• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mata Pelajaran : Sejarah

Kelas/Semester : X IPS 2 Tahun Pelajaran : 2017/2018 Pokok Bahasan : Siklus II No Kegiatan Baik Sekali

Baik Cukup Kurang

C. Pendahuluan

1 Apersepsi

2 Menyampaikan tujuan yang akan dicapai 3 Menjelaskan materi 4 Menjelaskan

langkah-langkah pembelajaran

Picture And Picture?

D. Kegiatan Inti

5 Membagi siswa dalam kelompok

6 Mengawasi jalannya permainan

7 Menumbuhkan partisipasi aktif siswa dalam permainan

8 Memberi bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan 9 Memberi penghargaan terhadap keberhasilan siswa C. Kegiatan Penutup 10 Menyimpulkan materi pelajaran dengan melibatkan siswa 11 Memberikan tes 12 Menutup pelajaran

Keterangan :

Baik sekali : 4

Baik : 3

Cukup : 2

Lampiran Materi

Perkembangan Kehidupan Manusia Purba di Indonesia 1. Apa itu Manusia Purba?

Manusia purba adalah manusia penghuni bumi yang hidup pada zaman prasejarah (zaman ketika manusia belum mengenal tulisan). Kita mengetahui adanya manusia purba, yaitu dengan ditemukannya fosil dan artefak. Fosil adalah sisa-sisa organisme (manusia, hewan, dan tumbuhan) yang telah membatu yang tertimbun di dalam tanah dalam waktu yang sangat lama. Sedangkan artefak adalah perkakas atau alat-alat yang dipergunakan manusia purba ketika masih hidupnya. Fosil dan artefak itu ditemukan oleh para arkeolog (ahli purbakala) melalui kegiatan penggalian tanah. Hasil penggalian yang berupa fosil dan artefak ini kemudian diteliti. Tujuannya untuk mengetahui kehidupan manusia yang hidup pada masa lampau. Sebab manusia purba tidak meninggalkan sumber-sumber sejarah yang berupa tulisan.

Dari fosil dan artefak inilah kita dapat mengetahui kehidupan manusia Indonesia yang hidup pada masa prasejarah. Mengetahui kehidupan masyarakat Indonesia pada zaman prasejarah sangatlah penting. Karena selain kita dapat mengetahui ciri-ciri kehidupan manusia Indonesia yang hidup pada masa lampau, kita juga dapat membandingkannya dengan manusia sekarang.

Berdasarkan fosil dan artefaknya kita juga dapat mengetahui bahwa manusia purba hidupnya masih sangat sederhana, fisiknya belum sempurna seperti manusia sekarang, demikian pula dengan hasil-hasil kebudayaannya. Keadaan seperti itu sesuai dengan keadaan lingkungan hidupnya yang masih hutan belukar. Ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan pada masa itu belum maju seperti sekarang.

2. Para Peneliti Manusia Purba di Indonesia

Peta lokasi penemuan manusia purba di Indonesia

Fosil adalah tulang-belulang manusia maupun hewan dan tumbuhtumbuhan yang telah membantu. Sedangkan, artefak adalah peralatan dan perlengkapan kehidupan manusia sebagai hasil dari kebudayaannya.

Eugena Dobois adalah yang pertama kali tertarik meneliti manusia purba di Indonesia setelah mendapat kiriman sebuah tengkorak dari B.D Von Reitschoten yang menemukan tengkorak di Wajak, Tulung Agung. Fosil itu dinamai Homo Wajakensis, termasuk dalam jenis Homo Sapien (manusia yang sudah berpikir maju).

a. Ter Haar, Oppenoorth, G.H.R Von Koeningswald.

