• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir dan tidak banjir. Selain itu, disajikan cross tab hubungan antara tingkat resiliensi dengan tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat tingkat saving, dan tingkat modal nafkah rumahtangga petani di wilayah banjir dan tidak banjir.

Pendahuluan

Resiliensi merupakan kebalikan dari kerentanan (vurnerability), dimana kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata uang. Konsep resiliensi merupakan konsep yang luas, didalamnya termasuk kapasitas dan kemampuan merespon dalam situasi krisis/konflik/darurat. Resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dan kembali ke keadaan semula pada saat terjadi bencana. Resiliensi merupakan proses yang dinamis mencakup adaptasi yang positif saat rerjadi bencana. Resiliensi pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Kerentanan adalah keterbukaan sekelompok orang atau individu terhadap stress yang diakibatkan oleh perubahan lingkungan ataupun keadaan krisis (Adger 2000). Pada penelitian ini, resiliensi diukur dari waktu recovery saat terjadi krisis dan jumlah cara penyesuaian saat terjadi krisis. Akumulasi dari kedua konsep tersebut kemudian menjadi tingkat resiliensi rumahtangga petani. Tingkat resiliensi rumahtangga petani dapat dihubungkan dengan tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat saving, dan tingkat modal nafkah. Berikut pemaparan dari masing-masing hubungan tingkat resiliensi di dua komunitas.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi Rumahtangga Petani Di Dua Komunitas

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi diuji dengan analisis regresi linier, alpha ditentukan sebesar 20 persen atau 0,2 artinya toleransi kesalahan pada uji regresi tersebut adalah 20 persen dan kebenarannya adalah 80 persen (Lampiran 3). Berdasarkan uji tersebut, modal nafkah yang mempengaruhi tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir adalah modal manusia, modal sosial, modal alam, modal fiansial dan modal fisik. Komponen dari modal nafkah tersebut dipecah sehingga dihasilkan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir yaitu tingkat keterampilan kepala keluarga, tingkat kekuatan jaringan, tingkat hutang, tingkat akses terhadap SDA, tingkat kepentingan SDA, tingkat kepemilikan aset, dan tingkat pendapatan. Beriku Pemaparan hasil analisis regesi.

53

Tabel 9 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi nafkah rumahtangga petani di wilayah banjir, Desa Sukabakti tahun 2013 -2014

Variabel Koefisien Bawah Standar

Koefisien

Standar t Sig.

B Std. Error Beta

Tingkat pendapatan 1.231E-8 .000 .337 1.552 .143(*)

Tingkat pendidikan -9.043E-5 .254 .000 .000 1.000

Tingkat alokasi tenaga -.280 .348 -.207 -.805 .434

Tangkat keterampilan .577 .470 .307 1.226 .241(*)

Tingkat penggunaan tenaga kerja .049 .245 .047 .200 .844 Tingkat jaringan .164 .120 .275 1.364 .194(*) Tingkat norma .252 .444 .217 .568 .579 Tingkat kepercayaan .245 .341 .253 .717 .485 Tingkat tabungan -.152 .281 -.117 -.542 .597 Tingkat hutang 1.550 .557 .596 2.782 .015(*)

Tingkat akses sda -1.606 .952 -.326 -1.687 .114(*)

Tingkat kepentingan sda -.446 .315 -.303 -1.416 .179(*)

Tingkat kualitas sda -.148 .208 -.162 -.713 .487

Tingkat luas lahan 1.699E-6 .000 .014 .054 .957

Modal fisik .254 .136 .388 1.869 .083(*)

(*) Signifikan

Berdasarkan Tabel 9, diketahui tingkat signifikan variabel yang mempengaruhi resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir. Tingkat keterampilan kepala keluarga merupakan komponen dari modal manusia. Tingkat keterampilan kepala keluarga menunjukkan keterampilan yang dimiliki kepala keluarga selain bertani yang mempengaruhi aktivitas nafkahnya. Variabel tingkat keterampilan kepala keluarga signifikan dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani karena di wilayah banjir banyak yang bekerja di sektor non farm. Oleh karena itu, kepala keluarga di wilayah banjir memiliki keterampilan selain bertani seperti menjadi buruh pabrik, buruh panggul, dan berdagang. Hal tersebut disebabkan sektor pertanian di wilayah banjir sangat tidak menguntungkan. Semakin banyak keterampilan yang dimiliki kepala keluarga dalam mencari nafkah maka pendapatan rumahtangga akan meningkat sehingga rumahtangga petani di wilayah banjir dapat mencapai resilien ketika terjadi krisis.

