TESIS
KORELASI ANTARA NILAI EOSINOFIL DENGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH PADA ANAK
SYILVIA JIERO 117103014 / IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KORELASI ANTARA NILAI EOSINOFIL DENGAN INFEKSI
SOIL-TRANSMITTED HELMINTH PADA ANAK
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Ilmu Kesehatan Anak/ M.Ked (Ped) pada Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara
SYILVIA JIERO 117103014 / IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERNYATAAN
KORELASI ANTARA NILAI EOSINOFIL DENGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH PADA ANAK
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Medan, 27 Februari 2015
Syilvia Jiero
UCAPAN TERIMA KASIH
Salam sejahtera.
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas karunia-Nya tesis ini dapat diselesaikan.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Pembimbing utama dr. Ayodhia Pitaloka Pasaribu, M.Ked(Ped), Sp.A, Ph.D(CTM) dan Pembimbing II dr. Tina Christina L. Tobing, M.Ked(Ped), Sp.A(K), yang telah memberikan bimbingan, koreksi, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dan dukungan moril kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.
2. Prof. dr. H. Munar Lubis, Sp.A(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.
yang telah membantu saya dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.
4. Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), Prof. Dr. dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis, DTM&H, M.Ked(Ped), Sp.A, dan dr. Hendri Wijaya, M.Ked(Ped), Sp.A yang sudah membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.
5. Prof. dr. Hj. Bidasari Lubis, Sp.A(K), dr. Hj. Lily Irsa, Sp.A(K), dr. Rita Evalina, M.Ked(Ped), Sp.A(K), dan dr. Zulfikar, Sp.PK(K) yang telah menguji, memberikan koreksi, saran, dan perbaikan pada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
6. Kepala Sekolah SDN 060969 dan SDN 064003, yang telah memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut.
7. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
9. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.
Kepada keluarga tercinta yaitu papa Jeffry Jiero, mama Linda Kustanto, papi Johan Siajadi, mami Merry Kustanto, om Gatot Kustanto, tante Lince Laurens, adik-adik saya Willian Jiero, Deddy Jiero, Ronny Jiero, dan Ricky Kustanto, serta kekasih tercinta Michael Norman Jusman yang selalu mendoakan, memberikan dorongan dan motivasi baik moral maupun materiil. Terima kasih atas doa, pengertian dan dukungan selama penulis menyelesaikan pendidikan ini.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang. Meski jauh dari sempurna, penulis tetap berharap tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya bagi kita semua, Amin.
Medan, 27 Februari 2015
DAFTAR ISI
Lembar Persetujuan Pembimbing i
Lembar Pernyataan ii
Ucapan Terima Kasih iv
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi parasit soil-transmitted helminth 6
2.2. Eosinofil 15
2.3. Hubungan antara nilai eosinofil dan Infeksi
soil-transmitted helminth 20
2.4. Kerangka Konseptual 23
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain 24
3.2. Tempat dan Waktu 24
3.3. Populasi dan Sampel 24
3.4. Perkiraan Besar Sampel 25
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 25
3.5.1. Kriteria Inklusi 25
3.5.2. Kriteria Eksklusi 26
3.6. Persetujuan/ Informed Consent 26
3.7. Etika Penelitian 27
3.8. Cara Kerja 27
3.9. Alur Penelitian 30
3.10. Identifikasi Variabel 31
3.11.1. Variabel Bebas 31
3.11.2. Variabel Tergantung 31
3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 32
BAB 4. HASIL PENELITIAN 33
BAB 5. PEMBAHASAN 43
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 50
6.2. Saran 50
RINGKASAN 52
SUMMARY 54
DAFTAR PUSTAKA 56
LAMPIRAN
Lampiran 1 62
1. Personil Penelitian 62
2. Biaya Penelitian 62
Lampiran 2. Jadwal Penelitian 63
Lampiran 3. Lembar Penjelasan Kepada Orang Tua 64 Lampiran 4. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) 66
Lampiran 5. Kuesioner Penelitian 67
Lampiran 6. Pemeriksaan Kato-Katz 74
Lampiran 7. Prosedur Pengambilan Darah Perifer 79
Lampiran 8. Membuat Sediaan Apus Darah 81
Lampiran 9. Memulas Sediaan Apus Darah 83
Lampiran 10. Memeriksa Sediaan Apus Darah 84
Lampiran 11. Menghitung Jumlah Leukosit 85
Lampiran 12. Kurva pertumbuhan CDC 2000 untuk
anak perempuan usia 2-20 tahun 87 Lampiran 13. Kurva pertumbuhan CDC 2000 untuk8
anak laki-laki usia 2-20 tahun 88
Lampiran 14.Komite Etik 89
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Beberapa keadaan penyebab eosinofilia 19
Tabel 4.1. Karakteristik dasar responden penelitian 35
Tabel 4.2. Rerata nilai eosinofil pada infeksi soil-transmitted helminth 36
Tabel 4.3. Nilai eosinofil absolut pada infeksi soil-transmitted helminth 37
Tabel 4.4. Nilai rerata eosinofil dihubungkan dengan intensitas
Infeksi soil-transmitted helminth 37
Tabel 4.5. Karakteristik nilai eosinofil dihubungkan dengan
infeksi soil-transmitted helminth 38
Tabel 4.6. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada
ascariasis 39
Tabel 4.7. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada
trichuriasis 40
Tabel 4.8. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada
ascariasis pada infeksi campuran 41
Tabel 4.9. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka konseptual 23
Gambar 4.1. Profil penelitian 34
Gambar 4.2. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg
pada ascariasis 38
Gambar 4.3. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg
pada trichuriasis 39
Gambar 4.4. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg
DAFTAR SINGKATAN
ASP : Ancylostoma–secreted protein A. lumbricoides : Ascaris lumbricoides
BZA : Benzimidazole antihelmintik
CDC : Centre for Disease Control
DALY : Disability-adjusted life years
epg : Egg per gram
ESP : Excretory-secretory products
et al : et alia, et alii
GIS : Geographical information systems
GM-CSF : Granulocyte-macrophage colony- stimulating factor
IK : Interval kepercayaan
IL-3 : Interleukin 3
IL-5 : Interleukin 5
nepg : Number of egg per gram
PAM : Perusahaan air minum
PSP : Persetujuan setelah penjelasan
SD : Standar deviasi
STH : Soil -transmitted helminth T. trichiura : Trichuris trichiura
Th2 : T-helper 2
UNICEF : United Nations Children’s Fund
DAFTAR LAMBANG
Zα : Deviat baku normal untuk α = 1,96 Zβ : Deviat baku normal untuk β = 0,842
> : Lebih besar dari
< : Lebih kecil dari
≥ : Lebih besar atau sama dengan dari
≤ : Lebih kecil atau sama dengan dari
± : Kurang lebih
α : Kesalahan tipe I
β : Kesalahan tipe II
µL : Mikroliter
m : Meter
mg : Miligram
mm : Milimeter
n : Jumlah subjek/ sampel
P : Besarnya peluang untuk hasil yang diobservasi bila hipotesis nol benar
R2 : Nilai koefisien determinasi yang mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel terikat Y dapat diterangkan oleh variabel bebas X
r : Korelasi minimal yang dianggap bermakna
X : Variabel bebas
ABSTRAK
Latar belakang Infeksi soil-transmitted helminth (STH) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Di seluruh dunia, infeksi parasit STH seringkali dihubungkan dengan kejadian eosinofilia yang bermakna. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa peningkatan nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda adanya infeksi STH.
Tujuan Mengetahui korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH pada anak.
Metode Penelitian analitik observasional dengan pendekatan potong lintang terhadap anak sekolah dasar dilakukan selama bulan Februari sampai Maret 2014 di Kecamatan Medan Belawan, Propinsi Sumatera Utara. Sampel tinja diperiksa dengan metode Kato-Katz dan sampel darah diperiksa dengan sediaan apus darah tepi. Korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH (bermakna jika P < 0.05).
