• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teori

2.1.2. Resusitasi Jantung Paru (RJP)

1. Pengertian

Resusitasi Jantung-Paru (RJP) adalah suatu cara untuk memfungsikan kembali jantung dan paru (Krisanty, 2009). Cardio

Pulmonary Resusitation (CPR) adalah suatu teknik bantuan hidup

dasar yang bertujuan untuk memberikan oksigen ke otak dan jantung sampai ke kondisi layak, dan mengembalikan fungsi jantung dan pernafasan ke kondisi normal (Nettina, 2006).

Ketika jantung seseorang berhenti berdenyut, maka dia memerlukan tindakan CPR segera. CPR adalah suatu tindakan untuk memberikan oksigen ke paru-paru dan mengalirkan darah ke jantung dan otak dengan cara kompresi dada. Pemberian CPR hampir sama antara bayi (0-1 tahun), anak (1-8 tahun), dan dewasa (8 tahun/lebih), hanya dengan sedikit variasi (Thygerson, 2006). Sebelum pelaksanaan prosedur, nilai kondisi pasien secara berturut-turut: pastikan pasien tidak sadar, pastikan tidak bernafas, pastikan nadi tidak berdenyut, dan interaksi yang konstan dengan pasien (Krisanty, 2009).

12

2. Tindakan

a. Periksa Respon dan Layanan Kedaruratan Medis

Berteriak di dekat kuping pemeriksaan kesadaran dilakukan untuk menentukan pasien sadar atau tidak dengan cara memanggil, menepuk bahu atau wajah korban. Jika pasien sadar, biarkan pasien dengan posisi yang membuatnya merasa nyaman, dan bila perlu lakukan kembali penilaian kesadaran setelah beberapa menit. Jika pasien tidak sadar segera meminta bantuan dengan cara berteriak “TOLONG!” atau dengan menggunakan alat komunikasi dan beritahukan dimana posisi anda (penolong) (ERC Guidelines, 2010).

Gambar 2.1

Pemeriksaan Kesadaran Korban

(Sumber: European Resuscitation Council Guidelines for

Resuscitation, 2010)

b. Sirkulasi (Circulation Support)

Merupakan suatu tindakan resusitasi jantung dalam usaha mempertahankan sirkulasi darah dengan cara memijat

jantung, sehingga kemampuan hidup sel-sel saraf otak dalam batas minimal dapat dipertahankan (Alkatri, 2007). Dilakukan dengan menilai adanya pulsasi arteri karotis. Penilaian ini maksimal dilakukan selama 5 detik. Bila tidak ditemukan nadi maka dilakukan kompresi jantung yang efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan 100 kali per menit, kedalaman 4-5 cm, memberikan kesempatan jantung mengembang (pengisian ventrikel), waktu kompresi dan relaksasi sama, minimalkan waktu terputusnya kompresi dada. Rasio kompresi dan ventilasi 30:2 (Mansjoer, 2009).

Untuk menghasilkan kompresi dada yang efektif, lakukan penekanan yang keras dan cepat. Kecepatan yang digunakan adalah paling sedikit 100x/menit dengan kedalaman 2 inci atau 5 cm dan harus dibiarkan dada recoil secara sempurna setelah kompresi dada untuk menghasilkan pengisian jantung secara lengkap sebelum kompresi berikutnya. Penolong juga harus meminimalkan interupsi terhadap kompresi dada untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan permenitnya (Pusponegoro et al, 2012).

14

Gambar 2.2

Posisi Penolong Pijat Jantung

(Sumber: European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation, 2010)

Periksa keberhasilan tindakan resusitasi jantung paru dengan memeriksa denyut nadi arteri karotis dan pupil secara berkala. Bila pupil dalam keadaan konstriksi dengan reflex cahaya positif, menandakan oksigenasi aliran darah otak cukup. Bila sebaliknya yang terjadi, merupakan tanda kerusakan otak berat dan resusitasi dianggap kurang berhasil (Alkatiri, 2007). Hentikan usaha RJP jika terjadi hal-hal berikut (Alkatiri, 2007):

1) Korban sadar kembali (dapat bernapas dan denyut nadi teraba kembali).

2) Digantikan oleh penolong terlatih lain atau layanan kedaruratan medis.

4) Keadaan menjadi tidak aman.

c. Pembebasan Jalan Napas (Airway Support)

Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang. Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama mengerjakan prosedur-prosedur ini harus dilakukan immobilisasi segaris (in-line immobilization) dan pasien/korban harus diletakkan di atas alas/permukaan yang rata dan keras (IKABI, 2004).

Teknik-teknik mempertahankan jalan napas (airway): 1) Tindakan kepala tengadah (head tilt)

Tindakan ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah (Latief, 2009).

