• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deviasi Interval Kepercayaan 95% Terendah Tertinggi Ascariasis 7.18 2.66 6.32 8.03 0.32 Trichuriasis 8.11 2.42 6.25 9.97 Campuran 8.64 3.30 7.70 9.58

Dari Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa rerata nilai eosinofil pada anak yang menderita ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah 7.18, 8.11, dan 8.64/µL darah (P = 0.32). Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan

bermakna antara rerata nilai eosinofil pada infeksi tunggal serta infeksi campuran. Rerata nilai eosinofil tertinggi dijumpai pada anak yang menderita infeksi campuran.

Tabel 4.3. Nilai eosinofil absolut pada infeksi soil-transmitted helminth

Nilai Eosinofil Absolut (eosinofil/µL) Ascariasis (n = 40) Trichuriasis (n = 9) Campuran (n = 50) P ≤ 450, n (%) 21 (52.5) 2 (22.2) 15 (30) 0.05 > 450, n (%) 19 (47.5) 7 (77.8) 35 (70)

Dari Tabel 4.3. dapat diketahui prevalensi kejadian eosinofilia pada anak yang menderita ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah sebesar 47.5%, 77.8%, dan 70%. Hal ini menunjukkan bahwa trichuriasis memiliki prevalensi kejadian eosinofilia tertinggi dibandingkan ascariasis dan infeksi campuran. Tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian eosinofilia pada infeksi STH (P = 0.05).

Tabel 4.4. Nilai rerata eosinofil dihubungkan dengan intensitas infeksi soil-

transmitted helminth Intensitas Infeksi

Nilai RerataEosinofil

(per µL darah) P

Ringan 7.11

< 0.001

Tabel 4.5. Karakteristik nilai eosinofil dihubungkan dengan infeksi soil- transmitted helminth Karakteristik Nilai Eosinofil r P Ascariasis (epg) 0.62 <0.001 Trichuriasis (epg) 0.21 0.04

Dari Tabel 4.5. diketahui bahwa nilai eosinofil ada hubungan bermakna dengan jumlah epg pada infeksi soil-transmitted helminth, dimana nilai P < 0.001 (r = 0.62) pada ascariasis dan nilai P = 0.04 (r = 0.21) pada trichuriasis. Ascariasis memiliki perbedaan nilai eosinofil dengan jumlah telur yang lebih bermakna dibandingkan trichuriasis. Diketahui juga bahwa nilai rerata eosinofil memiliki hubungan yang bermakna dengan intensitas infeksi baik ascariasis dan trichuriasis (Tabel 4.4.) dengan nilai P < 0.001.

Gambar 4.2. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg pada ascariasis. Garis merah menunjukkan garis korelasi.

Y = 615.141X – 1654.834 R² = 0.170 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 0 2 4 6 8 10 12 14 16 A S C A R IA S IS ( E P G ) PERSENTASE EOSINOFIL

Tabel 4.6. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada ascariasis Variabel Dependen Koefisien Nilai Estimasi Interval Kepercayaan 95% P R2 Ascariasis (epg) b0 -1654.834 -4833.325 – 1523.657 0.29 17% b1 615.141 199.127 – 1031.154 0.01

Hasil regresi dari 40 data pasien dengan ascariasis (Gambar 4.2.) memprediksi kejadian ascariasis dari jumlah eosinofil yang ditemui (slope = 615.141; R2 = 0.170; Y = 615.141X – 1654.834; P = 0.01). Nilai R2 (Tabel 4.6.) menunjukkan adanya 17% variasi kejadian ascariasis (epg) yang berhubungan dengan variasi persentase nilai eosinofil. Nilai slope menunjukkan bahwa setiap peningkatan nilai eosinofil sebesar 1 per µL darah terdapat peningkatan peluang terjadi ascariasis (epg) sebesar 615.141.

Gambar 4.3. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg pada trichuriasis. Garis merah menunjukkan garis korelasi.

Y = 95.090X – 381.953 R² = 0.210 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 2 4 6 8 10 12 14 T R IC H U R IA S IS ( E P G ) PERSENTASE EOSINOFIL

Tabel 4.7. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada trichuriasis Variabel Dependen Koefisien Nilai Estimasi Interval Kepercayaan 95% P R2 Trichuriasis (epg) b0 -381.953 -1453.949 – 690.043 0.43 21% b1 95.090 -32.132 – 222.313 0.12

Hasil regresi dari 9 data pasien dengan trichuriasis (Gambar 4.3.) memprediksi kejadian trichuriasis dari jumlah eosinofil yang ditemui (slope = 95.090; R2 = 0.210; Y = 95.090X – 381.953; P = 0.12). Nilai R2 (Tabel 4.7.) menunjukkan adanya 21% variasi kejadian trichuriasis (epg) yang berhubungan dengan variasi persentase nilai eosinofil. Nilai slope menunjukkan bahwa setiap peningkatan eosinofil sebesar 1 per µL darah terdapat peningkatan peluang terjadi trichuriasis (epg) sebesar 95.090.