Hasil Penelitian ini melibatkan 99 subjek (ascariasis n=40, trichuriasis n=9, campuran n=50). Prevalensi kecacingan didapatkan sebesar 65.4%, dengan prevalensi ascariasis, trichuriasis, dan infeksi campuran sebesar 37.1%, 21.9%, dan 40.8%. Rerata nilai eosinofil pada anak dengan ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah 7.18, 8.11, dan 8.64/µL darah (P = 0.32). Prevalensi kejadian eosinofilia pada ascariasis, trichuriasis, dan campuran sebesar 47.5%, 77.8%, dan 70% (P = 0.05). Nilai eosinofil memiliki hubungan bermakna dengan jumlah telur per gram tinja/ epg, dimana ascariasis memiliki korelasi tinggi (P < 0.001, r = 0.62) dan trichuriasis memiliki korelasi rendah (P = 0.04, r = 0.21).
Kesimpulan Nilai eosinofil memiliki korelasi tinggi dengan ascariasis dan korelasi rendah dengan trichuriasis. Nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda infeksi STH.
ABSTRACT
Background Soil-transmitted helminth (STH) infection in Indonesia still plays as one of major health related problems. It is often correlated with incidence of significant eosinophilia. Several studies report that eosinophil count elevation could be used as a marker of STH infection.
Objective To find correlation between eosinophil count with STH infection in children.
Method This is an observational analytic study with cross-sectional design in elementary children from February until March 2014. It was held in Medan Belawan district, North Sumatera province. Feces samples were examined with Kato-Katz method and blood samples were examined by peripheral blood smears. Data was analysed using Pearson correlation (significance if P < 0.05).
Result Ninety-nine subjects involved in this study (ascariasis n=40, trichuriasis n=9, mixed infection n=50). STH prevalence was found 65.4%, with prevalence of ascariasis, trichuriasis, and mixed infections were 37.1%, 21.9%, and 40.8%, respectively. Mean eosinophil count in children with ascariasis, trichuriasis, and mixed infection were 7.18, 8.11, and 8.64/µL blood (P = 0.32). Eosinophilia prevalence in ascariasis, trichuriasis, and mixed infection were 47.5%, 77.8%, and 70% (P = 0.05). Eosinophil count showed significant correlation with amount of egg per gram feces (epg), where ascariasis showed strong correlation (P < 0.001, r = 0.62) and trichuriasis showed weak correlation (P = 0.04, r = 0.21).
Conclusion Eosinophil count had a strong correlation with ascariasis and weak correlation with trichuriasis. It can be used as a marker of STH infection.
ABSTRAK
Latar belakang Infeksi soil-transmitted helminth (STH) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Di seluruh dunia, infeksi parasit STH seringkali dihubungkan dengan kejadian eosinofilia yang bermakna. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa peningkatan nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda adanya infeksi STH.
Tujuan Mengetahui korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH pada anak.
Metode Penelitian analitik observasional dengan pendekatan potong lintang terhadap anak sekolah dasar dilakukan selama bulan Februari sampai Maret 2014 di Kecamatan Medan Belawan, Propinsi Sumatera Utara. Sampel tinja diperiksa dengan metode Kato-Katz dan sampel darah diperiksa dengan sediaan apus darah tepi. Korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH (bermakna jika P < 0.05).
Hasil Penelitian ini melibatkan 99 subjek (ascariasis n=40, trichuriasis n=9, campuran n=50). Prevalensi kecacingan didapatkan sebesar 65.4%, dengan prevalensi ascariasis, trichuriasis, dan infeksi campuran sebesar 37.1%, 21.9%, dan 40.8%. Rerata nilai eosinofil pada anak dengan ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah 7.18, 8.11, dan 8.64/µL darah (P = 0.32). Prevalensi kejadian eosinofilia pada ascariasis, trichuriasis, dan campuran sebesar 47.5%, 77.8%, dan 70% (P = 0.05). Nilai eosinofil memiliki hubungan bermakna dengan jumlah telur per gram tinja/ epg, dimana ascariasis memiliki korelasi tinggi (P < 0.001, r = 0.62) dan trichuriasis memiliki korelasi rendah (P = 0.04, r = 0.21).
Kesimpulan Nilai eosinofil memiliki korelasi tinggi dengan ascariasis dan korelasi rendah dengan trichuriasis. Nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda infeksi STH.
ABSTRACT
Background Soil-transmitted helminth (STH) infection in Indonesia still plays as one of major health related problems. It is often correlated with incidence of significant eosinophilia. Several studies report that eosinophil count elevation could be used as a marker of STH infection.
Objective To find correlation between eosinophil count with STH infection in children.
Method This is an observational analytic study with cross-sectional design in elementary children from February until March 2014. It was held in Medan Belawan district, North Sumatera province. Feces samples were examined with Kato-Katz method and blood samples were examined by peripheral blood smears. Data was analysed using Pearson correlation (significance if P < 0.05).
Result Ninety-nine subjects involved in this study (ascariasis n=40, trichuriasis n=9, mixed infection n=50). STH prevalence was found 65.4%, with prevalence of ascariasis, trichuriasis, and mixed infections were 37.1%, 21.9%, and 40.8%, respectively. Mean eosinophil count in children with ascariasis, trichuriasis, and mixed infection were 7.18, 8.11, and 8.64/µL blood (P = 0.32). Eosinophilia prevalence in ascariasis, trichuriasis, and mixed infection were 47.5%, 77.8%, and 70% (P = 0.05). Eosinophil count showed significant correlation with amount of egg per gram feces (epg), where ascariasis showed strong correlation (P < 0.001, r = 0.62) and trichuriasis showed weak correlation (P = 0.04, r = 0.21).
Conclusion Eosinophil count had a strong correlation with ascariasis and weak correlation with trichuriasis. It can be used as a marker of STH infection.
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Soil-transmitted helminth (STH) merupakan kelompok parasit cacing
nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia akibat tertelan telur atau melalui kontak dengan larva yang berkembang secara cepat pada tanah yang hangat dan basah di negara-negara subtropis dan tropis di berbagai belahan dunia. Infeksi STH merupakan masalah global di bidang kesehatan masyarakat.1 Di Indonesia sendiri, infeksi STH masih merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan, terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya.2
Morbiditas akibat STH umumnya berhubungan dengan infeksi yang berat. Kurang lebih 720 juta penderita infeksi STH berat di dunia mengalami morbiditas berat yang berakhir dengan 135 000 kematian tiap tahunnya.3 Efek lain infeksi STH terhadap kesehatan adalah mempengaruhi gizi, pertumbuhan fisik dan mental, serta kemunduran dalam bidang intelektual dan kognitif pada anak.4
Infeksi STH tergolong neglected disease yaitu infeksi yang kurang diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas, dampak yang ditimbulkannya baru terlihat dalam jangka panjang.2 Kelompok risiko tinggi infeksi STH adalah anak-anak dan wanita usia produktif disebabkan karena status besi yang kurang pada kelompok tersebut.1,6
Di seluruh dunia, infeksi parasit STH seringkali dihubungkan dengan kejadian eosinofilia yang bermakna.7 Eosinofil berbeda dari leukosit yang lain dalam hal morfologi, komposisi, dan hubungan dengan penyakit tertentu.8 Peningkatan nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda adanya infeksi STH.9
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : apakah terdapat korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi soil-transmitted helminth pada anak?
1.3. Hipotesis
Nilai eosinofil memiliki korelasi dengan infeksi soil-transmitted helminth pada anak.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Mengetahui korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi
soil-transmitted helminth pada anak.
1.4.2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui distribusi frekuensi infeksi A. lumbricoides pada anak usia sekolah di lokasi penelitian.
2) Mengetahui distribusi frekuensi infeksi Trichuris trichiura
(T. trichiura) pada anak usia sekolah di lokasi penelitian.
3) Mengetahui distribusi frekuensi infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura pada anak usia sekolah di lokasi penelitian.
5) Mengetahui nilai rata-rata eosinofil pada infeksi T. trichiura.
