• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Imun terhadap Tumor

Dalam dokumen Immunotherapy pada Multiple Myeloma. (Halaman 24-40)

2.4 Respon Imun terhadap Tumor

Seperti yang telah disebutkan di atas, antigen tumor dapat menimbulkan respon imun, baik humoral maupun selular. Pada imunitas humoral, sel tumor dapat dihancurkan secara langsung, dengan bantuan komplemen maupun melalui sel efektor ADCC. Cara yang terakhir dilakukan dengan menggunakan Fc receptor-bearing macrophage atau sel NK sebagai mediator dalam menghancurkan tumor. Kemampuan antibodi untuk mengeliminasi sel tumor sebagian besar dilakukan in vitro dan hanya terdapat sedikit bukti bagi sistem imun humoral dalam melawan tumor (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b).

Sedangkan pada imunitas seluler, sel T memegang peranan penting dalam melindungi sel. Sekarang ini, immunotherapy lebih banyak dibuat berdasarkan respon sel T. Mekanisme utama pada sistem ini adalah penghancuran sel tumor oleh CD8+ atau CTLs. Sel CD8+ yang berespons spesifik terhadap antigen tumor memerlukan cross-presentation antigen tumor oleh APC, seperti sel dendritik. Sementara peran sel Th CD4+ masih belum jelas. Sel ini mungkin berperan sebagai anti-tumor immune repons dengan menyediakan cytokines bagi perkembangan CTL yang efektif. Sel Th yang spesifik terhadap antigen tumor dapat mensekresikan cytokines (TNF dan IFN- ). Hasil sekresi tersebut kemudian akan meningkatkan tumor cell MHC-I expression dan sensitivitas sel tumor untuk

18

dilisiskan oleh CTLs. Makrofag juga diaktifkan oleh IFN- untuk membunuh sel tumor (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b).

Umumnya tumor tumbuh ketika sistem imun sedang lemah (Male et al, 2006). Berarti pada tumor terdapat mekanisme untuk menghindarkan diri dari imunitas spesifik dan non spesifik. Mekanisme-mekanisme tersebut antara lain: sel tumor tidak mempunyai sel B7 (CD 80) dan CD 86 yang berfungsi sebagai kostimulator, tidak mengekspresikan MHC-I, memacu apoptosis sel Tc, menghasilkan sitokin (TGF- ) yang bersifat imunosupresif dan musin yang menyamarkan antigen serta kehilangan ekspresi antigen yang memicu respons imun (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b; Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Gambar 2.9 Mekanisme tumor menghindari sistem imun (Nairn and Helbert, 2007)

19

2.5 Immunotherapy

Immunotherapy adalah pengobatan dengan menginduksi, mempertinggi atau mensupresi respons imun (Abbas and Licthman, 2006). Terapi tersebut dapat diklasifikasikan menjadi active dan suppressive immunotherapies. Klasifikasi pertama bertujuan mendatangkan atau memperkuat respon imun. Sedangkan yang kedua bertujuan mereduksi, mensupresi secara langsung terhadap respons imun, seperti misalnya pada kasus autoimun atau alergi (Masihi, 2001).

Zat aktif immunotherapy disebut dengan immunomodulators. Beberapa agen yang termasuk dalam immunomodulators adalah cytokines, granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF), interferons, imiquimod, fraksi membran selular dari mikroorganisme bakterial, IL-12, bermacam-macam chemokine, synthetic cytosine phosphate-guanosine (CpG), oligodeoxynucleotides dan glucans. Keuntungan cara ini antara lain: efek samping yang dihasilkan lebih sedikit, sedikit menyebabkan resistensi pada bakteri (Masihi, 2001).

Berikut termasuk dalam Immunotherapy, yaitu: antibodi monoklonal, manipulasi signal kostimulator untuk meningkatkan imunitas, imunotoksin, sitokin, peningkatan aktivitas APC, vaksinasi dengan sel dendritik, immunotherapy aktif dan imunisasi dengan antigen virus serta ACT (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Penggunaan antibodi monoklonal (mAb) termasuk pasif immunotherapy. Salah satu mAb yang banyak digunakan dalam onkologi adalah anti-CD 20. Proses ini terjadi melalui apoptosis atau aktivasi komplemen, ADCC atau fagositosis. Anti-CD20 ini juga telah dikonjugasikan dengan bahan radioaktif

