• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Terhadap Politik Ordonansi Haji a. Problematika Pelaksanaan Ordonansi Haji

Sebelum bagian penolong haji dibentuk, perlu diketahui bahwa akibat terjadinya berbagai perlawanan84 oleh kaum haji dan ulama terhadap kolonial, Pemerintahan Hindia Belanda melakukan pembatasan perjalanan haji ke Mekkah.85 Dengan alasan demikian, pemerintah Belanda memanfaatkan momentum tersebut untuk meraup dukungan yang besar dari para misionaris Kristen. Hal ini bukanlah suatu langkah yang sulit diraih, sebab pemerintah Belanda memang identik dengan agama Kristen (Protestan).86 Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengeluarkan berbagai aturan, yang bertujuan untuk membatasi dan mempersulit umat Islam ke Mekkah. Oleh karena itu, untuk lebih membatasi gerak umat Islam, dikeluarkanlah

83 Farid Setiawan, op. cit, hlm. 62.

84 Kekalahan Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan dibantu sekitar 108 orang Kiai. Kemudian peristiwa “Pemberontakan Petani Banten tahun 1888” memang cukup membekas dalam memori kolektif sebagian besar orang-orang Belanda. Lihat dalam Sartono Kartodirdjo, op. cit, hlm. 156-215.

85 Aqib Suminto, op. cit, hlm. 10. 86 Alwi Shihab, op. cit, hlm. 147.

Ordonansi yang antara lain berisi, larangan bagi umat Islam Indonesia pergi ke Mekkah jika tidak mempunyai pas jalan.87

Perlu diketahui bahwa ordonansi haji ini merupakan suatu kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap para umat muslim. Hal ini disebabkan karena umat muslim khususnya para haji dianggap oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai penyebab berbagai pemberontakan yang sudah-sudah terjadi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Bahwa para haji-haji ini pergi ke Mekkah tidak hanya untuk berhaji namun untuk mencari ilmu disana dan menerima semangat Pan Islamisme. Sehingga para haji ini dianggap oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai penghambat dalam proses Kristenisasi di Jawa.88

Akibat situasi tersebut pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan Ordonansi Haji, yang isinya merupakan aturan-aturan atau regulasi dalam berhaji. Meskipun sebenarnya isinya cenderung menguntungkan pihak pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, penyelenggaraan haji lebih berkonotasi ekonomi dan jauh dari tanggungg jawab pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda membiarkan perhajian Indonesia dalam kondisi kurang dan tidak terjamin baik pelayanan maupun kesehatan dan keamanan dalam perjalanannya.89

87 Mursyidi Sumuran, Lintasan Sejarah Perjalanan Jemaah Haji Indonesia, (Jakarta: MARS-26, 1923), hlm. 12-13.

88 Suminto, op. cit., hlm. 10.

89 Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: Lkis, 2007), hlm. 156.

Tindakan tersebut diwujudkan dalam bentuk pemeriksaan-pemeriksaan oleh maskapai pelayaran Belanda yang tergabung dalam Kongsi Tiga dan broker-brokernya yang terdiri dari orang-orang pribumi sendiri, penipuan-penipuan para tengkulak haji dan Badal Syeikh, serta pemerasan secara legal. Semuanya memperoleh perlindungan pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah kolonial dengan kaki tangannya menjadikan urusan haji untuk memperoleh penghasilan (obyek mencari keuntungan materil) dan pemerasan yang sangat empuk. Permasalahan di lapangan semisal tahun 1904 adalah karena uang perjalanan haji yang harus mereka tunjukan kepada petugas setempat saat di atas kapal dalam jumlah besar itu di anggap menyusahkan. Beberapa calon jamaah bahkan harus meminjam uang terlebih dahulu dengan bunga mahal kepada para broker yang berada di tempat, serta tidak jarang di temukan menyuap juru tulis atau penjaga keamanan agar proses administrasi berjalan dengan lancar.90

Para jamaah haji membeli retourbiljet (tiket Pulang-Pergi), jika melanggar ketentuan ini akan dikenakan denda antara 25 gulden hingga 100 gulden. Kebijakan tentang tiket pergi-pulang ini diperkuat dalam ordonansi 1902 No. 318. Dikeluarkannya kewajiban membeli tiket pergi-pulang ini, menyulitkan bagi jamaah haji yang ingin tinggal lama di Mekkah untuk menuntut ilmu. Dari segi politik, dengan tiket pergi-pulang dapat memudahkan pemerintah kolonial Belanda