6) Mengetahui nilai rata-rata eosinofil pada infeksi campuran
A. lumbricoides dan T. trichiura.
7) Membandingkan nilai rata-rata eosinofil antara infeksi
A. lumbricoides, T. trichiura, serta campuran A. lumbricoides dan
T. trichiura.
8) Mengetahui prevalensi kejadian eosinofilia akibat infeksi A.
lumbricoides pada anak usia sekolah di lokasi penelitian.
9) Mengetahui prevalensi kejadian eosinofilia akibat infeksi T.
trichiura pada anak usia sekolah di lokasi penelitian.
10) Mengetahui prevalensi kejadian eosinofilia akibat infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura pada anak usia sekolah di lokasi penelitian.
11) Mengetahui hubungan nilai rerata eosinofil dengan intensitas infeksi soil-transmitted helminth.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.2. Di bidang pelayanan masyarakat: meningkatkan pelayanan kesehatan di daerah yang memiliki fasilitas terbatas khususnya dalam mendiagnosis infeksi STH dengan nilai eosinofil. Selain itu dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai pentingnya pola hidup bersih untuk pencegahan jangka panjang terhadap kecacingan.
1.5.3. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan kontribusi ilmiah mengenai nilai rata-rata eosinofil pada infeksi A. lumbricoides, infeksi
T. trichiura, dan infeksi campuran; gambaran distribusi frekuensi
infeksi A. lumbricoides, infeksi T. trichiura, dan infeksi campuran; serta prevalensi kejadian eosinofilia akibat infeksi A. lumbricoides, infeksi
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi parasit soil-transmitted helminth
2.1.1. Definisi
Infeksi STH banyak ditemukan pada masyarakat yang tinggal di negara berkembang, terutama di daerah pedesaan. Soil-transmitted helminth (STH) adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) yang dalam perkembangannya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif.1 Terdapat 3 jenis infeksi STH dengan habitat pada usus manusia yang paling sering ditemukan, yaitu:12
1) Cacing gelang (roundworm/ A. lumbricoides) 2) Cacing cambuk (whipworm/ T. trichiura)
3) Cacing tambang (hookworm/ Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale)
2.1.2. Epidemiologi
pada tahun 1987 sebesar 78,6%. Data prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia pada tahun 2002 sampai 2006 secara berurutan adalah sebesar 33,3%, 33,0%, 46,8%, 28,4%, dan 32,6%.13
Berdasarkan data UNICEF tahun 2002 dengan penggunaan GIS didapatkan prevalensi tinggi kejadian infeksi STH di Indonesia terdapat di wilayah Irian Jaya (50 sampai 79.9%) dan Sumatera Utara (57% sampai 100%) serta prevalensi rendah di wilayah Jawa Timur (0.1 sampai 19.9%). Berdasarkan spesiesnya maka prevalensi di Sumatera Utara 50% sampai 79.9% untuk ascariasis, 80% sampai 100% untuk trichuriasis, dan 50% sampai 79.9% untuk infeksi cacing tambang.5 Data terbaru mengenai prevalensi kecacingan di beberapa wilayah Sumatera Utara juga menunjukkan prevalensi tinggi infeksi STH, dimana di Kelurahan Tembung tahun 2007 sebesar 73%;14 Sibolga tahun 2008 dijumpai sebesar 55.8%;15 Samosir tahun 2008 sebesar 56.4%;16 bahkan pada tahun 2011 terjadi peningkatan di Kabupaten Deli Serdang sebesar 84.4%.17
Kejadian ascariasis dan trihuriasis terbesar ditemukan pada anak yang berusia 5 sampai 15 tahun dan akan menurun pada usia dewasa. Sebaliknya infeksi cacing tambang mulai meningkat pada usia 20 tahun dan terus mengalami peningkatan pada usia dewasa.4
menggunakan disability-adjusted life years (DALY). Infeksi A. lumbricoides dan T. trichiura masing-masing menyebabkan hilangnya DALY sebesar 10.5 juta dan 6.4 juta DALY setiap tahunnya.18
2.1.3. Faktor risiko
Baik faktor lingkungan maupun penjamu mempengaruhi berat ringannya infeksi STH.4 Terdapat beberapa faktor risiko kejadian infeksi STH sebagai berikut:
a) Perilaku, rumah tangga, dan pekerjaan
Intensitas infeksi cacing tambang tertinggi ditemukan pada orang dewasa. Pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian merupakan denominator infeksi cacing tambang.6
b) Kemiskinan, sanitasi, dan urbanisasi
Transmisi infeksi STH bergantung pada lingkungan yang telah tercemar tinja dan mengandung telur. Akibatnya, infeksi STH sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, sanitasi yang buruk, dan kurangnya akses penyediaan air bersih. Pencemaran tanah terutama oleh telur cacing A.
lumbricoides banyak terjadi di daerah pedesaan, pemukiman penduduk di
Penggunaan GIS dan remote sensing akhir-akhir ini dapat
mengidentifikasi batasan distribusi infeksi STH berdasarkan pola suhu dan curah hujan.20
d) Etnis dan budaya
Ditemukan prevalensi infeksi A. lumbricoides yang tinggi pada suku Bantu dibandingkan suku Baka (Pygmy) di Republik Afrika Tengah, sama seperti pada suku Melayu atau suku India di Malaysia dibandingkan suku Cina. Di India, Nawalinski et al. menemukan prevalensi tinggi infeksi cacing tambang pada kalangan Muslim dibandingkan orang Hindu meskipun kedua kalangan tersebut tinggal berdekatan dan memiliki pola perilaku yang berhubungan dengan faktor risiko tidak jauh berbeda.21
e) Pola makan
Meskipun STH bukan merupakan infeksi yang ditularkan melalui makanan, namun telur A. lumbricoides dan larva cacing tambang akan melekat pada sayur-sayuran, dimana sayur-sayuran tersebut akan disebarkan ke pasar tanpa proses seleksi terlebih dahulu. Suatu survei di Jepang menemukan bahwa telur A. lumbricoides ditemukan pada 1 178 dari 2 750 item sayur-sayuran yang dijual di 40 toko di Tokyo.21
f) Genetik
mengenai genom akhir-akhir ini menemukan adanya kromosom 1 dan 13 sebagai pengendali infeksi A. lumbricoides.22
2.1.4. Gejala klinis
Gejala klinis infeksi STH dapat dibagi dalam manifestasi akut yang berkaitan dengan migrasi larva melalui kulit dan visera, dan manifestasi akut serta kronik sebagai akibat dari cacing dewasa masuk ke saluran gastrointestinal. Manusia merupakan hospes definitif dari cacing tersebut. Di dalam tubuh, infeksi STH akan mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan, dan metabolisme makanan.23
Manifestasi dari infeksi STH bervariasi dari gejala ringan sampai berat. Gejala intestinal ringan yang timbul berupa nausea, muntah, diare, nyeri perut, konstipasi, dan kehilangan nafsu makan. Sedangkan gejala yang lebih berat antara lain obstruksi usus, malnutrisi, perdarahan kronis, anemia, serta kolitis dengan tinja berlendir dan darah.23
2.1.4.1. Migrasi larva
perdarahan kecil pada dinding alveolus berakibat timbulnya gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindrom Löffler. Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu dan pankreas, sehingga menyebabkan kolesistitis atau pankreatitis. Gejala lain yang dapat ditimbulkan akibat migrasi larva A.
lumbricoides adalah gejala alergi seperti demam, urtikaria, dan penyakit
granulomatosa.23,24
2.1.4.2. Parasit di saluran gastrointestinal
Umumnya manifestasi klinis akibat infeksi STH di saluran gastrointestinal terjadi bila intensitasnya sedang dan tinggi.