Gambar 4.4. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg pada infeksi campuran. Garis merah menunjukkan garis korelasi.

Tabel 4.8. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada ascariasis pada infeksi campuran

Variabel Dependen Koefisien Nilai Estimasi Interval Kepercayaan 95% P R2 Ascariasis (epg) b0 -12906.138 -18582.532 – -7229.743 <0.001 51.6 % b1 2230.692 1616.156 – 2845.228 <0.001

Tabel 4.9. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada trichuriasis pada infeksi campuran

Variabel Dependen Koefisien Nilai Estimasi Interval Kepercayaan 95% P R2 Trichuriasis (epg) b0 205.117 38.877 – 371.358 0.02 2.0% b1 2593 -15.405 – 20.590 0.77 Y = 2230.692X – 12960.138 R² = 0.516 Y = 2593X + 205.117 R² = 0.002 -10000 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 0 5 10 15 20 E G G P E R G R A M PERSENTASE EOSINOFIL ASCARIASIS TRICHURIS

Hasil regresi dari 52 data pasien dengan infeksi campuran (ascariasis dan trichuriasis) (Gambar 4.4.) memprediksi kejadian infeksi dari jumlah eosinofil yang ditemui untuk ascariasis (slope = 2230.692; R2 = 0.516; Y = 2230.692X – 12960.138; P < 0.001) dan untuk trichuriasis (slope = 2593; R2 = 0.002; Y = 2593X + 205.117; P = 0.77). Untuk ascariasis, nilai R2 (Tabel 4.8.) menunjukkan adanya 51.6% variasi kejadian ascariasis (epg) yang berhubungan dengan variasi persentase nilai eosinofil. Nilai slope menunjukkan bahwa setiap peningkatan eosinofil sebesar 1 per µL darah terdapat peningkatan peluang terjadi ascariasis (epg) sebesar 2230.692. Untuk trichuriasis, nilai R2 (Tabel 4.9.) menunjukkan adanya 2.0% variasi kejadian trichuriasis (epg) yang berhubungan dengan variasi persentase nilai eosinofil. Nilai slope menunjukkan bahwa setiap peningkatan eosinofil sebesar 1 per µL darah terdapat peningkatan peluang terjadi trichuriasis (epg) sebesar 2 593.

BAB 5. PEMBAHASAN

Infeksi STH masih merupakan merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara miskin dan yang sedang berkembang.50-53 A. lumbricoides, T. trichiura, dan Necator americanus merupakan jenis cacing yang paling

sering ditemukan.54 Banyak penelitian epidemiologi yang memperlihatkan bahwa penderita infeksi kecacingan cenderung terinfeksi oleh lebih dari satu jenis cacing.55 Penelitian pada 65 anak sekolah dasar di Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara pada tahun 2008 ditemukan prevalensi kecacingan sebesar 53.8%.56

Studi ini juga menemukan bahwa infeksi STH masih endemis di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara. Dari penelitian ini diperoleh prevalensi kecacingan di kedua sekolah tersebut sebesar 65.4%, dengan prevalensi ascariasis sebesar 37.1%, trichuriasis sebesar 21.9%, dan infeksi campuran sebesar 40.8%. Dapat diketahui juga bahwa kebanyakan anak menderita infeksi campuran.

Iklim tropis di Indonesia menyebabkan kecacingan akibat infeksi nematoda usus masih merupakan masalah kesehatan publik yang penting.54 Curah hujan yang melebihi 1 500 mm per tahun menyebabkan prevalensi ascariasis dan trichuriasis melebihi 50%.57 Disamping itu suhu permukaan

tanah yang optimal untuk perkembangan A. lumbricoides dan T. trichiura berkisar antara 15 sampai 37 derajat Celcius.57,58

Kecamatan Medan Belawan berjarak 26 km dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam dari pusat kota Medan. Letak kecamatan Medan Belawan berada pada ketinggian 1 m dari permukaan laut, dengan suhu antara 32 derajat Celcius, serta memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh musim hujan dengan rata-rata curah hujan 2 600 mm per tahun.59 Ini merupakan kondisi lingkungan yang optimal untuk perkembangan STH.

