• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GERAKAN POLITIK K.H. AHMAD DAHLAN. Salah satu identitas gerakan K.H. Ahmad Dahlan adalah gerakan dakwah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV GERAKAN POLITIK K.H. AHMAD DAHLAN. Salah satu identitas gerakan K.H. Ahmad Dahlan adalah gerakan dakwah"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

73 BAB IV

GERAKAN POLITIK K.H. AHMAD DAHLAN

Salah satu identitas gerakan K.H. Ahmad Dahlan adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar1 lewat Muhammadiyah sebagai oraganisasinya. Prinsip dakwah untuk menyeruh kepada kebaikan atau kebenaran dan mencegah kepada keburukan atau kejelekan, merupakan prinsip yang dipegang oleh K.H. Ahmad Dahlan.2 Menurut Syarifuddin Jurdi K.H. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah telah menunjukkan partisipasi politiknya dalam kehidupan kenegaraan. Partisipasi politik tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk merebut kekuasaaan, tetapi memiliki makna yang luas bagi upaya gerakan ini dalam menggarap bidang sosial kemasyarakatan. Dengan dasar tersebut, K.H. Ahmad Dahlan terlibat dan bersinggungan dalam dinamika politik. Relasi sosial politik dengan berbagai lembaga dan sikap maupun responnya terhadap dinamika politik dilakukannya untuk mencapai cita-cita sosialnya.3 Berbagai singgungan gerakan politik K.H. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah sebagai berikut:

1 Dakwah dilakukan untuk menyuruh kepada yang ma’ruf (amr bil al-ma’ruf) dan mencegah dari yang mungkar (al nahyu ‘an al-munkar), sebagaiman yang tersurat dalam Al-Quran Surat Ali Imran 104, yang artinya, “adakanlah dari kamu sakalian, golongan yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah daripada keburukan. Mereka itulah golongan orang yang beruntung bebahagia” (QS. Ali Imran: 104). Dalam Haedar Nashir, Meneguhkan Ideologi Gerakan Muhammmadiyah, (Malang: UMM Press, 2006), hlm. xxii.

2 Hikmawan Syahputra, “Peran Politik Muhammadiyah Tahun 2010-2014”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, (Malang : Universitas Brawijaya Malang, 10 September 2014), hlm. 1.

3 Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah dalam Dinamikan Politik Indonesia 1966-2006, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010). hlm. 97.

(2)

A. Upaya Memperoleh Badan Hukum Muhammadiyah

Bangkitnya gerakan nasional bangsa Indonesia menjelma dalam bentuk-bentuk keorganisasian pergerakan. Hal ini terlihat ketika didirikannya organisasi pergerakan pertama Budi Utomo pada tahun 1908. Awal mula berdirinya Muhammadiyah bermula dari perbincangan K.H. Ahmad Dahlan dan Organisasi Budi Utomo. Pertemuan K.H. Ahmad Dahlan dengan Budi Utomo dimulai tahun 1909, setahun setelah Budi Utomo berdiri melalui Djojosumarto yang merupakan orang kepercayaan sekaligus pengurus besar dari pendiri Budi Utomo, dr. Wahidin Sudirohusodo.4

Djojosumarto mempunyai banyak famili di kampung Kauman, sehingga pertemuan dengan K.H. Ahmad Dahlan sangat memungkinkan terjadi.5 K.H. Ahmad Dahlan dalam pertemuannya dengan Djojosumarto di rumahnya, K.H. Ahmad Dahlan bertanya kepadanya :

“Mas Djojosumarto, saya mendengar berita bahwa di Yogyakarta sekarang ini ada perkumpulan yang telah berdiri bernama Budi Utomo, dibangun dan didirikan oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dan dr. Sutomo. Sedangkan mas Djojosumarto adalah orang yang sangat dekat dengan dr. Sutomo. Kami ingin mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya tentang Budi Utomo, tapi kendalanya kami belum mengenal para pengurus Hoofbestuur Budi Utomo, yang terdiri dari orang-orang terdidik dan terpelajar, kami sama sekali asing tentang keahlian mereka. Sebaliknya mereka asing dengan keahlian kami. Karena itu, mungkinkah kami saling berkenalan?”6

4 Ibid, hlm. 24-27.

5 Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 68.

6 H.M. Sjoedja’, Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah versi Baru,” eds Syaifullah dan Musta (Manuskrip, 1995), hlm.48-50.

(3)

Pertanyaan tersebut kemudian di jawab oleh Djojosumarto dengan penuh hati-hati, dan jawabannya membuat gembira K.H. Ahmad Dahlan :

“Kyai, perkumpulan Budi Utomo itu perkumpulan bangsa kita, didirikan dan dibangun untuk memajukan bangsa kita. Jadi, kyai tidak perlu kecil hati dan khawatir tidak diterima untuk mengenalnya. Apalagi, sebagai kyai, tentu akan diterima dengan gembira, dan mereka akan berbesar hati. Pendek kata, nanti akan kami hubungkan dengan para pengurus Hoofdbestuur Budi Utomo.”7

Pertemuan dengan para pengurus Budi Utomo di rumah dr. Wahidin Sudirohusodo, K.H. Ahmad Dahlan disambut dengan hangat. Namun K.H. Ahmad Dahlan sedikit malu karena yang ada dihadapannya adalah kalangan cendekiawan, yang asing baginya. Kemudian pada tahun 1909, K.H. Ahmad Dahlan resmi bergabung menjadi anggota Budi Utomo dan diangkat sebagai penasehat masalah-masalah agama. Posisinya ini memungkinkan dirinya mengaktualisasikan ilmu yang dikuasasinya dan belajar mengenai organiasasi modern. Budi Utomo mengambil peran dalam proses permohonan pendirian Muhammadiyah kepada pemerintah.8

Dalam rangka pendirian Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan melakukan berbagai langkah sebagai persiapan berdirinya Muhammadiyah. Langkah Pertama, K.H. Ahmad Dahlan menemui dan berdiskusi dengan Budiharjo dan R. Dwijosewojo, guru kweekschool di Gubernement Jetis. Ini dilakukan setelah mengadakan pertemuan dengan para santrinya. Hasil pembicaraan dengan kedua guru dan Tokoh Budi Utomo itu meliputi enam hal:

7 Ibid, hlm. 50.

8 A. Jainuri, Gerakan Reformasi Islam DI Jawa Pada Awal Abad Kedua Puluh, (Surabaya : Bina Ilmu, 1981). hlm. 34-35.

(4)

1. Siswa Kweekschool tidak boleh duduk dalam pengurus perkumpulan karena dilarang oleh ispektur kepala sekolah.

2. Calon pengurus pengurus diambil dari orang-orang yang sudah dewasa. 3. Nama perkumpulan belum ada dan K.H. Ahmad dahlan sedang

menyiapkannya.

4. Tujuan perkumpulan belum ada.

5. Tempat perkumpulan adalah Yogyakarta

6. Budi Utomo membantu dengan syarat menyiapkan anggota baru sebanyak 7 orang untuk dijadikan anggota Budi Utomo.9

Langkah kedua, K.H. Ahmad Dahlan mengadakan pertemuan dengan orang-orang dekat, dan memikirkan bakal berdirinya organisasi tersebut. Agenda pertemuan tersebut membahas mengenai nama perkumpulan, maksud, tujuan, serta tawaran siapa yang bersedia menjadi anggota Budi Utomo10 supaya bisa memenuhi syarat keenam. Hasil dari pembicaraan tersebut; Nama perkumpulan ini diberikan oleh K.H. Ahmad Dahlan sendiri, diambil dari nama nabiyullah terakhir, Muhammad saw., dengan mendapat tambahan “yak nisbah”, sehingga menjadi “Muhammadiyah”.; Maksud perkumpulan ini bahwa secara perseorangan, bisa

9 Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah-Gagasan Pembaharuan Sosial Keagamaan. (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 25.

10 Tujuh orang yang bersedia menjadi anggota Budi Utomo untuk mengusahakan berdirinya Muhmmadiyah adalah H. Sarkowi, Abdul Ghani, H.M. shoeja’, Hisyam, H.M. Fachruddin, H.M. Tammimy dan K.H. Ahmad Dahlan. Lihat dalam Syaifullah, op cit. hlm. 74.

(5)

menjadi warga dan anggota Muhammadiyah dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW.

Langkah ketiga, K.H. Ahmad Dahlan dan ke enam anggota baru Budi Utomo itu mengajukan permohonan kepada Hoofdbestuur Budi Utomo supaya mengusulkan berdirinya Muhammadiyah kepada pemerintah Hindia-Belanda. Setelah melalui berbagai pertemuan, pematangan rencana dan berbagai persiapan membentuk organisasi, akhirnya pada 18 November 191211 berdiri gerakan Islam bernama Muhammadiyah. Setelah menerima permohonan dari Hoofbestuur Budi Utomo mengenai berdirinya Muhammadiyah, Gubernur Jenderal Hindia Belanda meminta pertimbangan dan saran kepada empat penguasa lembaga terkait yaitu: Residen Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, Pepatih Dalem, dan ketua penghulu Haji Muhammad Kholil Kamaludiningrat.12

Dalam rapat Dewan Agama dan Hukum Keraton yang diketuai penghulu Haji Muhammad Kholil Kamaluddiningrat, ternyata permohonan dari K.H. Ahmad Dahlan ditolak. Hal ini disebabkan oleh peserta rapat dan terutama ketuanya tidak memahami persoalan mengenai isi dan istilah yang dibicarakan. Namun, penyebab utamanya adalah persoalan pribadi antara ketua penghulu dan K.H. Ahmad Dahlan. Kemudian keputusan rapat yang menolak permohonan K.H. Ahmad Dahlan diserahan kepada Pepatih Dalem keraton. Namun, Pepatih Dalem malah menegaskan Muhammadiyah akan membantu pekerjaan penghulu keraton dalam

11 Penetuan tanggal tersebut sesuai usul K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya, dan setelah melalui pertimbangan rasional dan spiritual lewat musyawarah dan salat istiharah. Ibid, hlm. 76.