Hasil penemuannya adalah Fosil tengkorak di Ngandong, Blora. Tahun 1936, ditemukan tengkorak anak di Perning, 1 Meganthropus Palaeojavanicus Mojokerto. Tahun 1937-1941 ditemukan tengkorak tulang dan rahang Homo Erectus dan Meganthropus Paleojavanicus di Sangiran, Solo. Penemuan lain tentang manusia Purba : Ditemukan tengkorak, rahang, tulang pinggul dan tulang paha manusia Meganthropus, Homo Erectus dan Homo Sapien di lokasi Sangiran, Sambung Macan (Sragen),Trinil, Ngandong dan Patiayam (kudus).

b. Tjokrohandoyo dan Duifjes

Usaha penggalian yang dilakukan oleh Tjokrohandoyo dibawah pimpinan Duifjes telah menemukan dua fosil. Fosil-fosil yang ditemukan di Desa Perning dekat Mojokerto dan Sangiran dekat Surakarta itu menjadi sangat penting, karena diperkirakan berasal dari lapisan tanah yang sangat tua (lebih kurang dua juta tahun yang lalu). Fosil yang ditemukan itu diberi nama Homo Mojokertensis.

c. DR. T. Jacob

Penelitian tentang manusia Purba oleh bangsa Indonesia dimulai pada tahun 1952 yang dipimpin oleh Prof. DR. T. Jacob dari UGM, di daerah Sangiran dan sepanjang aliran Bengawan Solo. Fosil Manusia Purba yang ditemukan di Asia, Eropa, dan Australia adalah semuanya jenis Homo yang sudah maju: Serawak (Malaysia Timur), Tabon (Filipina), dan Cina. Fosil yang ditemukan di Cina

oleh Dr. Davidson Black, dinamai Sinanthropus Pekinensis.

Fosil yang ditemukan di Neanderthal, dekat Duseldorf, Jerman yang dinamai Homo Neaderthalensis. Menurut Dubois, bangsa asli Australia termasuk Homo Wajakensis, sehingga ia berkesimpulan Homo Wajakensis termasuk golongan bangsa Australoid.

3. Jenis Manusia Purba di Indonesia

Berdasarkan penemuan para ahli dapat diketahui adanya beberapa jenis manusia purba yang berhasil ditemukan di Indonesia, di antaranya:

a. Meganthropus Palaeojavanicus

Meganthropus Palaeojavanicus merupakan jenis manusia besar tertua di Pulau Jawa. Ditemukan di daerah Sangiran pada tahun 1941 oleh Van Koenigswald. Hasil temuannya berupa rahang atas dan bawah.

b. Pithecanthropus

Pithecanthropus berarti manusia kera. Fosil jenis Pithecanthropus ini ditemukan di Trinil Desa Ngawi , Perning daerah Mojokerto, Sangirang, Kedung kudus, Sambung Macan, dan ngadong.

Eugene Dubois menyimpulkan bahwa fosil ini memiliki volume otak 900 cc yang lebih kecil dibandingkan dengan volume otak manusia yang diatas 1000 cc dan volume otak kera yang tertinggi hanya 600 cc. Volume otak dari fosil itu berada di antara volume otak kera dan manusia. Oleh karena itulah, fosil itu disebut Pithecanthropus yang berarti manusia kera.

1) Pithecanthropus Erectus

Pithecanthropus Erectus berarti manusia kera yang sudah dapat berjalan tegak. Penelitian ini dapat didasarkan pada penemuan tulang rahang, dua geraham, bagian atas tengkorak, dan tulang paha kiri. Volume otak berada di antara volume otak kera dan manusia. Tulang paha menunjukkan bahwa makhluk itu sudah berjalan tegak. Itulah sebabnya, Eugene Dubois menyimpulkan bahwa hasil temuannya disebut Pithecanthropus Erectus yang berarti manusia kera yang sudah dapat berjalan

tegak.