20

langsung ke tempat tumor. Namun anti ini juga merusak sel-sel yang normal. Bila dilabel dengan bahan radioaktif dapat pula digunakan untuk mengetahui luas metastasis limfoma dalam tubuh (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Tabel 2.5 Antibodi monoklonal yang digunakan untuk pengobatan tumor (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Hanya sedikit sel-sel myeloma yang mengekspresikan CD20 (rituximab). Sedangkan terapi antibodi lain yang potensial terhadap MM adalah alemtuzumab (CamPath-1H). Antibodi tersebut melawan protein permukaan sel CD52 yang umumnya diekspresikan pada limfosit T dan B. Alemtuzumab mengakibatkan lisis sel dan menghambat pertumbuhan sel-sel primer dan ganas melalui berbagai mekanisme termasuk fiksasi complement dan antibody dependent cell mediated cytotoxicity. Akhir-akhir ini, telah diketahui bahwa CD52 diekspresikan pada sel MM dengan kadar yang bervariasi. Ikatan silang antara reseptor CD52 dengan alemtuzumab dapat menginduksi hambatan pertumbuhan dan efek apoptosis sel-sel myeloma secara langsung (Gasparetto, 2004).

Monoklonal immunoglobulin (M-protein) yang disekresikan oleh sel myeloma memiliki antigenic determinant yang khas. Antigen ini dapat

21

dipresentasikan pada sel-sel dendritik sehingga dapat menginduksi respons imun spesifik pada penderita multiple myeloma. Namun, perlu dipertimbangkan pemilihan penderita yang memiliki respons imun cukup untuk melawan antigen. Dapat pula dikombinasi dengan immunotherapy yang lain, seperti: G-CSF atau vaksin keyhole limpet haemocyanin (KLH) (Yi et al, 2002).

Signal kostimulator dapat meningkatkan imunitas tumor sehingga prekursor CTL (CTL-Ps) dapat diaktifkan. Bila signal kostimulator tidak ada, maka CTL-Ps tidak akan berproliferasi menjadi sel efektor CTL. Adanya gen yang menyandi ligand B7 menyebabkan CTL-Ps berdiferensiasi menjadi CTL efektor (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Peinert dan kawan-kawan telah mengembangkan suatu vektor retrovirus yang dapat mengkode reseptor sel chimeric T. Reseptor tersebut akan mengenali antigen LeY dalam MHC-independent manner dan mengirimkan costimulatory signal untuk mengaktivasi sel T (Peinert et al, 2010). Reseptor ini terdiri dari rantai tunggal antibodi anti-Le(Y) yang dihubungkan dengan daerah cytoplasmic signaling yang dibentuk oleh CD28 dan CD3-zeta (Westwood et al, 2005). Telah diketahui adanya transduksi sel T yang berasal dari darah perifer yang menghasilkan sekresi antigen-restricted interferon-γ dan lisis sel tumor yang mengekspresikan antigen LeY serta tidak melisiskan sel yang normal(Westwood et al, 2005; Peinert et al, 2010). Secara in vivo, aktivitas gene modified T cells terlihat memperlambat pertumbuhan xenografts myeloma pada tikus myeloma. Akibatnya akan memperpanjang usia penderita. Karena itu, leY antigen pada

sel-22

sel kanker dapat menjadi sasaran efektif bagi sel T yang mengekspresikan reseptor chimeric baik secara in vitro maupun in vivo pada tikus (Peinert et al, 2010).

Pada imunotoksin, mAb yang digunakan bersama-sama toksin terhadap TAA akan dapat mencegah proses selular. Sementara bila bersama dengan radioisotop akan membantu membunuh DNA dan melepas partikel dengan energi yang tinggi. Cara tersebut kurang berhasil karena memerlukan dosis yang tinggi dan toksik bagi sumsum tulang (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Respon imun terhadap tumor dapat ditingkatkan oleh sitokin. Jenis-jenis sitokin yang dapat digunakan sebagai tumor ialah: IFN-α, IFN- , IFN- , IL-2, IL-4, IL-6, IL-12, GM-CSF dan TNF. Walaupun demikian, terapi dengan cara ini jarang dilakukan karena sangat sulit untuk mengetahui letak intervensinya dengan tepat (Baratawijaya dan Rengganis, 2009). Pada MM, interferon dapat memperpanjang harapan hidup penderita.

