• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

B. Interpretasi 1. Responden I

2. Responden II a.Sumber stres

Dari beberapa dimensi pekerjaan, dimensi pekerjaan yang menjadi sumber stres bagi responden adalah kerja sama yang kurang baik dengan atasannya. Kerja sama yang kurang baik ini disebabkan karena responden merasa kurang mampu bekerja sama dengan atasannya, yaitu Satpol PP karena responden menganggap WH dan Satpol PP itu bertolak belakang, cara bekerja Satpol PP yang keras, arogan dan seperti militer dinilai bertolak belakang dengan cara kerja WH yang menggunakan perkataan dan dengan cara yang lembut. Apalagi responden menganggap bahwa dari segi pendidikan saja Satpol PP lebih rendah

151

dibandingkan dengan WH. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stenmetz (1979) bahwa persepsi seseorang terhadap orang lain dalam suatu hubungan pekerjaan sangat mempengaruhi kualitas kerja yang dihasilkan. Penilaian negatif yang responden miliki terhadap atasannya menyebabkan responden tidak dapat melakukan kerja sama yang baik dengan atasannya, dan hal ini ternyata menimbulkan stres tersendiri bagi responden.

Kurangnya dukungan yang diberikan pemerintah terhadap WH juga dirasakan responden sebagai salah satu sumber stres. Pemerintah kurang memberikan fasilitas yang maksimal terhadap WH. Kekuatan hukum, perlindungan dan gaji yang dirasa minim dinilai sebagai kendala yang menghambat kinerja responden. Para pelanggar yang telah ditangkap responden namun dilepaskan oleh pemerintah membuat responden merasa kesal dan jengkel. Hal ini sesuai dengan pernyataan Stenmetz (1979) bahwa pemerintah memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pekerja. Pemerintah berperan terhadap pekerja yang merasa kurang nyaman dalam pekerjaannya, pemerintah juga berpengaruh terhadap perkembangan karir pekerja, apakah pekerja tersebut akan bertahan, depresi, merasa kurang nyaman atau bahkan merugikan orang lain.

Selain merasa kurangnya dukungan yang diberikan pemerintah, kurangnya dukungan yang diberikan masyarakat juga dirasakan sebagai salah satu sumber stres, karena responden menilai masyarakat seringkali memberikan protes terhadap nasihat-nasihat yang responden berikan. Masyarakat juga belum menunjukkan perubahan yang berarti walaupun telah seringkali dinasihati. Responden merasa marah, kesal dan jengkel terhadap masyarakat. Hal ini sesuai

152

dengan pernyataan Greenberg (2006) bahwa lingkungan di luar organisasi juga dapat mempengaruhi pekerjaan seseorang. Lingkungan masyarakat yang mempengaruhi pekerjaan responden menjadi beban tersendiri bagi responden.

Responden juga mengalami konflik dengan rekan sekantornya. Greenberg (2006) menyatakan bahwa hubungan yang kurang baik dengan rekan sekantor merupakan salah satu sumber stres dalam pekerjaan. Konflik yang dialami dengan rekan sekantornya ini disebabkan karena perbedaan nilai-nilai yang dianut oleh responden dan rekan responden tersebut. Konflik ini kemudian menyebabkan responden merasa malas untuk datang ke kantor.

Responden menilai beban pekerjaannya sebagai WH sangat berat karena pekerjaan WH berhubunagn dengan konsekuensi mental. Responden menilai bahwa WH merupakan pekerjaan yang terberat di Aceh Tengah. Apalagi yang menjadi WH di wilayah tersebut hanya responden sendiri. Tugas yang terlalu banyak (work overload) karena harus responden kerjakan sendiri juga dinilai sangat menyulitkan responden. Greenberg (2006) meletakkan beban kerja sebagai salah satu sumber stres. Beban kerja merupakan tuntutan terhadap pekerjaan yang dirasa tidak mampu untuk diselesaikan. Perasaan tidak mampu ini akan dapat berkembang menjadi stres.

Semua permasalahan yang responden alami dinilain oleh responden sebagai beban yang dapat menghambat kinerjanya. Walaupun demikian, untuk beberapa permasalahan, seperti permasalahan beban kerja yang terlalu berat dan ketiadaan jenjang karir di WH dinilai responden sebagai konsekuensi dari pekerjaannya, dan responden mencoba untuk menerima konsekuensi tersebut.

153

b. Coping Stres.

Permasalahan-permasalahan yang responden alami dihadapi dengan berbagai macam bentuk coping. Sebagian besar dihadapi dengan kedua bentuk coping, namun terdapat juga beberapa permasalahan yang dihadapi responden hanya dengan emotional focus coping.

Permasalahan yang hanya responden hadapi dengan emotional focus coping adalah permasalahan mengenai ketiadaan jenjang kenaikan karir di WH. Walaupun responden memiliki keinginan yang kuat untuk memperoleh kenaikan karir, namun status WH yang hanya tenaga kontrak mengharuskan responden untuk menerima kondisi ini. Menghadapi kondisi ini, responden menggunakan emotional focus coping berupa accepting responsibility, yaitu usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik.

Untuk permasalahan hubungan dengan atasannya, responden menggunakan emotional focus coping berupa self-control, yaitu usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi yang menekan dengan cara bersabar. Walaupun responden menghindari membawa urusan kantor ke rumah, terkadang responden tidak mampu menahan emosinya hingga permasalahan yang dialami di kantor dilampiaskan kepada keluarganya. Namun, responden juga menggunakan problem focus coping berupa planful problem solving, yaitu usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan

154

analitis. Hal ini dilakukan responden dengan tetap melakukan hal yang dianggap benar dan membiarkan atasannya melakukan apapun yang diinginkan atasannya.

Permasalahan berupa beratnya beban pekerjaan, responden hadapi dengan emotion focused coping dan problem focused coping. Emotion focused coping yang digunakan berupa avoidance, yaitu keinginan untuk melupakan permasalahan yang ada dan menghindari diri darinya. Hal ini dilakukan responden dengan berusaha melupakan permasalahan yang dihadapinya dan menghindari kondisi ini dengan mencoba untuk mencari pekerjaan lain. Walaupun demikian, responden juga menggunakan problem focused coping berupa planful problem solving, yaitu dengan mengisi pengajian di daerah yang dapat dijangkau saja dan melakukan razia secara fardiyah saja.

Menghadapi permasalahan mengenai hak dan kewajiban WH yang minim, responden menggunakan emotional focused coping berupa self-control dan problem focused coping berupa planful problem solving, yaitu dengan mengajukan tuntutannya untuk menambah hak dan kewajiban WH kepada pemerintah. Setelah menyampaikan tuntutannya, walaupun responden belum mendapatkan perkembangan yang berarti, responden mencoba untuk bersabar menunggu kebijakan pemerintah.

Emotion focused coping berupa avoidance dilakukan responden ketika responden menghadapi permasalahan dengan rekan sekantornya. Responden berusaha untuk menghindari situasi konflik dengan rekan sekantornya dengan tidak datang ke kantor dan lebih banyak menghabiskan waktu di lapangan. Ketidakhadiran responden ke kantor diharapkan dapat menghindar dari berkumpul

155

bersama rekan-rekan kantornya yang dinilai lebih banyak mudharat-nya dari pada hal positifnya.

3. Responden III

Dokumen terkait