• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.3. Respon Pertumbuhan Actinobacillus sp P3(7) pada Berbagai Substrat Hidrokarbon

memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi beberapa jenis senyawa hidrokarbon secara sekaligus menggunakan metode PCR dengan primer spesifik sehingga akan lebih efisien untuk diaplikasikan jika dibandingkan dengan menggunakan metode kultur bakteri.

Profil gen meliputi sekuens, homologi, serta kadar basa guanin dan sitosin pada sekuens tersebut belum dianalisis dalam penelitian ini. Proses kloning dan sekuensing perlu dilakukan untuk mengetahui profil gen tersebut sehingga dapat digunakan sebagai dasar proses rekayasa genetika untuk meningkatkan produksi enzim serta agar didapatkan enzim yang memiliki aktivitas tinggi.

5.3.Respon Pertumbuhan Actinobacillus sp. P3(7) pada Berbagai Substrat Hidrokarbon

Actinobacillus sp. P3(7) masing-masing ditumbuhkan pada media Sea Salt

diperkaya yeast extract sebagai media tanpa penambahan hidrokarbon serta pada media Sea Salt diperkaya yeast extract dan dengan penambahan hidrokarbon. Substrat hidrokarbon yang digunakan yaitu heksadekana, toluena, serta naftalena.

Yeast extract digunakan sebagai kosubstrat karena mengandung sumber karbon serta berbagai vitamin dan nutrien yang diperlukan oleh bakteri sehingga mampu menghasilkan laju pertumbuhan bakteri dan laju degradasi hidrokarbon tertinggi dibandingkan jenis kosubstrat lain, seperti pepton, glukosa, sukrosa, etanol, atau metanol. Konsentrasi yeast extract yang digunakan sebanyak 2 g/L karena merupakan konsentrasi optimum untuk mencapai laju pertumbuhan bakteri yang optimum. Penggunaan konsentrasi yeast extract di atas 2 g/L menyebabkan laju pertumbuhan bakteri yang meningkat secara asimtotik sehingga menyebabkan laju degradasi hidrokarbon menurun (Kim et al., 2003; Chang et al., 2008; Huang

Hasil pengamatan kekeruhan kultur atau optical density (gambar 5.3.) menunjukkan jika kultur tanpa penambahan hidrokarbon tidak mengalami fase lag dan langsung memasuki fase eksponensial akhir pada hari ke-2 kemudian memasuki fase stasioner hingga hari ke-6 lalu fase kematian mulai dicapai pada hari ke-8. Kultur dengan penambahan substrat heksadekana tidak mengalami fase lag dan memasuki fase eksponensial akhir pada hari ke-4 lalu memasuki fase stasioner hingga hari ke-6 kemudian mengalami fase eksponensial kedua hingga hari ke-8 lalu memasuki fase stasioner hingga hari ke-12 dan fase kematian mulai dicapai pada hari ke-14. Kultur dengan penambahan substrat toluena tidak mengalami fase lag dan memasuki fase eksponensial akhir pada hari ke-6 lalu memasuki fase stasioner hingga hari ke-8 kemudian mengalami fase eksponensial kedua hingga hari ke-8 lalu memasuki fase stasioner hingga hari ke-10 dan fase kematian mulai dicapai pada hari ke-12. Kultur dengan penambahan substrat naftalena tidak mengalami fase lag dan memasuki fase eksponensial akhir pada hari ke-4 lalu memasuki fase stasioner hingga hari ke-8 kemudian mengalami fase eksponensial kedua hingga hari ke-10 lalu memasuki fase stasioner hingga hari ke-12 dan fase kematian mulai dicapai pada hari ke-14.

Gambar 5.3. Kurva pertumbuhan bakteri Actinobacillus sp. P3(7) pada media dengan penambahan substrat hidrokarbon dan media tanpa penambahan substrat hidrokarbon 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 0 2 4 6 8 10 12 14 16 OD 6 0 0 nm

Waktu Inkubasi (Hari)

Kontrol Heksadekana Toluena Naftalena

Nilai OD600nm pada media kultur dengan penambahan substrat hidrokarbon

lebih tinggi dibandingkan pada media kultur tanpa penambahan substrat hidrokarbon yang menunjukkan adanya penggunaan hidrokarbon sebagai sumber karbon oleh bakteri untuk proses metabolime sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri. Penggunaan hidrokarbon sebagai sumber karbon oleh isolat juga ditunjukkan oleh perubahan warna media menjadi keruh kecoklatan seiiring dengan bertambahnya waktu inkubasi (gambar 5.4). Bushell dan Slater (1981) menyatakan jika perubahan kepekatan warna media pertumbuhan bakteri dapat menjadi petunjuk adanya suatu proses biologis yang tengah berlangsung. Kepekatan warna tersebut dapat diakibatkan oleh melimpahnya biomassa sel serta terbentuknya metabolit-metabolit sekunder hasil perombakan suatu senyawa.