2.1.4.2.1. Ascariasis
Gejala yang timbul dapat disebabkan oleh cacing dewasa. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi
distensi abdomen, dan rasa kram pada perut. Bahkan jika cacing bermigrasi ke dinding usus maka akan bermanifestasi sebagai peritonitis.23,24
2.1.4.2.2. Trichuriasis
Infeksi berat T. trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa.23,25
2.1.5. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur atau cacing dewasa dalam tinja segar. Metode yang direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel tinja dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz dan McMaster. Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi dengan memperkirakan jumlah telur per gram tinja (egg per gram feces/ epg).26-28
2.1.6. Pengobatan
Terdapat 4 intervensi utama dalam pengobatan infeksi STH mencakup:
1. Pemberian obat antihelmintik
dikurangi kejadian transmisinya dari waktu ke waktu. Obat yang direkomendasikan untuk kontrol infeksi STH adalah benzimidazole antihelmintik (BZAs), albendazole (dosis tunggal: 400 mg, kecuali dosis 200 mg untuk anak usia 12-24 bulan), mebendazole (dosis tunggal: 500 mg), levamisole, atau pirantel pamoat.18,29,30
2. Perbaikan sanitasi
Bertujuan untuk mengendalikan transmisi dengan mengurangi kontaminasi pada tanah dan air. Hal ini merupakan intervensi utama untuk mengurangi angka kejadian infeksi STH, namun strategi ini hanya efektif jika dapat menjangkau populasi yang luas. Jangkauan populasi yang luas ini yang menjadi kendala karena membutuhkan biaya yang besar. Lebih lanjut lagi, intervensi tersebut membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan hingga puluhan tahun agar dapat menjadi efektif.6,31
3. Edukasi kesehatan
4. Cara pengendalian baru
Tingginya kejadian reinfeksi setelah pemberian terapi antihelmintik pada daerah endemis tinggi serta berkurangnya efikasi pengobatan antihelmintik secara periodik diperkirakan karena adanya resistensi terhadap obat-obat antihelmintik tersebut. Penelitian terbaru sedang mengembangkan cara baru untuk mengendalikan infeksi STH melalui program pengembangan vaksin untuk infeksi cacing tambang yang mengandung antigen larva Ancylostoma–secreted protein (ASP) 2. Vaksin ini terbukti efektif dalam pencegahan pada model hewan. Hal ini diharapkan dapat memutuskan penyebaran infeksi STH. Akan tetapi vaksin tersebut masih dalam proses pengembangan agar dapat digunakan pada manusia.4,29
2.2. Eosinofil
2.2.1. Fungsi eosinofil
Eosinofil merupakan leukosit yang berasal dari sumsum tulang dimana perkembangan dan diferensiasi akhirnya berada dibawah kontrol beberapa sitokin seperti interleukin 3 (IL-3), granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF), dan interleukin 5 (IL-5). Granulocyte
macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF) dan IL-3 menstimulasi
berperan lebih spesifik pada eosinofil dimana bertanggung jawab dalam eosinofilopoiesis.7,32
Eosinofil memiliki diameter 8 µm dengan nukleus yang biasanya bilobus, terkadang bisa memiliki 3 atau lebih lobus. Ciri khas eosinofil adalah memiliki granul kristaloid yang besar, biasanya disebut granul spesifik atau sekunder. Granul kristaloid dikelilingi oleh membran dan mengandung protein dasar yang sangat kationik, dengan berat polipeptida 18 000 sampai 21 000 dalton. Protein dasar kationik tersebut diketahui memiliki aktivitas bakterisidal dan helmintotoksik. Selain itu eosinofil memiliki 4 tipe granul lainnya yaitu granul primer, granul kecil, badan lemak, dan vesikel sekretori kecil.32,33
Eosinofil membahayakan karena efek proinflamasi, namun dapat menguntungkan karena efek antiparasitik.34 Meskipun salah satu fungsi eosinofil adalah untuk memfagosit dan membunuh bakteri, namun eosinofil tidak dapat menghilangkan infeksi bakteri tanpa adanya bantuan neutrofil.32 Hipotesis mengenai fungsi utama eosinofil untuk melindungi pejamu dari infeksi organisme seperti STH berdasarkan beberapa penemuan sebagai berikut:35
a) Eosinofil berdegranulasi dan dapat membunuh cacing secara in vitro dengan adanya antibodi dan/atau komplemen
c) Sejumlah besar eosinofil seringkali terlihat berhubungan erat dengan cacing yang masih utuh bahkan telah mati secara in vivo
d) Eosinofil secara jelas berdegranulasi di sekitar atau pada permukaan cacing secara in vivo
Disamping berfungsi sebagai efektor perifer, eosinofil juga mengatur respon imun dengan meningkatkan pelepasan sitokin dan kemokin. Eosinofil berperan dalam beragam reseptor permukaan sel untuk memberi sinyal pada sel sehubungan dengan proses kemotaksis, adhesi, respiratory burst, degranulasi, produksi sitokin dan kemokin, apoptosis maupun bertahan hidup, dimana semuanya berhubungan dengan eosinophil-mediated tissue
inflammatory responses ketika terjadi infeksi cacing.36
2.2.2. Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan nilai eosinofil
obat myelosupresif, interferon alfa, antihistamin, kromolin, siklosporin, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta inhibitor fosfodiesterase.34
Nilai eosinofil dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan apusan darah tepi dan pemeriksaan darah vena di laboratorium.8 Nilai eosinofil mengikuti variasi diurnal dengan nilai terendah pada jam 10 pagi hingga siang hari dan mencapai 2 kali dari nilai terendah antara tengah malam hingga pukul 4 subuh.7,37
Tabel 2.1. Beberapa keadaan penyebab eosinofilia8
Alergi Rinitis alergi Asma
Urtikaria akut dan kronik
Pemphigoid
Reaksi hipersensitivitas obat Infeksi
Infeksi cacing yang berinvasi ke jaringan Trichinosis
Penyakit Hodgkin dan limfoma sel T Leukemia myelogenik akut Graft vs host reaction Omenn syndrome
Trombocytopenia with absent radii
Vaskulitis
Post-iradiasi abdomen
2.3. Hubungan antara nilai eosinofil dan infeksi soil-transmitted helminth
Pada awal tahun 1939, eosinofil dianggap berperan sebagai respon imun pada infeksi cacing. Kejadian eosinofilia pada infeksi selain sebagai reaksi patologi juga merupakan reaksi imunitas protektif.38 Banyak ilmuwan menganggap bahwa fungsi utama eosinofil adalah perlindungan terhadap parasit, meskipun hanya sedikit bukti studi in vivo yang membuktikan hal tersebut. Eosinofil juga muncul dalam jumlah besar pada mamalia jika terjadi lesi inflamasi terkait dengan infeksi cacing atau kondisi alergi.39
Eosinofil timbul dalam sumsum tulang dari sel prekursor haematopoietik CD34. Pada tahap awal diferensiasi, eosinofil dikendalikan oleh sitokin GM-CSF dan IL-3, yang juga mengendalikan perkembangan granulosit lain seperti neutrofil, basofil, dan sel mast. Tahap selanjutnya dari diferensiasi dan pematangan, sebagian besar eosinofil dikendalikan oleh sitokin IL-5, yang diproduksi oleh sel T aktif dan sel mast.39,40 Respon
T-helper 2 (Th2) jelas terlibat dalam infeksi STH, dimana memberikan
kemungkinan adanya kelangsungan hidup pada penderita infeksi STH sekaligus melindungi terhadap superinfeksi.41,42
Eosinofil merupakan sel yang berdiferensiasi akhir setelah meninggalkan sumsum tulang dengan umur paruh waktu sekitar 18 jam.32
Masa hidup eosinofil pada jaringan normal tidak diketahui pasti, namun diperkirakan dapat bertahan selama beberapa hari bahkan minggu. Eosinofil hanya bertahan hidup beberapa jam dalam sirkulasi darah. Pada infeksi STH, eosinofil dikeluarkan lebih cepat dari sumsum tulang dengan terstimulasi kurang lebih dalam 1 jam. Kelangsungan hidup eosinofil dalam jaringan juga meningkat dan laju eosinofilopoiesis dalam sumsum tulang meningkat secara dramatis.32,43-45 Diketahui bahwa IL-3, IL-5, dan GM-CSF dapat menghambat proses apoptosis eosinofil selama kurang lebih 12 sampai 14 hari secara in vitro dan pada penderita sinusitis. Sebaliknya tanpa adanya sitokin tersebut, eosinofil hanya dapat bertahan kurang dari 48 jam.34
Eosinofil sangat cepat mengalami pergantian pada lesi inflamasi dimana hanya bertahan hidup 4 sampai 5 hari.39 Diketahui bahwa apoptosis pada eosinofil yang dipicu oleh helminth-derived excretory-secretory products (ESP) dapat menyebabkan inflamasi jaringan berat yang turut berperan dalam melawan infeksi kecacingan.46
2.4. Kerangka Konseptual
Keterangan: yang diamati dalam penelitian
Gambar 2.1. Kerangka konseptual
Lymphoblast
- Kemiskinan, sanitasi, dan urbanisasi - Kemampuan verbal - Kemampuan motorik - Kemampuan aritmetik - Kehadiran di sekolah
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Desain
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan potong lintang yang melihat korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi soil-transmitted helminth pada anak.