Tingkat kekuatan jaringan merupakan komponen modal sosial. Tingkat kekuatan jaringan dapat dilihat dari jumlah kelompok atau organisasi yang diikuti oleh rumahtangga. Kelompok atau organisasi tersebut dapat membantu rumahtangga petani ketika dalam kondisi krisis. Tingkat kekuatan jaringan signifikan dengan

tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir karena rumahtangga petani di wilayah banjir merupakan anggota kelompok dimana ia bekerja seperti kelompok buruh pabrik, serikat buruh panggul dan sebagainya. Kelompok-kelompok tersebut memberikan bantuan kepada rumahtangga petani dalam melakukan aktivitas nafkahnya dan dalam menghadapi kondisi krisis. Semakin banyak kelompok atau organisasi yang diikuti makan rumahtangga petani di wilayah banjir akan semakin resilien.

Tingkat hutang merupakan bagian dari modal finansial. Hutang merupakan salah satu cara yang digunakan oleh rumahtangga petani di wilayah banjir ketika menghadapi kondisi krisis. Rumahtangga petani yang melakukan strategi hutang dapat dikatakan memiliki jumlah pengeluaran yang lebih tinggi daripada jumlah pendapatan. Tingkat hutang signifikan dengan dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir dan merupakan faktor dengan nilai koefisien terkecil sehingga paling mempengaruhi resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir. Besarnya hutang yang dimiliki dan lama waktu pengembaliannya akan berdampak pada kestabilan keuangan rumahtangga petani di wilayah banjir. Rumahtangga petani yang memiliki hutang dengan jumlah yang besar dan waktu pengembalian yang cukup lama memiliki kerentanan yang tinggi.

Tingkat akses SDA dan tingkat kepentingan SDA merupakan komponen dari modal alam. Tingkat akses SDA dilihat dari jumlah sumber daya alam yang dapat diakses oleh rumahtangga petani. Tingkat akses SDA signifikan dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir karena SDA yang dapat diakses oleh rumahtangga petani hanya sungai dan sawah. Hal tersebut disebabkan bencana banjir merusak SDA sehingga semakin sedikit jumlah SDA yang dapat diakses oleh rumahtangga petani. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa kerentanan rumahtangga petani disebabkan oleh semakin sedikitnya jumlah SDA yang dapat mereka akses.

Tingkat kepentingan SDA merupakan derajat kepentingan SDA terhadap pendapatan rumahtangga petani. Tingkat kepentingan SDA signifikan dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir karena sungai dan sawah di wilayah banjir memiliki tingkat kepentingan yang tinggi bagi pendapatan pertanian rumahtangga petani. Sungai yang dinamakan Kali Goban, merupakan satu-satunya pengairan yang dapat mengairi sawah petani. Namun, ketika musim hujan tiba, Kali Goban akan meluap dan menyebabkan bencana banjir di sawah dan pemukiman warga.

Tingkat pendapatan rumahtangga petani merupakan akumulasi dari pendapatan on farm dan pendapatan off farm rumahtangga petani di wilayah banjir dalam waktu satu tahun. tingkat pendapatan signifikan dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir karena jumlah pendapatan yang lebih besar dari jumlah pengeluaran akan membentuk saving capacity. Saving capacity tersebut akan meningkatkan resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir. Lapisan atas yang memiliki tingkat pendapatan paling tinggi memiliki resiliensi paling tinggi pula.

55

Tingkat kepemilikan aset rumahtangga merupakan komponen dari modal fisik. Tingkat kepemilikan aset rumahtangga di wilayah banjir lebih rendah dibandingkan di wilayah tidak banjir. Tingkat kepemilikan aset rumahtangga di wilayah banjir signifikan dengan tingkat resiliensi karena bencana banjir dapat merusak kepemilikan asset rumahtangga petani. Selain aset rumahtangga, ternak juga merupakan modal fisik yang dapat dijual sewaktu-waktu ketika rumahtangga petani dalam kondisi krisis. Beberapa responden mengatakan bahwa ternak mereka mati karena kehabisan makanan pada saat bencana banjir terjadi. Berdasarkan fakta tersebut, modal fisik yang bernilai rendah dapat meningkatnya kerentanan dan menurunkan resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir.