Infeksi cacing tambang banyak ditemukan pada usia dewasa dan pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian.60 Kejadian ascariasis dan trichuriasis menurun seiring dengan pertambahan usia, sebaliknya pada infeksi cacing tambang mengalami peningkatan pada usia 15 tahun.61

Dari penelitian ini tidak dijumpai adanya infeksi cacing tambang. Hal ini mungkin disebabkan karena kesadaran murid untuk memakai alas kaki sudah tinggi yaitu sebesar 85.9%. Faktor pekerjaan juga berpengaruh dimana pekerjaan ayah sebesar 40.4% adalah nelayan dan 52.5% wiraswasta; pekerjaan ibu 77.8% adalah ibu rumah tangga dan 22.2% wiraswasta. Dari karakteristik dasar responden penelitian yang menderita ascariasis, trichuriasis, dan campuran didapatkan rentang usia anak adalah 7-13 tahun. Pada penelitian ini kejadian infeksi STH dijumpai semakin

menurun seiring dengan pertambahan usia, dimana pada usia 12 dan 13 tahun ditemukan sebesar 3% dan 1%.

Perbedaan jumlah beban cacing (worm burden) pada penderita kecacingan merupakan salah satu ciri khas infeksi kecacingan.62 Distribusi beban cacing yang tidak seimbang disebut overdispersed. Pada infeksi kecacingan di sebuah komunitas, sebagian besar penderita hanya terinfeksi oleh beberapa parasit dan sebagian kecil sisanya terinfeksi oleh sejumlah besar parasit.61 Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi STH seperti kebiasaan dalam keluarga, faktor lingkungan, dan kebersihan personal (kebiasaan mencuci tangan, memakai sepatu, penggunaan toilet).63 Dari penelitian di Honduras ditemukan bahwa anak yang berusia 5-12 tahun lebih sering menderita ascariasis dan trichuriasis dengan intensitas ringan dan sedang.53

Intensitas infeksi seluruh sampel dominan derajat intensitas ringan yaitu 83.8% dan 16.2% intensitas sedang. Tidak dijumpai adanya derajat infeksi intensitas berat. Diperkirakan juga karena pola makan, sanitasi, perilaku, dan kebiasaan rumah tangga pada keseluruhan sampel berdasarkan data kuesioner sudah baik. Dimana sebagian besar anak sudah memiliki akses air bersih (dalam hal ini PAM) serta kebiasaan mencuci tangan dengan air bersih dan sabun sebelum makan, sesudah buang air, dan sesudah bermain. Selain itu anak juga sudah rutin mandi dan menggunting kuku.

Kecacingan dapat berpengaruh pada tumbuh kembang anak yang terlihat pada keadaan malnutrisi, gangguan pada proses belajar, dan jumlah kehadiran di sekolah.64-66 Keadaan malnutrisi terjadi akibat cacing yang hidup di saluran cerna penderita dan menyebabkan gangguan pencernaan serta absorpsi, hal ini mempengaruhi nafsu makan anak. Kejadian malnutrisi biasanya terjadi pada kelompok anak kecacingan dengan derajat sedang atau berat.67

Dari keseluruhan sampel diketahui 55.6% pasien memiliki status nutrisi

normoweight, 27.3% malnutrisi ringan, 10.1% malnutrisi sedang, 4% gizi

lebih, dan 3% obesitas. Status nutrisi yang baik pada sampel penelitian diterangkan oleh rendahnya beban cacing yang terlihat pada derajat intensitas infeksi STH.

Salah satu penanganan pengendalian infeksi STH secara global adalah pemberian edukasi mengenai kecacingan dan cara menjaga kebersihan personal.68 Dalam penelitian ini didapatkan sebanyak 62.6% anak tidak rutin mengkonsumsi obat cacing dan 63.6% tidak memiliki pengetahuan mengenai kecacingan. Hal ini menunjukkan bahwa program pengendalian infeksi STH yang melibatkan intervensi edukasi sangat penting.

Sebuah studi potong lintang di Honduras melaporkan rerata persentase eosinofil pada penderita ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah 6%, 5.2%, dan 7.2%.69 Sedangkan di Filipina dijumpai persentase eosinofil yang lebih tinggi pada masing-masing penderita ascariasis, infeksi

cacing tambang, trichuriasis, dan campuran adalah 10%, 15.1%, 13%, dan 15.8%.10 Rerata nilai persentase eosinofil pada anak dalam penelitian yang menderita ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah 7.18/µL darah, 8.11/µL darah, dan 8.64/µL darah.