90 Pada pemberangkatan musim Haji tahun 1910 bahkan ada beberapa syekh yang meninggalkan calon jamaah Haji. Perbuatan Syekh tersebut sangat merugikan jamaah Haji sehingga biaya pengangkutan barang-barang ke Tanjung Priok dan penginapan di bawa lari. Di kutip dalam arsip laporan Mukhlis Paeni & Tim Penyusun. Biro Perjalanan Haji Di Indonesia Masa Kolonial: Agen Herklots dan Firma Alsegoff & Co.(ANRI:Jakarta, 2001), hlm. 24-25.

dalam mengontrol dan menekan jumlah umat Islam Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di sisi lain, tiket pergi-pulang dapat meringankan kondisi jamaah haji yang kehabisan uang dalam perjalanan untuk pulang ke Tanah Air, karena sudah punya tiket pulang.91

Selanjutnya setiap calon haji harus membayar 110 gulden untuk pembayaran pas jalan. Para calon haji yang tidak membeli pas jalan akan dikenakan denda dua kali lipat harga pas jalan, yaitu 220 gulden. 92 Sekembali dari ibadah haji, seseorang harus mengikuti ujian haji dan harus membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Ujian itu dilakukan oleh bupati dan kyai yang ditunjuk. Bila seseorang lulus, maka ia berhak menyandang gelar haji dan mengenakan busana haji khusus. Sebaliknya, bila gagal tapi ia nekad mengaku-aku dirinya haji dan mengenakan pakaian haji, maka ia didenda 25 hingga 100 gulden .93

Meskipun peraturan ini baik karena mensyaratkan calon jamaah harus mampu dalam ekonomi untuk menjalankan haji juga harus menjamin keperluan keluarganya selama ditinggal haji. Namun peraturan ini merupakan bagian dari usaha Belanda menghalangi ibadah haji, terutama bila diperhatikan dari pelaksanaannya. Jamaah diharuskan menyimpan uang di kas keresidenan sebesar 500 real dan diberi tanda bukti penyimpanan. Sekembalinya dari haji mereka bisa

91 Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje Jilid VIII, Terj. Soedarso Soekarno (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 161.

92 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). hlm. 236.

mengambilnya kembali. Namun tidak dijelaskan bagaimana mencairkan uang mereka kembali. Selain itu, mereka juga diharuskan memperlihatkan sekurang-kurangnya membawa uang 500 gulden kepada bupati setempat di daerah tempat tinggalnya atau para pegawai yang diberi tugas di kapal yang akan membawa ke Mekkah.94

Pelaksanaan ordonansi haji tidak selalu ditaati oleh umat Islam Indonesia yang hendak pergi menunaikan ibadah haji. Meskipun telah dikeluarkan ordonansi mengenai pas jalan, tidak banyak umat Islam Indonesia yang berangkat ke Jeddah dengan menggunakan pas jalan haji. Ini dikarenakan harga pas jalan sebesar 110 gulden dianggap terlalu mahal jika dibandingkan dengan harga tiket kapal. Kemudian terdapat sebagian jamaah haji Indonesia yang berangkat ke Jeddah tanpa menggunakan pas jalan. Hal ini dikarenakan sebagian di antara mereka mendapat kesulitan untuk mendaftarkan keberangkatannya kepada pemerintah kolonial Belanda setempat (bupati).95

Kemudian masalah kesehatan menjadi masalah yang sengaja di biarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Para calon haji ini ditaruh dalam satu fasilitas kapal yang kurang memadahi. Dalam laporan haji tahun 1912 di ketahui dari 18.53596 pribumi Hindia Belanda yang berangkat haji, 2634 orang meninggal dunia, artinya sekitar 14 % dari keseluruhan jamaah haji yang berangkat. Pada musim haji

94 M. Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial, (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), hlm. 88.

95 Shaleh Putuhena, op. cit., hlm. 140.

96 Lihat lampiran skripsi ini, jumlah jamaah haji Indonesia tahun 1879-1929, hlm 145.

berikutnya tahun 1913 jumlah jamaah yang meninggal dalam perjalanan di atas kapal haji menjadi 3158 orang atau sekitar 12 % orang dari 26321 keseluruhan jamaah haji. Di antara jamaah yang meninggal untuk jamaah yang berasal dari Batavia di ketahui 50 orang meninggal, dan 56 lainnya hanya terjangkit penyakit.97

Dalam perjalanan haji yang memakai maskapai-maskapai tersebut, tidak mengutamakan kesejahteraan jamaah haji. Kapal yang penuh sesak dengan penumpang ditambah lagi barang-barang yang dibawah sehingga lorong-lorong kapal penuh dengan tumpukan barang. Sehingga untuk melaksanakan shalat sulit karena keterbatasan tempat. Bahkan mereka harus membuang hajat kecil dan besar terpaksa dilakukan ditempat mereka bernaung. Selama bongkar-muat barang, para jamaah harus mengurus makanannya sendiri baik dalam kapal maupun di pelabuhan dan mereka sering hanya mendapat bagian air yang kotor.98

