• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan selama penelitian, peneliti melihat ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Saran ini diharapkan dapat menjadi masukan postif demi kebaikan bersama. Adapun saran tersebut adalah sebagai berikut :

a. Program pemberdayaan masyarakat sangat membantu masyarakat lapisan menengah kebawah, oleh sebab itu maka kegiatan seperti ini harus terus dilakukan dan disebarluaskan ke daerah lainnya agar semakin banyak masyarakat yang terbantu dari pengelolaan serta pemanfaatan potensi alam lokal yang terhampar luas namun sering diabaikan begitu saja.

b. Dalam melakukan kegiatan pemberdayaan sangat diperlukan adanya pendekatan kepada masyarakat sasaran sebagai langkah awal agar masyarakat tersebut dapat menerima dan menudukung jalannya program.

c. Suatu program dapat berhasil jika dijalankan dengan komitmen yang kuat baik oleh pelaksana program maupun masyarakat sasaran, jadi seyogiaya kedua belah pihak harus saling mendukung.

d. Pihak-pihak terkait seperti pemerintah desa juga harus terus mendukung kegiatan ini agar keberlanjutan program dapat benar-benar menciptakan kemandirian kelompok binaan dan mampu mengatasi permasalahan perekonomian masyarakat setempat.

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat

Pembangunan pada hakikatnya merupakan suatu rangkaian upaya yang dilakukan secara terus menerus untuk mendorong terjadinya perubahan yang positif bagi kualitas kehidupan masyarakat. Tjokroamidjojo (1993) mendefinisikan pembangunan adalah upaya suatu masyarakat bangsa yang merupakan suatu perubahan sosial yang besar dalam berbagai bidang kehidupan ke arah masyarakat yang lebih maju dan baik, sesuai dengan pandangan masyarakat bangsa itu. Selain itu Todaro dalam Bryant dan White (1982) juga mengemukakan bahwa pembangunan adalah proses multidemensi yang mencakup perubahan-perubahan penting dalam struktur sosial, sikap-sikap rakyat dan lembaga-lembaga nasional dan juga akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan kesenjangan dan pemberantasan kemiskinan absolut. Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat dikatakan bahwa pembangunan merupakan proses perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan secara sengaja atas suatu masyarakat atau sistem sosial yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sehingga terciptanya suatu keadaan atau dinamika yang lebih baik.

Peran serta masyarakat dalam pembangunan sangat diperlukan karena masyarakat merupakan objek sekaligus subjek pembangunan. Inkeles dan Smith dalam So-Suwarsono (1991) juga mengkaji tentang pentingnya faktor manusia sebagai komponen penting dalam penopang pembangunan. Menurut mereka pembangunan bukan sekedar masalah pemasokan modal dan teknologi saja, tetapi di butuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana material tersebut supaya menjadi produktif. Untuk itu, dibutuhkan apa yang disebut oleh inkeles sebagai manusia modern. kedua tokoh itu mencoba memberikan ciri-ciri dari manusia yang

dimaksud, yang antara lain meliputi keterbukaan terhadap terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi pada masa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan merencanakan, serta percaya bahwa manusia bisa menguasai alam.

Terkait dengan pentingnya peran masyarakat dalam proses pembangunan tersebut maka berkembanglah konsep pembangunan dengan pendekatan yang bersifat bottom up yang senantiasa mengedepankan partisipasi masyarakat dalam pembangunan melalui proses-proses pemberdayaan masyarakat. Dalam Permendagri no 7 tahun 2007 disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan suatu strategi yang digunakan dalam pembangunan masyarakat untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara etimologi pemberdayaan berasal dari kata berdaya yang berarti kekuatan, berkemampuan, bertenaga (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1998:189). Suharto (2005) memberi definisi mengenai pemberdayaan yaitu pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai kemampuan dan pengetahuan dalam memenuhi kebutuahan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial.

Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996), manusia adalah subyek dari dirinya sendiri, proses pemberdayaan menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat

yang tertinggal. Oleh sebab itu dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan adanya kepedulian yang diwujudkan dalam kemitraan dan kebersamaan antara pihak yang sudah maju dengan pihak yang belum berkembang yang merupakan kelompok atau lapisan masyarakat yang masih tertinggal.

Rubin dalam Sumaryadi (2005: 94-96) mengemukakan beberapa prinsip dasar dari konsep pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:

1. Pemberdayaan masyarakat selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan yang dilakukan.

2. Dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat, kegiatan pelatihan merupakan unsur yang tidak bisa dipisahkan dari usaha pembangunan fisik.