Pithecanthropus Erectus

2) Pithecanthropus Mojokertensis (Robustus)

Pithecanthropus Mojokertensis berarti manusia kera dari Mojokerto. Fosil ini ditemukan dan diteliti oleh Von Koenigswald antara tahun 1936-1941. Hasil penemuannya berupa tengkorak anak-anak. Von Koenigswald memperkirakan tengkorak anak yang ditemukan itu adalah fosil yang berasal dari anak-anak Pithecanthropus

3) Pithecanthropus Soloensis

Pithecanthropus Soloensis berarti manusia kera dari Solo. Fosil ini ditemukan di daerah Ngadong, Lembah Sungai Bengawan Solo antara tahun 1931-1934. Hasil penemuannya berupa 11 buah fosil tengkorak, tulang rahang, dan gigi. Fosil ini diteliti oleh Von Koenigswald dan Weidenreich. Hasil penenelitian menyimpulkan bahwa makhluk ini lebih tinggi tingkatannya dari makhluk Pithecanthropus erectus.

Beberapa ciri-ciri manusia purba yang ditemukan di Indonesia:

1. Ciri Meganthropus Palaeojavanicus

 Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu.  Tubuh besar dan tegap.

 Hidup mengumpulkan makanan.  Hanya memakan tumbuhan.  Rahangnya kuat.

 Volume otak kecil. 2. Ciri Pithecanthropus

 Hidup antara 2 s/d 1 juta tahun yang lalu.  Hidup berkelompok.

 Hidungnya lebar dengan tulang pipi yang kuat dan menonjol.  Mengumpulkan makanan dan berburu.

 Makanannya daging dan tumbuhan. 3. Ciri jenis Homo Sapiens

 Hidup antara 25.000 s/d 40.000 tahun yang lalu.  Muka dan hidung lebar.

 Dahi masih menonjol.

c. Homo Sapiens

Homo Sapiens adalah jenis manusia purba yang telah memiliki bentuk tubuh yang sama dengan manusia sekarang.

Homo Sapiens

Jenis-jenis fosil Homo Sapiens yaitu: 1) Homo Wajakensis

Fosil manusia purba ini pertama kali ditemukan di Tulungagung Jawa Timur, oleh B.D. Van Rietschoten pada tahun 1889. Fosil ini merupakan fosil pertama yang dilaporkan ditemukan di Indonesia. Bagian tubuh yang ditemukan berupa fosil tengkorak atas dasar beberapa ruas tulang leher. Fosil manusia ini digolongkan sebagai Homo Sapiens.

2) Homo Soloensis

“Manusia Solo” adalah sebutan bagi Homo Erectus Soloensis. Fosilnya ditemukan oleh Ter Haar pada tahun 1931 di daerah Ngandong, Jawa Tengah, berupa sebelas fosil tengkorak, tulang rahang dan gigi. Saat pertama kali ditemukan fosil manusia purba ini digolongkan sebagai Homo Sapiens dan diberi nama Homo (Javanthropus) soloensis oleh W.F.F. Oppenoorth.

3) Homo Floresiensis

Homo Floresiensis atau “Manusia Flores” adalah nama yang diberikan kelompok peneliti terhadap kerangka hobbit yang ditemukan di Liang Bua, sebuah gua kapur di Ruteng, Manggarai, Pulau Flores pada tahun 2001. Di gua itu para peneliti menemukan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang

belum sepenuhnya membantu) dari sembilan individu. Kesembilan sisa-sisa tulang itu menunjukkan postur paling tinggi sepinggang manusia modern, sekitar 100 cm, dengan volume otak 380 cc. Usia kerangka-kerangka ini diperkirakan berasal dari 94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu. Selain sisa-sisa tubuh yang belum membatu itu, ditemukan juga berbagai mamalia seperti makhluk mirip gajah Stegodon, biawak, serta tikus besar, yang barangkali menjadi bahan makanan mereka, alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata panah, arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban penghuninya.Pemberian nama tersebut berangkat dari keyakinan bahwa Homo Floresiensis bukan manusia modern, melainkan spesies yang berbeda. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian bahwa tulang Homo Floresiensis berbeda dari tulang Homo Sapiens (manusia modern) dan manusia Neanderthal. Dua publikasi pada tahun 2009 memperkuat argumen bahwa spesimen kerangka Homo Floresiensis lebih primitif daripada Homo Sapiens dan berada pada wilayah variasi Homo Erectus.