Selama Perang Dunia I, jamaah haji Indonesia tidak menggunakan kapal haji milik perusahaan Belanda. Ini dikarenakan pihak maskapai Belanda menghentikan kegiatan pengangkutan jamaah haji. Baru tahun 1920, Kongsi Tiga mulai beroperasi kembali mengangkut jamaah haji Indonesia. Kembalinya Kongsi Tiga dalam pengangkutan jamaah haji Indonesia tidak dibarengi dengan perbaikan fasilitas pengangkutannya. Pada awal tahun 1920-an jumlah kematian jamaah haji Indonesia masih tinggi. Setiap seribu orang ada dua hingga lima orang yang

97 Fauzan Baihaqi, op. cit., hlm. 97. 98 Hurgronje, op. cit., hlm. 109.

meninggal. Pada tahun 1921 ada 3.170 dari 28.839 jamaah haji Indonesia yang meninggal.99

Setelah di ketahui penyebabnya karena fasilitas kapal-kapal Kongsi Tiga yang bermasalah semisal maskapai milik Nederland, fasilitas jamban dan ventilasi dek bawah kapal tidak dalam keadaan yang baik untuk jamaah, serta pencahayaan ruangan yang kurang. Di sisi lainnya pengaturan pembagian konsumsi makanan dan minuman selama di atas kapal bermasalah secara higienis.100 Penularan penyakit cepat menyebar karena kondisi tubuh masing-masing jamaah berbeda-beda selama berada di Mekkah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jan Hendrik Ziesel, jenis penyakit yang menular di Mekkah antara lain; kolera, baksil disentri, cacar dan pes. Selain itu, penyakit tuberkolose, lepra, trahom, sakit kepala dan kelamin juga banyak diderita jamaah haji.101

b. Usaha Perbaikan Perhajian

Cara dan pendekatan yang ditempuh Ahmad Dahlan ini dilakukan secara simpatik dan sistematis. K.H. Ahmad Dahlan memandang untuk menyaingi misi Kristen, Muhammadiyah perlu mendirikan lembaga-lembaga sosial seperti mendirikan sekolah, panti asuhan, klinik, dan lembaga-lembaga lain di seluruh Indonesia sebagai gerakan politik tandingan terhadap pemerintah Hindia

99 Shaleh Putuhena, op. cit., hlm. 129. 100 Fauzan Baihaqi, op. cit., hlm. 98. 101 M. Dien Majid, op. cit., hlm. 112.

Belanda.102 Salah satu usaha K. H. Ahmad Dahlan tersebut dapat dilihat dalam hal perbaikan dalam masalah perhajian di Hindia Belanda dengan mendirikan suatu badan penolong haji dalam Muhammadiyah.

Berbagai perlakuan dan kondisi yang diciptakan Hindia Belanda sebagai akibat dari politik Kristenisasi tersebut sama sekali tidak memperhatikan aspirasi umat Islam untuk perbaikan perjalanan haji. Karena perlakuan pemerintah Hindia Belanda ini maka tercetuslah ide-ide perbaikan perjalanan haji yang dimulai dari seorang tokoh “herfarmer” K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) melalui organisasi yang didirikannya pada tahun 1912 yakni persyarikatan Muhammadiyah yaitu adanya Bagian Penolong Haji yang diketuai oleh K.H. M. Sudjak.103

Secara resmi tuntutan dan aspirasi perbaikan perjalanan haji Indonesia tertampung dan mulai 1921. K.H. Ahmad Dahlan menuntut Kongsi Tiga, supaya mengadakan perbaikan-perbaikan, penertiban pelayaran di atas kapal. Kemudian tahun 1922 Volksraad mengadakan perubahan-perubahan pada Pilgrims Ordonantie. Hoofdbestuur Muhammadiyah yakni K.H. Ahmad Dahlan mengutus anggotanya, K.H. M. Sudjak dan M. Wirjopertomo ke Mekkah untuk meninjau dan mempelajari masalah yang menyangkut perjalanan haji. Wadah gagasan perbaikan, penertiban haji ini diwujudkan pertama kali dalam badan yang disebut penolong haji (PH) di bawah pimpinan K.H. Ahmad Dahlan.104

102 Siti Muflikhatul Hidayah, “Citra Muhammadiyah sebagai Gerakan Anti Misi Kristen Indonesia”, Tajdida, Vol. 9, No. 2, Desember 2011, hlm. 156.