3. Dalam implementasinya, usaha pemberdayaan harus dapat memaksimalkan sumber daya, khususnya dalam hal pembiayaan baik yang berasal dari pemerintah, swasta maupun sumber-sumber lainnya.

4. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus dapat berfungsi sebagai penghubung antara kepentingan pemerintah yang bersifat makro dengan kepentingan masyarakat yang bersifat mikro.

Selain hal tersebut diatas, Sumaryadi (2005) juga menjelaskan beberapa factor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam suatu komunitas masyarakat diantaranya sebagai berikut:

1. Kesediaan suatu komunitas untuk menerima pemberdayaan bergantung pada situasi yang dihadapinya.

2. Adanya batas pemberdayaan, terutama terkait dengan siklus pemberdayaan yang membutuhkan waktu relatif lama dimana pada sisi yang lain kemampuan dan motivasi setiap orang berbeda-beda.

3. Adanya kepercayaan dari para pemimpin komunitas untuk mengembangkan pemberdayaan dan mengubah persepsi mereka tentang anggota komunitasnya.

4. Pemberdayaan membutuhkan dukungan sumber daya yang besar, baik dari segi pembiayaan maupun waktu

Program pemberdayaan masyarakat yang dirancang untuk menanggulangi kemiskinan dan ketidakberdayaan merupakan bagian dari upaya mempercepat proses perubahan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang masih tertinggal. Sutiyono (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Pemberdayaan Masyarakat Desa Dalam Pelaksanaan Program Desa Wisata Di Daerah Istimewa Yogyakarta”, mengkaji tentang pemberdayaan masyarakat desa dalam pelaksanaan program desa wisata di wilayah pedesaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa : (1) Pemberdayaan masyarakat desa melibatkan seluruh warga masyarakat, (2) Upaya konkrit untuk meningkatkan daya dukung adalah memajukan potensi utama desa dan potensi masyarakat desa, dan (3) Pemberdayaan masyarakat desa memeberikan kontribusi peningkatan kesejahteraan ekonomi. Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini maka konsep tersebut di atas berguna untuk mengindentifikasi Program Bina Desa yang merupakan program pemberdayaan di Desa Bogak yang akan dikaji dalam penelitian ini.

2.2. Respon

Dalam pemberdayaan di suatu komunitas masyarakat, harus disadari bahwa setiap masyarakat berbeda-beda. Mereka memiliki karakteristik budaya, geografi, sosial, politik, dan demografi yang unik, sehingga pengalaman pemberdayaan di suatu komunitas masyarakat belum tentu dapat berjalan di masyarakat yang lain, Respon dalam hal ini dapat digunakan sebagai suatu indikator untuk mengetahui apakah adanya program pemberdayaan disuatu komunitas masyarakat benar-benar dibutuhkan, diterima, serta dimanfaatkan oleh masyarakat tersebut.

Respon berasal dari kata response, yang berarti balasan atau tanggapan (reaction). Dalam Poewadarminta (1993: 83) respon adalah reaksi baik positif maupun negatif yang diberikan oleh masyarakat. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa respon akan timbul ketika seorang atau sekelompok orang terlebih dahulu merasakan kehadiran suatu objek dan dilaksanakan, kemudian menginterpretasikan objek yang dirasakan tadi. Berarti dalam hal ini respon pada dasarnya adalah proses pemahaman terhadap apa yang terjadi di lingkungan manusia.

Azwar (1988) menyebutkan bahwa respon seseorang dapat dalam bentuk baik atau buruk dan mendukung atau menolak. Apabila respon positif maka orang yang bersangkutan cenderung untuk mendukung objek tersebut, sedangkan respon negatif cenderung untuk menolak objek tersebut. Selain itu, Azwar (1988) juga mengatakan bahwa individu manusia berperan serta sebagai pengendali antara stimulus dan respon, sehingga yang menentukan bentuk respon individu terhadap stimulus adalah stimulus dan faktor individu itu sendiri. Sependapat dengan hal tersebut, Cruthefield dalam sarwono (1991) juga menyebutkan bahwa terdapat dua jenis yang mempengaruhi respon, yaitu:

 Variabel struktural, yaitu faktor yang terkandung dalam rangsangan fisik yang berupa objek atau fenomena tertentu.

 Variabel fungsional, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri pengamat, misalnya kebutuhan suasana hati, pengalaman masa lalu.