(6)

mengajarkan agama Islam. Setelah itu ketua penghulu mengubah sikapnya dari menolak permohonan K.H. Ahmad Dahlan menjadi menerima permohonan tersebut. Sri Sultan Hamengku Buwono VII menyetujui permohonan berdirinya Muhammadiyah. 13

Sri Sultan Hamengku Buwono VII mengeluarkan surat izin yang diteruskan kepada Gubernur Jenderal dan diserahkan kepada Hoofdbestuur Budi Utomo diteruskan kepada K.H Ahmad Dahlan. Sehingga dengan keluarnya surat izin tersebut, Muhammadiyah secara resmi berdiri pada tanggal 18 November 1912.14 Sesuai dengan surat permohonan yang diajukan K.H. Ahmad Dahlan susunan anggotanya sebagai berikut; K.H. Ahmad Dahlan (Ketua), H. Abdullah Siradj (Sekretaris), H. Ahmad, H. Abdur Rahman, H. Muhammad, R. H. Djailani, H. Anies, H. Muhammad Fakih (Anggota).15 Kemudian K.H. Ahmad dahlan mengadakan rapat pengurus untuk yang pertama kalinya guna mempersiapkan proklamasi berdirinya Muhammadiyah. Dalam rapat pengurus itu diundang pula dua orang Hoofdbestuur Budi Utomo dan beberapa warga Kauman.

13 Sikap penolakan tersebut disebabkan persoalan pribadi antara K.H. Ahmad Dahlan, mengingat peristiwa yang pernah dilakukan olehnya yakni masalah pembenaran arah kiblat dan shof masjid besar Kauman 12 tahun lalu (1898), serta ketidaktahuan atas perbedaan istilah residen dengan presiden. Sebab K.H. Ahmad Dahlan menggunakan istilah presiden yang oleh peserta rapat disamakan dengan istilah residen, padahal keduannya berbeda. Lihat dalam Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, op. cit. hlm. 27.

14 Syarifuddin Jurdi, op. cit. hlm. 80-81.

15 Lihat Lampiran, Statuen Muhammadiyah 1912 artikel 5. hlm. 128. Lihat juga A. Jainuri, op. cit. hlm. 35.

(7)

Langkah keempat, K.H Ahmad Dahlan mengadakan rapat pengurus untuk yang pertama kalinya guna mempersiapkan proklamasi berdirinya Muhammadiyah. Dalam rapat pengurus itu diundang pula dua orang Hoofdbestuur Budi Utomo dan beberapa warga Kauman. Rapat menerima usul R. Dwidjosewojo yang menyarankan agar proklamasi bersifat terbuka untuk masyarakat umum, selain untuk pejabat pemerintah dan pejabat kasultanan; bertempat di gedung pertemuan Loodge Gebuw Malioboro, yang terletak di jatung kota Yogyakarta, dan pada malam hari, yaitu malam Minggu, minggu terakhir bulan Desember 1912. Kemudian memproklamasikan berdirinya Muhammadiyah sesuai dengan yang direncanakan, mulai dari pukul 20.30 sampai 23.30. Undangan yang disebar sebanyak 150, yang hadir hanya 60 sampai 70 orang. Hal tersebut disebabkan karena kesadaran rakyat pada waktu itu belum merata, bahkan masih banyak yang tidak peduli terhadap masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.16

Pada tanggal 20 Desember 1912 K.H. Ahmad Dahlan mengajukan surat permintaan badan hukum kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan mengirim “Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912). K.H. Ahmad Dahlan berkirim surat kepada gubernur jenderal yang telah ditanda-tangani olehnya dan sekretarisnya H. Abdulah Siradj dengan dilampiri Anggaran Dasar Muhammadiyah. Surat tersebut ditanggapi oleh pemerintah Hindia Belanda secara hati-hati. 17

16 Syaifullah, op. cit. hlm. 78.

17 Ahmad Faizin Karimini, Pemikiran dan Perilaku Politik K.H. Ahmad Dahlan, (Gresik : MUHI Press, 2012), hlm.98.

(8)

Selang empat bulan, residen Yogyakarta Liefricnk mengirim surat kepada gubernur jenderal pada tanggal 21 April 1913 yang menyetujui ruang gerak Muhammadiyah terbatas hanya residensi Yogyakarta. Hal ini senada dengan saran-saran yang diberikan oleh ketiga lembaga tersebut, maka Gubernur Jenderal Idenburg secara resmi meminta mengganti ruang lingkup permohonan yang diajukan dari “Hindia Belanda” dipersempit menjadi “Residen Yogyakarta.”18 Setelah rapat Hoofdbestuur Muhammadiyah pada tanggal 15 Juni 1914, perubahan tersebut disetujui dalam rapat. Akhirnya permintaan izin tersebut baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 22 Agustus 1914 melalui Besluit Gubernur Jenderal No. 81, izin operasi tersebut hanya dibatasi di wilayah Yogyakarta.19 Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi.20

Dalam “Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, “Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya “Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”. Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah; Menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada

18 Lihat Lampiran, Statuen Muhammadiyah 1912, artikel 2, 4, dan 7. hlm. 128-130.

19 Lihat Lampiran, Tentang Ketetapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tahun 1914, hlm. 137.

(9)

penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya.”21

Dalam hal keanggotaan, Hoofdbestuur Muhammadiyah belum mengurus masalah ini secara formal pada empat tahun pertama sejak didirikan, karena perhatian utama masih tertuju pada persiapan pembentukan kader secara riil, tidak hanya sekedar jumlah anggota. Pada akhir tahun 1916 Hoofdbestuur merasa perlu untuk mulai menerbitkan dan mengatur masalah keanggotaan ini sehingga pada tanggal 30 Desember diadakan pendaftaran terhadap mereka yang ingin menjadi anggota Muhammadiyah, lengkap dengan alamat dan pekerjaan.22

Pendaftaran pertama tahun 1916 tercatat anggota Muhammadiyah dengan perincian: 82 orang atau 55% berasal dari kampung Kauman, 23 orang atau 15,4% berasal dari sekitar kampung Kauman, dan 42 orang atau 28,2% berasal dari luar daerah itu, tetapi masih di dalam residen Yogyakarta. Satu hal yang menarik, pada waktu itu terdapat dua anggota atau 1,3% yang berasal dari luar residen Yogyakarta, walaupun itu tidak dibenarkan dalam anggaran dasar.23

Sementara itu, menurut latar belakang pekerjaan, anggota Muhammadiyah yang menjadi wiraswasta, pedagang, atau saudagar menduduki tingkat teratas, terdapat 74 orang atau 47% dari keseluruhan jumlah anggota Muhammadiyah pada tahun 1916. Anggota Muhammadiyah yang berasal dari pegawai, pamong praja, atau guru sebanyak 27 orang atau 18,1%, sedangkan pejabat urusan agama atau

21 Lihat Lampiran, Statuen Muhammadiyah 1912 artikel 1 dan 2, hlm. 128. 22 Syaifullah, op. cit. hlm. 82.

(10)

ulama, swasta, serta buruh berjumlah masing-masing 18 orang atau 12,1%. 16 orang atau 10,7% dan 13 orang atau 8,7%. Selain itu terdapat seorang anggota yang mempunyai pekerjaan sebagai wartawan.24

TABEL 3 DAFTAR PEKERJAAN ANGGOTA MUHAMMADIYAH 1916-1921

No. Pekerjaan Tahun 1916 1917-1921 Jumlah % 1. Saudagar/ Wiraswasta 74 16 193 38,6 2. Pegawai/ Pamong Praja/ Guru 27 10 123 24,6 3. Pegawai Urusan Agama/ Ulama 18 - 30 6 4. Swasta 16 27 97 19,4 5. Buruh 13 7 55 11 6. Wartawan 1 1 2 0,4 Jumlah 149 61 500 100

Sumber: Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, 1 Abad Muhammadiyah - Gagasan Pembaharuan Sosial Keagamaan. (Jakarta : PT. Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 60.

Sampai pada tahun 1917 gerakan Muhammadiyah masih terbatas di kota Yogyakarta saja. Kegiatan yang dilaksanakan masih terbatas pada pengajian-pengajian dengan materi keagamaan dan keorganisasian. Bertepatan menjelang diselenggarakan Kongres ke–9 Budi Utomo pada tahun 1917, pembenahan administrasinya untuk menyongsong pengembangan Muhammadiyah ke luar Yogyakarta.25 Momentum yang sangat tepat telah diperoleh Muhammadiyah ketika K.H. Ahmad Dahlan mendapat kesempatan untuk bertabligh dalam kongres Budi Utomo. Tabligh K.H Ahmad Dahlan tersebut menarik para peserta kongres yang

24 Ibid.

(11)

banyak diantara mereka datang dari luar Yogyakarta, sehingga kemudian Muhammadiyah banyak menerima permohononan yang datang dari beberapa daerah di Jawa untuk mendirikan cabangnya.26

K.H. Ahmad Dahlan melihat bahwa perkembangan Muhammadiyah sangat pesat, baik dari dalam maupun dari luar kota Yogyakarta. Sehingga, K.H. Ahmad Dahlan merasa perlu mengajukan izin kepada pemerintah Hindia Belanda, karena mengingat badan hukum yang pertama diberikan hanya sebatas wilayah Yogyakarta saja. Tepatnya pada tanggal 20 Mei 1920, K.H. Ahmad Dahlan kembali mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda agar ruang geraknya diperluas sampai daerah kekuasaan Hindia Belanda. Permohonan tersebut ditanda-tangani oleh K.H. Ahmad Dahlan dan M. Djojosugito27 (sekretaris). Permohonan tersebut dilatarbelakangi oleh lima pertimbangan.28

Pertama, orang-orang yang bertempat tinggal di luar residen Yogyakarta ingin menjadi anggota Muhammadiyah karena para donatur majalah Swara Muhammadiyah29 sudah melintasi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Kedua, para alumni yang pernah mendapat pendidikan Islam dari K.H. Ahmad Dahlan sejak 1909 sudah tersebar ke berbagai kota, selanjutnya membentuk sebuah kelompok

26 Ahmad Adaby Darban, op.cit., hlm. 43.

27 M. Djojosugito merupakan tokoh intelektual Muhammadiyah yang selanjutnya akan keluar dari Muhammadiyah dan mendirikan gerakan Ahmadiyah Lahore di Indonesia (GAI).

