• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Profil Responden

3. Responden III (B)

Responden ketiga pada penelitian ini berinisial B. Responden B adalah ayah bersuku Jawa yang lahir pada tanggal 19 Maret 1956 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat ini responden B telah memasuki masa pensiunnya. Sebelum memasuki masa pensiunnya responden B berprofesi sebagai PNS. Semasa kecilnya, responden B merupakan anak ke 6 dari 8 bersaudara. Orang tua responden B berasal dari Magelang (ayah) dan Solo (Ibu).

Saat ini, responden B telah memiliki keluarga sendiri yang terdiri dari dua orang anak dan seorang istri. Istri dari responden B berprofesi sebagai guru SMA dan masih aktif hingga saat ini. Anak tertua dari responden B berinisial KP yang telah berusia 28 tahun dan sedang menjalani masa kuliah.Sama halnya dengan anak kedua dari responden B, YV yang berusia 23 tahun juga sedang menjalani masa kuliahnya.

Dalam kesehariannya, responden B secara rutin mengantar jemput istri yang masih bekerja sebagai guru SMA.Selain itu,

responden B juga berperan menggantikan istrinya dalam hal membersihkan rumah ketika istrinya bekerja. Responden B memiliki figur badan yang tegap dan tidak terlalu gemuk.Selama sesi wawancara, responden B menggunakan kaos polo berwarna hijau dan celana pendek berwarna coklat. Dalam menjawab pertanyaan peneliti, responden B merupakan orang yang cukup informatif dan terbuka pada segala pertanyaan yang diajukan.Selain itu, sepanjang sesi wawancara responden B selalu menunjukan sikap yang santai dan murah senyum.

C. ANALISIS DATA

Berdasarkan hasil analisis terhadap kedua responden yang terlibat dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan beberapa tema yang dapat menjelaskan jawaban dari pertanyaan penelitian ini. Analisis akan dilakukan secara terpisah antar satu responden dan responden kedua. Hal ini peneliti lakukan agar analisis dapat secara fokus dilakukan setiap responden.

Dalam tahap analisis ini, terdapat beberapa proses yang dilakukan oleh peneliti. Meskipun telah memiliki panduan analisis, peneliti tetap akan memperhatikan dan berfikiran secara terbuka terhadap kemungkinan munculnya tema yang baru, yang merupakan keunikan tersendiri dari tiap responden. Selain itu, peneliti juga akan memperhatikan tema yang

terulang pada kedua responden. Dengan proses tersebut, maka pola yang memiliki kesamaan maupun perbedaan akan terlihat jelas pada tiap responden.

Setelah analisis dari kedua responden didapatkan secara individual, peneliti kemudian merangkum tema yang muncul menjadi hasil analisis lebih lanjut. Terdapat beberapa alasan, hal tersebut menjadi pertimbangan peneliti dalam memutuskan tema tersebut dapat dijadikan fokus analisis dan pembahasan. Alasan tersebut antara lain adalah kesesuaian dengan fokus penelitian, frekuensi kemunculan dan hubungan yang muncul dari satu tema dengan tema yang lain.

Berikut adalah hasil analisis dari kedua responden secara individual.

a. Reponden I (Y)

1. Aspek meminta maaf

1.1 Perkataan “minta maaf”

Sebagai seorang ayah, Y pernah memiliki penyesalan kepada anaknya. Ketika M (anaknya pertama) duduk dibangku SD, Y pernah memarahi sekaligus mengancing M diluar rumah. Hal tersebut dipicu oleh perilaku M yang tidak berpamitan kepada orang tuanya ketika ingin main kerumah temannya. Y hanya

menyesalkan perilakunya tersebut ternyata membuat M menangis dan menjadi trauma. Y berkata bahwa dirinya berharap ada alternatif lain selain perilakunya tersebut.

Walaupun Y menyesalkan perilakunya tersebut, Y berkata bahwa tidak terlintas di pikirannya untuk berkata minta maaf kepada anaknya. Hal tersebut disebabkan kurangnya kesadaran responden terhadap kesalahannya. Seperti yang dikatakan oleh responden Y:

Tidak ada ya ungkapan maaf, pengertiannya karena maaf itukan mengucapkan kata maaf itukan orang itu bersalah, kan gitu to? Kalau mereka bersalah, dengan kesadarannya dia akan mengucapkan maaf.“(responden Y, B210-211).

