• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Resiko dan Asuransi Lingkungan

Resiko merupakan hal yang melekat pada setiap aktifitas manusia, baik secara personal maupun profesional, misalnya resiko kehilangan kehidupan, cedera, kesehatan, atau kepemilikan yang terkait dengan kejadian yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dalam kondisi ketidakpastian (uncertainty), seperti terjadinya kehilangan kehidupan akibat bencana alam, kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup, dan sebagainya (Richardson, 2002; Hartono, 2001). Resiko yang terjadi bersifat negatif dan menimbulkan kerugian termasuk di dalamnya kerugian ekonomi, sehingga resiko harus dapat dihindari atau dikurangi. Upaya menghindari resiko dapat dilakukan secara sendiri atau melimpahkan resiko tersebut kepada pihak-pihak lain di luar individu, perusahaan atau institusi yang berhadapan dengan resiko (Hartono, 2001). Resiko yang besar tidak mungkin dapat ditangani sendiri, karena apabila terjadi resiko yang menimbulkan kerugian keuangan besar kelangsungan usahanya terganggu. Penggunaan teknologi dalam pengelolaan SDA yang makin kompleks meningkatkan resiko yang terjadi, sehingga bagi perusahaan pertambangan yang tergolong industri menengah dan besar akan lebih ekonomis apabila resiko yang mungkin terjadi dilimpahkan atau diambil alih oleh lembaga yang secara khusus menangani resiko (Boyer dan Porrini, 2008; Hartono, 2001; Freeman dan Kunreuther,1997).

Lembaga yang khusus dikembangkan untuk menangani resiko yang terjadi akibat suatu peristiwa dalam kondisi ketidakpastian (uncertainty) adalah asuransi (insurance). Asuransi secara prinsip merupakan upaya mengalihkan resiko yang ditimbulkan oleh peristiwa- peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya kepada pihak lain yang bersedia mengambil resiko untuk mengganti kerugian sesuai dengan perjanjian yang disepakati. Pasal 246 Undang-Undang Hukum Dagang memberikan batasan asuransi atau pertanggungan sebagai suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karenanya suatu peristiwa yang tidak tertentu. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyebutkan bahwa

asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Hartono (2001) menyebutkan bahwa fungsi dasar asuransi adalah melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi ketidakpastian terhadap kerugian khusus untuk kerugian-kerugian murni dan bukan kerugian yang bersifat spekulatif. Obyek Asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya. Macam-macam usaha asuransi : (a).Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti; (b).Usaha

asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan resiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan, dan (c). Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa. Dari pengertian tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa : (a) asuransi adalah suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih; (b) pihak penanggung menerima sejumlah premi yang telah ditetapkan dalam polis; dan (c) pihak tertanggung akan menerima suatu ganti rugi atas kejadian yang menimpa objek asuransi dari penanggung. Dalam pelaksanaan operasinya, perusahaan asuransi terdiri dari tiga jenis bidang usaha pertanggungan, yaitu: usaha Asuransi Kerugian (non life insurance), Asuransi Jiwa (life insurance), dan Reasuransi (reinsurance). Asuransi lingkungan termasuk dalam asuransi kerugian.

Resiko lingkungan yang terjadi akibat kegiatan pertambangan (emas) dapat terjadi tanpa sewaktu-waktu tanpa diramalkan sebelumnya karena kelalaian, kealpaan, atau kesalahan dalam produksi pertambangan. Boyer dan Porrini (2008) menyebutkan bahwa resiko lingkungan memiliki beberapa karakteristik unik, yaitu (a) resiko lingkungan lebih sulit diidentifikasi karena resiko tersebut bisa berasal dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya; serta (b) resiko lingkungan dapat terjadi akibat pencemaran bahan berbahaya dan beracun walaupun dalam jumlah kecil sehingga sulit diukur dan dideteksi. Asuransi lingkungan mengkonsentrasikan pada alat dan proses untuk menjamin perlindungan dari lingkungan alam. Banyak kegiatan yang membahayakan lingkungan, seperti fasilitas pengolahan limbah berbahaya, pabrik kimia dan farmasi, fasilitas pabrik, fasilitas penyimpanan bahan kimua dan minyak, laboratorium penelitian, pembangkit tenaga listrik fosil dan nuklir, serta fasilitas transportasi (Shangraw et.al., 2003). Dampak primer dari resiko lingkungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dalam skala kecil telah dipahami, namun dampaknya dalam skala besar belum dipahami dengan baik.