28 Syaifullah, op. cit. hlm. 84.

29 Sebuah majalah yang diterbitkan oleh Muhammadiyah yang terbit mulai 1916, dengan awal penerbitan menggunakan bahasa Jawa dan mulai tahun 1920 menggunakan bahasa Melayu. Lihat dalam Abdul Munir Mulkhan, op. cit. hlm. 46.

(12)

pengajian dan mengundang K.H. Ahmad Dahlan serta ingin menjadi anggota Muhammadiyah sebagai cabang daerahnya. Ketiga, beberapa anggota Muhammadiyah karena urusan pekerjaan dan harus bertempat tinggal di luar residen Yogyakarta juga ingin mendirikan cabang Muhammadiyah.30

Keempat, semakin banyak permintaan dari bekas peserta kongres Budi Utomo pada tahun 1917 untuk mendirikan cabang di berbagai daerah di Pulau Jawa, yang disebabkan karena mereka terpukau dengan ceramah K.H. Ahmad Dahlan dalam kongres yang berlangsung di Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah miliknya. Kelima, peranan K.H. Ahmad Dahlan sebagai komisaris dan penasehat Islam pusat Sarekat Islam (SI). Apa yang dilakukan pada Budi Utomo juga dilakukan pada SI, bahkan banyak di antara anggota SI yang meminta didirikan Muhammadiyah di daerahnya, sementara didaerahnya belum ada SI.31

Dari hasil pertimbangan tersebut akhirnya, K.H. Ahmad Dahlan mengirimkan surat permohonan perluasan ruang gerak Muhammadiyah seluas kekuasaan Hindia Belanda. Selanjutnya dalam tempo tiga bulan atau tepatnya tanggal 3 Agustus 1920, pemerintah Hindia Belanda menyetujui permohonan Muhammadiyah, lewat Besluit No. 40.32 Namun terdapat perubahan pada artikel 2, mengenai maksud berdirinya Muhammmadiyah. Sedangkan artikel 4,5, dan 7 tidak mengalami perubahan. Artikel 2, yang semula berbunyi: “Maka perhimpunan itu

30 Aji Digdaya, “Peran Muhammadiyah Dalam Pergerakan Di Yogyakarta 1912-1945”. Skripsi , (Yogyakarta : UNY, 2012), hlm. 68.

31 Ahmad Faizin Karimini, op. cit. hlm.100.

32 Lihat Lampiran, Tentang Ketetapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tahun 1920, hlm. 139.

(13)

maksudnya menyebarkan pengajaran Igama Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kepada penduduk Bumi Putera di dalam residen Yogyakarta; dan memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya,”33 diubah menjadi: “Maksud persyarikatan ini yaitu memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia-Nederland, memajukan dan menggembirakan cara hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lid-nya.”34

Rapat anggota Muhammadiyah pada tanggal 17 Juni 1920, kegiatan para kader Muhammadiyah secara resmi menjadi bagian dalam kepengurusan Hoofdbestuur Muhammadiyah. Sejak saat itu Muhammadiyah terus berkembang dengan pesat. Perkembangan tersebut didukung dengan diterbitkannya Gouverments Besluit No 40 tanggal 16 Agustus 1920 yang mengijinkan Muhammadiyah berkembang diseluruh Hindia Belanda. Dengan adanya perubahan izin tersebut, selain meluaskan ruang gerak penyebaran Islam kepada pribumi Indonesia, juga mempertegas rumusan keharusan sikap pribumi terhadap Islam yang belum diketahui sekaligus mentransformasikannya kepada orang lain dalam bentuk pengajaran, baik formal maupun non formal.35

Usaha K.H. Ahmad Dahlan tidak berhenti disitu saja, usaha memperoleh pengakuan badan hukum dari pemerintah Hindia Belanda terus dilakukan. Usaha K.H. Ahmad Dahlan kali ini mengubah artikel Anggaran Dasar pada artikel 4, 5,

33 Lihat Lampiran, Statuen Muhammadiyah 1912 artikel 2. hlm. 128. 34 Lihat Lampiran, Statuen Muhammadiyah 1914 dan 1921 artikel 2. hlm. 131-134.

(14)

dan 7 agar sesuai dengan artikel 2 yang telah disetujui perubahannya. Maka delapan bulan setelah dikeluarkannya Besluit No. 40 tanggal 1920, tepatnya tanggal 7 Mei 1921, K.H. Ahmad Dahlan mengajukan kembali permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda melalui Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk mengubah artikel-artikel tersebut. Permohonan tersebut dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda lewat Besluit No. 36 bulan September 192136

Perubahan artikel tersebut sebagai berikut; Artikel 4 tentang keanggotaan semula berbunyi: “Sekutu biasa itu hanyalah orang-orang yang beragama Islam di residensi Yogyakarta saja”, menjadi “Sekutu biasa itu hanyalah orang-orang yang beragama Islam di Hindia-Nederland saja”.37 Akibat dari perubahan artikel ini permintaan menjadi anggota Muhammadiyah sangat terbuka bagi orang Islam di seluruh Hindia Belanda. Artikel 5 tentang pengurus, yang semula berbunyi “Maka pemerintahan persyarikatan itu ada di tangan satu Hoofdbestuur, banyaknya sembilan orang anggota, yang dipilih dan anggota persyarikatan itu, yaitu: satu vice presiden, satu sekretaris nomor satu, satu sekretaris nomor dua, satu thesaurier, dan empat commissaris” menjadi “Anggota pengurus besar terdiri dari setidaknya 9 orang, yang dipilih dalam rapat anggota. Penguru besar dapat menambah anggotanya, kemudian disahkan dalam rapat anggota tahunan”.38

36 Lihat Lampiran, Tentang Ketetapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tahun 1921, hlm. 141.

37 Lihat Lampiran, Statuen Muhammadiyah 1914 dan 1921 artikel 4, hlm. 131-134.

38 Lihat Lampiran, Tentang Ketetapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tahun 1921 artikel 5, hlm. 141.

(15)

Artikel 7 menjadi “Apabila dalam sebuah tempat di Hindia Belanda terdapat 10 orang anggota atau lebih, disitu dapat didirikan cabang dan dibentuk pengurusnya”,39 semula yang dipakai bukan kata-kata “Hindia-Nederland” melainkan “Residen Yogyakarta”. Sehingga setiap tempat di Hindia Belanda, jika telah memiliki sebelas orang anggota Muhammadiyah, sudah dapat mendirikan cabang Muhammadiyah. Setelah munculnya perijinan tersebut, cabang Muhammadiyah terus berkembang di berbagai daerah, dalam kurun waktu 3 tahun saja Muhammadiyah sudah memiliki 14 cabang.40

TABEL 4. CABANG-CABANG MUHAMMADIYAH TAHUN 1921-1923

Tahun Nama Cabang Tanggal Berdiri

1921

Srandakan, Yogyakarta 22 Juni 1921

Imogiri, Yogyakarta 25 Sepetember 1921 Blora, Jawa Tengah 27 November 1921 Surabaya, Jawa Timur 27 November 1921 Kepanjen, Jawa Timur 21 Desember 1921

1922

Surakarta, Jawa Tengah 25 Januari 1922 Garut, Jawa Barat 30 Maret 1922

Jakarta 9 Maret 1922

Purwokerto, Jawa Tengah 15 November 1922 Pekalongan, Jawa Tengah 26 November 1922 Pekajangan, Jawa Tengah 26 November 1922 1923

Purbalingga, Jawa Tengah 25 November 1923 Klaten, Jawa Tengah 25 November 1923 Balapulang, Jawa Tengah 25 November 1923 Sumber: Abu Mujahid, Sejarah Muhammadiyah: Gerakan “Tajdid” di

Indonesia bagian I. ( Bandung: Too Bagus Publishing, 2013), hlm. 200.

Perkembangan Muhammadiyah yang sangat pesat menjadikan anggota-anggota Muhammadiyah didaerah berkeinginan untuk mendirikan cabang di daerah

39 Lihat Lampiran, Statuen Muhammadiyah 1921, artikel 7, hlm. 134. 40 Abu Mujahid, Sejarah Muhammadiyah: Gerakan “Tajdid” di Indonesia bagian I. ( Bandung: Too Bagus Publishing, 2013), hlm. 200.

(16)

tempat tinggalnya. Bahkan diluar 14 cabang Muhammadiyah yang ada di tahun 1923 masih ada sepuluh permohonan mendirikan cabang namun Muhammadiyah masih terus menunda permohonan meraka. Hal tersebut menjadikan pengurus Muhammadiyah terpaksa mengurus 1230 anggota dari pusat di Yogyakarta.41

B. Reaksi Terhadap Politik Ordonansi Guru a. Hakekat Politik Ordonansi Guru

Seperempat abad pertama dari masa kolonial di abad ke-20 adalah masa kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah. Potret Muhammadiyah yang paling menonjol adalah pengembangan sistem pendidikan Islam modern, sehingga banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah dari kota sampai ke pelosok-pelosok. Pada awalnya sistem pendidikan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah adalah bersifat dakwah Islam, sebagai akibat kebijakan pemerintah Belanda. Sebelum Muhammadiyah muncul, Belanda sangat membatasi ruang gerak dakwah Islam, dan sebaliknya sangat mendukung organisasi misi dan zending bentukan pemerintah Kolonial dalam rangka penyebaran agama Kristen Protestan di wilayah Hindia Belanda.42

Sikap Belanda yang seperti itu adalah satu hal yang wajar dan biasa dilakukan pihak penjajah ketika sedang menggalakkan misi ekspansi ke negeri jajahan. Di samping melalui invasi, strategi umum yang biasanya dilakukan

41 Ibid, hlm. 201.

42 Zainal Abidin, “Menapaki Distingsi Geneologis Pemikiran Pendidikan (Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama), NIZHAM, Vol. 4, No. 2 Juli - Desember 2015, hlm. 266.