Aktivitas APC yang meningkat akan memodulasi imunitas tumor. Sel dendritik tikus yang dibiakkan dengan GM-CSF dan fragmen tumor dapat mengaktifkan sel Th dan CTL spesifik untuk antigen tumor. Beberapa ajuvan meningkatkan aktivasi makrofag, molekul MHC II dan kostimulator B7 serta ekspresi berbagai sitokin. Makrofag yang aktif merupakan aktivator Th. Akibatnya respon imun baik selular maupun humoral meningkat (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Sel dendritik akan mengaktifkan cytotoxic melawan antigen. Sel-sel dendritik merupakan salah satu tipe antigen presenting cell, yang diambil dari penderita. Sel-sel tersebut ditambahkan antigen atau ditransfeksikan dengan viral vector. Sel

23

yang telah aktif (memiliki respons anti tumor spesifik) kemudian dikembalikan ke tubuh pasien. Dalam tubuh penderita, sel ini akan mempresentasikan antigen pada effector lymphocytes (CD4+ T cells, CD8+ T cells, dan sel-sel dendritik yang khusus serta sel B). Hal ini akan menginisiasi repons cytotoxic melawan antigen dan apa pun yang mempresentasikan antigen ini sehingga dapat digunakan dalam immunotherapy kanker. Antigen tumor yang dipresentasikan pada sel-sel dendritik merupakan target sistem imun (Overes, 2009). Vaksin sel dendritik ini telah digunakan pada penderita MM dengan menggunakan Id sebagai antigen sasaran (Gasparetto, 2004)

Gambar 2.10 Vaksin dari sel dendritik yang diberi antigen tumor (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b)

Beberapa sel dendritik (SD) imatur dapat menginduksi respons antitumor CTL dengan lebih baik karena memfagositosis antigen lebih efektif. Sel dendritik ditransfeksi dengan RNA tumor dapat menginduksi ekspansi sel T tumor spesifik. Cara lain adalah dengan menggunakan monosit CD4+ yang menghasilkan SD atas pengaruh GM-CSF dan IL-4 (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

24

Telah dikembangkan teknologi yang melibatkan transfeksi DC dengan tumor yang berasal dari RNA. Transfeksi ini mampu menimbulkan aktivitas anti tumor yang sesuai. Telah ditemukan bahwa DC yang aktif dapat menimbulkan CTLS in vitro ketika diinfus dengan MM RNA (Gasparetto, 2004). CTLs tersebut mengandung sel T CD4+ dan CD8+ (Wen, 2002). Cytotoxicity terhadap sel target adalah MHC 1 dan sedikit MHC 2 serta tergantung terutama pada perforin-mediated pathway. CTLs terutama mensekresi IF- dan TNF α pada stimulasi antigenik yang mengindikasikan sel T subset tipe 1. Telah ditemukan bahwa tumor cell lysate-primed CTLs hanya membunuh sel myeloma, bukan autologous lymphocytes. Penemuan ini memberikan dasar immunotherapy MM yang rasional (Wen, 2002).

Gambar 2.11 Vaksin dari sel dendritik yang telah ditransfeksi DNA (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b)

25

Antigen tumor yang dipresentasikan pada sel T tanpa dibantu oleh molekul kostimulator akan mengakibatkan terjadinya anergi. Untuk mencegah anergi sel T digunakan immunotherapy aktif, yaitu dengan menginfuskan sitokin. Sel T dan NK akan diaktifkan langsung oleh IL-2, namun IL-2 mempunyai efek samping yang berat, misalnya: kebocoran kapiler, edem dan hipotensi. Selain itu, dapat pula diberikan IFN sistemik karena memiliki efek anti-proliferasi dan meningkatkan ekspresi MHC-1. Peningkatan ekspresi ini terutama oleh IFN-α maupun IFN- (Baratawijaya dan Rengganis, β009).

Terapi juga dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi antigen virus. Hal tersebut didasarkan karena beberapa jenis tumor disebabkan pula oleh virus onkogenik. Vaksinasi sudah dapat dilakukan pada Burkitt lymphoma dan kanker cervix. Vaksinasi tersebut bertujuan untuk memacu sel Tc efektor sehingga dapat mencegah terjadinya kanker (Baratawijaya dan Rengganis, 2009).

Gambar 2.12 Immunotherapy dengan costimulator (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b)

26

Gambar 2.13 Vaksinasi dengan sel tumor yang mengekspresikan GM-CSF (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b)

Baik antibodi maupun sel T mampu mengendalikan pertumbuhan sel myeloma melalui pengenalan spesifik idiotypic portion (Id) myeloma-specific immunoglobulin protein (MM-Ig). Vaksinasi dengan Id conjugates dapat memicu respons Id-specific humoral dan sel T pada beberapa penderita bahkan setelah terapi dengan dosis tinggi dan transplantasi autologous (Gasparetto, 2004).

