• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

II. TINJAUAN PUSTAKA

3.6 Analisis Statistik

3.6.1 Konsumsi Pakan (KP)

Konsumsi pakan dihitung dengan cara menimbang total pakan yang dikonsumsi ikan selama perlakuan pemberian pakan.

3.6.2 Laju Pertumbuhan Harian

Sampling dilakukan pada awal dan akhir penelitian. Laju pertumbuhan harian dihitung berdasarkan persamaan (NRC, 1993) :

Laju pertumbuhan harian (%) 1 x100%

W W t o t ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ − = Keterangan:

Wt = bobot rata-rata individu pada waktu t (gram) W0 = bobot rata-rata individu pada waktu awal (gram) t = waktu pemeliharaan (hari)

3.6.3 Pertumbuhan Panjang Relatif

Sampling dilakukan pada awal dan akhir penelitian. Pertumbuhan relatif dihitung berdasarkan persamaan (Effendi, 1978)

Pertumbuhan panjang relatif

( )

% 100 (%) x Lo Lo Lt− = Keterangan:

Lt = panjang ikan akhir (mm) L0 = panjang ikan awal (mm)

3.6.4 Efisiensi Pakan (EP)

Nilai efisiensi makanan menunjukkan kualitas makanan yang diberikan dan dapat dihitung berdasarkan persamaan ( NRC, 1993) sebagai berikut:

( )

[ ]

% 100 (%) 0 x F W W W EP t + d − = Keterangan: EP = efisiensi pakan (%)

F = jumlah total pakan yang diberikan (gram) Wt = bobot total ikan pada akhir penelitian (gram) Wo = bobot total ikan pada awal penelitian (gram) Wd = bobot total ikan mati selama penelitian (gram)

3.6.5 Retensi Protein (RP)

Retensi protein ditentukan dengan membandingkan jumlah protein yang disimpan dalam tubuh ikan dengan jumlah protein yang dikonsumsi oleh ikan. Retensi protein dirumuskan dengan (Takeuchi, 1988):

( )

% 100 (%) x P I F RP = − Keterangan: RP = retensi protein (%)

F = kandungan protein tubuh pada akhir penelitian (gram) I = kandungan protein tubuh pada awal penelitian (gram) P = jumlah protein yang dimakan ikan (gram)

3.6.6 Retensi Lemak (RL)

Retensi lemak ditentukan dengan membandingkan jumlah lemak yang disimpan dalam tubuh ikan dengan jumlah lemak yang dikonsumsi oleh ikan. Retensi lemak dirumuskan dengan (Takeuchi, 1988):

( )

% 100 (%) x L K J RL = − Keterangan: RL = retensi lemak (%)

J = kandungan lemak tubuh pada akhir penelitian (gram) K = kandungan lemak tubuh pada awal penelitian (gram) P = jumlah lemak yang dimakan ikan (gram)

3.6.7 Tingkat Kelangsungan Hidup (KH)

Tingkat kelangsungan hidup adalah perbandingan jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian terhadap jumlah ikan pada awal penelitian. Tingkat kelangsungan hidup dihitung dengan rumus (NRC, 1993):

% 100 (%) x awal ikan akhir ikan KH

=

3.6.8 Koofisien Kecernaan (apparent digestibility cooficient)

Kualitas bahan pakan/pakan ikan dapat diukur melalui kecernaannya. Pengukuran pencernaan bahan pakan/pakan ikan dilakukan dengan menggunakan zat indikator berupa Cr2O3 pada pakan acuan dan pakan uji. Berikut ini adalah langkah-langkah mengujian kecernaan:

A. Kecernaan Bahan Kering.

Nilai kecernaan bahan bisa diketahui dari nilai kecernaan pakan uji dan pakan acuan. Nilai kecernaan pakan acuan (ADR) dan pakan uji (ADT) dihitung berdasarkan modifikasi persamaan (Takeuchi, 1988);

Kecernaan pakan ( % ) = ( )×100 B A B Keterangan: A = % Cr2O3 dalam pakan B = % Cr2O3 dalam feses

Kecernaan bahan uji ( % ) =

7 , 0 ) 3 , 0 (ADTADR Keterangan :

ADT = kecernaan pakan uji ADR = kecernaan pakan acuan

B. Kecernaan Protein Tepung Darah

Koofisien kecernaan protein pakan (ADC) = [1- (a/a’ x b’/b)] x 100% Keterangan

a = % indikator khromium dalam pakan a’ = % indikator khromium dalam feses b = % protein dalam pakan