(17)

penjajah, tidak terkecuali Belanda, dalam mempertahankan kekuasaannya di negeri jajahan adalah dengan memperbanyak produksi peraturan yang menguntungkan mereka. Aturan-aturan inilah yang kerapkali dijadikan dasar dan legitimasi mereka dalam memperlakukan penduduk di tanah jajahan.43

Salah satu peraturan yang menguntungkan Belanda dan merugikan umat Islam adalah Ordonansi Guru. Ordonansi Guru yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial Belanda ditujukan untuk mengendalikan pendidikan yang diselenggarakan oleh umat Islam. Guru-guru agama, dicurigai sebagai ancaman potensial terhadap pemerintah Belanda. Kemunculan kebijakan itu menjadikan iklim penyelenggaraan pendidikan Islam pada akhir abad ke-19 hingga permulaan abad ke-20 sangat diawasi secara ketat.44 Lembaga pendidikan Islam yang sejatinya menjadi sasaran Ordonansi Guru dan dianggap mengancam eksistensi pemerintah kolonial Belanda adalah pesantren yang dipimpin oleh seorang Kyai.45

43 Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam dalam Penyusunan UU Nomor 2/1989, Terj. Lillian D.T., (Jakarta: INIS, 2004), hlm. 28.

44 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Cet. Pertama, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 147.

45 Doktrin-doktrin berbasis agama, seperti cinta tanah air, jihad sebagai perang suci hingga gerakan amar ma’ruf nahi munkar dalam melawan penjajah disemai sedemikian subur di pesantren. Doktrin-doktrin itu disampaikan melalui pelbagai metode, di antaranya dengan pengajian dan yel-yel yang dapat membakar semangat, seperti kalimat takbir. Pelan tapi pasti, doktrin-doktrin seperti itu telah berhasil menumbuhkan sikap fanatisme dan rasa benci guru, serta para santrinya terhadap kekuasaan pemerintah Belanda. Lihat dalam, Ahmad Adaby Darban, “Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia”, dalam Majalah Pembaharuan, Edisi 1, (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1985), hlm. 39-40.

(18)

Deliar Noer menjelaskan latar belakang dan tujuan diterbitkannya peraturan tersebut. Dia menyatakan sebagai berikut :

“Salah satu cara yang dipergunakan oleh pihak Belanda untuk mengawasi Islam di Indonesia, terutama di Jawa, ialah peraturan yang dikeluarkan dalam tahun 1905 tentang pendidikan Islam. Peraturan tersebut mengharuskan izin tertulis dari bupati atau pejabat yang sama kedudukannya tentang pendidikan agama Islam. Izin ini mengemukakan secara terperinci sifat dari pendidikan itu. Tambahan lagi guru agama bersangkutan harus membuat daftar dari muridmuridnya menurut bentuk tertentu yang harus dikirimkan secara periodik kepada kepala daerah bersangkutan. Bupati atau pejabat yang sama keududukannya hendaklah mengawasi dan mengecek apakah guru agama tersebut bertindak sesuai dengan izin yang diberikan. Pejabat ini juga harus mengawasi anak-anak murid dimaksud yang berasal dari luar daerah guru tadi.”46

Bagi pemerintah Hindia Belanda, pesantren merupakan sumber segala bentuk perlawanan masyarakat di Jawa. Perlu diakui bahwa pesantren pada pertengahan hingga akhir abad ke-19 memang telah memainkan peran signifikan bagi perlawanan masyarakat terhadap pemerintah Belanda. Di pesantren benihbenih anti kolonialisme ditabur dan dirawat dengan baik.47 Sartono Kartodirdjo menegaskan bahwa pertumbuhan pesantren yang sangat luar biasa telah berfungsi efektif sebagai tempat pendidikan peserta gerakan kebangkitan Islam yang militan.

Di pesantren benih-benih anti kolonialisme ditabur dan dirawat dengan baik agar memiliki sikap fanatisme yang tinggi, sehingga Belanda mereka anggap sebagai pemerintah kafir. Kekalahan Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan dibantu sekitar 108 orang Kiai. Kemudian peristiwa “Pemberontakan Petani Banten tahun 1888” memang cukup membekas dalam

46 Deliar Noer, op. cit, hlm. 194.

(19)

memori kolektif sebagian besar orang-orang Belanda. Peristiwa ini adalah bukti sejarah betapa saat itu “gerakan Islam sporadis” atau yang dalam istilah Sartono Kartodirdjo disebut “pergolakan sosial”, di pedesaan memiliki peran signifikan dalam melawan penjajahan Belanda.48

Menurut pemerintah Hindia Belanda, kondisi keamanan dan ketertiban (rust en orde) di daerah jajahan harus kembali ditegakkan dan dijalankan. Berbagai kerusuhan, pemberontakan dan kegaduhan juga harus diantisipasi agar tidak terjadi lagi.49 Pada akhirnya, sekitar dua tahun pasca tragedi Cilegon, Banten (1890), K.F. Holle selaku Penasehat Urusan Pribumi, menyarankan agar pendidikan Islam di Jawa diawasi secara ketat. Saran K.F. Holle didasarkan pada pertimbangan bahwa “motor penggerak” di balik tragedi tersebut adalah para Kyai.50

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Belanda pada 19 November 1905 menerbitkan Staatsblad nomor 550 tentang Pengajaran Agama Islam atau dikenal dengan Ordonansi Guru. Lembaran Negara tersebut disusun di Bogor pada tanggal 2 November 1905, serta disahkan atau ditandatangani J.B. van Heutsz selaku Gubernur Jenderal, dan De Groot sebagai Sekretaris. Esensi Ordonansi Guru ini ditujukan untuk mengatur pelaksanaan pengawasan Belanda terhadap pembelajaran

48 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya, Terj. Hasan Basari, (Jakarta: YIIS bekerjasama dengan Pustaka Jaya, 1984), hlm. 156-215.

49 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda. (Jakarta: LP3ES, 1985). hlm. 52.

50 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Terj. Daniel Dhakidae, Cet. Kedua, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), hlm. 52.

(20)

agama Islam di tanah Jawa dan Madura, kecuali Surakarta dan Yogyakarta.51 Berikut ringkasan dari Staatsblad nomor 550 tahun 1905 :

Pasal 1. Guru-guru agama dengan reputasi baik dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum yang akan mengajarkan agama Islam wajib mendapat ijin tertulis dari Patih atau Bupati.

Pasal 2. Guru-guru agama wajib mendaftarkan para muridnya secara tertulis sesuai dengan ketentuan (blanko) pendaftaran yang telah ditetapkan Bupati; Murid-murid yang berasal dari luar daerah atau kediaman guru agama, ditetapkan Bupati dengan menyerahkan identitas yang bersangkutan.

Pasal 3. Pengawasan guru agama dalam mengajar agama dilakukan oleh Patih atau Bupati; Kepada Patih dan Bupati, guru agama wajib memberi daftar mata pelajaran yang diajarkan, dan memberi ijin masuk keduanya (Patih dan Bupati) ke semua tempat pengajaran dan tempat tinggal murid;

Pasal 4. Guru-guru agama yang mengajar tanpa ijin atau lalai dalam memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dikenakan denda setinggi-tingginya 25 gulden, atau sangsi kurungan maksimal 8 hari dengan kewajiban bekerja untuk negara tanpa upah; Bagi guru agama yang mengajarkan materi pelajaran yang bertentangan dengan peraturan yang berlaku, atau menggunakan nama palsu dalam menerima murid, dikenakan denda setinggi-tingginya 100 gulden, atau sangsi kurungan maksimal 30 hari dengan kerja paksa tanpa upah.

Pasal 5. Guru-guru agama harus tunduk pada peraturan ini.

51 Farid Setiawan, “Kebijakan Pendidikan Muhammadiyah terhadap Ordonansi Guru”, Jurnal Pendidikan Islam : Volume III, Nomor 1, Juni 2014, hlm. 52.

(21)

Pasal 6. Peraturan ini berlaku di Jawa dan Madura, kecuali pada daerah yang dikuasai Sultan, yakni Yogyakarta dan Surakarta52

Kewajiban guru agama (Kyai) untuk tunduk terhadap ordonansi guru merupakan salah satu tanda bahwa pemerintah Belanda sedang memberangus kemerdekaan mereka dalam mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Selain itu, pemberian otoritas yang sangat besar kepada Patih dan Bupati untuk soal perijinan dan pengawasan juga merupakan bagian dari strategi pihak Belanda dalam membangun konflik horizontal. Mengingat, jabatan Patih dan Bupati di Jawa pada masa itu biasanya diisi atau dijabat oleh orang-orang pribumi.53

Ketika keduanya diberikan kewenangan mutlak untuk menentukan bolehtidaknya sebuah aktivitas pendidikan keagamaan berlangsung, jelas hal ini dapat memicu konflik horizontal, mengingat para penyelenggara kegiatan tersebut juga orang-orang pribumi. Lebih-lebih, para Patih dan Bupati dalam Ordonansi Guru juga diberi kekuasaan untuk melakukan pengawasan dan mengeluarkan tindakan berupa sangsi terhadap para pelanggarnya.54

Sekalipun secara konsepsional dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa Patih dan Bupati memiliki kekuasaan untuk melakukan pengawasan dan mengeluarkan tindakan berupa sangsi terhadap para pelanggar Ordonansi Guru, namun menurut Ibnu Qoyim Ismail, peran dan tugas tersebut dalam praktiknya seringkali dilimpahkan kepada Penghulu, yakni ulama pejabat yang kedudukan dan

52 Ibid

53 Ibnu Qoyim Ismail, Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 83.

(22)

peran sosial keagamaannya sebagai pelaksana dalam bidang Kehakiman yang menyangkut hukum Islam. Akibatnya, muncul sikap curiga-mencurigai dan ketegangan antara Kiai dengan Penghulu. Ketegangan inilah yang menyebabkan disintegrasi umat, khususnya di kalangan pemimpin Islam.55

b. Sikap K.H. Ahmad Dahlan

Meskipun Ordonansi Guru 1905 itu telah menjadi hambatan umat Islam dalam menyelenggarakan pendidikan agama, namun pada awal peraturan tersebut dikeluarkan Belanda pada tanggal 2 November 1905 terdapat satu fenomena menarik. Pasalnya, tidak ada protes yang muncul di kalangan umat Islam di Jawa pada awal dikeluarkan Ordonansi Guru tersebut. Nurcholish Madjid menyebut bahwa pada saat itu para Kyai banyak yang tidak dapat membaca dan menulis huruf latin. Kedua kemampuan inilah yang diduga kuat telah menjadi penyebab utama tidak adanya protes dari umat Islam.56

Namun dalam perkembangannya, ternyata ordonansi tersebut berdampak pada terhambatnya proses penyelenggaraan pengajaran agama Islam dalam pesantren atau madrasah yang diajar oleh Kyai ataupun guru agama Islam di Jawa.