Dalam jangka waktu yang lebih lama dampak terhadap air tanah yang tercemar, udara, dan air, juga dampak sosial ekonominya tidak terdokumentasi dan terkuantifikasi secara baik. Konsekuensi jangka panjang dari dampak skala besar tersebut sangat merusak ekosistem dan ekonomi lokal dari periode waktu yang tertentu. Perangkat dan teknik asuransi lingkungan saat ini belum banyak diketahui dan tersedia dengan baik. Di Amerika Serikat penelitian tentang dampak lingkungan saat ini terfokus pada keluaran dari kecelakaan, sedangkan kejadian yang sifatnya non accidential belum dipertimbangkan (Shangraw et.al., 2003). Tipe dampak lingkungan yang dievaluasi oleh asuransi lingkungan meliputi : (a) Dampak yang bersifat Segera (immediate impacts), seperti kehilangan kehidupan dan kerusakan property secara cepat akibat kejadian luar biasa; (b) Dampak yang bersifat Pertengahan (intermediate impacts) yang menjadi fokus utama dari asuransi lingkungan, termasuk dampak terhadap kesehatan manusia, degradasi ekosistem, kehilangan nilai ekonomi dari SDA, dan hilangnya nilai rekreasi; dan (c) Dampak yang bersifat Jangka Panjang (long-term impacts), seperti pemanasan global, deplesi lapisan ozone, tidak dievaluasi dalam asuransi lingkungan. Lebih lanjut Shangraw et.al. (2003) menegaskan bahwa resiko lingkungan yang terjadi dan menjadi lingkup dalam pengembangan asuransi lingkungan adalah intermediate impacts.

Bagi kebanyakan negara berkembang, kerugian yang berhubungan dengan bencana alam melebihi kemampuan mereka untuk menanggung biaya ini (Ferranti dan Perry, 2000). Bencana akibat Badai Hurricane Mitch menyebabkan kerusakan langsung maupun tidak langsung di Honduras sama dengan $6 milyar, atau sama dengan produk domestik bruto selama satu tahun. Dengan populasi 6.2 juta dan 53% dari populasi hidup di bawah garis kemiskinan, biaya sebesar $1000 per orang melebihi kemampuan pemerintah untuk menanggungnya dengan menggantinya melalui perpajakan. Penggantian kerugian ini disediakan dalam bentuk dana ataupun pinjaman oleh pemerintah negara berkembang melalui institusi keuangan internasional seperti World Bank, bank pembangunaan

regional dan agen PBB. Adanya keterbatasan pemerintah berkaitan dengan terjadinya resiko lingkungan, maka instrumen asuransi lingkungan dapat menjadi solusi untuk meminimalkan resiko yang terjadi sekaligus mendorong pembangunan berkelanjutan. Upaya menerapkan asuransi lingkungan pernah diinisiasi oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan Dewan Asuransi Lingkungan Indonesia pada tahun 1994 (Bapedal, 1994). Berikut ini ditampilkan fase-fase dalam pengembangan instrumen asuransi lingkungan menurut Shangraw et.al. (2003). Fase-fase dalam pengembangan asuransi lingkungan :