RespondenY merasa bahwa alasan mengapa dirinya memarahi dan tidak memperbolehkan M masuk ke dalam rumah ketika malam hari pada saat itu adalah karena kesalahan M sendiri.Secara tidak langsung, responden Y berkeyakinan bahwa hal yang membuat dia marah dan mengunci M diluar rumah pada malam hari itu adalah karena kesalahan dari anaknya, yang tidak berpamitan kepada orang tuanya terlebih dahulu. Lama kemudian responden Y sadar bahwa dirinya menyesali perbuatannya tersebut, dan berharap ada cara lain selain perilaku menghukum yang menyebabkan anaknya (M) menangis dan ketakutan tersebut. Akan tetapi, ternyata setelah dia

menyesali perbuatannya itu, tidak terlintas di pikiran responden Y untuk mengatakan minta maaf karena telah membuat M menangis dan ketakutan pada saat itu. Terkait hal tersebut, responden mengutarakan alasan utama dirinya tidak mengatakan minta maaf adalah karena untuk mengatakan minta maaf dibutuhkan kesadaran.

Tapi saat saat tertentu ya namanya manusia tidak ambil pusing, tapi dimana ada kesadaran minta maaf ya minta maaf. “(responden Y,B229-231). Dari perkataan responden Y diatas membuktikan bahwa pada saat responden Y menghukum anaknya adalah reaksi spontan dan responden Y tidak ingin ambil pusing untuk mengatakan maaf karena telah memarahi sekaligus menghukum anaknya yang sedang berusia 7 tahun. Pernyataan tersebut diatas juga menunjukan bahwa menurut responden Y sebagai ayah yang bersuku Jawa, untuk mengatakan minta maaf harus memiliki kesadaran akan rasa bersalah terlebih dahulu. Selain itu, responden Y melakukan perilaku menghukum adalah dengan alasan untuk memberikan efek jera kepada anaknya yang masih berusia 7 tahun berupa melarangnya masuk ke dalam rumah, agar M tidak melakukan perilakunya lagi.

Hal tersebut dinyatakan responden Y dalam wawancara :

Tidak teringat, kalau seperti itu ... harus ngomong seperti itu, saya anggap itu sudah pemahaman saya waktu itu lo, sudah sewajarnya lah memberi suatu ..eee .. apa, bukan pendidikan ya tapi memberikan suatu peringatan pada anak itu supaya tidak melakukan dengan cara tidak melukai“(responden Y, B104-106).

Dari pernyataan diatas, respondenY berpendapatbahwa setelah responden Y memberikan efek jera kepada anaknya, dirinya tidak tahu dirinya harus berkata maaf.Hal tersebut karena menurut responden Y, sudah sewajarnya orang tua memberikan efek jera kepada anaknya dalam batasan tidak melukai.Perkataan responden Y diatas juga membuktikan bahwa perkataan tersebut merupakan pembenaran dari perilaku menghukum yang dilakukan oleh responden Y sebagai seorang Ayah bersuku Jawa kepada anaknya (M). Hal tersebut membuat responden Y merasa perilaku menghukum anaknya ketika itu adalah perbuatan yang benar dan tidak salah. Walaupun setelah kejadian tersebut M tidak pernah melakukan perbuatannya lagi, responden Y tidak dapat melupakan tangisan dan badan M yang gemetar karena merasa sangat ketakutan ketika dirinya memarahi M.

Akan tetapi, hanya dengan ingatan tersebut tidak cukup untuk responden Y mengatakan minta maaf kepada

M karena telah membuatnya menangis dan ketakutan. Akhirnya daripada mengatakan minta maaf, responden Y memilih untuk mengingatkan kembali M agar dirinya tidak melakukan perilaku yang membuat responden Y marah lagi kepadanya, seperti yang dikatakan oleh responden Y dalam wawancara dibawah ini :

Ya kembali lagi, orang tua memberi tahu yang seperti itu jangan dilakukan lagisupaya bapak ibu tidak marah, untuk diingatkan kembali agar jangan melakukan lagi.“(responden Y, B95-96)

Dari perkataan responden Y diatas sekaligus menyatakan bahwa menurut responden Y, sebagai orang tua lebih mementingkan melakukan tindakan preventif pada perilaku anak yang dapat menyebabkan orang tua berbuat kesalahan daripada orang tua sendiri mengakui kesalahannya dan meminta maaf.