55 Ibnu Qoyim Ismail, op. cit. hlm. 65.

56 Karena sikap protes masyarakat di dalam budaya politik patron-client sangat ditentukan oleh tokoh penggerak. Tatkala tokoh penggeraknya belum dapat membaca dan menulis huruf latin boleh jadi mereka tidak mengerti dan paham substansi yang terkandung di dalam Ordonansi Guru. Karena itulah, para Kyai saat itu kemungkinan menilai bahwa sikap diam adalah pilihan terbaik daripada melakukan protes terhadap suatu hal yang belum diketahui. Lihat dalam Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: sebuah Potret Perjalanan, Cet. Pertama, (Jakarta: Paramadina, 1997). hlm. 7.

(23)

Dalam Ordonansi Guru tidak disebutkan secara eksplisit nama lembaga pendidikan Islam tertentu. Sifat umum inilah yang kemudian telah dijadikan dalih para Bupati dan Patih untuk menerapkan Ordonansi Guru kepada semua lembaga pendidikan di Jawa yang mengajarkan agama Islam. Latar belakang ordonansi guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah.57

Salah satu lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam sekolah/madrasah Muhammadiyah Sekolah atau madrasah ini pertama kali didirikan K.H. Ahmad Dahlan di Kauman pada tanggal 1 Desember 1911.58 Masyarakat di Kauman pada saat itu mengenal lembaga ini dengan nama Sekolah Kyai (Sekolah yang diadakan oleh Kyai) atau Madrasah Ibtidaiyyah Diniyah Islamiyah.59 Sekolah yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan diselenggarakan dengan sistem pendidikan modern yang kemudian dikembangkan secara luas setelah Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912.60

Perlu diketahui pada awal periode kepemimpinan K.H. Ahmad Dahlan tampaknya tidak ada persoalan krusial yang terkait dengan kemunculan Ordonansi

57 Farid Setiawan, op. cit, hlm. 55.

58 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Sekolah, Madrasah: Pendidikan Islam Pada Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 52.

59 Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, Cet. Pertama, (Yogyakarta: Tarawang, 2000), hlm. 43.

(24)

Guru.61 Hal ini disebabkan karena sekolah/madrasah Muhammadiyah pertama kali didirikan di kampung Kauman, Yogyakarta. Sementara wilayah operasi Ordonansi Guru, sebagaimana disebut di dalam Staatsblad 1905 nomor 550 diberlakukan bagi seluruh daerah di Jawa, kecuali daerah yang dikuasai Sultan, yaitu Yogyakarta dan Surakarta.62

Walaupun demikian bukan berarti K.H. Ahmad Dahlan tidak menentang kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut. Sikap antikolonialisme tidak serta merta membuat K.H. Ahmad Dahlan dan para tokoh Muhammadiyah bermusuhan dengan Belanda. Secara resmi Muhammadiyah mengajukan ijin pendirian organisasi kepada pemerintah Belanda. Sistem pendidikan Muhammadiyah juga mengakomodir sistem sekolah Belanda. Oleh karenanya, Belanda tidak menaruh kecurigaan kepada siasat politik Muhammadiyah. Sikap akomodatif yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan membuat sekolah-sekolah Muhammadiyah di Yogyakarta dengan mendapatkan subsidi pemerintah.63

K.H. Ahmad Dahlan memiliki alasan-alasan teologis dan politis yang mendasari kerjasama dan kesediaan menerima subsidi dari pemerintah Belanda. Menurut K.H. Hisyam, K.H. Ahmad Dahlan menerima bantuan dari belanda karena uang tersebut hakikatnya adalah uang rakyat Indonesia. Jika K.H. Ahmad Dahlan tidak mau menerima maka subsidi tersebut akan dialokasikan kepada organisasi

61 Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia: 1966-2006, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 95.

62 Lihat bagian sebelumnya tentang peraturan ordonansi guru 1905, hlm. 93.

(25)

lain. Walaupun menerima subsidi, tidak berarti Muhammadiyah menjadi sub ordinat pemerintah Belanda.64 Dalam bahasa Alfian, ia adalah orang yang tidak suka membikin keributan atau kemelut politik terhadap pemerintah Belanda, tidak terkecuali dengan kemunculan Ordonansi Guru.65

K.H. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah aktif melakukan tekanan politik dan menggalang kekuatan berbagai elemen sosial dan politik melawan pemberlakuan Ordonansi Guru, walaupun tidak secara terang-terangan menentang. Meskipun secara formal bukan partai politik, dalam menjalankan amal usahanya Muhammadiyah dianggap merugikan kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Aktifitas yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah, khususnya bidang pendidikan, pada dasarnya bertentangan dengan dengan tujuan politik kolonial yang ingin membodohi rakyat agar selamanya berada dalam cengkraman kolonial. Dengan demikian, siasat politik K.H. Ahmad Dahlan dilakukan agar cita-cita sosialnya tercapai.66

Pada perkembangan selanjutnya, setelah dikeluarkannya Gouverments Besluit No 40 tanggal 16 Agustus 1920, yang mengijinkan Muhammadiyah

64 Sumarno, “Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Studi Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan)”, AL MURABBI, (Ngawi : STIT Muhammadiyah Tempurrejo Ngawi, 2017), Vol.3, No. 2, hlm. 230.

65 Alfian, Politik Kaum Modernis: Perlawanan Muhammadiyah terhadap Kolonialisme Belanda, (Jakarta: al-Wasat, 2010), hlm. 147.

66 Jajat Burhanudin, Ulama Perempuan Indonesia, (Jakarta : PT. Gradmedia Pustaka, 2002), hlm. 58.

(26)

berkembang diseluruh Hindia Belanda.67 Dengan adanya perubahan izin tersebut, selain meluaskan ruang gerak penyebaran Islam kepada pribumi Indonesia, juga mempertegas rumusan keharusan sikap pribumi terhadap Islam yang belum diketahui sekaligus mentransformasikannya kepada orang lain dalam bentuk pengajaran, baik formal maupun non formal.68

Sekolah atau madrasah Muhammadiyah yang telah dirintis K.H. Ahmad Dahlan akhirnya tumbuh dan berkembang hampir di seluruh pulau Jawa. Tidak hanya itu, pasca dikeluarkannya Gouverments Besluit No 40 tahun 1920 cabang-cabang Muhammadiyah dan tentu saja lembaga pendidikannya mulai bermunculan di luar Jogjakarta, dan bahkan radius operasinya menyebar hingga ke seluruh Indonesia. Setelah munculnya perijinan tersebut, cabang Muhammadiyah terus berkembang di berbagai daerah, dalam kurun waktu 3 tahun saja Muhammadiyah sudah memiliki 14 cabang.69 Akibatnya dengan adanya ordonansi guru 1905 yang ruang lingkupnya pulau Jawa dan Madura, maka membuat terhambatnya proses pendidikan agama dalam madrasah ataupun pesantren pada cabang-cabang Muhammadiyah di luar Jogjakarta.

K.H. Ahmad Dahlan menilai adanya pembatasan dan penyempitan gerak Muhammadiyah sehingga perkembangan akan pengajaran agma Islam terhambat. Situasi tersebut membuat K.H. Ahmad Dahlan untuk menyelesaikan permasalahan

67 Lihat Lampiran, Tentang Ketetapan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tahun 1920, hlm. 139.

68 Aji Digdaya, op. cit. hlm. 71. 69 Abu Mujahid, op. cit, hlm. 200.

(27)

ordonansi guru dengan membawa masalah tersebut ke dalam untuk membahas persoalan Ordonansi Guru dalam Kongres al-Islam di Cirebon tahun 1921. Namun, K.H. Ahmad Dahlan mengutus muridnya H. Fachroddin untuk mengatasi masalah ordonansi guru tersebut.70

c. Perantara Politik K.H. Ahmad Dahlan

Sesuai dengan teori kepemimpinan, kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktivitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama” (Rauch & Behling). Dalam suatu organisasi, peranan pemimpin dalam mencapai tujuan organisasi cukup besar. Hal ini disebabkan karena pemimpinlah yang mengorganisasikan seluruh kegiatan pencapaian tujuan organisasi.71 Dalam hal ini kemampuan kepemimpinan seorang pemimpin dalam organisasi sangat menentukan kebijakan-kebijakan yang akan diambil di dalam suatu organisasi demi tercapai tujuan tertentu, sehingga sebagai seorang pemimpin K.H. Ahmad Dahlan mengambil keputusan untuk mengutus H. Fachroddin untuk menyelesaikan masalah ordonansi guru tersebut.