Namun, pendapat bahwa fosil ini berasal dari spesies bukan manusia (modern) ditentang oleh kelompok peneliti yang juga terlibat dalam penelitian ini, seperti Prof. Teuku Jacob dari Universitas Gajah Mada. Berdasarkan temuannya, fosil dari Liang Bua ini berasal dari sekelompok orang katai Flores, yang sampai sekarang masih bisa diamati pada beberapa populasi di sekitar lokasi penemuan, yang menderita gangguan pertumbuhan yang disebut mikrosefali (“kepala kecil”); jadi, merupakan nenek moyang dari manusia modern. Menurut tim ini, sisa manusia dari Liang Bua merupakan moyang manusia katai Homo Sapiens yang sekarang juga masih hidup di Flores dan termasuk kelompok Australomelanesoid. Kerangka yang ditemukan terbaring di Liang Bua itu menderita microsefali, yaitu bertengkorak kecil dan berotak kecil.

4. Hasil-hasil Manusia Purba di Indonesia

Kebudayaan merupakan hasil dari pemikiran yang dilakukan dengan sadar yang bertujuan untuk menciptakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perkembangan kebudayaan manusia tersebut sesuai dengan perkembangan akan manusia yang menciptakan kebudayaan baik kebudayaan materi (kebudayaan kebendaan) maupun kebudayaan rohani.

a. Kebudayaan Material (Kebendaan)

Berupa alat-alat yang dapat membantu mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil kebudayaan mereka pada masa berburu dan mengumpulkan makanan seperti: Kapak genggam, alat serpih dan alat tulang/tanduk. Sedangkan pada masa bercocok tanam berupa Kapak genggam Sumatera (Pabble), Kapak Pendek (Bache Courte), flakes, dan sebagainya. Dan pada masa Perundagian berupa alat-alat dari logam seperti: Kapak corong (Kapak sepatu), Nekara, Bejana Perunggu, perhiasan dan manik-manik dari perunggu.

b. Kebudayaan Rohani

Munculnya sistem kepercayaan dalam kehidupan manusia berlangsung sejak masa berburu dan mengumpulkan makanan melalui penemuan penghormatan terakhir pada orang yang sudah meninggal, kemudian berubah menjadi pemujaan terhadap roh-roh leluhur pada masa bercocok tanam (Animisme dan Dinamisme), terlihat dengan adanya hasil kebudayaan megalitik. Dalam perkembangan selanjutnya manusia menyadari dan merasakan adanya kekuatan yang maha besar di luar diri manusia yaitu kekuatan Tuhan (Monotheisme).

C. Budaya Bacson-Hoabinh, Dong Son, Sa Huynh, India di Indonesia 6. Perkembangan Budaya Bacson-Hoabinh

Istilah Bacson-Hoabinh ini dipergunakan sejak tahun 1920-an, yaitu untuk menunjukkan suatu tempat pembuatan alat-alat batu yang khas dengan ciri dipangkas pada satu atau dua sisi permukaannya. Daerah tempat penemuan dari peninggalan kebudayaan Bacson-Hoabinh di temukan diseluruh wilayah Asia Tenggara, hingga Myanmar (Burma) di barat dan ke utara hingga propinsi-propinsi selatan dari kurun waktu antara 18000 dan 3000 tahun yang lalu. Namun pembuatan kebudayaan Bacson-Hoabinh masih terus berlangsung di beberapa kawasan, sampai masa yang lebih baru. Ciri khas alat batu kebudayaan Bacson-Hoabinh adalah penyerpihan pada satu atau dua sisi permukaan batu kali yang berukuran lebih kurang satu kepalan, dan sering kali seluruh tepiannya menjadi bangian yang tajam. Hasil penyerpihannya itu menunjukkan berbagai bentuk seperti lonjong, segi empat, segitiga dan beberapa diantaranya ada yang mempunyai bentuk berpinggang.