1. Fase Pertama : Prioritisasi dan Penilaian Target. Beberapa hal yang terkait dengan fase pertama ini adalah :

a. Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan target dan dampak potensial. Dalam tahapan ini diidentifikasi target yang akan dianalisis, misalnya kegiatan pertambangan, fasilitas pabrik, fasilitas transportasi, dan sebagainya. Untuk mengklasifikasikan target, data yang akan dianalisis meliputi : (a) jumlah dn lokasi fasilitas target; dan (b) kuantitas, toksisitas, dan mobilitas dari bahan-bahan dan praktek yang digunakan dan diprakirakan membahayakan dalam penggunaannya. b. Memprioritaskan area yang mengalami diprakirakan memiliki dampak

paling besar. Dalam hal ini makin tinggi konsekuensi dari suatu kejadian maka makin tinggi peluang terjadinya dampak. Konsekuensi yang terjadi ditentukan oleh toksisitas bahan pencemar, bentuk dispersi (penyebaran)yang mungkin, mobilitas bahan pencemar yang dilepaskan, dan potensial penerima dampak. Dengan mengestimasi konsekuensi dari pelepasan bahan dan nilai toksisitas bahan tersebut, fasilitas dan keluaran dapat diperingkat untuk mengilustrasikan jumlah dan keragaman target serta cakupan dan besaran keluaran yang terjadi. Target dan keluaran yang berkaitan dapat diprioritaskan untuk areal yang berdampak besar.

c. Menilai area yang terkena dampak besar untuk mengidentifikasi skenario yang masuk akal (plausible) dan untuk memahami konsekuensi primer dan sekunder secara lebih baik. Setelah penilaian

data pada target yang mungkin dan konsekuensi dampak potensialnya, maka bagian akhir dari fase ini adalah memilih skenario- skenario yang dapat dimodelkan lebih lanjut.

2. Fase Kedua : Penggunaan Perencanaan Skenario (Scenario Planning Exercise). Setelah fase pertama selesai, skenario-skenario individu dibangun untuk menguji perilaku dampak dalam skala besar dan responnya. Tujuan dari exercises ini untuk mempelajari dinamika dari bencana lingkungan yang mungkin terjadi, sehingga strategu mitigasi yang efektif dan rencana tanggap darurat (emergency plans) dapat dibangun oleh analisis. Dalam hal ini pemodelan dinamik diperlukan untuk melihat perilaku sistem tersebut. Penggunaan model dinamik digunakan untuk memodelkan mekanisme terjadinya pengeluaran bahan-bahan pencemar dan dampak lingkungan yang dihasilkan, sehingga dalam tahapan selanjutnya dapat menilai kerentanan lingkungan. Beberapa hal yang dilakukan dalam fase kedua ini adalah : a. Membangun model simulasi untuk perencanaan dengan

menggunakan model dinamik.

b. Mengevaluasi strategi mitigasi untuk skenario yang terpilih. c. Merekomendasikan strategi mitigasi.

Berdasarkan kedua fase tersebut, maka jaminan asuransi lingkungan dapat dikembangkan, terutama yang menyangkut pencegahan, persiapan, dan respon apabila terjadi resiko lingkungan akibat pemanfaatan SDA. Asuransi lingkungan bertujuan untuk meminimalkan ancaman terhadap kehidupan manusia, melindungi sumberdaya alam, dan menjamin keseimbangan dalam ekosistem. Tahapan asuransi lingkungan terkait dengan mitigasi resiko lingkungan ditampilkan pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa tidak semua resiko lingkungan dapat ditangani oleh asuransi, hanya jenis-jenis resiko lingkungan yang disepakati antara perusahaan asuransi dan peserta asuransi yang ditanggung oleh oleh asuransi. Resiko lingkungan yang menjadi target pertanggungan berikut wilayah dampaknya yang dievaluasi dan dinilai sebagai masukan dalam mendesain model pertanggungan

resiko dan upaya-upaya mitigasi untuk menghindari resiko lingkungan yang berpeluang terjadi.