K.H. Ahmad Dahlan sendiri mempunyai alasan kenapa memilih H. Fachroddin. Alasan pertama, mengingat kesehatannya yang mulai terganggu pada akhir tahun 1921,72 hal ini dibuktikan oleh ucapannya:

70 Farid Setiawan, op. cit, hlm. 58.

71 Soekarso ,dkk, Teori Kepemimpinan, (Jakarta : Mitrawacanamedia, 2010), hlm. 46.

(28)

“Kalau sekiranya saya lambatkan atau saya hentikan lantaran sakitku ini maka tidak ada orang yang sanggup meletakkan dasar itu. Saya sudah merasa bahwa umur saya tidak akan lama lagi.”.73

Dalam ucapan tersebut menunjukan bahwa meski dalam kondisi sakit K.H. Ahmad Dahlan tetap memimpin Muhammadiyah, lantaran sakit tersebut H. Fachroddin di tunjuk sebagai utusan Muhammadiyah untuk membawa masalah tersebut dalam Kongres al-Islam di Cirebon tahun 1921. Alasan kedua, H. Fachroddin merupakan salah satu murid angkatan pertama yang dididik langsung oleh pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan. Pribadi H. Fachroddin, seperti iman yang kuat, kritis, jiwa patriot, dan pemikiran Islam modern.74

Pandangan kritis H. Fachroddin menjadi semakin memuncak setelah tahun 1920 menjumpai beberapa guru agama Islam dari sekolah/madrasah Muhammadiyah yang terhambat melakukan kegiatan lantaran Ordonansi Guru. Pada saat itu para guru Muhammadiyah tidak dapat secara bebas menyiarkan agama Islam karena adanya syarat yang mewajibkan mereka memiliki ijin resmi dari pejabat pribumi (Patih dan Bupati). Regulasi yang terlalu banyak memberikan kewenangan kepada Patih dan Bupati itu, dalam praktiknya seringkali digunakan untuk menekan agama Islam. Berdasar alasannya sendiri, keduanya yang telah diberi kewenangan dengan mudah menolak untuk memberikan ijin yang diperlukan guru agama.75

73 Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah, op. cit. hlm. 15. 74 Farid Setiawan, op. cit, hlm. 58.

(29)

K.H. Ahmad dahlan mendistribusikan subsatansi nilai-nilai Islami ke dalam proses politik sebagai dakwah amar ma’ruf nahi munkar, yaitu dengan selalu aktif dan responsif dalam mempengaruhi dan memantau jalannya proses kebijakan dan kepemerintahan dalam hal ini dalam menyelesaikan masalah ordonansi guru, baik secara kelembagaan maupun melalui elite-elite Muhammadiyah itu sendiri. Melalui elit Muhamadiyah, K.H. Ahmad Dahlan menunjuk H. Fachroddin untuk membahas persoalan Ordonansi Guru dalam Kongres al-Islam di Cirebon tahun 1921.76

Sebagai Wakil dari Hoofdbestuur Moehammadijah, H. Fachroddin dalam Kongres ini menjelaskan panjang-lebar sembari mengoreksi kembali kebijakan Ordonansi Guru tahun 1905. Dengan mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya H. Fachroddin mengusulkan agar Kongres al-Islam menuntut pemerintah Belanda untuk mencabut semua Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan yang dirasa telah merugikan umat Islam, dan salah satunya adalah Ordonansi Guru. Setelah mendengarkan usulan itu, para peserta Kongres al-Islam Cirebon dapat menerima dan meminta untuk segera ditindak lanjuti.77

Akhirnya, gagasan pencabutan Ordonansi Guru dikemukakan dalam Sidang Tahunan Muhammadiyah yang berlangsung pada tanggal 30 Maret s/d 2 April 1923. Sebagai pimpinan Sidang, H. Fachroddin saat itu menyampaikan gagasannya tentang sejarah Staatsblad 1905 nomor 550 lahir, pelaksanaannya di lapangan serta dampak-dampak nyata yang telah dialami umat Islam. Setelah melewati proses yang cukup panjang, pada akhirnya, berdasarkan Rapat Tertutup (Komisi) tanggal

76 Hikmawan Syahputra, op. cit, hlm. 10. 77 Farid Setiawan, op. cit, hlm. 58-59.

(30)

30 Maret 1923 dan Rapat Terbuka (Pleno) tanggal 1 April 1923, Muhammadiyah memutuskan agar Ordonansi Guru tahun 1905 itu dicabut.78

Ketua Hoofd Bestuur Moehammadijah menindaklanjuti keputusan sidang dengan mengeluarkan kebijakan fenomenal. Dikatakan fenomenal karena saat itu Muhammadiyah sudah menggunakan istilah “Motie Perserikatan”79, yang secara bahasa dapat dipahami sebagai pernyataan pendapat (sikap) Muhammadiyah. Motie tersebut, sebagaimana usulan peserta rapat, dikirimkan kepada pemerintah Belanda, baik melalui telegram maupun surat resmi. Hal ini dilakukan agar masyarakat umum dan segenap anggota organisasi lainnya dapat mengetahui sikap resmi Muhammdiyah tentang Ordonansi Guru.80

Secara politik, di dalam sikap Muhammadiyah tersebut ada semacam “tekanan” yang didasarkan pada argumentasi yang kuat. Dalam konteks ini Muhammadiyah rupanya tidak hanya sekedar menuntut Ordonansi Guru tahun 1905 itu dicabut. Tetapi lebih dari itu, Muhammadiyah juga menyarankan agar pemerintah Belanda membuat regulasi baru yang di dalamnya memberikan kebebasan kepada segenap umat Islam yang jumlahnya mayoritas di Jawa dapat mengajarkan agama Islam. Kebebasan yang ditekankan Muhammadiyah di sini lebih didasarkan kepada prinsip keadilan, tanpa adanya halangan atau rintangan dari pemerintah (Belanda).

78 Ibid.

79 Lihat Lampiran, Motie Perserikatan skripsi ini, hlm. 148. 80 Farid Setiawan, op. cit, hlm. 59-60.

(31)

Kemunculan “Motie Perserikatan” tampaknya menjadikan pendirian Belanda mulai goyah. Dalam batas-batas tertentu, sikap Muhammadiyah pun sangat diperhitungkan oleh pemerintah kolonial. Hal ini terlihat jelas dalam respons mereka pasca menerima telegram dan surat resmi Muhammadiyah. penasehat Inlandsche Zaken kemudian mengundang pimpinan persyarikatan untuk membahas masalah itu (perihal pencabutan Ordonansi Guru). Kesempatan ini pun tidak disia-siakan oleh Hoofd Bestuur Moehammadijah untuk menghadiri undangan tersebut.81

Proses negosiasi pun berjalan dengan lancar dan “dimenangkan utusan Muhammadiyah”. Hal ini tampak pada sikap Belanda pasca pertemuan tersebut yang ingin melakukan peninjauan kembali implementasi regulasi tentang pengawasan pendidikan agama Islam. Menurut mereka, pemaksaan pelaksanaan Ordonansi Guru tahun 1905 secara politik sudah tidak memungkinkan lagi, mengingat adanya reaksi dari sebagian besar umat Islam yang terhimpun dalam Congres al-Islam, Syarekat Islam dan Muhammadiyah yang menuntut regulasi itu dicabut. Selain itu, Belanda juga menilai bahwa kewajiban guru-guru agama untuk meminta ijin adalah sesuatu yang kurang efisien, mengingat laporan-laporan yang disampaikan para Bupati dan Patih masih kurang meyakinkan.82

Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permohonan Muhammadiyah untuk mencabut Ordonansi Guru tahun 1905. Sebagai gantinya, pemerintah menerbitkan regulasi baru melalui Staatsblad 925 Nomor 219 tahun 1925. Staatsblad yang disusun di Cipanas pada 14 Mei 1925 dan ditandatangani oleh De

81 Alfian, op. cit. hlm. 189

(32)

Fock dan G. R. Erdbrink tersebut sepintas tampak adanya “kelonggaran” terhadap pengajaran agama Islam. Dengan demikian, pencabutan Ordonansi Guru tahun 1905 dan diganti dengan Staatsblads 925 Nomor 219 tahun 1925 merupakan salah satu bentuk kemenangan Muhammadiyah dalam memainkan politik alokatif.83

C. Respon Terhadap Politik Ordonansi Haji a. Problematika Pelaksanaan Ordonansi Haji

Sebelum bagian penolong haji dibentuk, perlu diketahui bahwa akibat terjadinya berbagai perlawanan84 oleh kaum haji dan ulama terhadap kolonial, Pemerintahan Hindia Belanda melakukan pembatasan perjalanan haji ke Mekkah.85 Dengan alasan demikian, pemerintah Belanda memanfaatkan momentum tersebut untuk meraup dukungan yang besar dari para misionaris Kristen. Hal ini bukanlah suatu langkah yang sulit diraih, sebab pemerintah Belanda memang identik dengan agama Kristen (Protestan).86 Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengeluarkan berbagai aturan, yang bertujuan untuk membatasi dan mempersulit umat Islam ke Mekkah. Oleh karena itu, untuk lebih membatasi gerak umat Islam, dikeluarkanlah

83 Farid Setiawan, op. cit, hlm. 62.

84 Kekalahan Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro dan dibantu sekitar 108 orang Kiai. Kemudian peristiwa “Pemberontakan Petani Banten tahun 1888” memang cukup membekas dalam memori kolektif sebagian besar orang-orang Belanda. Lihat dalam Sartono Kartodirdjo, op. cit, hlm. 156-215.