Respon masyarakat dalam penelitian ini merupakan tanggapan masyarakat terhadap program pemberdayaan masyarakat berbasis potensi alam lokal di Desa Bogak . Apakah masyarakat merespon program tersebut secara positif atau negatif. Masyarakat yang merespon secara positif yaitu masyarakat yang cenderung mendukung program pemberdayaan masyarakat dengan berpatisipasi aktif dalam kegiatan program tersebut, sedangkan masyarakat yang merespon secara negatif yaitu masyarakat yang tidak mendukung atau menerima adanya program pemberdayaan masyarakat dengan tidak berpatisipasi dalam kegiatan program tersebut.

2.3. Partisipasi

Dalam pemberdayaan masyarakat biasanya juga tidak lepas dari konsep Partisipasi, karena unsur utama dari pemberdayaan masyarakat itu sendiri adalah keterlibatan atau keikutsertaan masyarakat. Partisipasi berasal dari bahasa inggris yaitu participation, artinya mengambil bagian. Dalam kamus sosiologi, partisipasi merupakan keikutsertaan seseorang didalam kelompok sosial untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri (Mardikanto 2010). Partisipasi juga diartikan sebagai keikutsertaan seseorang secara sukarela tanpa dipaksa. Sebagaimana yang dijelaskan Sastropoetro (1988) dalam Lugiarti (2004) bahwa partisipasi adalah keterlibatan secara spontan dengan kesadaran disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan.

Menurut Wibisana (1989) yang dikutip oleh Mardikanto (2010), partisipasi masyarakat sering diartikan sebagai keikutsertaan, keterlibatan dan kebersamaan anggota masyarakat dalam

suatu kegiatan tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak dari gagasan, perumusan kebijaksanaan hingga pelaksanan program. Menurutnya, partisipasi secara langsung berarti anggota masyarakat tersebut ikut memberikan bantuan tenaga dalam kegiatan yang dilaksanakan. Sedangkan partisipasi tidak langsung berupa keuangan, pemikiran dan material yang diperlukan. Keterlibatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung tersebut sudah dapat dianggap sebagai suatu peran serta masyarakat dalam berpartisipasi.

Slamet dalam Mardikanto (2010), menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, sangat ditentukan tiga unsur pokok yaitu adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi, adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi, dan adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. Sementara itu, Jayadinata (1999) menyebutkan terdapat dua macam partisipasi masyarakat yaitu partisipasi vertical dan partisipasi horizontal. Pada partisipasi vertikal masyarakat diberi lebih banyak kesempatan untuk menyumbangkan pendapatnya. Sehingga terjadi interaksi dengan cara dari bawah ke atas (bottom up). Pada partisipasi horizontal masyarakat berinteraksi secara horizontal dalam hal berinteraksi dengan berbagai kelompok lain, mengambil pengalaman dari kelompok lain, serta mempengaruhi agar persentase partisipasi masyarakat menjadi lebih besar.

Partisipasi masyarakat adalah hal yang sangat penting di dalam keseluruhan proses pemberdayaan. Partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan selayaknya mencakup keseluruhan proses mulai dari awal sampai tahap akhir. Cohen dan Uphoff (1977) dalam Girsang (2011) membagi partisipasi ke dalam beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut:

1. Tahap pengambilan keputusan atau perencanaan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat.

2. Tahap pelaksanaan, yang merupakan tahap terpenting dalam pemberdayaan, sebab inti dari pemberdayaan adalah pelaksanaannya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk keterlibatan sebagai anggota.

3. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Semakin besar manfaat program yang dirasakan, berarti program tersebut berhasil mengenai sasaran.

4. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini dianggap sebagai umpan balik yang dapat memberi masukkan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya.

Konsep partisipasi tersebut digunakan dalam penelitian ini untuk mengindentifikasi partisipasi masyarakat dalam kegiatan program pemberdayaan masyarakat di Desa Bogak . Dalam penelitian ini partisipasi yang dimaksud adalah keterlibatan masyarakat di Desa Bogak dalam kegiatan program pemberdayaan yang meliputi tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi program tersebut. Penelitian yang terkait dengan partisipasi masyarakat terhadap program pemberdayaan pernah dilakukan oleh Angga Harahap pada tahun 2010 yang merupakan hasil skripsinya yang berjudul “Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Nasional (PNPM) Mandiri Perdesaan (Studi Deskriftif di Kelurahan Aek Simotung, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara”. Hasil penelitian tersebut diketahui bahwa partisipasi masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan baik pada tahap sosialisasi dan perencanaan maupun tahap pelaksanaan hingga pengawasannya cukup baik. Hal tersebut dapat dilihat dari keikutsertaan dan

peran aktif masyarakat dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan. Namun tidak semua masyarakat berpartisipasi, hal ini karena ketidakpercayaan sebagian masyarakat terhadap pelaku kegiatan di perdesaan.