Protein Id yang disekresi sel plasma myeloma, spesifik untuk tumor tapi merupakan antigen yang lemah. Immunotherapy berdasarkan Id pada penderita myeloma menunjukkan hasil yang mengecewakan (Gasparetto, 2004).

Berbagai TAA yang telah diidentifikasi dalam sel myeloma dapat menjadi target yang selektif bagi sistem imun (Houet and Veelken, 2006; Rosenblatt and Avigan, 2008). Keuntungan cara ini adalah dapat mempresentasikan antigen yang spesifik dan potensial terhadap sel efektor. Disfungsi sel efektor dan peningkatan jumlah sel T regulatory membatasi efek immunotherapy. Strategi untuk meningkatkan immunotherapy pada penyakit ini mencakup: mengurangi jumlah sel T regulatory, mengkombinasikan immunotherapy aktif dan pasif, penggunaan cytokine adjuvants, serta pemakaian immunotherapy bersamaan dengan transplantasi autologous dan allogeneic (Rosenblatt and Avigan, 2008).

27

Imunisasi stem cell donor dengan antigen myeloma dapat meningkatkan efek dan hasil allogeneic stem cell transplantation. Immunotherapy aktif sedang diteliti untuk digunakan sebagai pilihan pengobatan multiple myeloma. Imunisasi terhadap clonal immunoglobulin myeloma memicu sistem imun pada tikus (Houet and Veelken, 2006).

Obat-obat imunomodulator (IMiDS), yaitu analog thalidomide memiliki sifat pleiotropik anti myeloma, antara lain efek immune modulation, anti-angiogenic, anti inflamasi, dan anti proliferasi. Berdasarkan data in vitro, terlihat bahwa efek anti proliferasi dan downregulation cytokine adalah anti MM yang paling penting. Dosis thalidomide yang rendah telah dapat menimbulkan efek tersebut (Gasparetto, 2004). Walaupun dikatakan bahwa efek costimulatory obat terhadap sel T dan NK itu sangat unik dan penting dalam menciptakan aktivitas imun anti MM namun belum dibuktikan secara in vivo (Quach H et al, 2010). Sayangnya, thalidomide sering meimbulkan efek samping seperti: neuropati perifer, thromboembolic, sedasi, konstipasi, kelainan congenital, neutropenia, hipotiroidisme, kemerahan dan bradikardi (Gasparetto, 2004).

Beberapa analog thalidomide, antara lain: lenalidomide dan actimid (juga dikenal sebagai C-4047), memiliki efek anti tumor yang sinergistik dengan rituximab pada human lymphoma yang berat dengan imunodefisiensi. Pada tikus dengan subcutaneous lymphoma yang diberikan ImiDS, terjadi peningkatan sel NK pada lokasi tumor. Peningkatan ini dimediasi melalui stimulasi sel dendritik dan modifikasi lingkungan mikro cytokine yang berhubungan dengan peningkatan

28

monocyte chemotactic protein-1, TNF-α dan IF- serta mungkin memperbanyak rituximab-associated antibody-dependent cellular cytotoxicity (Reddy et al, 2008).

Bortezomid (velcade, juga dikenal sebagai PS-341 dan MLN341) adalah inhibitor proteasome yang reversibel. Seperti yang telah diketahui, proteasome merupakan suatu kompleks protein besar yang mendegradasi ubiquinated protein. Disregulasi degradasi protein memiliki efek yang besar terhadap pertumbuhan tumor dan mengakibatkan apoptosis sel. Bortezomid bersifat cytotoxic terhadap sel kanker secara in vitro sedangkan secara in vivo, menyebabkan pertumbuhan tumor melambat pada hewan coba dengan MM. Pada beberapa penelitian, respons penderita bervariasi antara 30-50% (Gasparetto, 2004).

Sementara Adoptive Cell Therapy (ACT) menggunakan T cell-based cytotoxic untuk melawan kanker. Sel T yang telah memiliki reaktivitas alami pada sel kanker dibuat lebih efektif secara in vitro dan kemudian ditransfer ke dalam tubuh penderita. Misalnya, sel T yang secara alami memiliki reaktivitas pada penderita kanker, ditemukan menginfiltrasi tumor. Tumor-infiltrating lymphocytes (TIL) dapat dibuat lebih efektif secara invitro menggunakan konsentrasi IL-2 yang tinggi, anti-CD3 dan allo-reactive feeders. Sel tersebut dapat ditransfer kembali ke tubuh penderita dengan pemberian IL-2 untuk memperkuat aktivitasnya. Beberapa tumor mengecil sampai tidak terdeteksi (Khattar, Chen, Stepkowski, 2009; Motohashi and Nakayama, 2009).