Selain faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi tersebut, terdapat faktor-faktor yang tidak mempengaruhi tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir. Faktor-faktor tersebut adalah tingkat pendidikan, tingkat penggunaan tenaga kerja, tingkat kepercayaan, tingkat kepatuhan pada norma, tingkat tabungan, tingkat kualitas SDA, dan tingkat luas lahan.

Tingkat pendidikan tidak signifikan terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir karena pendidikan formal yang ditempuh oleh kepala keluarga rumahtangga petani di wilayah banjir bersifat homogen. Sebagian besar pendidikan kepala keluarga rumahtangga petani di wilayah banjir yaitu tidak tamat SD atau hanya tamat SD. Tingkat penggunaan tenaga kerja rumahtangga petani di wilayah banjir sebagian besar adalah tenaga kerja rumahtangga sehingga tidak signifikan terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani.

Tingkat kepercayaan tidak signifikan terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir karena kepercayaan rumahtangga hanya kepada kerabat dan pemerintah desa. Sedangkan, bantuan dari pemerintah yang mereka peroleh pada saat banjir tidak mencukupi dan menutupi krisis yang mereka hadapi. Tingkat kepatuhan pada norma tidak signifikan karena pada kondisi krisis semua tetangga dan kerabat di wilayah banjir juga merasakan hal serupa, sehingga sulit untuk saling menggantungkan atau meminta bantuan. Kondisi ini menyebabkan tingkat kepatuhan pada norma tidak signifikan dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani pada saat bencana banjir terjadi.

Tingkat tabungan tidak signifikan dengan tingkat resiliensi rumahtangga di wilayah banjir karena rumahtangga di wilayah banjir sebagian besar tidak memiliki tabungan berupa uang. Rumahtangga petani lebih memilih investasi seperti perhiasan. Oleh karena itu, tabungan berupa uang tidak mempengaruhi resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir. Tingkat kualitas SDA di wilayah banjir tidak signifikan dengan resiliensi karena SDA di wilayah banjir berupa sawah dan sungai tidak dapat dimanfaatkan oleh rumahtangga petani pada saat kondisi krisis. Tingkat luas lahan tidak signifikan dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir karena luas lahan pertanian tidak peduli luas atau sempit akan tetap terendam dan tidak menghasilkan pada saat bencana banjir terjadi.

Berdasarkan uji analisis regresi di wilayah tidak banjir dengan alpha 20 persen, modal nafkah yang mempengaruhi tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir adalah modal manusia, modal sosial, modal fisik, modal alam, dan tingkat pendapatan. Komponen dari modal nafkah tersebut dipecah sehingga

dihasilkan faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir yaitu tingkat alokasi tenaga kerja, tingkat penggunaan tenaga kerja, tingkat kepatuhan pada norma, tingkat kepemilikan aset rumahtangga, tingkat kualitas SDA, dan tingkat pendapatan. Berikut pemaparan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir.

Tabel 10 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat resiliensi nafkah rumahtangga petani di wilayah tidak banjir, Desa Sukabakti tahun 2013 -2014

Berdasarkan Tabel 10, diketahui tingkat signifikan variabel yang mempengaruhi resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir. Tingkat alokasi tenaga kerja dan tingkat penggunaan tenaga kerja merupakan komponen dari modal manusia. Tingkat alokasi tenaga kerja dilihat dari jumlah anggota keluarga yang bekerja. Tingkat alokasi tenaga kerja signifikan terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir karena sebagian besar rumahtangga hanya mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan mereka. Adanya anggota keluarga lain yang bekerja pada sektor non farm akan meningkatkan resiliensi rumahtangga petani. Oleh karena itu, modal manusia yang rendah menyebabkan rendahnya resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir.

Tingkat penggunaan tenaga kerja merupakan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh rumahtangga petani. Tingkat penggunaan tenaga kerja signifikan terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani karena rumahtangga petani di wilayah

Variabel Koefisien Bawah Standar Koefisien Standar t Sig.