Menurut C.F. Gorman dalam bukunya The Hoabinhian and After: Subsistance Patterns in South East Asia during the latest pleistocene and early recent periods ( 1971) menyatakan bahwa penemuan alat-alat dari batu paling banyak ditemukan dalam penggalian pegununggan batu kapur di daerah Vietnam bagian utara, yaitu daerah Bacson pegunungan Hoabinh. Disamping alat-alat dari batu yang berhasil ditemukan, juga ditemukan alat-alat serpih batu giling dari berbagai ukuran, alat-alat dari tulang dan sisa-sisa tulang belulang manusia yang dikuburkan dalam posisi terlipat dan ditaburi zat warna merah. Sementara itu, didaerah Vietnam ditemukan tempat-tempat pembuatan alat-alat batu, sejenis alat-alat batu dari kebudayaan Bacson-Hoabinh. Bahkan di Gua Xom Trai (dalam buku Pham Ly Houng; Radiocarbon Dates of The Hoabinh Culture in Vietnam, 1994) ditemukan alat-alat batu yang sudah diasah pada sisi yang tajam. Alat-alat batu dari Gua Xom Trai tersebut diperkirakan berasal dari 18000 tahun yang lalu. Kemudian dalam perkembangannya, alat-alat dari batu atau yang dikenal dengan kebudayaan Bacson-Hoabinh, tersebar dan berhasil ditemukan, hampir diseluruh daerah Asia Tenggara, baik daratan maupun kepulauan, termasuk wilayah Indonesia.

7. Perkembangan Budaya Dong Son

Pembuatan benda-benda perunggu didaerah vietnam utara dimulai sekitar tahun 2500 sm dan dihubungkan dengan tahap-tahap budaya dong dau dan gou mun. Apabila dibandingkan dengan daerah muangthai tengah dan Muangthai timur laut, daerah vietnam memiliki bukti paling awal tentang pembuatan perunggu di Asia tenggara. Namun perlu diketahui bahwa benda-benda perunggu yang telah ada sebelum tahun 500 SM terdiri atas kapak corong

(corong merupakan pangkal yang berongga untuk memasukkan tangkai atau pegangannya)dan ujung tombak, sabit bercorong, ujung tombak bertangkai, mata panah dan benda-benda kecil lainnya seperti pisau,kail,gelang dan lain-lain. Penemuan benda-benda dari kebudayaan Dong Son sangat penting karena benda-benda logam yang ditemukan di wilayah Indonesia umumnya bercorak Dong Son, dan bukan mendapat pengaruh budaya logam dari india maupun cina. Budaya perunggu bergaya Dong Son tersebar luas di wilayah Asia Tenggara dan kepulauan indonesia. Hal ini terlihat dari kesamaan corak hiasan dan bahan-bahan yang dipergunakannya. Misalnya nekara,

menunjukkan pengaruh yang sangat kuat.Nekara dari tipe heger 1 memiliki kesamaan dengan nekara yang paling bagus dan tertua di Vietnam. Benda-benda perunggu lainnya yang berhasil ditemukan di daerah Dong Son serta beberapa kuburan seperti daerah Vie Khe, Lang Cha, Lang Var. Satu nekara yang ditemukan yang besar berisi 96 mata bajak perunggu bercorang. Dari penemuan itu terdapat alat-alat dari besi, meskipun jumlahnya sangat sedikit. Dari penemuan benda-benda budaya Dong Son itu, diketahui cara pembuatannya dengan menggunakan teknik cetak lilin hilang yaitu dengan membuat bentuk benda dari lilin, kemudian lilin itu di balut dengan tanah liat dan dibakar hingga terdapat lubang pada tanah liat tersebut. Budaya Dong Son sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan budaya perunggu di indonesia. Bahkan tidak kurang dari 56 nekara yang berhasil ditemukan di beberapa wilayah Indonesia dan terbanyak nekara ditemukan di Sumatera, Jawa, Maluku Selatan. Nekara yang penting ditemukan diwilayah indonesia dari pulau sangeang dekat sumbawa yang berisi hiasan gambar orang yang menyerupai pakaian dinasti Han. Hiasan seperti itu diperkirakan belum dikenal oleh penduduk pulau tempat nekara tersebut ditemukan.