Kultur dengan penambahan toluena

Hari ke-2 Hari ke-8 Hari ke-14

Kultur dengan penambahan naftalena

Hari ke-2 Hari ke-8 Hari ke-14

Kultur dengan penambahan heksadekana

Hari ke-2 Hari ke-8 Hari ke-14

Gambar 5.4. Warna kultur dengan penambahan substrat hidrokarbon pada berbagai variasi waktu inkubasi

Metabolit sekunder hasil degradasi hidrokarbon oleh bakteri, seperti katekol dan derivatnya memiliki warna cokelat, sedangkan senyawa-senyawa monohidroksilat seperti asam salisilat atau dihidroksinaftalen memiliki warna kuning. Perubahan warna media pertumbuhan bakteri yang mengandung hidrokarbon menjadi warna gradasi kuning maupun cokelat menandakan adanya intermediet yang dihasilkan dari proses degradasi hidrokarbon oleh bakteri (Schedler et al., 2014), sehingga perubahan warna media pertumbuhan

Actinobacillus sp. P3(7) dengan substrat hidrokarbon menjadi keruh kecoklatan seiiring dengan bertambahnya waktu inkubasi menandakan dihasilkannya metabolit sekunder hasil dari degradasi hidrokarbon. Namun jenis dan kuantitas intermediet dari penelitian ini masih belum dianalisis lebih lanjut.

(a) (b) (c)

Gambar 5.5. Struktur senyawa katekol (a), protokatekuat (b), dan asam salisilat (c)

Analisis intermediet degradasi hidrokarbon oleh Actinobacillus sp. P3(7) perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi intermediet yang dihasilkan serta untuk mengetahui tahap degradasi hidrokarbon oleh isolat tersebut. Jenis dan kuantitas intermediet hasil dari degradasi hidrokarbon dapat diidentifikasi dengan metode kolorimetri menggunakan reagen penghasil warna spesifik untuk katekol, monohidroksilat, serta derivatnya berdasarkan metode Arnow (1937) atau dengan metode kromatografi menggunakan alat GC-MS seperti yang telah dilakukan dalam penelitian Chakraborty dan Das (2016) serta Schendler et al. (2014).

Pertumbuhan mikroba pada media cair dalam kondisi asupan nutrien dan parameter lingkungan (suhu, kecepatan agitasi, pH, kadar oksigen) yang optimum akan sebanding dengan waktu inkubasi. Berbagai fase pertumbuhan mikroba dapat diamati selama waktu inkubasi berlangsung, yaitu fase lag, fase log, fase

stasioner, dan fase kematian. Setiap fase merepresentasikan periode pertumbuhan mikroba yang berhubungan dengan perubahan fisiologi kultur sel dan laju pertumbuhan pada setiap fasa berbeda secara signifikan (Maier et al., 2009).

a. Fase lag

Fase lag merupakan fase adaptasi sel terhadap kondisi media pertumbuhan yang baru, baik jenis media pertumbuhan yang sama maupun berbeda. Proses adaptasi ini muncul karena sel membutuhkan waktu untuk induksi mRNA serta sintesis berbagai protein yang dibutuhkan untuk proses metabolisme pada media pertumbuhan baru, terutama jika mengandung komponen nutrien yang berbeda (Prescott et al., 2010).

Isolat dari media NA masing-masing diinokulasikan ke dalam media baru yaitu Sea Salt diperkaya yeast extract dengan atau tanpa hidrokarbon. Kultur tanpa dan dengan penambahan substrat hidrokarbon tidak memberikan profil fase lag. Tidak munculnya fase lag terjadi karena isolat tidak membutuhkan waktu lama untuk induksi ekspresi enzim-enzim katabolik yang berperan dalam proses metabolisme yeast extract maupun hidrokarbon sebagai sumber karbon, sehingga kultur tanpa dan dengan penambahan substrat hidrokarbon mengalami proses adaptasi yang berjalan cepat terhadap media pertumbuhan baru dan mampu mencapai fase eksponensial dengan cepat (Chung, 2001; Maier et al., 2009).

b. Fase log

Fase log merupakan fase mikroba saat mengalami pertumbuhan paling optimum. Selama pertumbuhan eksponensial, laju peningkatan sel di dalam kultur sebanding dengan jumlah sel yang ada pada berbagai waktu (Willey et al., 2008).