85 Aqib Suminto, op. cit, hlm. 10. 86 Alwi Shihab, op. cit, hlm. 147.

(33)

Ordonansi yang antara lain berisi, larangan bagi umat Islam Indonesia pergi ke Mekkah jika tidak mempunyai pas jalan.87

Perlu diketahui bahwa ordonansi haji ini merupakan suatu kebijakan pemerintah Hindia Belanda terhadap para umat muslim. Hal ini disebabkan karena umat muslim khususnya para haji dianggap oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai penyebab berbagai pemberontakan yang sudah-sudah terjadi seperti yang dijelaskan sebelumnya. Bahwa para haji-haji ini pergi ke Mekkah tidak hanya untuk berhaji namun untuk mencari ilmu disana dan menerima semangat Pan Islamisme. Sehingga para haji ini dianggap oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai penghambat dalam proses Kristenisasi di Jawa.88

Akibat situasi tersebut pemerintah Hindia Belanda menerapkan kebijakan Ordonansi Haji, yang isinya merupakan aturan-aturan atau regulasi dalam berhaji. Meskipun sebenarnya isinya cenderung menguntungkan pihak pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, penyelenggaraan haji lebih berkonotasi ekonomi dan jauh dari tanggungg jawab pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda membiarkan perhajian Indonesia dalam kondisi kurang dan tidak terjamin baik pelayanan maupun kesehatan dan keamanan dalam perjalanannya.89

87 Mursyidi Sumuran, Lintasan Sejarah Perjalanan Jemaah Haji Indonesia, (Jakarta: MARS-26, 1923), hlm. 12-13.

88 Suminto, op. cit., hlm. 10.

89 Saleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia, (Yogyakarta: Lkis, 2007), hlm. 156.

(34)

Tindakan tersebut diwujudkan dalam bentuk pemeriksaan-pemeriksaan oleh maskapai pelayaran Belanda yang tergabung dalam Kongsi Tiga dan broker-brokernya yang terdiri dari orang-orang pribumi sendiri, penipuan-penipuan para tengkulak haji dan Badal Syeikh, serta pemerasan secara legal. Semuanya memperoleh perlindungan pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah kolonial dengan kaki tangannya menjadikan urusan haji untuk memperoleh penghasilan (obyek mencari keuntungan materil) dan pemerasan yang sangat empuk. Permasalahan di lapangan semisal tahun 1904 adalah karena uang perjalanan haji yang harus mereka tunjukan kepada petugas setempat saat di atas kapal dalam jumlah besar itu di anggap menyusahkan. Beberapa calon jamaah bahkan harus meminjam uang terlebih dahulu dengan bunga mahal kepada para broker yang berada di tempat, serta tidak jarang di temukan menyuap juru tulis atau penjaga keamanan agar proses administrasi berjalan dengan lancar.90

Para jamaah haji membeli retourbiljet (tiket Pulang-Pergi), jika melanggar ketentuan ini akan dikenakan denda antara 25 gulden hingga 100 gulden. Kebijakan tentang tiket pergi-pulang ini diperkuat dalam ordonansi 1902 No. 318. Dikeluarkannya kewajiban membeli tiket pergi-pulang ini, menyulitkan bagi jamaah haji yang ingin tinggal lama di Mekkah untuk menuntut ilmu. Dari segi politik, dengan tiket pergi-pulang dapat memudahkan pemerintah kolonial Belanda

90 Pada pemberangkatan musim Haji tahun 1910 bahkan ada beberapa syekh yang meninggalkan calon jamaah Haji. Perbuatan Syekh tersebut sangat merugikan jamaah Haji sehingga biaya pengangkutan barang-barang ke Tanjung Priok dan penginapan di bawa lari. Di kutip dalam arsip laporan Mukhlis Paeni & Tim Penyusun. Biro Perjalanan Haji Di Indonesia Masa Kolonial: Agen Herklots dan Firma Alsegoff & Co.(ANRI:Jakarta, 2001), hlm. 24-25.

(35)

dalam mengontrol dan menekan jumlah umat Islam Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di sisi lain, tiket pergi-pulang dapat meringankan kondisi jamaah haji yang kehabisan uang dalam perjalanan untuk pulang ke Tanah Air, karena sudah punya tiket pulang.91

Selanjutnya setiap calon haji harus membayar 110 gulden untuk pembayaran pas jalan. Para calon haji yang tidak membeli pas jalan akan dikenakan denda dua kali lipat harga pas jalan, yaitu 220 gulden. 92 Sekembali dari ibadah haji, seseorang harus mengikuti ujian haji dan harus membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah mengunjungi Mekkah. Ujian itu dilakukan oleh bupati dan kyai yang ditunjuk. Bila seseorang lulus, maka ia berhak menyandang gelar haji dan mengenakan busana haji khusus. Sebaliknya, bila gagal tapi ia nekad mengaku-aku dirinya haji dan mengenakan pakaian haji, maka ia didenda 25 hingga 100 gulden .93

Meskipun peraturan ini baik karena mensyaratkan calon jamaah harus mampu dalam ekonomi untuk menjalankan haji juga harus menjamin keperluan keluarganya selama ditinggal haji. Namun peraturan ini merupakan bagian dari usaha Belanda menghalangi ibadah haji, terutama bila diperhatikan dari pelaksanaannya. Jamaah diharuskan menyimpan uang di kas keresidenan sebesar 500 real dan diberi tanda bukti penyimpanan. Sekembalinya dari haji mereka bisa

91 Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje Jilid VIII, Terj. Soedarso Soekarno (Jakarta: INIS, 1993), hlm. 161.

92 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke 19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). hlm. 236.

(36)

mengambilnya kembali. Namun tidak dijelaskan bagaimana mencairkan uang mereka kembali. Selain itu, mereka juga diharuskan memperlihatkan sekurang-kurangnya membawa uang 500 gulden kepada bupati setempat di daerah tempat tinggalnya atau para pegawai yang diberi tugas di kapal yang akan membawa ke Mekkah.94

Pelaksanaan ordonansi haji tidak selalu ditaati oleh umat Islam Indonesia yang hendak pergi menunaikan ibadah haji. Meskipun telah dikeluarkan ordonansi mengenai pas jalan, tidak banyak umat Islam Indonesia yang berangkat ke Jeddah dengan menggunakan pas jalan haji. Ini dikarenakan harga pas jalan sebesar 110 gulden dianggap terlalu mahal jika dibandingkan dengan harga tiket kapal. Kemudian terdapat sebagian jamaah haji Indonesia yang berangkat ke Jeddah tanpa menggunakan pas jalan. Hal ini dikarenakan sebagian di antara mereka mendapat kesulitan untuk mendaftarkan keberangkatannya kepada pemerintah kolonial Belanda setempat (bupati).95

Kemudian masalah kesehatan menjadi masalah yang sengaja di biarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Para calon haji ini ditaruh dalam satu fasilitas kapal yang kurang memadahi. Dalam laporan haji tahun 1912 di ketahui dari 18.53596 pribumi Hindia Belanda yang berangkat haji, 2634 orang meninggal dunia, artinya sekitar 14 % dari keseluruhan jamaah haji yang berangkat. Pada musim haji

94 M. Dien Majid, Berhaji Di Masa Kolonial, (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), hlm. 88.

95 Shaleh Putuhena, op. cit., hlm. 140.

96 Lihat lampiran skripsi ini, jumlah jamaah haji Indonesia tahun 1879-1929, hlm 145.

(37)

berikutnya tahun 1913 jumlah jamaah yang meninggal dalam perjalanan di atas kapal haji menjadi 3158 orang atau sekitar 12 % orang dari 26321 keseluruhan jamaah haji. Di antara jamaah yang meninggal untuk jamaah yang berasal dari Batavia di ketahui 50 orang meninggal, dan 56 lainnya hanya terjangkit penyakit.97

Dalam perjalanan haji yang memakai maskapai-maskapai tersebut, tidak mengutamakan kesejahteraan jamaah haji. Kapal yang penuh sesak dengan penumpang ditambah lagi barang-barang yang dibawah sehingga lorong-lorong kapal penuh dengan tumpukan barang. Sehingga untuk melaksanakan shalat sulit karena keterbatasan tempat. Bahkan mereka harus membuang hajat kecil dan besar terpaksa dilakukan ditempat mereka bernaung. Selama bongkar-muat barang, para jamaah harus mengurus makanannya sendiri baik dalam kapal maupun di pelabuhan dan mereka sering hanya mendapat bagian air yang kotor.98

Selama Perang Dunia I, jamaah haji Indonesia tidak menggunakan kapal haji milik perusahaan Belanda. Ini dikarenakan pihak maskapai Belanda menghentikan kegiatan pengangkutan jamaah haji. Baru tahun 1920, Kongsi Tiga mulai beroperasi kembali mengangkut jamaah haji Indonesia. Kembalinya Kongsi Tiga dalam pengangkutan jamaah haji Indonesia tidak dibarengi dengan perbaikan fasilitas pengangkutannya. Pada awal tahun 1920-an jumlah kematian jamaah haji Indonesia masih tinggi. Setiap seribu orang ada dua hingga lima orang yang

97 Fauzan Baihaqi, op. cit., hlm. 97. 98 Hurgronje, op. cit., hlm. 109.

(38)

meninggal. Pada tahun 1921 ada 3.170 dari 28.839 jamaah haji Indonesia yang meninggal.99

Setelah di ketahui penyebabnya karena fasilitas kapal-kapal Kongsi Tiga yang bermasalah semisal maskapai milik Nederland, fasilitas jamban dan ventilasi dek bawah kapal tidak dalam keadaan yang baik untuk jamaah, serta pencahayaan ruangan yang kurang. Di sisi lainnya pengaturan pembagian konsumsi makanan dan minuman selama di atas kapal bermasalah secara higienis.100 Penularan penyakit cepat menyebar karena kondisi tubuh masing-masing jamaah berbeda-beda selama berada di Mekkah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Jan Hendrik Ziesel, jenis penyakit yang menular di Mekkah antara lain; kolera, baksil disentri, cacar dan pes. Selain itu, penyakit tuberkolose, lepra, trahom, sakit kepala dan kelamin juga banyak diderita jamaah haji.101

b. Usaha Perbaikan Perhajian

Cara dan pendekatan yang ditempuh Ahmad Dahlan ini dilakukan secara simpatik dan sistematis. K.H. Ahmad Dahlan memandang untuk menyaingi misi Kristen, Muhammadiyah perlu mendirikan lembaga-lembaga sosial seperti mendirikan sekolah, panti asuhan, klinik, dan lembaga-lembaga lain di seluruh Indonesia sebagai gerakan politik tandingan terhadap pemerintah Hindia

99 Shaleh Putuhena, op. cit., hlm. 129. 100 Fauzan Baihaqi, op. cit., hlm. 98. 101 M. Dien Majid, op. cit., hlm. 112.

(39)

Belanda.102 Salah satu usaha K. H. Ahmad Dahlan tersebut dapat dilihat dalam hal perbaikan dalam masalah perhajian di Hindia Belanda dengan mendirikan suatu badan penolong haji dalam Muhammadiyah.