3.2. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan mulai bulan Februari 2014 sampai Maret 2014.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi target adalah anak usia sekolah yang menderita ascariasis, trichuriasis, atau infeksi campuran. Populasi terjangkau adalah anak di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan, Propinsi Sumatera Utara. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Cara pengambilan sampel yaitu pemilihan tidak berdasarkan peluang jenis
3.4. Perkiraan Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus sampel untuk koefisien korelasi dengan sampel tunggal,yaitu:48
( Z α + Z β)
n = + 3
0.5 ln [(1+r)/(1-r)]
n = besar sampel
α = kesalahan tipe I = 0,05 Tingkat kepercayaan 95%
Zα = deviat baku normal untuk α = 1,96
β = kesalahan tipe II = 0,2 Power (kekuatan penelitian) 80%
Zβ = deviat baku normal untuk β = 0,842
r = korelasi minimal yang dianggap bermakna r = 0.32849
Dengan menggunakan rumus di atas, maka jumlah minimal sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak 71 orang.
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1. Kriteria Inklusi
1. Anak yang berusia 6 sampai 12 tahun
2. Dari hasil pemeriksaan Kato didapati telur A. lumbricoides, T. trichiura, atau campuran
3.5.2. Kriteria Eksklusi
1. Tidak mengembalikan pot yang berisi tinja untuk pemeriksaan Kato-Katz 2. Menolak dilakukan pengambilan sampel darah
3. Anak yang menderita penyakit alergi (misalnya, asma, dermatitis atopi), reumatologi, keganasan, imunodefisiensi, gastrointestinal, dan infeksi parasit selain soil-transmitted helminth
4. Anak yang memiliki riwayat konsumsi obat antihelmintik dalam 3 bulan terakhir
5. Anak yang sedang mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi nilai eosinofil (misalnya, glukokortikoid, obat myelosupresif, interferon alfa, antihistamin, kromolin, siklosporin, inhibitor dan antagonis leukotrien, dan inhibitor fosfodiesterase)
3.6. Persetujuan/ Informed Consent
3.7. Etika Penelitian
Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.8. Cara Kerja
1. Membuat perjanjian terlebih dahulu dengan orang tua anak di lokasi penelitian melalui kepala sekolah.
2. Orang tua pasien diberikan penjelasan mengenai korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi soil-transmitted helminth pada anak.
3. Orang tua pasien diminta persetujuan agar anak boleh diikutsertakan dalam penelitian ini.
4. Dilakukan pengumpulan data primer (identitas pribadi dan data orang tua).
5. Pot tinja yang sudah diberi nomor dibagikan pada anak-anak yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
6. Pot tinja tersebut diisi dengan tinja sekitar 100 mg (sebesar kelereng atau ibu jari tangan) pada hari berikutnya. Tinja diambil pada pagi hari saat anak sedang buang air besar, tidak boleh terkena air atau lantai kamar mandi.
Umum Pusat Haji Adam Malik dan peneliti pada hari yang sama dengan pengumpulan tinja.
8. Hasil pemeriksaan yang menunjukkan adanya telur A. lumbridoides,
T. trichiura, atau kedua jenis telur, maka akan dilakukan pemeriksaan
Katz untuk menghitung jumlah epg (lihat Lampiran 6).
9. Anak yang menunjukkan adanya telur A. lumbridoides, T. trichiura, atau kedua jenis telur, dilakukan pengambilan sampel darah perifer (lihat Lampiran 7) pada tengah hari (pukul 10.00 WIB sampai 12.00 WIB) di kaca objek yang sudah diberi nomor dan vacuum blood tube 3 mL EDTA K3 yang sudah diberi nomor pada hari berikutnya.
10. Sediaan apus darah tepi tersebut difiksasi menggunakan methanol, kemudian dilakukan pewarnaan (lihat Lampiran 9).
11. Dilakukan pengumpulan data melalui pengisian kuesioner oleh orang tua anak dengan bantuan pewawancara menggunakan panduan kuesioner yang telah ada.
12. Kuesioner langsung dikumpulkan pada hari yang sama dengan pembagian kuesioner.
13. Anak-anak yang menderita ascariasis, trichuriasis, atau infeksi campuran ascariasis dan trichuriasis diberikan terapi antihelmintik berupa albendazole dosis tunggal 400 mg.
3.9. Alur Penelitian
- Anak usia 6 sampai 12 tahun dengan atau tanpa gejala klinis kecacingan
- Mengisi data primer
- Menyetujui informed consent
Dilakukan pengumpulan tinja dalam pot tinja yang sudah diberi nomor
Pemeriksaan tinja dilakukan dengan metode Kato
- Mengisi kuesioner yang dibagikan
- Dilakukan pemeriksaan tinja dengan metode Katz
- Dilakukan pemeriksaan sediaan apus darah tepi pada kaca objek yang sudah diberi nomor untuk melihat profil eosinofil
- Dilakukan pemeriksaan kamar hitung Improved Neubauer yang sudah diberi nomor untuk menghitung jumlah leukosit
Anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
3.10. Identifikasi Variabel
Variabel bebas Skala
Nilai eosinofil Numerik
Variabel tergantung Skala
Jumlah telur per gram tinja Numerik
3.11. Definisi Operasional Variabel Penelitian
3.11.1. Variabel Bebas
Nilai eosinofil adalah jumlah eosinofil dalam darah perifer yang diperiksa dengan melakukan pemeriksaan apusan darah tepi.
3.11.2. Variabel Tergantung
1. Infeksi A. lumbricoides bila dijumpai telur A. lumbricoides pada tinja melalui pemeriksaan mikroskopis dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz.28 Dikatakan infeksi ringan jika terdapat 1 sampai 4 999 epg; infeksi sedang jika terdapat 5 000 sampai 49 999 epg; dan infeksi berat jika terdapat > 50 000 epg.26
sedang jika terdapat 1 000 sampai 9 999 epg; dan infeksi berat: jika terdapat > 10 000 epg.26
3.12. Rencana Pengolahan dan Analisa Data
BAB 4. HASIL PENELITIAN
Gambar 4.1. Profil penelitian
Prevalensi kecacingan di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan didapatkan sebesar
658 anak yang masuk dalam skrining
584 anak diperiksa dengan metode Kato-Katz
74 anak tidak mengembalikan pot untuk pemeriksaan tinja
382 anak menderita infeksi STH :
- 142 anak terinfeksi A. lumbricoides
- 84 anak terinfeksi T. trichiura
- 156 anak terinfeksi A. lumbricoides dan T. trichiura
99 anak dilakukan pengambilan sampel darah pada kaca objek yang sudah diberi nomor dan vacuum blood tube 3
mL EDTA K3 yang sudah diberi nomor
283 anak tidak bersedia dilakukan pengambilan sampel darah 202 anak tidak menderita infeksi
65.4%, dengan prevalensi ascariasis sebesar 37.1%, prevalensi trichuriasis sebesar 21.9%, dan prevalensi infeksi campuran sebesar 40.8%. Dapat diketahui bahwa kebanyakan anak menderita infeksi campuran.
Tabel 4.1. Karakteristik dasar responden penelitian
Karakteristik Ascariasis Intensitas infeksi, n (%)
Ringan Pendidikan Ayah, n (%)
Dari karakteristik dasar responden peneltian pada Tabel 4.1. yang menderita ascariasis, trichuriasis, dan infeksi campuran didapatkan rerata usia anak 9.1, 8.44, dan 9.34 tahun dengan rentang usia anak adalah 7-13 tahun.