Rerata persentase eosinofil pada infeksi tunggal dan infeksi campuran pada penelitian di Filipina menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna dengan nilai P = 0.353.10 Dari penelitian ini juga dijumpai tidak ada perbedaan bermakna antara rerata nilai eosinofil pada infeksi tunggal serta infeksi campuran (P = 0.32).

Dalam perjalanan infeksi kecacingan, respon CD4+ sel T helper pada tubuh menstimulasi eosinofil secara berlebihan melalui sitokin, hal ini menyebabkan terjadinya eosinofilia.32 Eosinofilia merupakan gambaran karakteristik respon imun penjamu terhadap helminthiasis, khususnya pada tahap invasif ke jaringan.38

Suatu penelitian retrospektif di Jerman pada 14 298 orang yang bepergian ke Negara berkembang menemukan adanya 29 penderita ascariasis dan 27 penderita trichuriasis dengan prevalensi eosinofilia sebesar 24.1% untuk ascariasis dan 14.8% untuk trichuriasis.9 Studi oleh Karin et al menemukan bahwa prevalensi kejadian eosinofilia pada ascariasis memiliki derajat sedang hingga tinggi dan mengalami penurunan setelah cacing memasuki saluran cerna, sedangkan pada trichuriasis biasanya memiliki derajat ringan.70 Penelitian lain oleh Nurfida di Binjai, Indonesia menemukan

peningkatan nilai eosinofil > 5% tertinggi pada infeksi campuran (75%), diikuti oleh ascariasis (72.7%), dan trichuriasis (62%).71

Penelitian ini menunjukkan bahwa trichuriasis memiliki prevalensi kejadian eosinofilia tertinggi (77.8%) dibandingkan ascariasis (47.5%) dan infeksi campuran (70%) serta tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian eosinofilia pada infeksi STH (P = 0.05). Hasil ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel trichuriasis yang lebih besar.

Sebuah studi di Filipina untuk melihat korelasi antara nilai eosinofil dengan jumlah epg yang melibatkan 74 penderita infeksi STH menunjukkan korelasi sedang (r = 0.328; P = 0.004).10 Korelasi antara nilai eosinofil dengan jumlah epg pada infeksi STH dalam studi ini terlihat dari nilai r = 0.62 (P < 0.001) pada ascariasis dan nilai r = 0.21 (P = 0.04) pada trichuriasis. Menurut Michael Harris, nilai r sebesar 0.62 menunjukkan korelasi tinggi, sedangkan nilai r sebesar 0.21 menunjukkan korelasi rendah dan membutuhkan investigasi lanjut.72 Diketahui juga bahwa nilai eosinofil memiliki hubungan yang bermakna dengan intensitas infeksi baik ascariasis dan trichuriasis (P < 0.001). Data penelitian ini menunjukkan bahwa nilai eosinofil dapat dijadikan penanda infeksi dan berat ringannya infeksi STH.

Ketepatan pemeriksaan Kato-Katz dalam mengidentifikasi individu dengan infeksi STH terbatas pada variasi ekskresi telur cacing pada beberapa hari berturut, susahnya membedakan dengan parasit jenis lain, dan

pengalaman teknisi laboratorium.73 Sehingga dibutuhkan beberapa spesimen yang dikumpulkan selama beberapa hari berturut-turut untuk meningkatkan akurasi pemeriksaan.74

Terdapat beberapa keterbatasan penelitian ini. Pertama, recall bias melalui kuesioner dan wawancara bisa dijumpai karena beberapa informasi untuk kriteria eksklusi hanya berdasarkan ingatan orang tua. Kedua, adanya kesulitan untuk memperoleh persetujuan pengambilan sampel darah vena dari anak sehingga pengambilan sampel darah secara perifer. Ketiga, pengambilan sampel tinja tunggal dengan satu metode pemeriksaan yaitu teknik Kato-Katz.

Suatu studi randomized controlled trial pada 155 anak di Cape Town, Afrika Selatan menunjukkan bahwa terdapat penurunan nilai rerata eosinofil yang bermakna setelah pemberian obat antihelmintik sebanyak 6 kali selama 2 tahun.75 Diharapkan pada studi lanjut lainnya dapat melibatkan jumlah sampel yang lebih banyak dengan desain studi kohort prospektif untuk menilai level eosinofil setelah pemberian terapi antihelmintik. Hal ini memiliki implikasi positif dalam menyeimbangkan profil imun dan indikator perbaikan infeksi STH.

Dokumen terkait