Berbagai perlakuan dan kondisi yang diciptakan Hindia Belanda sebagai akibat dari politik Kristenisasi tersebut sama sekali tidak memperhatikan aspirasi umat Islam untuk perbaikan perjalanan haji. Karena perlakuan pemerintah Hindia Belanda ini maka tercetuslah ide-ide perbaikan perjalanan haji yang dimulai dari seorang tokoh “herfarmer” K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923) melalui organisasi yang didirikannya pada tahun 1912 yakni persyarikatan Muhammadiyah yaitu adanya Bagian Penolong Haji yang diketuai oleh K.H. M. Sudjak.103

Secara resmi tuntutan dan aspirasi perbaikan perjalanan haji Indonesia tertampung dan mulai 1921. K.H. Ahmad Dahlan menuntut Kongsi Tiga, supaya mengadakan perbaikan-perbaikan, penertiban pelayaran di atas kapal. Kemudian tahun 1922 Volksraad mengadakan perubahan-perubahan pada Pilgrims Ordonantie. Hoofdbestuur Muhammadiyah yakni K.H. Ahmad Dahlan mengutus anggotanya, K.H. M. Sudjak dan M. Wirjopertomo ke Mekkah untuk meninjau dan mempelajari masalah yang menyangkut perjalanan haji. Wadah gagasan perbaikan, penertiban haji ini diwujudkan pertama kali dalam badan yang disebut penolong haji (PH) di bawah pimpinan K.H. Ahmad Dahlan.104

102 Siti Muflikhatul Hidayah, “Citra Muhammadiyah sebagai Gerakan Anti Misi Kristen Indonesia”, Tajdida, Vol. 9, No. 2, Desember 2011, hlm. 156.

103 Departemen Agama RI, Bunga Rampai Perhajian II, (T.t, 2001), hlm. 1. 104 Ali Mufrodi, Haji Indonesia dalam Perspektif Historis. Disampaikan dalam Peresmian Jabatan Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2003. hlm. 14.

(40)

Secara kongkrit usaha perbaikan perjalanan haji melalui penyelidiki Bagian Penolong Haji tahun 1922 Hoofdbestuur Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan mengutus K.H. M. Sudjak dan M. Wirjopertomo ke tanah suci guna melakukan penyelidikan yang lebih sempurna tentang pengurusan dan pelayanan terhadap calon jamaah haji selama perjalanan dan di Arab Saudi. Demikian juga usaha-usaha dan kunjungan bersifat politis ditempuh. Usaha penyelidikan perbaikan perjalanan haji dari Bagian Penolong Haji ini ditemukan bahwa pihak Hindia Belanda bersifat ambivalent karena dalam rangka politik Islamnya disatu pihak berusaha mengambil hati umat Islam dan dipihak lain menindak tegas setiap usaha-usaha yang menentang Hindia Belanda.105

Sehingga pada tahun 1922 Volksraad mengadakan perubahan bahan dalam ordonansi 1922 memunculkan Pilgrim Ordonantie 1922, menyebutkan bahwa bangsa pribumidapat mengusahakan pengangkutan calon haji dan juga menerbitkan regulasi baru mengenai ordonansi haji. Walaupun sifat dan kebijakan Hindia Belanda ambivalent disambut baik oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan menunjuk K.H. M.

Sudjak dan M. Wirjopertomo dengan di sponsori oleh H. Oemar Syahid Tjokrominoto, H. Agus Salim dan K.H. M. Sudjak tahun 1923 dibentuk organisasi Haji Hindia Timur.

Sebagai realisasi dari Pilgrim Ordonantie 1922, R.A.A Djajadiningrat, R. Mulyadi Djojomartono, H. Agus Salim, dan K.H. M Sudjak berusaha mengorganisir pengangkutan jemaah haji Indonesia. Namun usaha ini mendapat rintangan, baik oleh maskapai pelayaran Belanda, maupun pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dikarenakan

105 Zainal, Dakwah Jama’ah Haji Nusantara Dari Masa Ke Masa, artikel tanpa tahun dan tempat, hlm. 11.

(41)

pemerintah Hindia Belanda takut mendapat saingan maka usaha pengangkutan jemaah haji bagi umat Islam tidak memperoleh izin.106

Penyelenggaraan urusan haji yang sudah dirintis berdasarkan fakta-fakta yang ada waktu itu dilanjutkan oleh tokoh umat Islam berjalan hanya beberapa tahun kemudian, dan selanjutnya memutuskan suatu badan yang diberi nama P.H. Singkatan dari Penolong Haji, berpusat di kota Yogyakarta. Dari badan “Penolong Haji” ini terbentuk sebuah badan yakni “Comitee Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia” yang anggotanya terdiri dari para ulama dan golongan cerdik pandai. Dengan terbentuknya badan ini diharapkan dapat membeli kapal sendiri.107

c. Hasil Tuntutan K.H. Ahmad Dahlan

K.H. Ahmad Dahlan telah berhasil menuntut pemerintah Hindia Belada dalam hal ini meminta perusahaan pelayaran Kongsi Tiga agar melakukan perbaikan dalam masalah perhajian. Dengan dikeluarkannya ordonansi haji 1922 tersebut menyempurnakan ordonansi haji sebelumnya, yang diantaranya mengatur mengenai angkutan haji, keamanan, kesehatan, pelabuhan haji dan fasilitas angkutan selama dalam perjalanan.Dampak dari dikeluarkannya ordonansi tahun

106 Ada orang muslim dari Hongkong (H.Husain) yang merasa simpati dengan perjuangan umat Islam Indonesia dalam perbaikan perjalanan haji. Ia menolong dengan mengerahkan kapalnya “Kapal Islam” dengan simbol Ka’bah untuk mengangkut jemaah haji Indonesia, sehingga banyak umat Islam tertarik dan naik kapal itu karena ongkosnya bersaing. Lihat dalam Mursyidi Mr Sumuran, op. cit., hlm. 20.

(42)

1922 ini adalah dengan semakin bertambah banyaknya jumlah umat Islam Indonesia yang ingin pergi menunaikan ibadah haji pada tahun-tahun berikutnya.108

Sejaktahun 1898 pelabuhan haji dibatasi hanya di dua pelabuhan saja, yaitu pelabuhan Batavia dan Padang. Dengan ditambahnya jumlah pelabuhan haji di Indonesia berdampak dengan semakin meningkatnya jumlah jamaah haji Indonesia pada tahun-tahun berikutnya. Dampak lain dari ditetapkannya ordonansi 1922 adalah memudahkan jamaah haji yang berasal dari Kalimatan dan Sumatra yang selama ini lebih memilih berangkat dari Singapura, beralih memilih berangkat dari pelabuhan haji di Indonesia.109

Hasil perubahan dari tuntutan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan terhadap pemerintah Hindia Belanda yaitu ordonansi tahun 1922 menjelaskan tentang kapal haji harus memenuhi syarat kelayakan, seperti geladak lantai atas harus berkondisi baik karena digunakan tempat tinggal jamaah dan tinggi geladak minimal harus 1,80 Meter, berventilasi dan cukup penerangan. Tiap-tiap geladak harus cukup terpasang sejumlah daun pintu yang dilengkapi dengan kaca. Di kapal harus ada pengaturan rumah sakit, apotik dan dokter yang bersertifikat. Di kapal harus menyediakan makanan dan minuman yang cukup. Harus tersedia untuk 150 penumpang kelas ekonomi terdiri dari 2 kamar kecil.110

Usaha perbaikan pemerintah berikutnya adalah menjaga kesehatan para jamaah, dalam pandangan petugas kesehatan di Mekkah menilai bahwa warga

108 M. Dien Majid, op. cit., hlm. 105. 109 Ibid, hlm. 93.

Gambar

TABEL 3 DAFTAR PEKERJAAN ANGGOTA MUHAMMADIYAH 1916-1921
TABEL 4. CABANG-CABANG MUHAMMADIYAH TAHUN 1921-1923

Referensi

Dokumen terkait

Karena memiliki tubuh yang sehat merupakan salah satu dambaan setiap orang, karena kekayaan tidak akan dapat kita nikmati apabila tubuh tidak sehat, sehingga

Semakin banyak bibit ayam petelur maka telur yang dihasilkan akan semakin banyak, dengan demikian maka tidak akan terjadi kelangkaan dan harga telur akan relatif murah,

Masing-masing indikator akan diberi skor ukuran tinggi dan rendah terhadap harapan serta kenyataan yang terjadi selama ini, pemberian skor pada indikator akan

STEL batas paparan jangka pendek: 2) batas paparan jangka pendek: nilai batas yang di atasnya paparan hendaknya tidak terjadi dan yang terkait dengan jangka 15-menit (kecuali

Pada tahun- tahun tersebut di Kalimantan Barat terdapat koran Pontianak Post dan Akcaya, para senior angkatan 1990an banyak yang menulis, ada teman juga nulis, jadi saya juga

Narasumber juga memberikan hasil penilaian dari validasi media dari segi komponen materi dengan nilai 90% yang tergolong sangat baik penilaian ini diberikan oleh

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (STUDI KASUS KESENJANGAN KUALITAS PELAYANAN RAWAT INAP DI RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR)” adalah

Hasil analisis hubungan antara proses pelayanan klinis dengan kepuasan pasien diperoleh bahwa ada 4 orang (66,7%) yang merasa puas pada mereka yang merasa proses pelayanan