Selain itu ada juga penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Yoni Yulianti pada tahun 2012 yang berjudul “Analisis Partisipasi Masyarakat Dalam Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan Di Kota Solok”. Penelitian tersebut mengkaji bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat khususnya masyarakat miskin dalam kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan di Kota Solok. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa partisipasi masyarakat dalam program tersebut diberikan dalam bentuk tenaga dan sumbangan pikiran berupa usulan, saran maupun kritik. Namun tingkat partisipasi masyarakat tersebut termasuk kategori rendah.

2.4. Masyarakat Pesisir

Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2004). Masyarakat yang hidup dipermukiman pesisir memiliki karakteristik secara sosial ekonomis sangat terkait dengan sumber perekonomian dari wilayah laut. Demikian pula jenis mata pencaharian yang memanfaatkan sumber daya alam atau jasa-jasa lingkungan yang ada di wilayah pesisir seperti nelayan, petani ikan, dan pemilik atau pekerja industri maritim. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Nikijuluw (2001) bahwa yang dimaksud masyarakat pesisir adalah kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir; mereka terdiri dari nelayan pemilik,

buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, pemasok faktor sarana produksi perikanan.

Masyarakat pesisir yang di dominasi oleh usaha perikanan pada umumnya masih berada pada garis kemiskinan, mereka tidak mempunyai pilihan mata pencaharian, memiliki tingkat pendidikan yang rendah, tidak mengetahui dan menyadari kelestarian sumber daya alam dan lingkungan (Lewaherilla, 2002). Menurut Nikijuluw (2001) kemiskinan sebagai indikator ketertinggalan masyarakat pesisir ini disebabkan oleh tiga hal pokok, yaitu kemiskinan struktural, superstruktural, dan kultural.

1. Kemiskinan struktural adalah struktur sosial-ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya pembangunan, khususnya sumberdaya alam. 2. Kemiskinan superstruktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel

kebijakan makro yang tidak atau kurang berpihak pada pembangunan masyarakat nelayan.

3. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu yang menyebabkan individu yang bersangkutan sulit keluar dari kemiskinan karena faktor tersebut tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Panayotou (1982) dalam Nikijuluw (2001) menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasan hidup yang diperoleh dari hasil menangkap ikan dibandingkan kegiatan yang hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan. Hal seperti ini mengakibatkan mereka sulit untuk melakukan perubahan karena mereka sudah merasa nyaman dengan kehidupan seperti itu.

Konsep masyarakat pesisir digunakan dalam penelitian ini karena yang menjadi objek atau sorotan dalam penelitian adalah respon masyarakat pesisir, dimana telah diketahui bahwa karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan masyarakat lainnya. Mereka memiliki ciri khas atau kebudayaan tertentu yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakatnya termasuk pada respon masyarakatnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Desa Bogak merupakan wilayah pesisir yang terletak di Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara Provinsi Sumatera Utara. Sebagai desa yang berada di wilayah pesisir, Desa Bogak memiliki kekayaan potensi alam laut yang cukup besar seperti segala jenis ikan, udang, kepiting, kerang, dan cumi-cumi. Selain itu Desa Bogak juga memiliki potensi alam lokal lain seperti hutan mangrove yang luas yang dapat diolah menjadi produk yang bernilai jual tinggi. Desa Bogak memiliki jumlah penduduk sebanyak 5.036 orang dengan jumlah kepala keluarga sebesar 1.251 KK (Kantor Kepala Desa Bogak, 2014). Adapun profesi masyarakat pesisir di desa ini didominasi oleh usaha perikanan yakni sebagai nelayan.