2) Tindakan dagu diangkat (chin lift)

Jari-jemari satu tangan diletakkan dibawah rahang, yang kemudian secara hati-hati diangkat keatas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan secara bersamaan dagu dengan hati-hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher (IKABI, 2004).

16

Gambar 2.3

Head-tilt, chin-lift Maneuver

(Sumber: European Resuscitation Council Guidelines for

Resuscitation, 2010)

3) Tindakan mendorong rahang bawah (jaw-thrust)

Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong kedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher (Latief, 2009).

Gambar 2.4

Jaw-thrust Maneuver

(Sumber: European Resuscitation Council Guidelines for

Resuscitation, 2010)

d. Bantuan Napas dan Ventilasi (Breathing Support)

Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Breathing

support merupakan usaha ventilasi buatan dan oksigenasi

dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan menggunakan udara ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung, atau dari mulut ke alat (S-tube masker atau bag valve mask) (Alkatri, 2007).

Breathing support terdiri dari 2 tahap:

1) Penilaian Pernapasan

Menilai pernapasan dengan memantau atau observasi dinding dada pasien dengan cara melihat (look) naik dan turunnya dinding dada, mendengar (listen) udara yang keluar saat ekshalasi, dan merasakan (feel) aliran udara yang menghembus di pipi penolong (Mansjoer, 2009).

Gambar 2.5

Look, Listen, and Feel

(Sumber: European Resuscitation Council Guidelines for

Resuscitation, 2010)

2) Memberikan bantuan napas

Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut (mouth-to-mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut

18

ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup (Latief, 2009).

a) Pada bantuan napas mulut-ke-mulut (mouth-to-mouth) jika tanpa alat, maka penolong menarik napas dalam, kemudian bibir penolong ditempelkan ke bibir pasien yang terbuka dengan erat supaya tidak bocor dan udara ekspirasi dihembuskan ke mulut pasien sambil menutup kedua lubang hidung pasien dengan cara memencetnya.

Gambar 2.6

Ventilasi Buatan Mulut ke Mulut

(Sumber: European Resuscitation Council Guidelines

for Resuscitation, 2010)

b) Pada bantuan napas mulut-ke-hidung (mouth-to-nose), maka udara ekpsirasi penolong dhembuskan kehidung pasien sambil menutup mulut pasien. Tindakan ini dilakukan kalau mulut pasien sulit dibuka (trismus) atau pada trauma maksilo-fasial.

c) Pada bantuan napas mulut-ke-sungkup pada dasarnya sama dengan mulut-ke-mulut. Bantuan napas dapat pula dilakukan dari mulut-ke-stoma atau lubang trakeostomi pada pasien pasca bedah laringektomi. Frekuensi dan besar hembusan sesuai dengan usia pasien apakah korban bayi, anak atau dewasa. Pada pasien dewasa, hembusan sebanyak 10-12 kali per menit dengan tenggang waktu antaranya kira-kira 2 detik. Hembusan penolong dapat menghasilkan volum tidal antara 800-1200 ml (Latief, 2009).

e. Posisi Pemulihan (Recovery Position)

Recovery position dilakukan setelah pasien ROSC

(Return of Spontaneous Circulation). Urutan tindakan

recovery position meliputi:

1) Tangan pasien yang berada pada sisi penolong diluruskan ke atas.

2) Tangan lainnya disilangkan di leher pasien dengan telapak tangan pada pipi pasien.

3) Kaki pada sisi yang berlawanan dengan penolong ditekuk dan ditarik ke arah penolong, sekaligus memiringkan tubuh korban ke arah penolong.

20

Dengan posisi ini jalan napas diharapkan dapat tetap bebas (secure airway) dan mencegah aspirasi jika terjadi muntah. Selanjutnya, lakukan pemeriksasn pernapasan secara berkala (Resuscitation Council UK, 2010).

Gambar 2.7

Recovery Position

(Sumber: European Resuscitation Council Guidelines for

Resuscitation, 2010)

3. Indikasi Bantuan Hidup Dasar

Tindakan RJP sangat penting terutama pada pasien dengan

cardiac arrest karena fibrilasi ventrikel yang terjadi di luar rumah

sakit, pasien di rumah sakit dengan fibrilasi ventrikel primer dan penyakit jantung iskemi, pasien dengan hipotermi, overdosis, obstruksi jalan napas atau primary respiratory arrest (Alkatiri, 2007). Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif), antara lain: bila henti jantung (arrest) telah berlangsung lebih dari 5 menit (oleh karena biasanya kerusakan otak permanen telah terjadi pada saat ini), pada keganasan stadium lanjut, payah jantung refrakter, edema paru-paru refrakter, syok yang mendahului arrest, kelainan neurologic yang berat, serta pada penyakit ginjal, hati dan paru yang lanjut (Alkatiri, 2007).

Dokumen terkait