B Std. Error Beta

Tingkat pendapatan 1.128E-8 .000 .374 1.585 .134(*)

Tingkata lokasi tenaga kerja -.298 .229 -.308 -1.302 .213(*)

Tangkat pendidikan -.391 .827 -.103 -.473 .643

Tingkat penggunaan tenaga kerja -.442 .268 -.524 -1.652 .119(*) Tingkat Keterampilan -.307 .368 -.221 -.834 .417 Tingkat jaringan -.018 .118 -.037 -.153 .880 Tingkat norma .651 .391 .409 1.667 .116(*) Tingkat kepercayaan -.039 .368 -.031 -.107 .916 Tingkat tabungan -.020 .235 -.023 -.085 .934 Tingkat hutang -.420 .401 -.280 -1.047 .312

Tingkat akses sda -.032 .994 -.009 -.033 .974

Tingkat kualitas sda -.486 .292 -.357 -1.663 .117(*)

Tingkat luas lahan 9.649E-6 .000 .148 .398 .696

Modal fisik .175 .159 .339 1.104 .287(*)

57

tidak banjir didominasi oleh sektor on farm dan off farm. Petani pemilik lahan yang berasal dari lapisan atas bertindak sebagai “majikan”. Petani yang menggarap sawah majikan disebu sebagai “bujang sawah”. Sistem bagi hasil yang diterapkan yaitu sistem maro. Semakin banyak penggunaan tenaga kerja di wilayah tidak banjir akan semakin meningkatkan resiliensi rumahtangga petani pada saat kondisi krisis.

Tingkat kepatuhan pada norma merupakan komponen dari modal sosial. Tingkat kepatuhan pada norma signifikan terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir karena rumahtangga petani di wilayah tidak banjir memiliki keterbukaan dan keterlekatan yang kuat dengan lingkungan sosialnya. Saudara dan tetangga merupakan modal sosial utama ketika rumahtangga sedang dalam kondisi krisis. Salah satu yang mendukung hal tersebut adalah fakta bahwa mayoritas penduduk merupakan penduduk asli. Kekuatan modal sosial dapat meningkatkan resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir.

Tingkat kepemilikan aset rumahtangga merupakan komponen dari modal fisik. Kepemilikan aset rumahtangga petani di wilayah tidak banjir lebih tinggi daripada rumahtangga petani di wilayah banjir. Tingkat kepemilikan asset rumahtangga di wilayah tidak banjir signifikan terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani karena bencana banjir tidak merusak atau menghancurkan modal fisik tersebut. Ternak merupakan salah satu aset utama rumahtangga petani di wilayah tidak banjir. Ternak dan hasil ternak seperti telur dapat dijual sewaktu-waktu ketika rumahtangga membutuhkan uang dalam kondisi krisis. Kepemilikan ternak tersebut meningkatkan resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir.

Secara keseluruhan modal alam berpengaruh secara linier terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir. Tingkat kualitas SDA merupakan komponen dari modal alam yang paling berpengaruh terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir. Kualitas SDA dalam penelitian ini merupakan kualitas air sungai yang mengairi lahan pertanian warga. Penyebab utama kerentanan rumahtangga petani di wilayah tidak banjir merupakan serangan hama pengganggu tanaman sehingga mengakibatkan gagal panen selama satu tahun berturut-turut. Petani sangat yakin bahwa hama pengganggu lahan pertanian mereka dapat tumbuh subur dan tidak terkendali akibat sungai yang mengairi lahan pertanian mereka tercemar limbah pabrik. Sungai yang bernama Kali Bancong tersebut mengalir dari daerah industri Cikarang, Kabupaten Bekasi menuju Desa-Desa di Kecamatan Tambelang. Resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir menjadi rendah karena tingkat kualitas SDA rendah.

Tingkat pendapatan rumahtangga petani di wilayah tidak banjir lebih rendah daripada rumahtangga petani di wilayah banjir. Rumahtangga petani di wilayah banjir masih sangat bergantung pada sektor pertanian. Tingkat pendapatan signifikan terhadap tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir karena sektor pertanian yang sangat rentan karena serangan hama akan mempengaruhi pendapatan yang diterima rumahtangga petani. Produktivitas pertanian menurun sehingga pendapatan petani menurun. Hal tersebut dapat meningkatkan kerentanan dan menurunkan resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir.