Meskipun responden merasa mengatakan minta maaf itu baik, Y sebagai seorang ayah merasa hal tersebut dapat digantikan dengan cara melupakan dan melakukan perubahan perilaku seperti tidak melakukan kesalahan yang sama. Hal tersebut tercantum dari pernyataan responden Y:

Ya biasa dengan anak ya terus kembali ..eee .. rasa kasih sayang, itu ya sudah terus dilupakan lah ... dan itu sudah tidak terulang lagi, anak-anak ya sudah kapok.“(responden Y, B82-83)

Selain itu, responden Y sebagai ayah yang bersuku Jawa berpendapat bahwa perilaku minta maaf kepada anak dapat digantikan dengan perilaku lain seperti pelukan dan gendongan. Pendapat responden Y tersebut tertulis dalam wawancara dibawah ini :

Tidak kepikiran sampai kesitu ya, tidak ada ... ya tidak tahu, tidak ada suatu pemikiran sampai kesitu memang itu baik sebetulnya. Tapi pada saat itu saya anggap selesai lah dengan saya memberikan suatu pelukan saya gendong, pemahaman yang seperti itu.“(responden Y, B129-131)

Perkataan responden Y diatas sekaligus memberikan fakta bahwa responden Y lebih sering melakukan perilaku melupakan dan perubahan perilaku seperti memberikan pelukan atau gendongan dibandingkan mengatakan kata minta maaf kepada anaknya setelah dirinya melakukan kesalahan. Fakta tersebut dikuatkan dengan pendapat yang dinyatakan oleh responden Y :

Saya kira identik ya, artinya minta maaf dengan memberikan kasih sayang jauh lebih mengena kalau diberi kasih sayang, karena ini ada suatu ikatan batin, kalau dengan suatu ... apa ... tindakan kita itukan lebih mengena, jadi hubungan batin lebih dekat daripada bilang maaf.“(responden Y, B204-206).

Pendapat dari responden Y tersebut diatas semakin memperlihatkan secara jelas bahwa menurut Y yang merupakan seorang ayah bersuku Jawa, pelukan lebih

unggul dari pada berkata minta maaf setelah berbuat kesalahan dalam hal pemberian efek kasih sayang. Dirinya sekaligus mengakui bahwa responden Y lebih sering melakukan perilaku memeluk anak daripada meminta maaf kepada anak setelah dirinya melakukan kesalahan.

1.2 Sadar akan perasaan bersalah

Dari berbagai perkataan responden Y diatas memperlihatkan diri Y merupakan orang yang sulit menyadari kesalahan. Hal tersebut juga didukung dari pernyataan responden Y yang mengatakan :

“Saat itu saya memang ada kesalahan apa yang menurut saya itu sebetulnya tidak salah, ternyata setelah dijelaskan oleh anak ya itu salah. Saya mengatakan maaf .. bapak melakukan kayak gitu terhadap M.”(responden Y, B226-228)

Dari perkataan respondenY diatas menunjukan bahwa dirinya membutuhkan orang lain untuk menunjukan letak kesalahan yang pada awalnya menurut responden Y adalah perilaku yang tidak salah. Dalam kasus tersebut, orang lain yang dibutuhkan responden Y untuk menunjukan letak kesalahannya adalah anaknya sendiri (M). Responden Y ingat dirinya berkata minta maaf setelah anaknya menjelaskan dan memberitahu letak kesalahannya ketika saat sesi sharing setelah berdoa bersama. Dengan kata lain,

dari pernyataan tersebut juga dapat memiliki arti bahwa responden Y tidak mengatakan minta maaf apabila tidak dijelaskan oleh anaknya terkait letak kesalahan responden Y kepada anaknya.Hal ini menunjukan bahwa Y sebagai seorang ayah bersuku Jawa kurang memiliki kesadaran akan kesalahannya. Namun, responden Y sebagai seorang ayah bersuku Jawa juga memiliki sifat yang terbuka kepada anaknya, dirinya tidak segan-segan menerima masukan dari anaknya sendiri.