Dari keseluruhan sampel diketahui 55.6% pasien memiliki status nutrisi
normoweight, 27.3% malnutrisi ringan, 10.1% malnutrisi sedang, 4% gizi
lebih, dan 3% obesitas. Intensitas infeksi seluruh sampel dominan derajat intensitas ringan yaitu 83.8% dan 16.2% intensitas sedang. Tidak dijumpai adanya derajat infeksi intensitas berat. Sebanyak 62.6% anak tidak rutin mengkonsumsi obat cacing dan 63.6% tidak memiliki pengetahuan mengenai kecacingan. Dari penelitian ini tidak dijumpai adanya infeksi cacing tambang.
Tabel 4.2. Rerata nilai eosinofil pada infeksi soil-transmitted helminth
Infeksi soil-transmitted
helminth
Nilai Eosinofil (per µL darah)
P
bermakna antara rerata nilai eosinofil pada infeksi tunggal serta infeksi campuran. Rerata nilai eosinofil tertinggi dijumpai pada anak yang menderita infeksi campuran.
Tabel 4.3. Nilai eosinofil absolut pada infeksi soil-transmitted helminth
Nilai Eosinofil
Dari Tabel 4.3. dapat diketahui prevalensi kejadian eosinofilia pada anak yang menderita ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah sebesar 47.5%, 77.8%, dan 70%. Hal ini menunjukkan bahwa trichuriasis memiliki prevalensi kejadian eosinofilia tertinggi dibandingkan ascariasis dan infeksi campuran. Tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian eosinofilia pada infeksi STH (P = 0.05).
Tabel 4.4. Nilai rerata eosinofil dihubungkan dengan intensitas infeksi
Tabel 4.5. Karakteristik nilai eosinofil dihubungkan dengan infeksi
soil-transmitted helminth Karakteristik Nilai
Eosinofil
r P
Ascariasis (epg) 0.62 <0.001
Trichuriasis (epg) 0.21 0.04
Dari Tabel 4.5. diketahui bahwa nilai eosinofil ada hubungan bermakna dengan jumlah epg pada infeksi soil-transmitted helminth, dimana nilai P < 0.001 (r = 0.62) pada ascariasis dan nilai P = 0.04 (r = 0.21) pada trichuriasis. Ascariasis memiliki perbedaan nilai eosinofil dengan jumlah telur yang lebih bermakna dibandingkan trichuriasis. Diketahui juga bahwa nilai rerata eosinofil memiliki hubungan yang bermakna dengan intensitas infeksi baik ascariasis dan trichuriasis (Tabel 4.4.) dengan nilai P < 0.001.
Gambar 4.2. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg pada ascariasis. Garis merah menunjukkan garis korelasi.
Tabel 4.6. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada ascariasis
Hasil regresi dari 40 data pasien dengan ascariasis (Gambar 4.2.) memprediksi kejadian ascariasis dari jumlah eosinofil yang ditemui (slope = 615.141; R2 = 0.170; Y = 615.141X – 1654.834; P = 0.01). Nilai R2 (Tabel 4.6.) menunjukkan adanya 17% variasi kejadian ascariasis (epg) yang berhubungan dengan variasi persentase nilai eosinofil. Nilai slope menunjukkan bahwa setiap peningkatan nilai eosinofil sebesar 1 per µL darah terdapat peningkatan peluang terjadi ascariasis (epg) sebesar 615.141.
Gambar 4.3. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg pada trichuriasis. Garis merah menunjukkan garis korelasi.
Tabel 4.7. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada trichuriasis
Variabel Dependen
Koefisien Nilai Estimasi
Interval Kepercayaan 95%
P R2
Trichuriasis
(epg) b0 -381.953 -1453.949 – 690.043 0.43 21% b1 95.090 -32.132 – 222.313 0.12
Gambar 4.4. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg pada infeksi campuran. Garis merah menunjukkan garis korelasi.
Tabel 4.8. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada ascariasis pada infeksi campuran
(epg) b0 -12906.138 -18582.532 – -7229.743 <0.001 51.6 % b1 2230.692 1616.156 – 2845.228 <0.001
BAB 5. PEMBAHASAN
Infeksi STH masih merupakan merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara miskin dan yang sedang berkembang.50-53 A. lumbricoides, T. trichiura, dan Necator americanus merupakan jenis cacing yang paling
sering ditemukan.54 Banyak penelitian epidemiologi yang memperlihatkan bahwa penderita infeksi kecacingan cenderung terinfeksi oleh lebih dari satu jenis cacing.55 Penelitian pada 65 anak sekolah dasar di Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara pada tahun 2008 ditemukan prevalensi kecacingan sebesar 53.8%.56
Studi ini juga menemukan bahwa infeksi STH masih endemis di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara. Dari penelitian ini diperoleh prevalensi kecacingan di kedua sekolah tersebut sebesar 65.4%, dengan prevalensi ascariasis sebesar 37.1%, trichuriasis sebesar 21.9%, dan infeksi campuran sebesar 40.8%. Dapat diketahui juga bahwa kebanyakan anak menderita infeksi campuran.
tanah yang optimal untuk perkembangan A. lumbricoides dan T. trichiura berkisar antara 15 sampai 37 derajat Celcius.57,58
Kecamatan Medan Belawan berjarak 26 km dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam dari pusat kota Medan. Letak kecamatan Medan Belawan berada pada ketinggian 1 m dari permukaan laut, dengan suhu antara 32 derajat Celcius, serta memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh musim hujan dengan rata-rata curah hujan 2 600 mm per tahun.59 Ini merupakan kondisi lingkungan yang optimal untuk perkembangan STH.
Infeksi cacing tambang banyak ditemukan pada usia dewasa dan pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian.60 Kejadian ascariasis dan trichuriasis menurun seiring dengan pertambahan usia, sebaliknya pada infeksi cacing tambang mengalami peningkatan pada usia 15 tahun.61
menurun seiring dengan pertambahan usia, dimana pada usia 12 dan 13 tahun ditemukan sebesar 3% dan 1%.
Perbedaan jumlah beban cacing (worm burden) pada penderita kecacingan merupakan salah satu ciri khas infeksi kecacingan.62 Distribusi beban cacing yang tidak seimbang disebut overdispersed. Pada infeksi kecacingan di sebuah komunitas, sebagian besar penderita hanya terinfeksi oleh beberapa parasit dan sebagian kecil sisanya terinfeksi oleh sejumlah besar parasit.61 Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi STH seperti kebiasaan dalam keluarga, faktor lingkungan, dan kebersihan personal (kebiasaan mencuci tangan, memakai sepatu, penggunaan toilet).63 Dari penelitian di Honduras ditemukan bahwa anak yang berusia 5-12 tahun lebih sering menderita ascariasis dan trichuriasis dengan intensitas ringan dan sedang.53
Kecacingan dapat berpengaruh pada tumbuh kembang anak yang terlihat pada keadaan malnutrisi, gangguan pada proses belajar, dan jumlah kehadiran di sekolah.64-66 Keadaan malnutrisi terjadi akibat cacing yang hidup di saluran cerna penderita dan menyebabkan gangguan pencernaan serta absorpsi, hal ini mempengaruhi nafsu makan anak. Kejadian malnutrisi biasanya terjadi pada kelompok anak kecacingan dengan derajat sedang atau berat.67
Dari keseluruhan sampel diketahui 55.6% pasien memiliki status nutrisi
normoweight, 27.3% malnutrisi ringan, 10.1% malnutrisi sedang, 4% gizi
lebih, dan 3% obesitas. Status nutrisi yang baik pada sampel penelitian diterangkan oleh rendahnya beban cacing yang terlihat pada derajat intensitas infeksi STH.
