• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPONS KEBIJAKAN MONETER

Dalam dokumen LAPORAN KEBIJAKAN MONETER (Halaman 39-44)

Bank Indonesia pada 8 Mei 2014 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level 7,50% dan 5,75%. Dengan

mempertimbangkan kondisi terkini, serta prospek dan risiko perekonomian ke depan, kebijakan tersebut dinilai masih konsisten dengan upaya mengarahkan inflasi menuju ke sasaran 4,5±1% pada 2014 dan 4,0±1% pada 2015, serta menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat.

Bank Indonesia menilai respon kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah dapat mengarahkan penyesuaian ekonomi pada triwulan I 2014 dan April 2014 tetap terkendali. Hal ini tercermin pada inflasi yang masih berada dalam tren menurun dan defisit transaksi berjalan yang mengecil. Permintaan domestik juga tetap terkelola dengan baik, meskipun pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2014 menurun dan tercatat lebih rendah dari perkiraan akibat kontraksi pada ekspor riil, terutama komoditas pertambangan.

Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati berbagai risiko, baik dari global maupun domestik, dan menempuh langkah-langkah antisipatif guna memastikan agar stabilitas ekonomi tetap terjaga dan mendukung perbaikan kinerja transaksi berjalan. Untuk itu, Bank Indonesia akan senantiasa memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial serta meningkatkan koordinasi dengan Pemerintah dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan, serta kebijakan untuk memperkuat struktur perekonomian domestik dan pengelolaan Utang Luar Negeri (ULN), khususnya ULN korporasi. Bank Indonesia juga akan terus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengarahkan pertumbuhan kredit sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih sehat dan seimbang.

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

39 Boks: Peta Daya Saing dan Inovasi serta Kaitannya dengan

Struktur Manufaktur Indonesia dan Perdagangan Internasional4

Pendahuluan

Eksistensi sektor manufaktur dalam struktur perekonomian suatu negara memiliki peran yang sangat penting untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang lebih sustain dalam jangka panjang. Beberapa penelitian seperti Hausman et.al (2005) dan Trivedi et. al (2012) membuktikan bahwa negara yang memiliki spesialisasi pada produk-produk bernilai tambah tinggi, cenderung memiliki lintasan pertumbuhan ekonomi yang lebih sustain dalam jangka panjang. Hal ini dapat diraih melalui peningkatan kapasitas inovasi dan daya saing perekonomian suatu negara yang akan menentukan tingkat efisiensi produksi dan dan nilai tambah.

Grafik 1. Stage of Development Indonesia

Indonesia yang saat ini sedang mengalami ketidakseimbangan sisi eksternal, tantangan struktural untuk mendorong sektor produktif bernilai tambah tinggi menjadi hal yang sangat penting. Untuk itu, penetapan langkah-langkah kebijakan perlu didasari oleh pemahaman mengenai posisi relatif daya saing dan kapasitas inovasi Indonesia melalui pemetaan terhadap struktur ekspor Industri manufaktur, karakter daya saing dan kapasitas inovasi Indonesia.

Berdasarkan Global Competitiveness Index (GCI) dan Global Innovation Index (GII), daya saing dan inovasi Indonesia terindikasi masih lemah dibandingkan negara-negara yang menjadi pembanding. Di bidang infrastruktur, konektivitas antar daerah perlu terus diperkuat untuk menciptakan efisiensi dan peningkatan produktivitas. Di bidang kualitas SDM, kehandalan modal manusia dan kapasitas absorpsinya pun perlu ditingkatkan. Terkaitnya indikator dalam GCI dan GII menunjukkan bahwa perbaikan satu indikator di GCI, akan meningkatkan pula kinerja GII. Oleh karena itu, peningkatan daya saing tentunya akan berjalan secara simultan dengan peningkatan inovasi di sektor manufaktur Indonesia. Di sisi lain, Indonesia tidak dapat terus mengandalkan sumber daya alam sebagai basis daya saing dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Defisit transaksi berjalan akan semakin besar bila tidak diambil langkah-langkah untuk mengembangkan industri yang bernilai tambah tinggi.

4

Ditulis oleh Desthy V.B. Sianipar dan Bayu Panji Permono yang merupakan peneliti di Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia dalam bentuk Catatan Risett No.15/8/DKM/GRE/CR.

0 1 2 3 4 5 6 1. Institution 2. Infrastructure 3. Macroeconomic  environment 4. Health and  primary educ 6. Goods market  efficiency 7. labor market  efficiency 8. Financial market  development 9. Technological  readiness 10. Market size 11. Business  sophistication 12. Innovation Indonesia Stage2 Stage23 Sumber: Global Competitiveness Index 2012‐2013

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

40 Profil Daya Saing Indonesia

Berdasarkan Global Competitiveness Index (GCI) 2012-2013, daya saing ekonomi Indonesia memburuk dari peringkat ke-44 di tahun 2010-2011 menjadi peringkat ke-50 dari 144 negara (Grafik 1). World Economic Forum (WEF), mendisagregasi daya saing ke dalam tiga stage pembangunan dimana Indonesia masuk pada stage 2, yakni kelompok/sub index efficiency-driven bersama dengan 33 negara lainnya . Hal ini didasari oleh PDB (PPP) per-kapita Indonesia yang telah

mencapai $3509 di tahun 2011.

Grafik 2. Perkembangan Ranking GCI dalam 3 Tahun Terakhir

Grafik 3. Kualitas Infrastruktur

Pada stage 2, titik terlemah Indonesia berada pada pilar technological readiness terkait dengan rendahnya persentase penggunaan internet per individu, rendahnya jumlah pelanggan internet, serta kecilnya international internet bandwith. Pilar labor

market efficiency juga tercatat paling lemah bila dibandingkan dengan peer countries.

Disamping itu, meskipun Indonesia sudah masuk stage 2, bukan berarti pilar-pilar daya saing dalam stage 1 (basic requirement) sudah berkinerja memuaskan. Kinerja pilar institusi dan infrastruktur Indonesia justru masih tertinggal, hanya sedikit di atas Filipina dan Vietnam. Rendahnya skor pilar institusi disebabkan oleh rendahnya kepercayaan publik terhadap lingkungan politik, maraknya pungutan liar dan tinggi angka korupsi. Pada pilar infrastruktur, buruknya kualitas infrastruktur fisik, yang meliputi jalan, rel kereta, dan pelabuhan, menyebabkan rendahnya kinerja pilar ini (Grafik 4).

Profil Kapasitas Inovasi Indonesia

Untuk profil kapasitas inovasi, Global Innovation Index (GII) pada perekonomian Indonesia terlihat kurang baik dengan posisi ke-100 dari 141 negara yang dievaluasi. Jika dibandingkan dengan negara dalam satu peer, Indonesia menempati posisi juru kunci, di bawah Filipina, dan tertinggal jauh dari Singapura, Korea, Jepang, bahkan Malaysia.

Kinerja yang buruk ini terlihat baik di inovasi sisi input maupun output. Dari proses inovasi input, pilar institusi memiliki skor terendah akibat tingginya pesangon yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja dan sulitnya proses memulai usaha serta menyelesaikan kepailitan (Grafik 8). Untuk pilar human capital and research, rendahnya skor yang dimiliki Indonesia lebih disebabkan oleh tidak adanya siswa asing

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

41

yang mendaftarkan diri di pendidikan tersier di Indonesia, minimnya jumlah peneliti, dan rendahnya pengeluaran untuk R&D (Grafik 9). Di pilar business sophistication, kinerja Indonesia memiliki skor terendah terkait dengan rendahnya skor pada indikator pengetahuan yang dimiliki oleh pekerja.

Grafik 4. Proses Memulai Usaha (2013)

Grafik 5. Pengeluaran R&D per kapita (2012)

Sementara itu, dari dua pilar yang menjadi bagian dari proses inovasi output, pilar knowledge and technology output memiliki skor yang paling rendah dibandingkan negara terpilih lain terkait buruknya kinerja Indonesia dalam sub-pilar

knowledge creation, dimana jumlah aplikasi hak paten dan jurnal ilmiah sangatlah

terbatas.

Profil Manufaktur, Neraca Perdagangan, dan Neraca Transaksi Berjalan Indonesia

Pemetaan menggunakan data UNCTAD menunjukkan bahwa struktur ekspor industri manufaktur Indonesia saat ini didominasi oleh segmen

Energy-/Resource-Intensive Commodities, terutama industri refined petroleum, coke, dan nuklir, serta

industri berbasis mineral. Dari sisi perkembangannya, keragaman struktur ekspor Indonesia semakin bias ke arah produk-produk berbasis komoditas mentah dan labor-intensive, serta tidak ada perkembangan signifikan pada ekspor berbasis R&D. Basis tersebut memiliki nilai tambah yang rendah dan sangat rentan terhadap terms of trade shocks (Grafik 13).

Sementara itu, untuk kegiatan impor, selain industri refined petroleum, coke, dan nuklir, Indonesia juga banyak mengimpor mesin dan peralatan yang merupakan bagian dari segmen Global Innovation for Local Markets. Grafik 16 menunjukkan bahwa Indonesia sangatlah bergantung kepada impor barang yang berintensitas R&D tinggi dan impor komoditi berbasis sumber daya alam dengan nilai tambah tinggi (BBM). Besarnya porsi impor industri mesin dan peralatannya yang merupakan industri dengan intensitas R&D tinggi di Indonesia dan besarnya bobot ekspor Energi-/Resource-Intensive Commodities ditengarai terkait erat dengan lemahnya Indonesia dalam pilar human capital and research (terutama untuk pilar R&D).

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Prosedur (jumlah) Waktu  (hari) Biaya (% pendapatan per  kapita) Indonesia ASEAN, BRICS + Japan South  Africa Sumber: www.doingbusiness.org

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

42

Grafik 6. Ekspor Indonesia Grafik 7. Impor Indonesia

Benchmarking kinerja neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan sejumlah negara dalam periode 2000 s.d. 2011 menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki kapasitas inovasi yang tinggi cenderung memiliki surplus current account yang lebih sustain. Surplus transaksi berjalan dan perdagangan negara-negara seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Tiongkok yang berada dalam segmen Global Innovation for Local Markets dan kelompok Global Technologies/Innovators terlihat lebih berdaya tahan tinggi, ketimbang negara-negara yang lebih mengandalkan sumber daya alam dan tenaga kerja murah sebagai keunggulan kompetitif mereka (Grafik 18 dan Grafik 19). Sementara perekonomian Indonesia yang lebih mengandalkan sumber daya alam terus mencatat penipisan surplus, dari 5% pada tahun 2000 menjadi hanya sekitar 0.2% pada tahun 2011, dan bahkan telah memasuk area defisit di tahun 2012.

Grafik 8. Bechmarking Neraca Transaksi Berjalan

Sumber: World Development indicator – World Bank, diolah(transaksi berjalan), UNCTAD, diolah (komposisi ekspor produk industri). Pengelompokan segmen ekspor berdasarkan intensitas mengikuti publikasi McKinsey Global institute

‐15 ‐10 ‐5 0 5 10 15 20 25 30 35 ‐15 ‐10 ‐5 0 5 10 15 20 25 30 35 200 0 200 1 200 2 200 3 200 4 200 5 200 6 200 7 200 8 200 9 201 0 201 1 201 2 200 0 200 1 200 2 200 3 200 4 200 5 200 6 200 7 200 8 200 9 201 0 201 1 201 2 200 0 200 1 200 2 200 3 200 4 200 5 200 6 200 7 200 8 200 9 201 0 201 1 201 2 200 0 200 1 200 2 200 3 200 4 200 5 200 6 200 7 200 8 200 9 201 0 201 1 201 2 CA/PDB (%) CA/PDB (%) SGP RUS ZAF IDN MYS CHN JPN PHL KOR IND VNM THA BRA

Eksportir Grup R&D Intensive Eksportir Grup Labor Intensive  Eksportir Grup  Natural  Eksportir Grup Others

L a p o r a n K e b i j a k a n M o n e t e r

|

43

Laporan Kebijakan Moneter dipublikasikan secara triwulanan oleh Bank Indonesia setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan November. Selain dalam rangka memenuhi ketentuan pasal 58 UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004, laporan ini berfungsi untuk dua maksud utama, yaitu: (i) sebagai perwujudan nyata dari kerangka kerja antisipatif yang mendasarkan pada prakiraan ekonomi dan inflasi ke depan dalam perumusan kebijakan moneter, dan (ii) sebagai media bagi Dewan Gubernur untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat luas mengenai berbagai pertimbangan permasalahan kebijakan yang melandasi keputusan kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.

Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Divisi Pengaturan dan Komunikasi Kebijakan Grup Kebijakan Moneter

Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Telp: +62 21 2981 8334/6902

Fax: +62 21 345 2489

Email: gkm_komunikasi@bi.go.id Website: http//www.bi.go.id

Dewan Gubernur

Agus D.W. Martowardojo – Gubernur Mirza Adityaswara – Deputi Gubernur Senior Halim Alamsyah – Deputi Gubernur

Ronald Waas – Deputi Gubernur Perry Warjiyo – Deputi Gubernur Hendar – Deputi Gubernur

Dalam dokumen LAPORAN KEBIJAKAN MONETER (Halaman 39-44)

Dokumen terkait