103 Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perhajian II, (T.t, 2001), hlm. 1. 104 Ali Mufrodi, Haji Indonesia dalam Perspektif Historis. Disampaikan dalam Peresmian Jabatan Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003. hlm. 14.

Secara kongkrit usaha perbaikan perjalanan haji melalui penyelidiki Bagian Penolong Haji tahun 1922 Hoofdbestuur Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan mengutus K.H. M. Sudjak dan M. Wirjopertomo ke tanah suci guna melakukan penyelidikan yang lebih sempurna tentang pengurusan dan pelayanan terhadap calon jamaah haji selama perjalanan dan di Arab Saudi. Demikian juga usaha-usaha dan kunjungan bersifat politis ditempuh. Usaha penyelidikan perbaikan perjalanan haji dari Bagian Penolong Haji ini ditemukan bahwa pihak Hindia Belanda bersifat ambivalent karena dalam rangka politik Islamnya disatu pihak berusaha mengambil hati umat Islam dan dipihak lain menindak tegas setiap usaha-usaha yang menentang Hindia Belanda.105

Sehingga pada tahun 1922 Volksraad mengadakan perubahan bahan dalam ordonansi 1922 memunculkan Pilgrim Ordonantie 1922, menyebutkan bahwa bangsa pribumidapat mengusahakan pengangkutan calon haji dan juga menerbitkan regulasi baru mengenai ordonansi haji. Walaupun sifat dan kebijakan Hindia Belanda ambivalent disambut baik oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan menunjuk K.H. M.

Sudjak dan M. Wirjopertomo dengan di sponsori oleh H. Oemar Syahid Tjokrominoto, H. Agus Salim dan K.H. M. Sudjak tahun 1923 dibentuk organisasi Haji Hindia Timur.

Sebagai realisasi dari Pilgrim Ordonantie 1922, R.A.A Djajadiningrat, R. Mulyadi Djojomartono, H. Agus Salim, dan K.H. M Sudjak berusaha mengorganisir pengangkutan jemaah haji Indonesia. Namun usaha ini mendapat rintangan, baik oleh maskapai pelayaran Belanda, maupun pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dikarenakan

105 Zainal, Dakwah Jama’ah Haji Nusantara Dari Masa Ke Masa, artikel tanpa tahun dan tempat, hlm. 11.

pemerintah Hindia Belanda takut mendapat saingan maka usaha pengangkutan jemaah haji bagi umat Islam tidak memperoleh izin.106

Penyelenggaraan urusan haji yang sudah dirintis berdasarkan fakta-fakta yang ada waktu itu dilanjutkan oleh tokoh umat Islam berjalan hanya beberapa tahun kemudian, dan selanjutnya memutuskan suatu badan yang diberi nama P.H. Singkatan dari Penolong Haji, berpusat di kota Yogyakarta. Dari badan “Penolong Haji” ini terbentuk sebuah badan yakni “Comitee Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia” yang anggotanya terdiri dari para ulama dan golongan cerdik pandai. Dengan terbentuknya badan ini diharapkan dapat membeli kapal sendiri.107

c. Hasil Tuntutan K.H. Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan telah berhasil menuntut pemerintah Hindia Belada dalam hal ini meminta perusahaan pelayaran Kongsi Tiga agar melakukan perbaikan dalam masalah perhajian. Dengan dikeluarkannya ordonansi haji 1922 tersebut menyempurnakan ordonansi haji sebelumnya, yang diantaranya mengatur mengenai angkutan haji, keamanan, kesehatan, pelabuhan haji dan fasilitas angkutan selama dalam perjalanan.Dampak dari dikeluarkannya ordonansi tahun

106 Ada orang muslim dari Hongkong (H.Husain) yang merasa simpati dengan perjuangan umat Islam Indonesia dalam perbaikan perjalanan haji. Ia menolong dengan mengerahkan kapalnya “Kapal Islam” dengan simbol Ka’bah untuk mengangkut jemaah haji Indonesia, sehingga banyak umat Islam tertarik dan naik kapal itu karena ongkosnya bersaing. Lihat dalam Mursyidi Mr Sumuran, op. cit., hlm. 20.