Menurut respondenY, dirinya sadar bahwa selama dia hidup kesalahan itu selalu ada dan terus melekat didiri tiap manusia. Hal tersebut seperti yang dinyatakan responden Y dalam wawancara :

“Kalau saya pribadi tidak, tidak ada yang aneh. Itu sudah suatu hal yang wajar, jangan mentang-mentang kamu sebagai orang tua, yang muda itu selalu minta maaf atau selalu salah. Bahwa selama kamu masih hidup, kesalahan itu selalu ada, maka kita harus selalu menyadari kalau kita merasa salah, ya kita harus minta maaf, dengan siapapun .. gitulo (responden Y, B139-142)

Perkataan responden Y diatas juga menyebutkan bahwa responden Y sebagai seorang ayah bersuku Jawa merasa tidak ada yang aneh ketika orang tua meminta maaf kepada anaknya setelah melakukan kesalahan. Selain itu, dari pernyataan responden Y tersebut juga menyebutkan

bahwa kesalahan tidak selalu berasal dari yang muda. Pernyataan tersebut juga didukung dari perkataan responden Y dalam wawancaranya :

“Bahwa kesalahan itu terjadi hanya pada manusia, tidak itu memilahkan dia itu bapak, ibu, simbah, anak, cucu tidak ... semuanya bisa melakukan kesalahan, jadi kalau bapak itu salah minta maaf pada anak itu sudah hal yang wajar”(responden Y, B149-151).

Perkataan responden Y tersebut menunjukan bahwa Y sebagai seorang ayah sekaligus manusia tidak dapat jauh dari kesalahan. Selain itu, responden Y berpendapat bahwa berkata minta maaf kepada anak itu sudah hal yang wajar. Namun pada kenyataannya, kembali lagi bahwa sulit bagi responden Y untuk menyadari letak kesalahannya, yang menyebabkan bahwa cukup jarang responden Y mengatakan minta maaf kepada anaknya apabila dirinya melakukan kesalahan.

1.3 Rasa malu atas perasaan bersalah

Di tengah sesi wawancara Y sempat mengeluarkan air mata ketika bercerita tentang penyesalannya. Hal ini menunjukan bahwa Y merasa malu atas kesalahannya. Walaupun setelah itu juga Y merasa bahwa kesalahannya tersebut sebagian disebabkan juga karena kesalahan dari anaknya.

2. Faktor yang mempengaruhi

2.1 Jarak sosial

Terkait dengan faktor jarak sosial yang mempengaruhi perilaku meminta maaf kepada anak, sebagai seorang ayah, responden Y berpendapat bahwa tidak ada perasaan yang berbeda antara meminta maaf dengan teman dan meminta maaf dengan anak. Hal tersebut muncul ketika responden Y ditanyai tentang adakah perasaan yang berbeda dalam meminta maaf antara dengan teman dan anak, jawab responden Y :

“Sama saja, artinya kalau diri memang salah. Intinya salah, saya minta maaf”(responden Y, B239).

Hal tersebut diatas menunjukan bahwa menurut responden Y, tidak ada perasaan yang berbeda antara meminta maaf dengan teman dan anak. Dengan kata lain menurut responden Y, faktor jarak sosial tidak mempengaruhi seorang ayah untuk meminta maaf kepada anaknya.

2.2 Kekuatan sosial

Terkait pengaruh faktor kekuatan sosial pada perilaku meminta maaf kepada anak, terdapat beberapa argumen dari responden Y yang kontradiktif.Diawal wawancara, Y mengatakan bahwa sebagai kepala rumah tangga, orang tua tidak seharusnya egois, menang sendiri serta menggunakan kekuasaannya apabila orang tua tersebut memiliki kesalahan kepada anaknya. Seperti yang dikatakan oleh responden Y dalam wawancara :

“hanya ucapan “maaf ya”, tapi kadang-kadang orang tua itu egois, merasa dirinya berkuasa, lebih-lebih bapak.(B114-115).

Pernyataan diatas menyatakan bahwa menurut responden Y, para ayah disekitarnya terkadang ada yang egois dan diri merasa berkuasa. Dari perkataan tersebut juga membuktikan bahwa faktor kekuatan sosial memiliki pengaruh pada perilaku meminta maaf kepada anak bagi ayah bersuku Jawa. Kekuatan sosial dalam hal tersebut adalah sifat ayah yang egois dan merasa berkuasa dalam keluarga.

