakan-akan ia telah menghidupkan umat manusia seluruhnya".25

Prinsip moral kemanusiaan yang berlandaskan rasa ketuhanan ini, pada akhirnya akan mewujudkan pola hubungan antar manusia dalam semangat egalitarianisme. Setiap pribadi manusia berharga sebagai mahluk Tuhan yang bertanggungjawab langsung kepada-Nya, tidak seorangpun dari mereka itu yang dibenarkan diingkari hak-hak azasinya, demikian pula sebaliknya. Maka dapat disimpulkan bahwa prinsip moral kemanusiaan yang melahirkan semangat egalitarianisme akan mampu melandasi demokrasi, dan menghindarkan dari totalitarianisme, otoritarianisme dan tirani.26

2. 2. Sudut Pandang Nurcholish Madjid Melihat Wacana Kemanusiaan di Barat

Berbicara masalah kemanusiaan dalam perspektif Barat sangat terkait dengan persoalan hak-hak azasi manusia (HAM). Persoalan HAM ini menjadi dasar bagi persoalan kemanusiaan karena didalamnya terkait dengan hak-hak dasar manusia yang berasal dari pemberian Tuhan, tanpa memandang berbagai perbedaan yang ada. Kesadaran akan hak azasi manusia (HAM) mulai tumbuh di Barat dengan beberapa tonggak penting diantaranya, yaitu :

25

Q. S. Al Maidah 5: 32.

a. Perjanjian Agung (Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian dari pemberontakan para Baron Inggris terhadap Raja John (saudara raja Richard, seorang pemimpin tentara Salib). Isi pokok dokumen ini adalah agar raja tidak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi dari seorang rakyat. Pendorong pemberontakan para Baron itu sendiri antara lain karena dikenakannya pajak yang sangat besar oleh raja, dan dipaksakannya para Baron untuk membolehkan anak-anak perempuan mereka kawin dengan rakyat biasa.

b. Bill of Rights (1628), berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun, atau untuk memenjara, menyiksa, dan mengirimkan tentara secara sewenang-wenang tanpa dasar hukum.

c. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat 4 Juli 1776, memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan, serta keharusan mengganti pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut.

d. Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara (Declaration des Droits de l 'Homme et du Citoyen), Prancis, 4 Agustus 1789, dengan titik berat pada lima hak azasi manusia, yaitu pemilikan harta (propiete), kebebasan (liberte), persamaan (egalite), keamanan (securite) dan perlawanan terhadap penindasan (resistence a l 'oppression).

e. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Azasi Manusia, Desember 1948, yang memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam

perkawinan, pendidikan, pekerjaan dan kebebasan beragama (termasuk hak untuk berpindah agama).27

Sejarah panjang kemanusiaan dalam upaya penegakan hak-hak azasi manusia di atas merupakan bukti bahwa ide tentang hak azasi bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan melalui suatu perjalanan panjang dan pengorbanan yang besar. Seluruh umat manusia wajib menyadari dan menghayati hal ini serta berapaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia itu.

Hak-hak azasi manusia sesungguhnya juga merupakan bagian dari hakikat kemanusiaan yang paling intrinsik, maka sejarah pertumbuhan konsep-konsepnya dan perjuangan menegakkannya sekaligus menyatu dengan sejarah manusia dan kemanusiaan itu sendiri semenjak dikenalnya peradaban. Hal ini dapat dilihat dari ajaran-ajaran agama, terutama agama-agama semitik (Yahudi, Kristen dan Islam) dimana salah satu persoalan kemanusiaan yang paling dini diungkapkan melalui penuturan tentang peristiwa pembunuhan yang menyangkut dua anak lelaki Adam dan Hawa, yaitu Qadil (Cain) dan Habil (Abel). Peristiwa pembunuhan pertama sesama manusia ini menghasilkan dekrit Tuhan : "Bahwa barang siapa membunuh suatu jiwa tanpa (kesalahan) membunuh jiwa yang lain atau membuat kerusakan di bumi, maka ia bagaikan membunuh umat manusia seluruhnya, dan barang siapa menolong hidup suatu jiwa maka ia bagaikan menolong hidup umat manusia seluruhnya". (Q. S. Al Maidah 5: 27-32 dan Kitab Kejadian 4. 1-16).28

27

Nurcholish Madjid. 2003. Islam Agama Kemanusiaan. Ibid. hal. 212.

Dokumen terkait