1922 ini adalah dengan semakin bertambah banyaknya jumlah umat Islam Indonesia yang ingin pergi menunaikan ibadah haji pada tahun-tahun berikutnya.108

Sejaktahun 1898 pelabuhan haji dibatasi hanya di dua pelabuhan saja, yaitu pelabuhan Batavia dan Padang. Dengan ditambahnya jumlah pelabuhan haji di Indonesia berdampak dengan semakin meningkatnya jumlah jamaah haji Indonesia pada tahun-tahun berikutnya. Dampak lain dari ditetapkannya ordonansi 1922 adalah memudahkan jamaah haji yang berasal dari Kalimatan dan Sumatra yang selama ini lebih memilih berangkat dari Singapura, beralih memilih berangkat dari pelabuhan haji di Indonesia.109

Hasil perubahan dari tuntutan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan terhadap pemerintah Hindia Belanda yaitu ordonansi tahun 1922 menjelaskan tentang kapal haji harus memenuhi syarat kelayakan, seperti geladak lantai atas harus berkondisi baik karena digunakan tempat tinggal jamaah dan tinggi geladak minimal harus 1,80 Meter, berventilasi dan cukup penerangan. Tiap-tiap geladak harus cukup terpasang sejumlah daun pintu yang dilengkapi dengan kaca. Di kapal harus ada pengaturan rumah sakit, apotik dan dokter yang bersertifikat. Di kapal harus menyediakan makanan dan minuman yang cukup. Harus tersedia untuk 150 penumpang kelas ekonomi terdiri dari 2 kamar kecil.110

Usaha perbaikan pemerintah berikutnya adalah menjaga kesehatan para jamaah, dalam pandangan petugas kesehatan di Mekkah menilai bahwa warga

108 M. Dien Majid, op. cit., hlm. 105. 109 Ibid, hlm. 93.

Hindia Belanda rentan terhadap penyakit cacar, dari 116 penderita cacar, 42 orang meninggal dunia, walaupun telah diberi vaksin cacar, kolera, dan tipes sebelum berangkat ke Hijaz, tidak ada jaminan kebal terhadap penyakit tersebut.111 Oleh karena itu untuk menjaga makanan di atas kapal, dinas kesehatan Hindia Belanda sebelumnya telah menambahkan kapal-kapal uap perlu menyediakan fasilitas alat pendingin agar dapat menyimpan beberapa bahan makanan, dan untuk menyimpan bahan-bahan suntikkan serum bagi penumpang kapal sebagai upaya pencegahan penyakit menular.112

Namun pada tahun berikutnya setelah di terapkannya ordonansi haji tahun 1922, yang lebih menekankan higienis atau peningkatan sarana kesehatan pada semua kapal-kapal pengangkutan jamaah haji, jumlah jamaah haji yang meninggal pun mulai menurun.113 Pada tahun 1921 ada 3.170 dari 28.839 jamaah haji Indonesia yang meninggal. Namun seiring perbaikan kondisi sanitasi kapal haji sesuai kebijakan pelayaran kapal haji tahun 1922. Dampaknya secara statistik memang angka kematian dalam perjalanan di kapal haji dapat ditekan dan menurun bila pada tahun 1923-1924 kasus kematian mencapai 10% dari seluruh jamaah Haji, maka pada tahun 1926-1932 turun menjadi 1,9 % dari seluruh jamaah Haji.114

Sebelum di terapkannya ordonansi Haji 1922 tidak jarang Kapal-kapal haji milik Belanda yang ditunggu jamaah di Pelabuhan Jeddah tidak kunjung datang

111 M. Dien Majid, op. cit., hlm. 115. 112 Fauzan Baihaqi, op. cit., hlm. 97. 113 Ibid, hlm. 125.

atau terlambat, ini yang membuat jamaah memutuskan untuk memilih Kapal Inggris dengan membayar sedikit tambahan. Namun setelah di tegaskan kembali oleh Pemerintah sebagai akibat dari tuntutan K.H. Ahmad Dahlan dalam ordonansi haji 1922 bahwa kewajiban agen dan perusahaan pelayaran pengangkut jamaah haji untuk menyelesaikan semua angkutan pelayaran kepulangan jamaah haji dengan jadwal yang harus teratur berkordinasi dengan Konsulat Belanda di Jeddah.115

Hasil tuntutan K.H. Ahmad Dahlan tersebut membuat harga tiket menjadi turun. Sejak dahulu perusahaan-perusahaan Kongsi Tiga berkali-kali mencoba mengharuskan Pemerintah Pusat memberlakukan ketetapan karcis pulang-pergi untuk penumpang Haji. Harga karcis pulang-pergi (Jeddah-Batavia) pada musim haji tahun 1913/1914 sebesar f 185 gulden. Dalam ordonansi Haji 1922 ketetapan harga karcis pulang pergi untuk semua perusahaan pelayaran di umumkan oleh Departemen terkait sebesar f 150 untuk tiap-tiap pembelian harus atas nama agen haji resmi. 116

115 Ibid, hlm. 219.

Dokumen terkait