Berbagai Peninggalan Budaya Dong-Son

Heine Goldem meneliti nekara yang ditemukan dan menyatakan bahwa nekara yang ditemukan di daerah sangeang diperkirakan diceak di daerah funan yang telah terpengaruh oleh budaya india pada 250 SM. Pengamatan menarik dari Berner Kempres menunjukkan bahwa semua nekara yang ditemukan di bali memliki 4 patung katak pada bagian pukulnya. Selain itu pola-pola hiasan nekara tersebut tidak begitu terpadu antara gambar satu dengan yang lainnya. Berners kempers memberikan gambaran cara nekara tipe heger I di cetak secara utuh. Awalnya lembaran lilin ditempelkan pada inti tanah liat (menyerupai bentuk nekara dan berfungsi sebagai cetakan bagian dalam), lalu di hias dengan cap-cap dari tanah liat atau batu yang berpola hias perahu dan iring-iringan manusia. Untuk menambah hiasan yang lebih naturalistik, seperti gambar rumah, lembaran lilin tadi langsung ditambah goresan gambar yang dikehendakinya. Kemudian lembaran lilin yang telah di hias itu di tutup dengan tanah liat yang berfungsi sebagai cetakan bagian luar, setelah terlebih dahulu diberi paku-paku penjaga jarak. Setelah itu di bakar dan lilin meleleh keluar rongga yang di tinggalkan lilin tersebut diisi dengan cairan logam. Selain nekara, di wilayah Indonesia juga ditemukan benda-benda perunggu lainnya seperti patung-patung, peralatan rumah tangga, peralatan bertani maupun perhiasan-perhiasan.

8. Perkembangan Budaya Sa Huynh

Budaya Sa-Huynh di Vietnam bagian selatan didukung oleh suatu kelompok penduduk yang berbahasa Austronesia (Cham) yang diperkirakan berasal dari daerah-daerah di Kepulauan Indonesia. Tampaknya mereka telah mendiami wilayah ini dari daerah semenanjung Malaya atau Kalimantan. Munculnya pemukiman ini dapat dilacak dari keberadaan budaya Sa-Huynh itu sendiri, yang pada 600 SM telah berada pada bentuknya yang mapan. Para arkeolog Vietnam berpendapat bahwa hasil-hasil penemuan benda-benda arkeologi diduga menjadi bukti cikal bakal budaya ini. Sebelum adanya budaya Sa-Huynh atau budaya turunannya langsung, daerah Vietnam bagian selatan sepenuhnya didiami oleh bangsa yang berbahasa Austronesia. Orang-orang Cahm pernah mengembangkan peradaban yang dipengaruhi oleh budaya India Champa. Kemudian mereka dikalahkan oleh ekspansi penduduk Vietnam sekarang dan hanya sebagai kelompok minoritan hingga dewasa ini. Dari sudut pandang Indonesia, keberadaan orang-orang Cham dekat pusat penemuan benda-benda logam di Vietnam Utara pada akhir masa prasejarah mempunyai arti yang amat penting, karena mereka adalah kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa Austronesia dan mempunyai kedekatan kebangsaan dengan masyarakat yang tinggal di Kepulauan Indonesia. Namun hubungan-hubungan yang langsung dengan pusat-pusat pembuatan benda-benda perunggu di daerah Dong Son sangat terbatas. Hal ini terbukti dengan penemuan tujuh buah nekara tipe heger I di daerah selatan Vietnam dari 130 nekara yang berhasil ditemukan hingga menjelang tahun 1990. Dengan demikian benda-benda perunggu yang tersebar sampai ke wilayah Indonesia melalui jalur-jalur berikut ini.