Selain faktor-faktor yang signifikan di atas, faktor-faktor yang tidak mempengaruhi resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir adalah tingkat

pendidikan, tingkat kekuatan jaringan, tingkat keterampilan, tingkat kepercayaan, tingkat tabungan, tingkat hutang, tingkat akses SDA, dan tingkat luas lahan.

Tingkat pendidikan rumahtangga petani di wilayah tidak banjir tidak signifikan dengan tingkat resiliensi karena pendidikan formal yang ditempuh oleh kepala keluarga rumahtangga petani di wilayah tidak banjir bersifat homogen. Sebagian besar pendidikan kepala keluarga rumahtangga petani di wilayah tidak banjir yaitu tidak tamat SD atau hanya tamat SD.

Tingkat keterampilan kepala keluarga di wilayah tidak banjir tidak signifikan dengan tingkat resiliensi karena kepala keluarga di wilayah tidak banjir sebagian besar hanya memiliki keterampilan bertani. Kepala keluarga rumahtangga petani di wilayah tidak banjir hanya sedikit yang memiliki keterampilan lain selain bertani dan sudah beralih ke sektor non farm. Tingkat kekuatan jaringan tidak signifikan dengan tingkat resiliensi rumahtangga petani di wilayah banjir karena lemahnya jaringan yang dimiliki oleh rumahtangga petani. Sebagian besar rumahtangga hanya bertani dan terdaftar sebagai anggota kelompok tani saja. Tingkat kepercayaan rumahtangga di wilayah tidak banjir tidak signifikan dengan tingkat resiliensi karena kepercayaan yang dimiliki rumahtangga petani kepada pemerintah desa tidak diimbangi dengan bantuan memadai pada saat gagal panen.

Tingkat tabungan tidak signifikan dengan tingkat resiliensi rumahtangga di wilayah tidak banjir karena rumahtangga di wilayah tidak banjir sebagian besar tidak memiliki tabungan berupa uang. Rumahtangga petani lebih memilih investasi seperti perhiasan dan ternak. Oleh karena itu, tabungan berupa uang tidak mempengaruhi resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir. Tingkat hutang tidak signifikan dengan resiliensi rumahtangga petani di wilayah tidak banjir karena rumahtangga petani masih bisa menjaga kestabilan hutang mereka lewat asset fisik seperti perhiasan dan ternak yang dapat dijual sewaktu-waktu. Tingkat akses SDA rumahtangga petani di wilayah tidak banjir tidak signifikan terhadap resiliensi karena SDA yang dapat diakses seperti kebun hanya dimiliki oleh petani pemilik lahan. Tingkat luas lahan juga tidak signifikan dengan resiliensi rumahtangga petai karena serangan hama yang menyebar ke seluruh lahan pertanian warga membuat produktivitas pertanian menurun drastis.

Resiliensi Rumahtangga Petani di Wilayah Banjir

Rumahtangga petani di wilayah banjir memiliki tingkat resiliensi sedang. Sebanyak 16 rumahtangga petani memiliki tingkat resiliensi sedang, namun 14 sisanya memiliki tingkat resiliensi rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada rumahtangga petani di wilayah banjir yang memiliki tingkat resiliensi tinggi. Berdasarkan data di lapang, semua rumahtangga petani dari berbagai lapisan di wilayah banjir merasakan dampak dari bencana banjir tersebut. Walaupun krisis yang dihadapi berbeda-beda. Berikut pemaparan hubungan tingkat resiliensi dengan tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, dan tingkat modal nafkah rumahtangga petani di wilayah banjir.

59

Pengaruh Pendapatan terhadap Resiliensi Rumahtangga Petani di Wilayah Banjir

Pendapatan dari sektor pertanian merupakan suatu hal yang tidak pasti. Pendapatan dari sektor pertanian berbeda dengan pendapatan seorang buruh pabrik atau seorang pedagang yang bisa mendapat penghasilan setiap hari atau setiap bulan. Pendapatan yang berasal dari pertanian hanya pada saat musim panen padi atau umumnya setiap 3 bulan sekali. Komponen resiliensi dalam penelitian ini adalah waktu recovery saat terjadi krisis dan jumlah cara penyesuaian yang digunakan oleh rumahtangga petani saat terjadi krisis. Waktu recovery saat krisis dapat dilihat ketika rumahtangga petani dapat mengembalikan uang pinjaman atau hutang. Pendapatan yang tidak pasti karena harus menunggu pada saat panen dapat mempengaruhi kapasitas rumahtangga petani dalam hal finansial salah satunya untuk mengembalikan pinjaman atau hutang. Berikut pemaparan hubungan tingkat resiliensi rumahtangga petani dengan tingkat pendapatan di wilayah banjir.