Kultur tanpa dan dengan penambahan substrat hidrokarbon memiliki fase log namun dengan tingkat kekeruhan yang berbeda. Ketiga kultur dengan penambahan substrat hidrokarbon memiliki OD600 hari ke-2 yang lebih tinggi

menunjukkan proses degradasi hidrokarbon telah dimulai pada hari ke-2 dan hidrokarbon serta yeast extract digunakan secara simultan sebagai sumber karbon oleh isolat tersebut sehingga isolat mampu melakukan pembelahan sel yang lebih banyak karena adanya sumber karbon dari hidrokarbon.

c. Fase stasioner

Fase stasioner merupakan kondisi saat jumlah bakteri yang mati sama dengan jumlah bakteri yang tumbuh sehingga tidak ada perbedaan pertumbuhan yang signifikan. Kondisi ini dicapai jika sumber karbon, sumber energi, serta nutrien penting untuk pertumbuhan mikroba telah digunakan seluruhnya. Sumber karbon yang telah habis terpakai tidak akan menyebabkan pertumbuhan terhenti karena bakteri yang lisis dapat digunakan sebagai sumber karbon oleh bakteri lain. Pertumbuhan bakteri lain menggunakan sumber karbon dari sel mati disebut sebagai metabolisme endogen. Hal ini menyebabkan kultur berada dalam kondisi saat jumlah bakteri yang mati sama dengan jumlah bakteri yang tumbuh sehingga tidak ada perbedaan pertumbuhan yang signifikan (Maier et al., 2009). Kondisi ini muncul pada profil OD600nm dari kultur tanpa dan dengan penambahan

hidrokarbon. Penurunan kadar nutrien di dalam kultur menyebabkan bakteri menghasilkan metabolit sekunder yang digunakan untuk mempertahankan diri pada lingkungan yang ekstrim, seperti senyawa turunan terpenoid, alkaloid, antibiotik, maupun enzim-enzim indusibel (Prescott et al., 2010).

Kondisi yang berbeda muncul pada kultur dengan penambahan substrat hidrokarbon. Pertumbuhan isolat pada ketiga media dengan penambahan substrat hidrokarbon menunjukkan profil pertumbuhan bifasa. Swaathy et al. (2014) menyatakan jika hal ini terjadi karena isolat menggunakan yeast extract dan hidrokarbon sebagai sumber karbon namun hidrokarbon membutuhkan waktu solubilisasi yang lama agar bisa digunakan oleh isolat sebagai sumber karbon. Hal ini menyebabkan isolat memetabolisme hidrokarbon dalam laju yang sangat lambat hingga mendekati steady state

sel yang membelah sama dengan jumlah sel yang lisis sehingga isolat memasuki fase stasioner. Hidrokarbon yang telah berhasil larut dapat digunakan oleh isolat sebagai sumber karbon dalam proses metabolisme sehingga isolat dapat melakukan pembelahan sel dan memasuki fase eksponensial kembali.

d. Fase kematian

Fase kematian merupakan kondisi saat jumlah bakteri yang mati jauh lebih banyak dibandingkan jumlah bakteri yang tumbuh sehingga terjadi penurunan jumlah sel yang signifikan. Sel bakteri masih melakukan metabolisme endogen dan pembelahan sel namun sel-sel yang lain mengalami kematian dalam jumlah besar (Prescott et al., 2010).

Fase kematian mulai dicapai pada hari ke-8 pada kultur tanpa penambahan substrat hidrokarbon dan hari ke-12 dan ke-14 pada kultur dengan penambahan substrat hidrokarbon (yang ditunjukkan oleh penurunan OD600). Prescott et al. (2010) menyatakan jika hal ini terjadi karena oksigen,

energi, sumber karbon, serta nutrien penting yang terkandung pada media telah dimetabolisme seluruhnya oleh bakteri. Sel-sel bakteri kemudian mati dan mengalami lisis dan digunakan sebagai sumber nutrien dalam proses metabolisme endogen untuk proses pertumbuhan isolat. Namun nutrien yang tersedia dari lisis sel sangat kecil sehingga pertumbuhan bakteri sangat kecil karena jumlah sel yang mampu membelah jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah sel yang lisis.

Prescott et al. (2010) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kematian sel pada kultur batch antara lain habisnya nutrien yang tersedia di dalam kultur, habisnya oksigen yang dibutuhkan untuk respirasi sel, akumulasi metabolit sekunder yang bersifat toksik terhadap sel mikroba, serta perubahan pH yang disebabkan akumulasi metabolit sekunder, misalnya asam-asam organik yang mampu menurunkan pH kultur. Kadar H+ yang tinggi di luar sel dibandingkan di dalam sel menyebabkan terjadinya difusi H+ menuju sitoplasma dan menurunkan pH sitoplasma. Penurunan pH

sitoplasma dapat merusak membran plasma atau menghambat aktivitas enzim serta proses transport oleh protein membran. Hal yang sama juga terjadi jika metabolit yang dihasilkan bersifat basa.

Kultur tanpa penambahan substrat hidrokarbon lebih cepat mencapai fase kematian dibandingkan kultur dengan penambahan substrat hidrokarbon karena sumber karbon, energi, serta nutrien penting dalam media tumbuh pada kultur tanpa penambahan substrat hidrokarbon telah habis lebih dulu, sedangkan pada kultur dengan penambahan substrat hidrokarbon masih tersedia sumber karbon lain dari hidrokarbon.

Dokumen terkait