Gambar 4. Metodologi Asuransi Lingkungan (Shangraw et.al., 2003)

Pengembangan asuransi lingkungan di Indonesia pernah diinisiasi oleh Bapedal dan Dewan Asuransi Indonesia (DAI) tahun 1994 (Bapedal, 1994). Di dalam dokumen kerangka kerjasama tersebut, pengembangan asuransi lingkungan dilatarbelakangi oleh beberapa penataan dan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya dalam pengendalian dampak lingkungan seperti (a) hasil Konvensi Rio de Janeiro 1992 tentang Agenda

21 yang memuat penerapan prinsip strict liability bagi pencemar dan perusak lingkungan, serta upaya untuk membentuk environmental liability trust fund bagi penerapan Polluter Pays Principle; dan (b) konvensi

Maritim Pollution tahun 1987 yang menerapkan Jasa Asuransi Lingkungan sebagai sumber dan pengelola environmental liability trust fund (Bapedal, 1994). Lebih lanjut Bapedal (1994) menyebutkan bahwa tiga tujuan pokok dalam upaya pembentukan, pembinaan, dan pengembangan kelembagaan jasa asuransi lingkungan adalah sebagai berikut:

a. Membentuk environmental liability trust fund melalui manajemen dan mekanisme asuransi, sehingga penerapan prinsip pencemaran menbayar dan tanggung jawab mutlak dapat ditaati oleh masyarakat;

b. Membentuk perangkat pengawasan dan jaringan pemantauan lingkungan, melalui proses kerja para petugas asuransi lingkungan;

c. Terselenggaranya jaringan komunikasi dan informasi lingkungan dalam rangka penataan lingkunga, sehingga melalui proses kerja lembaga asuransi lingkungan dapat dibina dan disususn sistem peringatan dini dan sistem tanggap darurat dalam pengendalian lingkungan.

Faktor-faktor yang harus dipenuhi dalam proses pengalihan jaminan pertanggungan resiko lingkungan yaitu (Sudarsono, 1998) :

a. Resiko lingkungan yang dipertanggungkan (expose liability units) harus diketahui dalam jumlah yang cukup besar dan relatif memiliki sifat yang sama (homogenous) dalam sistem pengelolaannya;

b. Resiko lingkungan yang dipertanggungkan merupakan resiko yang dapat timbul atas kejadian tertentu yang tidak disengaja dan atau terjadi karena suatu musibah (accidental risk) yang tidak dapat diduga sebelumnya;

c. Nilai resiko yang dipertanggungkan dapat ditentukan jumlahnya (quantity aspects) maupun bentuknya melalui kerja dalam mekanisme jasa pertanggungan secara obyektif;

d. Resiko lingkungan yang dipertanggungkan tidak terlalu besar dan tidak bersifat meluas (catastrophic risk), sehingga nilai premi maupun pertanggungannya dapat ditetapkan secara ekonomis;

e. Pengalihan pertanggunagan resiko lingkungan (transfer of environmental risk liability) dilakukan secara obyektif dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan sosial berdasarkan asas subrogasi yang tidak harus menunggu keputusan proses peradilan hukumnya; serta

f. Jaminan pertanggungab atas resiko lingkungan yang disebabkan dari suatu peristiwa bencana alam dilakukan melalui mekanisme asuransi dalam bentuk penyertaan wajib (compulsory insurance). Nilai besaran pertanggungan atas setiap resiko lingkungan dihitung dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Sudarsono, 1998):

a. Memasukan berbagai kemungkinan terjadinya resiko lingkungan (probability risk acceptables);

b. Memperhatikan kondisi morak (moral hazrd) dari berbagai pihak yang terkait;

c. Mewaspadai berbagai kemungkinan kerugian yang sulit untuk diperhitungkanl

d. Mengadopsi berbagai ketidakpastian yang ditimbulkan oleh siklus ekologi alam dan aktifitas manusia.

III. METODE PENELITIAN