Selain itu, responden Y memiliki pendapat yang mengatakan bahwa apabila ada seorang ayah yang menjadi egois dan berkuasa didalam keluarga, Y menganggap hal

itu merupakan sebuah kekeliruan. Hal tersebut terlihat dalam perkataan responden Y dalam wawancara :

“Kebanyakan bapak, itu merasa dirinya sebagai kepala keluarga, jika sudah menjadi kepala keluarga merasa memiliki kuasa penuh, na itu keliru.”(B115-116)

Pendapat tersebut memiliki arti bahwa menurut responden Y, seorang ayah sebagai kepala keluarga tidak seharusnya memiliki kuasa penuh. Responden Y juga menambahkan pendapatnya bahwa didalam berkeluarga seharusnya kedudukan suami dan istri adalah setara, keduanya sama sama berkuasa dirumahnya. Hal tersebut tercantum dalam wawancara dengan responden Y :

Na dalam keluarga itu yang paling berperan adalah suami dan istri, bapak dan ibu, mereka yang sebetulnya memiliki kekuasaan yang sama. Bukan sebagai laki-laki yang merasa dirinya kuat itu yang menjadi berkuasa penuh itu bukan. Suami istri ini berkuasa dirumah itu, untuk mendidik anak-anaknya menjadi baik, makanya dalam keluarga itu, terapkanlah suatu komunikasi dengan selalu sharing, doa bersama dalam keluarga(responden Y, B116-121).

Pendapat responden Y diatas, membuktikan bahwa menurut responden Y suami istri adalah orang yang memiliki kuasa didalam rumah. Dari pendapat tersebut semakin membuktikan bahwa kekuatan sosial memiliki ambil bagian dalam kehidupan berkeluarga. Akan tetapi, walaupun dirinya bersama seorang istri memiliki kuasa

didalam keluarga, responden Y mengatakan bahwa sudah wajar apabila orang tua memiliki kesalahan kepada anak, untuk meminta maaf kepada anaknya. Seperti yang dikatakan oleh responden Y dalam wawancara :

“Kalau saya pribadi tidak, tidak ada yang aneh. Itu sudah suatu hal yang wajar, jangan mentang-mentang kamu sebagai orang tua, yang muda itu selalu minta maaf atau selalu salah.”(responden Y, B139-140).

Dari perkataan responden diatas sekaligus membuktikan bahwa kekuatan sosial tidak mempengaruhi perilaku meminta maaf kepada anak, walaupun seorang ayah dan istri memiliki kuasa didalam keluarga untuk mendidik anak. Seperti yang dikatakan responden Y sebelumnya.

Akan tetapi, ada satu ketika Y mengatakan bahwa anak masih kecil dengan kata lain Y berpendapat bahwa anak adalah figur yang masih belum tahu banyak tentang perilaku meminta maaf ketika salah. Hal tersebut dinyatakan oleh responden Y dalam wawancara :

“Karena ini juga kategori anak ini masih kecil. Dia sendiri belum tau kalau saya itu salah saya harus mengucapkan maaf”(responden Y, B213-214).

Dari pernyataan tersebut, secara langsung responden Y menyatakan bahwa seorang anak adalah figur yang masih kecil, yang belum mengerti kapan dan seharusnya

mendengar kata maaf. Bagi responden Y, ketika anak masih kecil yang dibutuhkan adalah sebuah peringatan yang digunakan agar anaknya tidak berbuat sesuatu yang menyebabkan responden Y berbuat kesalahan seperti marah dan menghukum yang pada akhirnya disesali oleh responden Y sendiri. Hal tersebut tercantum dalam perkataan responden Y :

Ya kembali lagi, orang tua memberi tahu yang seperti itu jangan dilakukan lagisupaya bapak ibu tidak marah, untuk diingatkan kembali agar jangan melakukan lagi. “(responden Y, B95-96)

Perkataan responden Y diatas semakin meyakinkan bahwa dalam diri responden Y, fokus dalam hidupnya adalah anaknya, terlihat dari berbagai perkataannya yang menyebutkan alasan dirinya marah atau melakukan kesalahan adalah dari sebab perilaku anaknya. Dari hal tersebut, kekuatan sosial seorang ayah yang bersuku Jawa kepada anak ternyata dapat mempengaruhi dalam hal meminta maaf kepada seorang anak.

Sehingga dari beberapa alasan tersebut, disimpulkan bahwa terdapat kontradiksi terhadap apa yang dikatakan oleh Y. Oleh sebab itu, peneliti menyimpulkan bahwa responden Y merupakan orang yang idealis terkait hal ini, Y berpendapat bahwa seorang ayah, kepala keluarga tidak

seharusnya egois dan berkuasa di dalam keluarga, namun dalam kenyataannya, Y menganggap anak kecil adalah figur yang masih belum tau banyak tentang perilaku meminta maaf ketika salah.