Salah satu penanganan pengendalian infeksi STH secara global adalah pemberian edukasi mengenai kecacingan dan cara menjaga kebersihan personal.68 Dalam penelitian ini didapatkan sebanyak 62.6% anak tidak rutin mengkonsumsi obat cacing dan 63.6% tidak memiliki pengetahuan mengenai kecacingan. Hal ini menunjukkan bahwa program pengendalian infeksi STH yang melibatkan intervensi edukasi sangat penting.
cacing tambang, trichuriasis, dan campuran adalah 10%, 15.1%, 13%, dan 15.8%.10 Rerata nilai persentase eosinofil pada anak dalam penelitian yang menderita ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah 7.18/µL darah, 8.11/µL darah, dan 8.64/µL darah.
Rerata persentase eosinofil pada infeksi tunggal dan infeksi campuran pada penelitian di Filipina menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna dengan nilai P = 0.353.10 Dari penelitian ini juga dijumpai tidak ada perbedaan bermakna antara rerata nilai eosinofil pada infeksi tunggal serta infeksi campuran (P = 0.32).
Dalam perjalanan infeksi kecacingan, respon CD4+ sel T helper pada tubuh menstimulasi eosinofil secara berlebihan melalui sitokin, hal ini menyebabkan terjadinya eosinofilia.32 Eosinofilia merupakan gambaran karakteristik respon imun penjamu terhadap helminthiasis, khususnya pada tahap invasif ke jaringan.38
peningkatan nilai eosinofil > 5% tertinggi pada infeksi campuran (75%), diikuti oleh ascariasis (72.7%), dan trichuriasis (62%).71
Penelitian ini menunjukkan bahwa trichuriasis memiliki prevalensi kejadian eosinofilia tertinggi (77.8%) dibandingkan ascariasis (47.5%) dan infeksi campuran (70%) serta tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian eosinofilia pada infeksi STH (P = 0.05). Hasil ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel trichuriasis yang lebih besar.
Sebuah studi di Filipina untuk melihat korelasi antara nilai eosinofil dengan jumlah epg yang melibatkan 74 penderita infeksi STH menunjukkan korelasi sedang (r = 0.328; P = 0.004).10 Korelasi antara nilai eosinofil dengan jumlah epg pada infeksi STH dalam studi ini terlihat dari nilai r = 0.62 (P < 0.001) pada ascariasis dan nilai r = 0.21 (P = 0.04) pada trichuriasis. Menurut Michael Harris, nilai r sebesar 0.62 menunjukkan korelasi tinggi, sedangkan nilai r sebesar 0.21 menunjukkan korelasi rendah dan membutuhkan investigasi lanjut.72 Diketahui juga bahwa nilai eosinofil memiliki hubungan yang bermakna dengan intensitas infeksi baik ascariasis dan trichuriasis (P < 0.001). Data penelitian ini menunjukkan bahwa nilai eosinofil dapat dijadikan penanda infeksi dan berat ringannya infeksi STH.
pengalaman teknisi laboratorium.73 Sehingga dibutuhkan beberapa spesimen yang dikumpulkan selama beberapa hari berturut-turut untuk meningkatkan akurasi pemeriksaan.74
Terdapat beberapa keterbatasan penelitian ini. Pertama, recall bias melalui kuesioner dan wawancara bisa dijumpai karena beberapa informasi untuk kriteria eksklusi hanya berdasarkan ingatan orang tua. Kedua, adanya kesulitan untuk memperoleh persetujuan pengambilan sampel darah vena dari anak sehingga pengambilan sampel darah secara perifer. Ketiga, pengambilan sampel tinja tunggal dengan satu metode pemeriksaan yaitu teknik Kato-Katz.
Suatu studi randomized controlled trial pada 155 anak di Cape Town, Afrika Selatan menunjukkan bahwa terdapat penurunan nilai rerata eosinofil yang bermakna setelah pemberian obat antihelmintik sebanyak 6 kali selama 2 tahun.75 Diharapkan pada studi lanjut lainnya dapat melibatkan jumlah sampel yang lebih banyak dengan desain studi kohort prospektif untuk menilai level eosinofil setelah pemberian terapi antihelmintik. Hal ini memiliki implikasi positif dalam menyeimbangkan profil imun dan indikator perbaikan infeksi STH.
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Nilai eosinofil memiliki hubungan bermakna dengan jumlah telur per gram tinja (epg), dimana ascariasis memiliki korelasi tinggi dan trichuriasis memiliki korelasi rendah. Dengan demikian nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda infeksi STH. Penelitian ini juga menemukan bahwa prevalensi infeksi STH di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan, propinsi Sumatera Utara masih tinggi yaitu sebesar 65.4%.
6.2. Saran
Diharapkan bahwa selain pemeriksaan tinja dapat juga dilakukan pemeriksaan sederhana berupa apusan darah tepi untuk menilai jumlah eosinofil. Sehingga dapat diperkirakan adanya infeksi STH yang diderita oleh anak.
RINGKASAN
Infeksi soil-transmitted helminth (STH) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. namun masih tergolong
neglected disease. Di seluruh dunia, infeksi STH seringkali dihubungkan
dengan kejadian eosinofilia yang bermakna. Beberapa studi melaporkan bahwa peningkatan nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda adanya infeksi STH.
Untuk melihat korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH digunakan korelasi Pearson. Untuk melihat persamaan regresi korelasi antar nilai eosinofil dengan jumlah telur per gram tinja pada infeksi STH digunakan persamaan regresi linier. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak dengan interval kepercayaan (IK) 95% dan tingkat kemaknaan P < 0.05.
SUMMARY
Soil-transmitted helminth (STH) infection in Indonesia still plays as one of major health related problems, especially in rural area, yet it is still considered as a neglected tropical diseases. In the worldwide, it is often associated with a significant incidence of eosinophilia. It is well known that increasing level of eosinophil count can be used as a marker of STH infection.
The purpose of this study was to find correlation between eosinophil count with STH infection. This was an observational analytic study with cross-sectional design in school-aged children from February until March 2014. It was performed among two elementary school (SDN 060969 and SDN 064003) in Medan Belawan District, North Sumatera province, Indonesia. Children aged 6 to 12 years were included. Children who suffered from allergy (eg, asthma, atopic dermatitis), rheumatology, malignancy, immunodeficiency, gastrointestinal, and parasitic infections other than STH, also those who were taking antihelminthic drug in the previous three months, or who were taking medications that can affect the level of eosinophil (eg, glucocorticoids, myelosuppresive drugs, interpheron alpha, antihistamines, cromolyn, cyclosporine, inhibitor and antagonist of leukotrienes, and phosphodiesterase inhibitors) were excluded.
Regression equation correlation between eosinophil count and epg was performed by linear regression equation. This study used 95% confidence interval and significance P value < 0.05.
DAFTAR PUSTAKA
1. de Silva NR, Brooker S, Hotez P, Montresor A, Engles D, Savioli L. “Soil-transmitted helminth infections: updating the global picture.” Trends Parasitol. 2003;19:547-51.
2. Kurniawan A. Infeksi parasit: dulu dan masa kini. Maj Kedokt Indon. 2010;60(11):487-8.
3. Montresor A, Crompton DW, Gyorkos TW, Savioli L. Helminth control in scholl-age children: a guide for managers of control programmes. Geneva: World Health Organization; 2002.
4. Hotez PJ, Bundy DAP, Beegle K, Brooker S, Drake L, de Silva N, et al. Helminth infections: soil-transmitted helminth infections and schistosomiasis. Dalam: Jamison DT, Breman JG, Measham AR, Alleyne G, Claeson M, Evans DB, et al, penyunting. Disease control priorities in developing countries. Edisi ke-2. Washington DC: Oxford University Press; 2006.h.467–82.
5. United Nations Children’s Fund. Mapping human helminth infections in Southeast Asia. Thailand: Report to UNICEF East Asia and Pacific Region Office; 2002.h.31-53.
6. Brooker S, Bethony J, Hotez PJ. Human hookworm infection in the 21st century. Adv Parasitol. 2000;47:245-87.
7. Nutman TB. Evaluation and differential diagnosis of marked, persistent eosinophilia. Immunol Allergy Clin North Am. 2007;27(3):529-49.
