• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Pemerintah

Dalam dokumen Seni jalanan Yogyakarta. (Halaman 103-108)

BAB IV MEREBUT JALAN(AN) SENI DI INDONESIA

C. Respon Pemerintah

Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua seni jalanan dapat menampilkan kesan indah, malah sebaliknya tidak sedikit juga yang menimbulkan kesan kotor. Selain itu, jika karya

seni jalanan, apapun bentuknya, ditempatkan di suatu lokasi tanpa seijin pemilik tempat, maka perbuatan ini dikategorikan sebagai vandalisme karena merusak properti orang lain. Oleh karena itu, keberadaan seni jalanan di berbagai kota di Indonesia-pun mulai dipertanyakan. Namun demikian, sejumlah orang berpendapat bahwa keberadaan grafiti atau mural di dinding ruang publik jauh lebih baik daripada deretan selebaran iklan, brosur atau poster yang saling tumpuk.

Tema grafiti dan mural yang dianggap menganggu (biasa berisi kritik) walaupun tampilannya menarik juga sering diberi label kotor oleh pemerintah. Sebagai contoh; pada tahun 2001, Pemerintah DKI Jakarta menghapus semua lukisan mural dengan cat putih. Alasannya, karya tersebut tidak berijin dan menimbulkan kesan kotor, apalagi jika melihat warna mural yang cenderung gelap, seperti yang banyak terpampang di bawah jembatan atau pinggir jalan. Namun jika dilihat dari temanya, kemungkinan besar alasan penghapusan mural itu karena Pemerintah DKI Jakarta merasa gerah dengan isi pesan yang disampaikan.

Pekerja seni yang membuat mural ini menyadari betul bahwa karena mural mempunyai sifat yang langsung berhadapan dengan publik, sehingga tentulah akan tidak menarik jika tema lukisan atau gambar yang disuguhkan sukar dimengerti. Hal inilah yang menjadi pemikiran beberapa pekerja seni yang sengaja mengangkat tema-tema kritik sosial dalam karya mural mereka. Misalnya, salah satu mural di kaki jembatan Jl. Rasuna Said yang bermuatan pesan anti kekerasan dan disajikan dalam bentuk visual yang menurut pejabat Pemda “mengandung pornografi” dan Pemerintah tidak menerima adanya lukisan “yang tidak senonoh”.9 Padahal jika dilihat ke belakang, karya yang dihapus itu adalah

9

bagian dari acara Jak@rt yang dipelopori oleh Institut Kesenian Jakarta, dan sudah mengantongi ijin penyelenggaraan acara.10

Persoalan penghapusan mural oleh Pemerintah DKI Jakarta menimbulkan perdebatan. Banyak yang menilai pemerintah seharusnya lebih luwes dan mencoba belajar dari apa yang berkembang di masyarakat. Namun tindakan Pemerintah DKI Jakarta itu ternyata tidak bisa mencegah munculnya kembali mural dan grafiti di jalanan kota Jakarta, yang dilakukan para pelakunya dengan cara sembunyi-sembunyi.

Jika ditinjau lebih jauh, kesan kotor pada tampilan wajah kota sebetulnya bukan hanya karena keberadaan grafiti atau mural semata, tetapi juga penempatan iklan besar (billboard), poster, brosur yang sembarangan. Terlebih mendekati musim Pemilihan Umum (Pemilu) atau pemilihan yang bersifat daerah (Pilkada), maka spanduk, tempelan poster atau atribut partai pun bermunculan di mana-mana menambah kesan kumuh kota.

Pada tahun 2004, berawal dari perang poster antara perusahaan periklanan dan partai politik di sejumlah dinding fondasi jembatan layang, Pemerintah DKI Jakarta yang merasa gerah karena persoalan itu akhirnya angkat bicara. Sebagai langkah lanjutan yang tampaknya berasal dari hasil pembelajaran pemerintah terhadap persoalan di tahun 2001, Gubernur Pemerintah DKI Jakarta, Sutiyoso menegaskan bahwa dinding fondasi jembatan layang sebaiknya dihiasi mural saja., dengan syarat pemilihan gambar harus tidak menimbulkan kesan “kotor” (tema bukan kritik sosial). ”Saya memberikan kesempatan kepada seniman-seniman untuk memperindah kota ini dengan aneka lukisan. Tetapi, gambarnya harus bersifat mendidik,” ujar Sutiyoso. Mendidik yang dimaksud adalah, ”Gambar yang bernuansa flora dan fauna.” 11

10

Lebih lanjut dijelaskan, acara itu adalah acara seni urban yang diadakan secara berkala (tahunan) yang dipelopori oleh IKJ. Karya-karya yang ditampilkan merupakan watak dari seniman urban Jakarta pada umumnya.(Agung Puspito, Mengenal Aksi Seniman Urban, http://www.art-ysri.or.id/senirupa.asp?xy=20)

11

Agaknya kebijakan Pemerintah DKI Jakarta ini memberikan pelajaran bagi pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta yang mempunyai persoalan kota yang hampir sama. Pemkot Yogyakarta melihat kotornya tampilan kota adalah akibat dari banyaknya grafiti, untuk itu dipandang perlu untuk melibatkan semua elemen masyarakat untuk menyelesaikan persoalan itu. Pemkot Yogyakarta kemudian tertarik melihat perkembangan mural di Yogyakarta dan menganggap mural dapat menekan perkembangan grafiti yang dianggap kegiatan liar.