Tabel 11 Jumlah dan presentase responden menurut tingkat resiliensi dan tingkat pendapatan rumahtangga petani wilayah banjir di Desa Sukabakti tahun 2013 - 2014

No Tingkat Resiliensi

Tingkat Pendapatan

Bawah Menengah Atas

n % n % n %

1 Rendah 6 67 5 45 5 50

2 Sedang 3 33 6 55 5 50

3 Tinggi 0 0 0 0 0 0

Total 9 100 11 100 10 100

Berdasarkan tabel 11, diketahui hubungan antara tingkat resiliensi dengan tingkat pendapatan rumahtangga petani di wilayah banjir. Tingkat resiliensi petani wilayah banjir tidak ada yang bernilai tinggi. Sebanyak 16 rumahtangga memiliki tingkat resiliensi rendah dan 14 rumahtangga memiliki tingkat resiliensi sedang. Ketika dihubungkan dengan tingkat pendapatan sebanyak 67 persen rumahtangga petani lapisan bawah memiliki tingkat resiliensi rendah. Rumahtangga petani tersebut merupakan petani gurem dengan lahan pertanian sempit yang sangat rentan ketika terjadi krisis seperti banjir dan serangan hama. Berdasarkan data di lapang, diketahui bahwa rumahtangga petani lapisan bawah dengan tingkat pendapatan rendah memiliki tingkat resiliensi yang rendah. Kemudian, sebanyak 33 persen rumahtangga petani lapisan bawah yang memiliki tingkat resiliensi sedang. Rumahtangga petani tersebut dalam keadaan cukup rentan ketika terjadi krisis seperti banjir dan serangan hama.

Rumahtangga petani lapisan menengah dengan tingkat resiliensi rendah berjumlah lima rumahtangga atau 45 persen dari total rumahtangga petani lapisan menengah. Petani lapisan menengah tersebut masih mengandalkan sektor off farm

yaitu bekerja sebagai buruh tani. Ketika pertanian tidak menghasilkan karena bencana banjir dan serangan hama, rumahtangga petani tersebut menjadi sangat rentan. Kemudian sebanyak enam rumahtangga atau 55 persen dari total rumahtangga petani lapisan menengah memiliki tingkat resiliensi sedang. Rumahtangga petani tersebut sudah beralih ke sektor non farm sebagai sumber utama pendapatan mereka. Petani tersebut bekerja sebagai pedagang keliling dan menjadi buruh panggul di pasar. Namun, ketika banjir terjadi, rumahtangga petani tersebut menjadi cukup rentan karena aktivitas nafkah tersebut tidak dapat dilakukan.

Jumlah rumahtangga petani lapisan atas dengan tingkat resiliensi rendah sama dengan jumlah rumahtangga petani lapisan atas dengan tingkat resiliensi sedang yaitu berjumlah lima rumahtangga atau masing-masing memiliki presentase 50 persen dari total rumahtangga petani lapisan atas. Petani lapisan atas di wilayah banjir sebagian besar melakukan pola nafkah ganda. Pendapatan petani lebih besar pada sektor non farm seperti menjadi pedagang. Ketika bencana banjir terjadi, petani lapisan atas masih memiliki sumber nafkah lain yaitu dari sektor non farm. Namun, tingkat pendapatan tinggi yang dimiliki oleh rumahtangga petani lapisan atas tidak menjamin bahwa tingkat resiliensi rumahtangga petani tersebut juga tinggi. Berdasarkan data di lapang, rumahtangga petani lapisan atas juga mengalami kerugian yang cukup besar karena bencana banjir dan serangan hama yang mengakibatkan gagal panen. Banjir merupakan bencana tahunan yang selalu terjadi pada saat musim hujan. Rumahtangga petani lapisan atas di wilayah banjir tidak bisa berbuat apa-apa ketika banjir terjadi dan merendam sawah mereka. Aktivitas nafkah dan pendapatan dari sektor non farm

Dokumen terkait