2.3 Jenis kelamin

Terkait dengan faktor jenis kelamin yang dapat mempengaruhi perilaku meminta maaf kepada anak, respondenY sebagai seorang pria sekaligus suami merasa bahwa kita manusia sudah seharusnya meminta maaf kepada siapapun ketika merasa salah. Seperti yang dikatakan oleh responden Y dalam wawancara :

“Bahwa selama kamu masih hidup, kesalahan itu selalu ada, maka kita harus selalu menyadari kalau kita merasa salah, ya kita harus minta maaf, dengan siapapun .. gitu lo”(responden Y, B140-142).

Dari pernyataan tersebut diatas membuktikan bahwa menurut responden Y, faktor jenis kelamin sama sekali tidak berpengaruh terhadap perilaku meminta maaf kepada anak.

3. Fungsi atau manfaat

3.1 Memperbaiki relasi

Y tidak menyebutkan perilaku minta maaf kepada anak dapat berfungsi sebagai perbaikan dari relasi yang renggang.

3.2 Menunjukan hormat

Dalam wawancara, Y tidak menyebutkan perilaku minta maaf kepada anak dapat menunjukan rasa hormat.

3.3 Perbaikan masalah

Responden berpendapat bahwa dengan meminta maaf, responden ingin membuat anaknya sadar walaupun responden salah, responden masih sayang pada anaknya.Oleh sebab itu, responden menggunakan perilaku meminta maaf dengan tujuan memperbaiki masalah dengan anaknya. Hal tersebut tercantum dalam perkataan responden Y dalam wawancara :

“Ya biasanya kan nasihat. Nasihat yang diberikan pada perilaku yang kurang baik disampaikan agar tidak melakukan perilaku itu lagi. Jadi ya untuk memperbaiki kesalahannya, karena itu juga mengembalikan kepercayaan diri kalau orang tua sekalipun marah masih sayang.” (responden Y, B219-221)

Perkataan responden Y diatas menyebutkan bahwa dirinya melakukan perilaku meminta maaf kepada anaknya untuk memperbaiki kesalahannya. Perilaku meminta maaf tersebut dipercaya oleh responden Y sendiri dapat menumbuhkan kepercayaan diri seorang anak, yang sekalipun dirinya sebagai ayah marah kepada anaknya, responden Y masih memiliki rasa sayang.

3.4 Mengantisipasi masalah

Didalam wawancara, respondenY berpendapat bahwa terdapat unsur pendidikan didalam perilaku meminta maaf kepada anak. Hal tersebut menurut responden Y dapat menjadi bentuk antisipasi dari masalah yang mungkin terjadi apabila tidak meminta maaf. Seperti yang dikatakan oleh responden Y ketika diberikan pertanyaan yang menanyakan pendapatnya tentang ayah yang meminta maaf kepada anaknya :

“Baik, memang seharusnya seperti itu, jadi itu jugakan unsur pendidikan juga.”(responden Y, B110).

Dalam perkataan responden Y diatas, responden Y mengatakan tentang pendidikan. Pendidikan yang dimaksud oleh responden Ytersebut adalah, ayah dapat menjadi contoh bagi anaknya agar berani memunculkan perilaku

meminta maaf kepada siapapunketika melakukan kesalahan tidak memandang itu seorang ayah kepada anaknya, atau anak kepada orang tua. Hal ini juga berkaitan dengan perkataan responden Y dalam wawancara :

“Otomatis anak akan mengingat bahwa orang tuaku saja minta maaf pada aku kok, kalau aku salah .... itu akan otomatis di simpan di memori mereka untuk bisa diterapkan kalau saya jadi orang tua besok, ini secara tidak langsung menjadi pendidikan untuk anak-anak, kan gitu”(responden Y,B151-154).

Perkataan disebut diatas menyimpulkan bahwa sebagai ayah bersuku Jawa, responden Y berpendapat bahwa memunculkan perilaku meminta maaf kepada anak dapat berfungsi untuk mengantisipasi masalah. Mengantisipasi masalah yang dimaksudkan disini adalah dengan cara memberikan unsur pendidikan yakni sebagai contoh kepada anak, untuk berani mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada siapapun itu agar kelak tidak memunculkan masalah yang lain.

Berkaitan dengan pendidikan, respondenY juga memberikan sebuah pendapat bahwa, segala fenomena yang terjadi di remaja seperti tawuran adalah akibat dari keegoisan orang tua karena tidak mau mengatakan minta maaf ketika salah kepada anaknya. Hal ini tercantum dalam perkataan responden Y yang mengatakan :

“Bahwa kita itu dengan anak pun sebagai orang tua jangan egois. Merasa menang sendiri, merasa

Dokumen terkait