Panayotou (1982) dalam Nikijuluw (2001) menekankan bahwa masyarakat nelayan lebih senang memiliki kepuasan hidup yang diperoleh dari hasil menangkap ikan dibandingkan kegiatan yang hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan. Menurutnya hal seperti ini mengakibatkan mereka sulit untuk melakukan perubahan karena mereka sudah merasa nyaman dengan kehidupan seperti itu. Sejalan dengan hal tersebut, Lewaherilla (2002) juga menyebutkan bahwa masyarakat pesisir yang didominasi oleh usaha perikanan pada umumnya masih berada pada garis kemiskinan, mereka tidak mempunyai pilihan mata pencaharian, memiliki tingkat pendidikan yang rendah, serta tidak mengetahui dan menyadari kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Apa yang dikemukakan oleh Lewaherilla dalam penelitiannya tersebut juga terdapat di Desa Bogak, dimana berdasarkan hasil observasi tim Program Bina Desa 2014, di Desa Bogak terdapat 579 KK penduduk miskin dengan presentase 47% dari total kepala keluarga. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas masyarakat di

Desa Bogak memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Selain masalah kemiskinan, masih rendahnya keterampilan dan pendidikan yang dimiliki masyarakat juga menjadi suatu problema yang membuat mereka tidak mampu melakukan perubahan dalam kehidupan mereka.

Selama ini, kebijakan pembangunan di Indonesia terutama pembangunan desa selalu bersifat top down dan sektoral. Hal tersebut mengakibatkan kondisi di desa tidak tersentuh pembangunan secara utuh, infrastruktur dasar tidak terpenuhi, aktivitas ekonomi sangat rendah, dan sarana pendidikan terbatas dimana sebagian besar baru terpenuhi untuk sekolah dasar saja. Seyogianya pembangunan desa yang dilakukan harus menerapkan prinsip-prinsip desentralisasi yang bersifat bottom up yang mengikutsertakan masyarakat secara aktif.

Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dimana konsep otonomi desa yang tertuang didalamnya memberikan kedudukan yang kuat bagi desa dan masyarakatnya untuk melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhannya, dimana proses pembangunan secara bertahap telah bergeser mengarah kepada proses yang memungkinkan masyarakat dapat berpartisipasi secara keseluruhan, sejak dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendaliannya oleh masyarakat. Melalui proses semacam ini maka keinginan-keinginan dan kebutuhan masyarakat desa dapat disalurkan dan diwujudkan dalam program pembangunan desa.

Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, tujuan pembangunan desa adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, membangun potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut maka kebijakan

pembangunan perdesaan dapat dilakukan dengan peningkatan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui program pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mempersiapkan masyarakat agar mereka mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan. Prijono dan Pranarka (1996) menyebutkan proses pemberdayaan menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya serta mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Oleh sebab itu dalam pemberdayaan masyarakat diperlukan adanya kepedulian yang diwujudkan dalam kemitraan dan kebersamaan antara pihak yang sudah maju dengan pihak yang belum berkembang yang merupakan kelompok atau lapisan masyarakat yang masih tertinggal.

Pemberdayaan masyarakat akhir-akhir ini sering mendapat perhatian luas dari banyak kalangan baik birokrat atau pemerintah, kalangan professional hingga dari kalangan ilmuan termasuk institusi pendidikan atau perguruan tinggi. Berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat tersebut banyak sudah kegiatan atau program yang dilaksanakan oleh berbagai kalangan tersebut, yang tujuannya untuk memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat. Dari kalangan ilmuan, institusi pendidikan Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Sosiologi juga ikut serta dalam membuat sebuah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dinamakan Program Bina Desa. Program Bina Desa merupakan salah satu program kegiatan pemberdayaan masyarakat yang menekankan pada penguatan solidaritas kelompok masyarakat desa dan pemanfaatan potensi alam lokal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat berdasarkan prinsip pembangunan yang bersifat bottom up. Program ini ditujukan untuk membangun desa tertinggal dengan memberdayakan masyarakatnya sebagai upaya dalam pengentasan kemiskinan.

Desa Bogak merupakan desa yang menjadi sasaran diselenggarakannya Program Bina Desa pada tahun 2014. Selain karena kondisi ekonomi masyarakat yang rendah, kondisi sosial seperti banyaknya sumberdaya manusia serta tersedianya sumberdaya alam yang berlimpah juga menjadi alasan terselenggaranya program di desa tersebut. Dalam program ini, masyarakat di Desa Bogak diberi penyadaran dan pelatihan keterampilan dalam memanfaatkan potensi alam local yang banyak terdapat di desa ini seperti tanaman mangrove dan limbah laut pesisir (kulit kerang) yang selama ini dibiarkan begitu saja. Pelatihan keterampilan ini diberikan guna meningkatkan kreatifitas masyarakat setempat khususnya perempuan sebagai upaya dalam

Dokumen terkait