Kurang lebih 6-12 bulan sejak sel-sel ditransfers in vivo dan menetap dalam darah perifer penderita, kadang-kadang mencapai kadar 75% dari semua sel T CD8+ (Dudley et al, 2002).

29

Gambar 2.14 Immunotherapy dengan Adoptive Cell Therapy (Abbas, Lichtman and Pillai, 2007b)

30 SIMPULAN

Pertumbuhan sel diatur oleh protoonkogen (growth promoting oncogenes) dan tumor suppressor gene. Aktivitas protoonkogen yang berlebihan ataupun mutasi suppressor gene akan mengakibatkan sel bertransformasi menjadi ganas.

Kanker mengekspresikan antigen imunogenik yang dapat dikenali oleh sistem imun sehingga dapat dihancurkan secara spesifik. Antigen tumor dapat dibagi menjadi: tumor specific antigen (TSA) dan tumor associated antigen (TAA).

Multiple myeloma merupakan proliferasi abnormal sel plasma ganas yang menghasilkan monoclonal immunoglobulin dan menginvasi serta menghancurkan jaringan tulang sekitar.

Kondisi ini diduga akibat radiasi, infeksi virus, stimulasi antigen berulang kali, dan genetik. Gejala klinik tergantung dari ada tidaknya organ yang menunjukkan kelainan sekunder, misalnya kelainan faal ginjal, saraf, jantung, gangguan hemostasis dan lain-lain.

Untuk mendiagnosis penyakit ini, perlu dilakukan pemeriksaan: darah lengkap (CBC) dengan platelets, pengecatan darah perifer, ESR, BUN, kreatinin, kalsium, asam urat dan laktat dehidrogenase (LDH), elektroforesis protein serum dan urin, x-rays (skeletal survey), pemeriksaan sumsum tulang.

Hasil analisis dari 81 sampel sumsum tulang, menunjukkan adanya ekspresi sedang antigen LeY pada sel plasma penderita myeloma sebanyak 52% kasus. Dalam keadaan normal, sel T tidak dapat mengenali antigen ini.

31

Prognosis penyakit ini sangat ditentukan oleh tingkat penyakit dan kadar 2-microglobulin serum sangat menentukan prognosis penderita.

Pengobatan untuk penyakit tersebut, yaitu dengan: terapi spesifik, suportif dan dengan imunomodulator (seperti interferon). Keberhasilan kedua terapi yang pertama kurang memuaskan karena itu sekarang sedang dikembangkan cara ketiga, yaitu terapi dengan mempergunakan sistem imun (immunotherapy).

Antigen tumor dapat menimbulkan respon imun, baik humoral maupun selular. Pada respon pertama, sel tumor dapat dihancurkan secara langsung, dengan bantuan komplemen maupun melalui sel efektor ADCC. Sedangkan pada imunitas seluler, sel T memegang peranan penting. Sekarang ini, immunotherapy lebih banyak dibuat berdasarkan respon sel T. Mekanisme utama sistem ini adalah penghancuran sel tumor oleh CD8+ atau CTLs.

Umumnya pertumbuhan tumor terjadi ketika sistem imun sedang lemah karena adanya mekanisme tumor untuk menghindarkan diri dari sistem imun.

Immunotherapy adalah pengobatan dengan menginduksi, mempertinggi atau mensupresi respons imun yang diklasifikasikan menjadi active dan suppressive immunotherapies (immunotherapy pasif). Keuntungan pengobatan cara ini antara lain: efek samping yang dihasilkan lebih sedikit, sedikit menyebabkan resistensi pada bakteri

Hal-hal berikut termasuk dalam Immunotherapy: antibodi monoklonal, manipulasi signal kostimulator untuk meningkatkan imunitas, imunotoksin, sitokin, peningkatan aktivitas APC, vaksinasi dengan sel dendritik, immunotherapy aktif dan imunisasi dengan antigen virus serta ACT.

32

Pada MM, yang menjadi pilihan terapi antara lain: alemtuzumab (CamPath-1H), reseptor sel chimeric T yang akan mengenali antigen LeY dan mengaktivasi sel T, interferon, vaksin dengan sel dendritik baik matur maupun imatur, imunisasi stem cell donor dengan antigen myeloma, obat-obat immunomodulator. Immunotherapy aktif sedang diteliti untuk digunakan sebagai pilihan pengobatan multiple myeloma.

33

Dalam dokumen Immunotherapy pada Multiple Myeloma. (Halaman 24-40)

Dokumen terkait