Pembuatan mural di Yogyakarta sebelum tahun 2002 masih sebatas gerakan sporadis beberapa seniman maupun kelompok seniman. Barulah pada tahun 2002–2003, pembuatan mural berkembang semakin pesat melebihi kota lainnya di Indonesia; tepatnya setelah Apotik Komik membuat projek mural kota. Projek mural kota ini menginspirasi masyarakat untuk ikut membuat mural dengan mengadakan lomba, sehingga terciptalah “fenomena mural” yang menjadikan tembok-tembok kota Yogyakarta dipenuhi lukisan dinding.

Melalui lomba tersebut pemerintah berharap dapat menumbuhkan minat warga terhadap karya seni dan meningkatkan kesadaran mereka terhadap pentingnya arti menjaga keindahan dan kebersihan lingkungan. Kegiatan semacam itu juga diharapkan dapat menjadi sarana untuk menyalurkan hobi seni lukis dan grafiti masyarakat setempat, sekaligus dapat mengurangi aksi corat-coret liar di dinding ruang publik.12

Walikota Yogyakarta H. Herry Zudianto mengatakan bahwa kehidupan kota Yogyakarta yang kental dengan nuansa seni budaya telah memposisikan seni sedemikian rupa sehingga seolah-olah telah menjadi nafas bagi seluruh warga kota. Berkesenian bukan lagi aktivitas eksklusif yang dimiliki kalangan seniman profesional, tetapi merupakan hak

12

seluruh individu. Karenanya, setiap individu dapat mengekspresikan ide, gagasan dan perasaannya melalui ragam bentuk seni, diantaranya seni lukis, termasuk mural,13 namun pada kenyataannya walaupun mural dipandang mampu memberikan ruang alternatif untuk mengaktualisasikan ide seni oleh siapapun dapat menjadi kontraproduktif bagi keindahan tampilan kota (semula positif berubah menjadi negatif), jika mural yang dibuat tidak terkonsep dan pembuatnya tidak menguasai teknik melukis dengan baik.

Gambar 30. Iklan di barisan mural. Lokasi: Kotabaru, Yogyakarta.

(Foto: Dok. penulis, 2008)

Sementara itu di lain pihak, perusahaan biro iklan yang menyadari bahwa ruang publik sudah kembali ke masyarakat terpaksa harus mencari jalan untuk memasarkan produknya di ruang yang sama. Dengan pintar, biro iklan kemudian mencoba memanfaatkan mural dan fenomena yang sedang merebak itu. Maka muncullah mural jenis baru, yaitu mural iklan. Selain beriklan lewat muralnya sendiri, tidak jarang beberapa biro iklan menempatkan diri sebagai sponsor dalam projek pembuatan mural masyarakat, dan meminta agar produknya dijadikan bagian dari mural.

Menurut data yang dikumpulkan Samuel Indratma, penggagas mural di Yogyakarta sekaligus seniman Apotik Komik, telah lebih dari lima ratus karya mural yang dihasilkan

13

Dalam sambutan tertulis Walikota Yogyakarta, H.Herry Zudianto, yang dibacakan Drs M. Sudibyo, Kabid Seni-Budaya. Dinparsenibud Kota Yogyakarta, pada pembukaan lomba mural yang diadakan oleh

masyarakat RT.03-04, RW 01, Kelurahan Ngampilan, pada hari Minggu, 10 September. Lomba tersebut mengambil lokasi di dinding Kantor Pertanian dan Kehewanan Kota Yogyakarta.

masyarakat Yogyakarta. Hal tersebut mengindikasikan adanya usaha untuk menjauhkan masyarakat dari penyakit sosial, selain juga sebagai usaha yang bagus untuk mengajak berbagai lapisan masyarakat, mulai dari yang muda hingga tua, untuk bersama-sama menciptakan kondisi kota yang bersih dan indah.14

Pemkot Yogyakarta mendukung projek mural kota Yogyakarta karena motif yang mendasari projek mural Yogyakarta, yaitu untuk menjaga kebersihan dan keindahan kota dari aksi grafiti yang dianggap mengotori dan mengancam tampilan wajah kota, sejalan dengan kebijakan pembangunan Pemkot Yogyakarta; menjaga kebersihan, keindahan dan citra pembangunan. Selain itu, kebanyakan tema atau pesan yang diusung tidak berbentuk kritik sosial, bahkan terkesan sangat meminamalisir atau bahkan menjauhi isi pesan semacam itu (isu atau kritik sosial).

Mural kota Yogyakarta pada tahun 2002-2003 memang terbukti berhasil menekan perkembangan grafiti, tetapi tidak lama kemudian grafiti yang berkembang menjadi seni jalanan (street art) bermunculan kembali, bahkan dengan visual dan warna-warna yang lebih menarik. Respon pemerintah terhadap seni jalanan dengan berbagai cara untuk menghentikan agaknya tidak berhasil.

Dalam dokumen Seni jalanan Yogyakarta. (Halaman 103-108)

Dokumen terkait