1. Melalui jalur darat; yaitu Muangthai dan Malaysia terus ke Kepulauan Indonesia.

2. Melalui jalur laut; yaitu dengan menyeberangi lautan dan terus tersebar di daerah Kepulauan Indonesia.

Kebudayaan Sa-Huynh yang diketahui hingga saat sekarang kebanyakan berasal dari penemuan kubur tempayan (jenazah dimasukkan ke dalam tempayan besar) dan penguburan ini adalah adat kebiasaan yang mungkin dibawa oleh orang-orang Cham pertama ke Kepulauan Indonesia. Secara umum, penguburan dalam tempayan bukan khas budaya Dong Son atau budaya lain yang sezaman di daratan Asia Tenggara dan diduga merupakan pengaruh yang bersumber dari kebudayaan Cham. Penemuan-penemuan budaya SaHuynh terdapat di kawasan pantai mulai dari Vietnam Tengah ke selatan sampai ke delta lembah Sungai Mekong. Kebudayaan dalam bentuk tempayan kubur yang ditemukan di Sa-Huynh termasuk tembikar-tembikar yang berhasil ditemukan itu memiliki hiasan garis dan bidang-bidang yang diisi dengan tera tepian karang. Kebudayaan Sa-Huynh ini memiliki banyak kesamaan tempayan kubur yang ditemukan di wilayah Laut Sulawesi. Hal ini diperkuat dengan adanya kemiripan bentuk anting-anting batu bertonjolan (disebut “Lingling O) dan sejenis anting-anting yang khas atau bandul kalung dengan kedua ujungnya berhias kepala hewan (kemungkinan anjing) yang ditemukan pada sejumlah tempat di Muangthai, Vietnam, Palawan, dan Serawak. Kebudayaan Sa-Huynh yang berhasil ditemukan meliputi berbagai alat yang bertangkai corong seperti sekop, tembilang, dan kapak. Namun ada pula yang tidak bercorong seperti sabit, pisau bertangkai, kumparan tenun, cincin, dan gelang bentuk spiral. Sementara itu, teknologi pembuatan peralatan-peralatan besi yang diperkenalkan ke daerah Sa-Huynh diperkirakan berasal dari Cina. Peralatan dari besi lebih banyak dipakai dalam kebudayaan Sa-Huynh adalah dari

kebudayaan Dong Son. Benda-benda perunggu yang berhasil ditemukan di daerah Sa-Huynh berupa berbagai perhiasan, gelang, lonceng, dan bejana kecil. Juga ditemukan beberapa manik-manik emas yang langka dan kawat perak. Selain itu, juga ditemukan manik-manik kaca dari batu agate bergaris dan berbagai manik-manik Camelian (bundar, berbentuk cerutu). Dengan demikian, kebudayaan Sa-Huynh diperkirakan berlangsung antara tahun 600 SM sampai dengan tahun Masehi.

9. Perkembangan Budaya India di Indonesia

Kehidupan masyarakat Indonesia menjelang pengaruh budaya India, masyarakat telah memiliki tata kehidupan yang teratur dan kebudayaan yang cukup tinggi. Masyarakat telah mengenal bercocok tanam; pelayaran dengan perahu bercadik; penguasaan pengetahuan perbintangan (astronomi) baik untuk keperluan berlayar maupun bertani, yakni dengan penentuan tanam yang tepat; Pola kehidupan dengan rumah panggung, telah dibuatnya bangunan-bangunan dari batu besar (megalith), memiliki kepercayaan animisme (kepercayaan bahwa semua benda memiliki roh) dan dinamisme (kepercayaan bahwa semua benda memiliki kekuatan gaib) sebagai suatu ciri masyarakat yang telah memiliki kebudayaan yang tinggi. Nenek moyang kita telah mengenal pula kepandaian menenun, membuat pakaian dari serat atau kulit kayu dan dalam bidang kesenian telah mampu membuat

Dokumen terkait