8. Boxer LA. Eosinophilia. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton SF, et al. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. United States of America: Saunders Elsevier; 2007.h.902-3.
9. Schulte C, Krebs B, Jelinek T, Northdurft HD, Von Sonnenburg F, Löscher T. Diagnostic significance of blood eosinophilia in returning travelers. Clin Infect Dis. 2002;34:407-11.
10. Sumagaysay JB, Emverda FM. Eosinophilia and incidence of soil-transmitted helminthic infections of secondary students of an indigenous school. Asian Journal of Health Ethno Medical Section. 2011;1(1):172-84. 11. Smit AM. The eosinophilic reaction in helminthic infections. Ann Soc Belge
Méd Trop. 1963;4:317-24.
12. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari H. Trichuriasis (infeksi cacing cambuk). Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari H, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.h.376-8.
13. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia. Indonesia: Departemen Kesehatan RI; 2006.
Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2009.
15. Rahmad ZR. Hubungan higiene perorangan siswa dengan infeksi kecacingan anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Sibolga [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.
16. Ginting A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kecacingan pada anak sekolah dasar di desa tertinggal Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir Tahun 2008 [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2009.
17. Muswita Widya Rahma. Hubungan antara higiene dengan infeksi cacing Soil Transmitted Helminths pada siswa-siswi SD Negeri No. 101837 Suka Makmur, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011 [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011.
18. World Health Organization. Prevention and control of schistosomiasis and soil-transmitted helminthiasis. WHO Technical Report Series Report 912. Geneva: World Health Organization; 2002.
19. Crompton DW, Savioli L. Intestinal parasitic infections and urbanization. Bull World Health Organ. 1993;71(1):1-7.
20. Brooker S, Michael E. The potential of geographical information systems and remote sensing in the epidemiology and control of human helminth infections. Adv Parasitol. 2000;47:245-87.
21. Hotez PJ, de Silva N, Brooker S, Bethony J. Soil transmitted helminth infections: the nature, causes and burden of the condition. USA: Disease Control Project Priorities Working Paper no 3; 2003.
22. Quinnell RJ. Genetics of susceptibility to human helminth infection. Int J Parasitol. 2003;33:1219-31.
23. Margono SS, Abidin SAN. Nematoda usus. Dalam: Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W, penyunting. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.h.8-23.
24. Dent AE, Kazura JW. Ascariasis (Ascaris lumbricoides). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton SF, et al. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. United States of America: Saunders Elsevier; 2007.h.1495-6.
25. Dent AE, Kazura JW. Trichuriasis (Trichuris trichiura). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton SF, et al. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. United States of America: Saunders Elsevier; 2007.h.1499-500.
27. Albonico M, Ame SM, Vercruysse J, Levecke B. Comparison of the Kato-Katz thick smear and McMaster egg counting techniques for monitoring drug efficacy against soil-transmitted helminths in schoolchildren on Pemba Island, Tanzania. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2012;106(3):199-201.
28. Santos FLN, Cerqueira EJL, Soares NM. Comparison of the thick smear and Kato-Katz techniques for diagnosis of intestinal helminth infections. Revista da Sociedade Brasilleira de Medicina Tropical. 2005;38(2):196-8. 29. Albonico M, Bickle Q, Ramsan M, Montresor A, Savioli L, Taylor M.
Efficacy of mebendazole and levamisole alone or in combination against intestinal nematode infections after repeated targeted mebendazole treatment in Zanzibar. Bull World Health Organ. 2003;81:343-52.
30. Adams VJ, Lombard CJ, Dhansay MA, Markus MB, Fincham JE. Efficacy of albendazole against the whipworm Trichuris trichiura – a randomized, controlled trial. S Afr Med J. 2004;94:972-6.
31. Asaolu SO, Ofoezie IE. The role of health education and sanitation in the control of helminth infections. Acta Trop. 2003;86:283-94.
32. Weller, P.F. The immunobiology of eosinophils. New Engl J Med. 1991;324:1110–8.
33. Lacy P, Becker AB, Moqbel R. The human eosinophil. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lukens JN, penyunting. Wintrobe’s clinical hematology. Edisi ke-11. United States of America: Lippincott Williams & Wilkins; 2003.h.612-58.
34. Rothenberg ME. Eosinophilia. N Engl J Med. 1998; 338(22):1592-600. 35. Meeusen ENT, Balic A. Do eosinophils have a role in the killing of
helminth parasites? Parasitol Today. 2000;16:95-101.
36. Shin MH, Ah Lee Y, Min DY. Mini review: eosinophil-mediated tissue inflammatory responses in helminth infection. Korean J Parasitol. 2009;47:S125-131.
37. Bain BJ. Normal range. Bain BJ, penyunting. Blood cells: a practical guide. Edisi ke-4. USA: Wiley-Blackwheell; 2006.h.198-216.
38. Klion AD, Nutman TB. Current perspectives: the role of eosinophils in host defense against helminth parasites. J Allergy Clin Immunol. 2004;113:30-7.
39. Behm CA, Ovington KS. The role of eosinophils in parasitic helminth infections: insights from genetically modified mice. Parasitology Today. 2000;16(5):202-9.
40. Limaye AP, Abrams JS, Silver JE, Ottesen EA, Nutman TB. Regulation of parasite-induced eosinophilia: selectively increased interleukin 5 production in helminth-infected patients. J Exp Med. 1990;172:399-402. 41. MacDonald AS, Araujo MI, Pearce EJ. Immunology of parasitic helminth
42. Yazdanbakshs M. IgE, eosinophils and mast cells in helminth infection. Ned Tijdschr Klin Chem. 1996;21:213-6.
43. Collins PD, Marleau S, Griffiths-Johnson DA, Jose PJ, Williams TJ. Cooperation between interleukin-5 and the chemokine eotaxin to induce eosinophil accumulation in vivo. J Exp Med. 1995;182:1169–74.
44. Iversen PO, Robinson D, Sun Ying, Qiu Mieng, Kay AB, Clark-Lewis I, et al. The GM-CSF analogue E21R induces apoptosis of normal and activated eosinophils. Am J Respir Crit Care Med. 1997;156:1628–32. 45. Rytömaa T. Organ distribution and histochemical properties of eosinophil
granulocytes in rat. Act path microb Scand. 1960;50:S140.
46. Shin MH, Seoh JY, Park HY, Kita H. Excretory-secretory products secreted by Paragonimus westermani delay the spontaneous cell death of human eosinophils through autocrine production of GM-CSF. Int Arch Allergy Immunol. 2003;132:48-57.
47. Maruyama H, Nawa Y, Noda S, Mimori T. An outbreak of ascariasis with marked eosinophilia in the southern part of Kyushu District, Japan, caused by infection with swine ascaris. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 1997;28 Suppl 1:194-6.
48. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-4. Jakarta: Sagung Seto; 2011.h.348-82.
49. Cohen J. Statistical power analysis for the behavioral sciences. Edisi ke-2. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates; 1988.
50. Scolari C, Torti C, Beltrame A, Matteelli A, Castelli F, Gulletta M, et al. Prevalence and distribution of soil-transmitted helminth (STH) infections in urban and indigenous schoolchildren in Ortigueira, State of Parana, Brazil: implications for control. Trop Med Int Health. 2000;5(4):302-7.
51. Verla P, Kongs A, De NV, Thieu NQ, Depraetere K, Kim HT, et al. Prevalence of intestinal parasitic infections in northern Vietnam. Trop Med Int Health. 2003;8:961-4.
52. Aini N, Shaikh A, Sa’iah A, Fatmah MS, Ismail MG, Firdaus MSA, et al. Prevalence and distribution of soil-transmitted helminthiases among orang asli children living in peripheral Selangor, Malaysia. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2006;37(1):40-7.
53. Smith HM, DeKaminsky RG, Niwas S, Soto RJ, Jolly PE. Prevalence and intensity of infections of Ascaris lumbricoides and Trichuris trichiura and associated socio-demographic variables in four rural Honduran communities. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro. 2001;96(3):303-14. 54. Margono SS. Important Human Helminthiasis in Indonesia. Dalam: