• Tidak ada hasil yang ditemukan

Restrukturisasi Perlawanan 1981-1987

Dalam dokumen Bagian 5: Perlawanan: Struktur dan Strategi (Halaman 29-37)

Bagian 5: Perlawanan: Struktur dan Strategi

5.4 Restrukturisasi Perlawanan 1981-1987

97. Dua tahun pertama setelah hancurnya zonas libertadas (“wilayah bebas”) pemimpin Fretilin yang tersisa di Sektor Ponta Leste berusaha mencari anggota-anggota Komite Sentral Fretilin dan pasukan-pasukan Falintil di tempat-tempat lain. Mereka berusaha membangun hubungan dengan mantan kader-kader Fretilin dan komandan-komandan Falintil yang telah menyerah atau tertangkap yang tinggal di wilayah yang dikuasai tentara Indonesia. Mereka memilih yang bisa mereka percaya untuk terus melanjutkan perjuangan dalam bentuk baru.

Mereka juga berusaha mengumpulkan informasi mengenai keadaan di wilayah pendudukan dan strategi serta penempatan satuan-satuan tentara Indonesia. Kemampuan mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan tersebut dibatasi oleh gangguan terus-menerus oleh tentara Indonesia, yang memuncak dengan dilancarkannya Operasi Keamanan mulai pertengahan 1981 dan yang memaksa mereka untuk terus-menerus menghindar dari pertempuran langsung (lihat Bagian 3: Sejarah Konflik).

98. Setelah kehancuran base de apoio di zonas libertadas pasukan Falintil dibagi ke dalam satuan-satuan kecil terdiri dari tiga sampai empat orang. Satuan ini lebih kecil daripada satuan terkecil yang berlaku sebelumnya, yaitu secção (regu) yang berkekuatan tujuh orang. Ketika memasuki desa di wilayah pendudukan untuk membangun hubungan dengan penduduk sipil, satuan Falintil menyembunyikan senjata dan pakaian seragam. Kadang-kadang Falintil bisa membentuk satuan yang lebih besar untuk keperluan tertentu. Xanana Gusmão mengatakan bahwa pada bulan Mei 1980 ia membawa satu kompi (berkekuatan sekitar 60 orang) pergi ke arah barat sampai Gunung Kablaki untuk mencari pasukan Perlawanan yang masih bertahan di gunung-gunung. Komandan militer Kilik Wae Gae berusaha membangun satu pangkalan tetap yang mengkonsentrasikan satu batalyon pasukan. Seorang informan mengatakan kepada Komisi bahwa pada awal 1979 Xanana Gusmão dan Kilik Wae Gae berhasil membentuk satu

“brigade” yang terdiri dari empat kompi.§

Reorganisasi Perlawanan untuk menghadapi keadaan baru

99. Pada pertemuan para kader politik dan komandan militer yang tersisa di bulan Maret 1981 struktur organisasi baru untuk perlawanan mulai muncul. “Konferensi Reorganisasi Negeri”

yang pertama setelah hancurnya zonas libertadas ini diselenggarakan di kawasan Maubai di Gunung Aitana di subdistrik Lacluta (Viqueque) mulai tanggal 1 sampai dengan 8 Maret 1981.

* Menurut Ernest Chamberlain, pada saat basis di Matebian jatuh, Falintil sedang mengubah strategi pertahanannya dari

“basis-posisional” ke “bergerak” yang untuk itu pasukan dirombak dengan membentuk pasukan bergerak berkekuatan 11.000 orang yang didukung oleh kelompok-kelompok gerilya (Chamberlain, The Struggle in Iliomar, hal. 19). Masih belum jelas mengapa strategi ini baru dilaksanakan pada akhir 1978, padahal keputusan untuk melancarkan “Perang Rakyat Jangka Panjang” sudah diambil pada bulan Mei 1976, yang berarti bahwa perang posisi akan dilancarkan disertai dengan perang bergerak dan perang gerilya.

Xanana Gusmão mengatakan bahwa ia melakukan pencarian anggota-anggota Komite Sentral Fretilin sampai ke Dili dengan satu kompi pasukan. [Xanana Gusmão, “Autobiography,” dalam Niner (penyunting), To Resist is To Win!, hal 64.]

Lere Anan Timor, yang waktu itu adalah seorang kader menengah di Ponta Leste, mengatakan bahwa Kilik Wae Gae, yang sebelum jatuhnya zonas libertadas adalah seorang komandan sector, memimpin upaya ini. [Lere Anan Timor, Arsip Proyek Sejarah Lisan Tuba Rai Metin, Submisi kepada CAVR, CD No. 18.]

§ Seorang narasumber mengatakan bahwa “setelah Nicolau Lobato ditembak mati” Xanana Gusmão dan Kilik Wae Gae membentuk “brigade” yang tediri dari empat kompi, yaitu kompi Lospalos, Laga (dan Quelicai), Sul dan Ponta Leste bagian barat. [Wawancara CAVR dengan Sebastião da Silva, Viqueque, Juni 2003.]

Konferensi ini diselenggarakan oleh dua orang anggota Komite Sentral Fretilin yang masih aktif berjuang di hutan, Kay Rala Xanana Gusmão dan Mau Hunu Bulerek Karantaianu. Butir pertama dalam agenda adalah pengangkatan para anggota baru Komite Sentral, yaitu José da Costa (Mau Hudu Ran Kadalak), Bere Malae Laka, Reinaldo Correia (Kilik Wae Gae), Dinis Carvalho (Nelo Kadomi Timor), Sakin Nere Ulas Timor Lemo Rai, Holy Natxa, Tito da Costa (Lere Anan Timor), Hari Nere, dan Paulino Gama (Mauk Moruk Teki Timor Ran Nakali Lemo Rai).112 Mereka bersama dua anggota lama Komite Sentral, Xanana Gusmão dan Mau Hunu Bolerek Karantaianu memimpin perjuangan di dalam negeri. Sementara anggota Komite Sentral lama yang berada di luar negeri tetap pada keanggotaan mereka, yaitu Abílio Abrantes Araújo, Marí Alkatiri, Roque Rodrigues, José Luís Guterres, Guilhermina Araújo, José Ramos Horta, dan Rogério Lobato. Abílio Araújo juga ditunjuk menjadi Sekretaris Jenderal, sementara Xanana Gusmão menjadi Komisaris Politik Nasional (Comissário Política Nacional).113 Merekalah yang selanjutnya secara resmi memimpin Perlawanan.

100. Dalam konferensi tersebut, para anggota Komite Sentral di dalam negeri memutuskan membentuk Partai Marxis-Leninis Fretilin (Partido Marxista-Leninista Fretilin, PMLF) dan Dewan Revolusioner Perlawanan Nasional (Concelho Revolucionário da Resistência Nacional, CRRN, serta membentuk struktur baru untuk Falintil.114 Masih belum jelas apa sebab sesungguhnya perubahan dari Fretilin menjadi PMLF.* Xanana Gusmão mengatakan bahwa yang mereka lakukan hanyalah “mengikuti” keputusan yang telah diambil oleh “para pendahulu” pada Konferensi Laline tahun 1977, ketika mengikuti pengarahan dari Departemen Orientasi Politik dan Ideologi (Departemento de Orientação Política e Ideológica, DOPI), Marxisme-Leninisme secara resmi dinyatakan sebagai ideologi Fretilin.115 Komisi tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai struktur partai di bawah Komite Sentral. Kemungkinan PMLF hanya terdiri dari Komite Sentral, tanpa organ-organ yang beroperasi pada tingkatan di bawahnya.

101. CRRN dimaksudkan sebagai wadah organisasional untuk semua orang yang mau bergabung dalam perjuangan untuk mengakhiri penguasaan Indonesia terhadap Timor-Leste.

Dengan demikian CRRN adalah suatu undangan dari PMLF kepada semua orang Timor-Leste tanpa melihat latar belakang partai ataupun latar belakang lainnya untuk ambil bagian dalam Perlawanan terhadap pendudukan Indonesia. Belum diperoleh informasi yang jelas mengenai struktur CRRN. Satu sumber yang menyebutkan bahwa pimpinan CRRN pada tingkat nasional terdiri dari para kader politik Fretilin, komandan militer Falintil dan “wakil-wakil penduduk di wilayah yang dikuasai Indonesia.”116 Komisi Regional Perlawanan (Comissões Regionais de Resistência) beroperasi sebagai organ CRRN pada tingkat distrik yang membawahi Pusat Perlawanan Nasional (Centros da Resistência Nacional, Cernac) dan Inti Perlawanan Rakyat (Núcleos da Resistência Popular, NUREP) pada tingkat desa.117 Namun struktur-struktur ini tidak beroperasi merata di semua tempat di Timor-Leste. Seorang aktivis bawah tanah mengemukakan kesaksiannya kepada Komisi:

* B eberapa kesaksian menyebutkan bahwa alasan perubahan tersebut bersifat taktis, yaitu agar mendapatkan bantuan dari blok negara-negara sosialis. José da Conceição mengatakan kepada Komisi bahwa setelah kembali dari menghadiri Konferensi Reorganisasi Negeri, anggota Komite Sentral Fretilin Mau Hunu menjelaskan padanya bahwa perubahan tersebut diperlukan agar mendapatkan dukungan politik dan diplomatik dari blok negara-negara sosialis dalam perjuangan untuk pembebasan nasional. [Wawancara CAVR dengan José da Conceição, Dili, 20 Oktober 2004.] Justo Talenta memberikan keterangan yang mirip. [Wawancara CAVR dengan Justo Talenta, Dili, 3 November 2002.]

António Tomás Amaral da Costa (Aitahan Matak) menyebutkan bahwa CRRN beranggotakan: Xanana Gusmão, Mau Hudu Ran Kadalak (José da Costa), Mau Hunu Bulerek Karantaianu, Bere Malae Laka, Kilik Wae Gae, Nelo Kadomi Timur (Dinis Carvalho), Mauk Moruk Teki Timor Ran Nakali Lemo Rai, Ologari Asuwain, Lere Anan Timor, Konis Santana, Venancio Ferraz, Merak, Okan, dan Taur Matan Ruak. [Wawancara CAVR dengan António Tomás Amaral da Costa (Aitahan Matak), Dili, 18 Desember 2003.] Enam orang dari mereka bukan anggota Komite Sentral PMLF, yaitu Venancio Ferraz, Ologari Asuwain, Konis Santana, Merak, Okan, dan Taur Matan Ruak, tetapi mereka adalah kader menengah (quadros médios) Fretilin atau komandan Falintil.

Struktur CRRN waktu itu hanya berlaku di tingkat atas atau di hutan, sedangkan di kota atau basis belum ada. Itu hanya semacam taktik menandakan bahwa di hutan masih ada perlawanan front bersenjata yang masih mau melanjutkan perjuangan. Struktur hanya ada di komando Falintil saja. Penanggungjawab tertinggi adalah Xanana Gusmão. Yang mengetahui struktur hanyalah para anggota Falintil. Kami sendiri tidak tahu persis tentang struktur tersebut.118

102. Markas besar CRRN berkedudukan di hutan. Organ-organ pada tingkat distrik hingga subdistrik juga beroperasi dari hutan. Yang lainnya beroperasi secara rahasia di wilayah yang dikuasai Indonesia baik di kota, di desa-desa, maupun di tempat-tempat pemukiman baru.

103. Pemimpin tertinggi militer Falintil sekarang adalah Panglima (Comandante-em-Chefe) dan Kepala Staf Umum (Chefe do Estado Maior), yang masing-masing dijabat oleh Xanana Gusmão dan Reinaldo Correia (Kilik Wae Gae). Mereka membawahi kompi-kompi Falintil yang seluruhnya ada empat kompi yang ditempatkan di wilayah operasi gerilya masing-masing.

Berbeda dengan di masa zonas libertadas, kompi-kompi ini tidak berpangkalan tetap tetapi merupakan satuan-satuan gerilya yang terus bergerak untuk melakukan serangan gerilya.

Setelah “Konferensi Reorganisasi Negeri,” disebut-sebut adanya Brigade Merah (Brigada Vermelha), yang dipimpin oleh Mauk Moruk sebagai Komandan Pertama (Primeiro Comandante) dan Ologari Assuwain sebagai Komandan Kedua (Segundo Comandante). Tidak begitu jelas apakah Brigada Vermelha adalah salah satu unit pasukan di dalam Falintil ataukah pada waktu itu semua pasukan Falintil direorganisasikan ke dalam Brigada Vermelha.*

104. Pemimpin CRRN adalah orang-orang yang sebelum hancurnya zonas libertadas adalah para kader tinggi (quadros superiores) dan kader menengah (quadros médios) serta komandan-komandan Falintil, yang merupakan indikasi bahwa CRRN didominasi oleh Fretilin.

105. Pembagian wilayah secara militer berubah sama sekali. Jika dulu negeri dibagi menjadi enam sektor, pada Konferensi Reorganisasi Negeri, seluruh negeri dibagi menjadi tiga “region”

(regiões):

* Agaknya Brigada Vermelha berfungsi sama dengan Brigada de Choque sebelum hancurnya zonas libertadas. Pasukan ini tidak berpangkalan di satu tempat tertentu tetapi bergerak (movel) untuk melancarkan serangan kejutan terhadap tentara Indonesia. Jacinto Alves, seorang mantan colaborador (staf) pada Staf Umum Falintil (1977-1978), mengatakan bahwa Staf Umum Falintil pada 1977 menyusun rencana strategi untuk melakukan perang bergerak dengan konsentrasi pada jalur tengah dari ujung timur sampai perbatasan di barat. Perlawanan mengosongkan wilayah bagian utara dan penduduk ditempatkan di bagian selatan yang tanahnya cukup subur. Jalur tengah yang memanjang dari timur sampai barat menjadi medan tempur bergerak pasukan-pasukan Brigada de Choque Falintil. Beberapa kompi Brigada de Choque dibentuk dan dilatih secara khusus di bawah pengarahan mantan Komandan Sektor Fronteira Norte Sebastião Sarmento.

[Wawancara CAVR dengan Jacinto Alves, Dili, 11 Mei 2004.] Ernest Chamberlain menyebutkan bahwa sebelum jatuhnya basis Matebian ada rencana untuk membentuk pasukan untuk perang bergerak yang berkekuatan sekitar 11.000 orang.

[Chamberlain, The Struggle in Iliomar, hal. 19.]

Xanana Gusmão dan Mau Hunu adalah anggota Komite Sentral, yang berarti kader tinggi. Bere Malae Laka, Lere Anan Timor, Mau Hudu, dan Konis Santana adalah para kader yang bertanggungjawab atas regiões dan zona, yang berarti adalah kader menengah (quadros medios). Kilik Wae Gae dan Nelo Kadomi Timor adalah mantan komandan Falintil yang bertanggungjawab atas região, sementara Taur Matan Ruak adalah komandan kompi. Tidak ada informasi mengenai keanggotaan orang bukan Fretilin dalam CRRN.

nama Haksolok)

106. Selain itu dibentuk zona pada tingkat distrik yang dipimpin oleh tiga orang adjunto yang salah satunya menjadi “penanggungjawab utama” (responsável principal). Para adjunto zona membawahi beberapa sel (celula), yang terdiri dari orang-orang yang disebut asisten (assistente) dan aktivis (activista).120

107. Pembagian wilayah ini sama sekali berbeda dengan masa zonas libertadas. Pada waktu itu wilayah negeri dibagi ke dalam unit-unit administratif-politik dan militer. Pada setiap tingkatan dalam struktur ini, para kader politik mengurus program produksi pertanian, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan. Setelah hancurnya zonas libertadas, pembagian wilayah sama sekali bersifat militer dan didasarkan pada operasi gerilya. Di dalam ketiga region tidak ada lagi penduduk sipil dalam jumlah besar dan karena itu unit administratif dan kegiatan-kegiatan pendukungnya tidak lagi ada. Kegiatan utama para kader politik – adjunto, assistente, dan activista – adalah membentuk sel-sel bawah tanah di kalangan penduduk yang tinggal di desa-desa yang dikuasai tentara Indonesia, melakukan propaganda untuk memelihara komitmen penduduk pada cita-cita kemerdekaan dan memberikan dukungan logistik dan informasi kepada gerilyawan di hutan. Dalam rangka itu di setiap zona dibentuk suatu sistem caixa (secara harafiah berarti kotak) yang dioperasikan oleh seorang penanggungjawab tempat penghubung (responsável caixa) dan para kurir (ligação).*

108. Dengan tidak adanya penduduk, Perlawanan di dalam negeri sekarang oleh fokusnya adalah perjuangan bersenjata. Para kader politik memang masih berhubungan dengan penduduk, tetapi bukan untuk mengorganisir mereka dalam kegiatan “membangun struktur-struktur baru yang melayani rakyat,” melainkan untuk membantu satuan-satuan gerilya Falintil dengan dukungan logistik dan informasi.121 Peran mereka berubah menjadi jalur penghubung antara gerilyawan di hutan dengan penduduk di desa-desa dan kota-kota yang diduduki Indonesia.

109. Mengingat pada saat itu perlawanan bersenjata berbasis di hutan, maka secara operasional inti perlawanan adalah Falintil, bukan Fretilin ataupun CRRN. Fretilin, sebagai

“pelopor” (dalam bahasa Tetun disebut mata dalan) perjuangan, secara resmi masih merumuskan politik perjuangan, tetapi karena perjuangan yang berlangsung sekarang terutama adalah perjuangan bersenjata maka politik yang nyata ada hanyalah politik perjuangan bersenjata. Di masa sebelumnya, Komite Sentral Fretilin, dalam rapat pleno atau kalau Komite Sentral tidak bisa mengadakan sidang lengkap, melalui Komite Permanen yang membuat keputusan mengenai masalah-masalah kebijakan yang luas. Keputusan mengenai strategi militer mengikuti kebijakan tersebut. Setelah hancurnya zonas libertadas, keputusan-keputusan yang dibuat terutama adalah mengenai perjuangan bersenjata dan dengan demikian ini berada dalam wewenang Panglima Falintil, yang kadang-kadang mengambil keputusan bersama dengan Kepala Staf. Hal ini tersirat dari pernyataan Xanana sehubungan dengan restrukturisasi tahun 1984. Restrukturisasi ini tidak diterima oleh sejumlah komandan yang dipindahtugaskan:

Saya bilang sebagai Panglima Tertinggi, di militer tidak ada demokrasi, kita perang atau tidak perang. Saya bikin restrukturisasi…

* Ligação (“hubungan”) kemudian digantikan dengan istilah vias de canais (“saluran penghubung”) dan selanjutnya sejak 1986 lebih dikenal dengan sebutan estafeta. [Wawancara CAVR dengan Vasco da Gama (Criado), Dili, 18 Mei 2004.]

Fungsi mereka adalah kurir yang membawa surat atau barang dari satu tempat penghubung (“caixa”) ke tempat penghubung yang lain untuk keperluan Falintil.

Pada 1982 fungsi Comissário Política Nacional dihilangkan dalam “Penyesuaian Struktural” ( Rejustamento Estrutural ).

Ini berarti bahwa kedudukan politik tertinggi dalam Fretilin di dalam negeri ditinggalkan oleh Xanana Gusmão, yang sejak itu hanya menjalankan fungsi sebagai Panglima Falintil. [Xanana Gusmão, Timor Leste: Um Povo, Uma Pátria, hal. 98;

dan Budiardjo dan Liem, hal. xii dan 67-70.]

Tetapi masalah [sebenarnya] adalah restrukturisasi militer, [saya] memberi instruksi baru, memberi inisiatif…Kalau persoalan politik, mari bicara politik dengan benar, kalau persoalan militer, dalam perang komandan yang memerintah.122

110. Perlawanan sekarang sepenuhnya adalah perjuangan bersenjata, dengan Falintil memegang peranan utama. Struktur sipil Fretilin disubordinasikan pada Falintil. Para adjunto Fretilin sekarang menjadi semacam petugas logistik dan agen intelijen untuk para komandan kompi Falintil. Sebagai partai revolusioner, PMLF agaknya hanya ada di atas kertas. Tidak ada mobilisasi rakyat untuk “membangun struktur-struktur baru yang melayani rakyat” atau untuk

“penghancuran total semua bentuk eksploitasi.” Para kader PMLF angkat senjata berjuang sebagai gerilyawan atau menjadi penghubung gerilyawan dengan rakyat untuk mendapatkan bahan makanan, obat-obatan, pakaian dan informasi tentang gerak musuh.

Strategi

111. Kenyataan baru yang diberikan oleh hancurnya zonas libertadas memerlukan pemikiran baru dari pihak Perlawanan. Strategi “Perang Rakyat Jangka Panjang” tidak lagi bisa dijalankan.

Serangan-serangan gencar tentara Indonesia mengharuskan tentara Falintil berpencar dalam satuan kecil-kecil.* Setelah dengan sungguh-sungguh kembali mempelajari strategi perang, para komandan dan kader politik yang tersisa menetapkan bahwa perang perlawanan terhadap Indonesia selanjutnya adalah perang gerilya. Serangan-serangan dilancarkan oleh satuan-satuan kecil yang bergerak menjelajahi negeri tanpa pangkalan tetap. Informasi intelijen diperoleh dari penduduk sipil di wilayah pendudukan yang diorganisir dalam sel-sel bawah tanah (clandestina).

112. Serangan-serangan gerilya oleh Falintil memang punya tujuan taktis untuk menghancurkan pasukan tentara Indonesia yang menjadi sasaran, tetapi pada saat yang sama Falintil sadar bahwa tidak akan bisa mengalahkan tentara Indonesia secara militer. Perang perlawanan berubah dari tujuan awalnya mengusir agresor Indonesia menjadi menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa Falintil masih mampu melancarkan perang perlawanan terhadap pendudukan Indonesia dan bahwa rakyat Timor-Leste menginginkan kemerdekaan. 113. Strategi militer ini seiring dengan perubahan pandangan mengenai perundingan. Di masa zonas libertadas, Fretilin menolak keras perundingan dengan Indonesia. Salah satu slogan pada masa itu adalah Negociação – Não e Nunca (Perundingan – Tidak dan Tidak Akan Pernah).

Dengan kegagalan “Perang Rakyat Jangka Panjang,” perlahan-lahan para pemimpin melihat perundingan sebagai sarana untuk mengakhiri pendudukan Indonesia. Pertanda mengenai ini terlihat dengan dilakukannya pertemuan-pertemuan antara pimpinan Perlawanan dengan pimpinan tentara Indonesia di Timor-Leste pada Maret-April 1983. Pertemuan-pertemuan tersebut dikenal dengan sebutan “Kontak Dame” (Kontak Damai). Taur Matan Ruak mengenang:

* Xanana Gusmão dan Taur Matan Ruak mengatakan bahwa pemecahan pasukan menjadi satuan-satuan kecil awalnya merupakan keadaan yang dipaksakan oleh tentara Indonesia, bukan suatu strategi yang sengaja dirancang oleh pihak Perlawanan. [Wawancara CAVR dengan José Alexandre Gusmão, bagian II, Dili, 10 Agustus 2004 dan Taur Matan Ruak, bagian II, Dili, 14 Juni 2004.]

Satu tinjauan tentang strategi Perlawanan yang dibuat oleh tentara Indonesia pada 1983 menyebutkan bahwa tujuan perang yang dilancarkan oleh Fretilin adalah: (a) mempertahankan diri dengan menghindari pertempuran yang menentukan agar punya waktu untuk memulihkan kekuatan, sementara menumbuhkan motivasi yang tinggi dan disiplin yang kuat; (b) memelihara dan mengembangkan jaringan dukungan di wilayah pemukiman dan di kota-kota; (c) memperlihatkan kehadiran atau keberadaan mereka, terutama pada bulan-bulan sebelum Sidang Umum PBB; (d) menciptakan kondisi dalam mana ABRI merasa tidak aman di manapun mereka berada; (e) Menciptakan pangkalan-pangkalan bergerak di banyak wilayah, terutama di desa-desa yang subur yang sekarang ditinggalkan oleh penghuninya [Lampiran Dokumen 3 dalam Budiardjo dan Liem, The War Against East Timor, hal. 197.]

Kami mencari kesempatan untuk bisa mengeksplorasi damai. Karena itu pada tahun 1983 Xanana menerima tawaran untuk melakukan kontak dengan Indonesia…Mereka punya tujuan besar, bagaimana memanfaatkan untuk mengepung kita…Sebaliknya, kita berpikir mau memanfaatkan untuk mendapatkan penyelesaian konflik secara damai.123

114. Dalam berbagai pertemuan Kontak Dame ini pihak Falintil mengajukan usulan tentang penyelesaian konflik melalui perundingan antara pihak Perlawanan dengan Indonesia di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagian tuntutan pihak Perlawanan, seperti penarikan mundur tanpa syarat tentara pendudukan Indonesia, masih tetap sejalan dengan sikap tak kenal kompromi Fretilin masa zonas libertadas. Yang lainnya meliputi pembentukan pasukan penjaga perdamaian PBB di Timor Leste untuk mengawasi penarikan mundur tentara Indonesia dan mengamankan pemerintah transisional dan dipertahankannya pasukan Falintil “untuk melindungi rakyat dari tekanan-tekanan.” Perlawanan juga mengusulkan referendum untuk menentukan masa depan politik Timor Leste.124 Ini jelas langkah melunak dari sikap resmi yang diambil sejak 1975. Pada waktu itu Fretilin menegaskan bahwa rakyat Timor-Leste memiliki hak untuk merdeka dan bahwa rakyat telah menyatakan keinginannya itu melalui Proklamasi Kemerdekaan oleh Komite Sentral Fretilin pada 28 November 1975. Dengan mengusulkan referendum sebagai satu cara untuk mengakhiri penguasaan Indonesia atas Timor-Leste, Fretilin kenyataannya mengakui keputusan yang sebelumnya sudah diambil oleh front perlawanan diplomatik: bahwa karena Proklamasi Kemerdekaan Fretilin tidak punya kesempatan untuk mendapatkan pengakuan lebih dari sepuluh negara, satu-satunya jalan yang terbuka bagi gerakan kemerdekaan tersebut adalah mencari dukungan internasional untuk pelaksanaan hak rakyat Timor-Leste atas penentuan nasib sendiri (lihat Bab 7.1: Penentuan Nasib Sendiri). Jika sebelumnya upaya diplomasi lebih banyak dilakukan untuk mencari dukungan dari negara-negara blok sosialis dan negara-negara-negara-negara non-blok, sekarang negara-negara-negara-negara blok Barat juga menjadi penting, karena pengaruh kuat mereka pada PBB, termasuk pada Dewan Keamanan PBB (lihat bagian tentang Front Klandestin di bawah). Gagasan tentang pentingnya perjuangan di medan diplomatik semakin menguat dalam pemikiran Perlawanan, sampai-sampai pada sekitar 1984 menjadi pemikiran yang dominan di kalangan pemimpin Perlawanan. José da Cosa (Mau Hudu Ran Kadalak), salah seorang anggota penting Komite Sentral PMLF, suatu saat menyatakan bahwa kepemimpinan Perlawanan sekarang memusatkan strategi pada dialog dan memindahkan fokus pada front diplomatik, bukan lagi perjuangan bersenjata, meskipun perjuangan bersenjata tetap dilancarkan selama diperlukan.125

115. Pada saat yang sama juga berlangsung pergeseran pemikiran lain. Selama beberapa tahun pandangan dominan di dalam Perlawanan menganggap bahwa hanya Fretilin yang memperjuangkan kemerdekaan; dan patriot sejati hanyalah orang-orang Fretilin. Setelah 1982 gagasan bahwa partai lain maupun pengelompokan-pengelompokan yang lain juga bisa ambil bagian dalam perjuangan pembebasan nasional mulai menguat. Salah satu kejadian penting dalam proses ini adalah pertemuan antara Panglima Falintil/Komisaris Politik Nasional Xanana Gusmão dengan Administrator Apostolik Dili Monsignor Martinho da Costa Lopes di desa Mehara, Tutuala, distrik Lautém. Dalam pertemuan tersebut Dom Martinho mengatakan bahwa persatuan nasional antara Fretilin dan UDT diperlukan untuk keberhasilan perjuangan kemerdekaan. Pada awalnya Xanana Gusmão menolak pandangan ini,* tetapi perlahan-lahan gagasan ini semakin diterima sehingga pada 1983 Komite Sentral PMLF menetapkan Persatuan Nasional (Unidade Nacional) sebagai politik resminya.126

116. Politik Persatuan Nasional dan gagasan tentang perundingan di bawah pengawasan PBB sebagai cara mengakhiri pendudukan Indonesia atas Timor Leste mendorong perubahan

* José da Conceição, yang waktu itu adalah seorang adjunto, mengatakan bahwa pada awalnya Xanana Gusmão tidak setuju dengan gagasan ini dan menganggap bahwa persatuan antara Fretilin dengan UDT itu seperti “mengawinkan katak dengan buaya.” [Wawancara CAVR dengan José da Conceição, Dili, 20 Oktober 2004.]

radikal di bidang ideologi Perlawanan yang juga berdampak pada organisasinya. Harapan untuk mendapatkan kerjasama dari partai-partai seperti UDT, terutama pimpinannya di luar negeri yang menolak integrasi Timor-Leste dengan Indonesia, dengan mudah bisa gagal karena penolakan

radikal di bidang ideologi Perlawanan yang juga berdampak pada organisasinya. Harapan untuk mendapatkan kerjasama dari partai-partai seperti UDT, terutama pimpinannya di luar negeri yang menolak integrasi Timor-Leste dengan Indonesia, dengan mudah bisa gagal karena penolakan

Dalam dokumen Bagian 5: Perlawanan: Struktur dan Strategi (Halaman 29-37)

Dokumen terkait