0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 11,00 H1 H40

Masa Pem eliharaan

B o b o t (gr a m )

Kontrol Tepung darah 6% Tepung darah 6% ditambah atraktan Tepung darah 12% Tepung darah 12% ditambah atraktan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Kinerja Pertumbuhan

Hasil yang diperoleh setelah pemberian pakan buatan dengan pemakaian tepung darah dan atraktan terhadap kinerja pertumbuhan kerapu bebek selama 40 hari disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Konsumsi pakan (KP), retensi protein (RP), retensi lemak (RL), laju pertumbuhan harian (LPH), pertumbuhan panjang relatif (PR), efisiensi pakan (EP) dan kelangsungan hidup (KH) kerapu bebek.

Perlakuan/tepung darah No Parameter A (kontrol) B (TD 6%) C (TD 6% dan atraktan) D (TD 12%) E (TD 12% dan atraktan) 1 KP (gr) 115,9±19,43ab 110,71±2,43ab 119,01±10,2b 92,99±16,15a 98,56±3,1ab 2 RP (%) 61,88±0,72a 67,26±2,31a 84,97±5,81bc 81,21±4,05b 93,05±7,16c 3 RL (%) 62,94±1,63a 60,37±1,94a 73,84±5,14b 67,43±3,53ab 81,46±5,94c 4 LPH (%) 3,38±0,28a 3,75±0,34ab 4,18±0,09b 3,69±0,27a 4,19±0,12b 5 PR (%) 48,79±7a 56,06±7,62ab 63,07±2,42b 51,69±6,6ab 61,52±4,87b 6 EP (%) 46,85±0,54a 52,64±3,81a 66,36±5,06b 61,62±2,84b 74,38±5,81c 7 KH (%) 100±0a 90±10a 96,7±5,8a 90±10a 90±0a

Ket : Huruf superscript dibelakang nilai standar deviasi yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P≤0,05) pada selang kepercayaan 95 %.

Gambar 1 menunjukkan pertambahan bobot ikan kerapu bebek pada tiap perlakuan selama 40 hari.

Gambar 1. Pertambahan bobot ikan kerapu bebek pada tiap perlakuan selama 40 hari. 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 10,00 11,00 H1 H40

Masa Pem eliharaan

B o b o t (gr a m )

Kontrol Tepung darah 6% Tepung darah 6% ditambah atraktan Tepung darah 12% Tepung darah 12% ditambah atraktan

Pemberian pakan perlakuan pada ikan kerapu memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p≤0,05) terhadap konsumsi pakan (KP), laju pertumbuhan harian (LPH), pertumbuhan panjang relatif (PR), efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP) dan retensi lemak (RL). Sedangkan untuk parameter kelangsungan hidup (KH) tidak berbeda nyata antar perlakuan. Data selengkapnya terdapat pada Lampiran 3. Nilai konsumsi pakan tertinggi terdapat pada perlakuan tepung darah 6% ditambah atraktan yaitu 119,01±10,2g dan terendah pada perlakuan tepung darah 12% tanpa atraktan yaitu 98,56±3,1g. Untuk nilai retensi protein dan retensi lemak tertinggi terdapat pada perlakuan tepung darah 12% ditambah atraktan yaitu 93,05±7,16% dan 81,46±5,94%, sedangkan terendah terdapat pada perlakuan kontrol yaitu 61,88±0,72% dan 62,94±1,63%. Laju pertumbuhan harian tertinggi terdapat pada perlakuan tepung darah 12% ditambah atraktan dan tepung darah 6% ditambah atraktan yaitu 4,18-4,19% dan terendah pada perlakuan kontrol yaitu 3,38±0,28%. Pertumbuhan panjang relatif tertinggi terdapat pada perlakuan tepung darah 6% ditambah atraktan dan tepung darah 12% ditambah atraktan yaitu 61,52-63,07% dan terendah pada perlakuan kontrol yaitu 48,79±7%. Efisiensi pakan tetinggi terdapat pada perlakuan tepung darah 12% ditambah atraktan yaitu 74,38±5,81% dan terendah pada perlakuan kontrol yaitu 46,85±0,54%.

4.1.2 Kecernaan

Pengukuran kecernaan pada pakan ikan kerapu menggunakan zat indikator Chromium oxide (Cr2O3) sebanyak 0,6 % sebagai marker. Pengukuran kecernaan protein dan kecernaan total pada pakan ikan kerapu disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kecernaan protein dan kecernaan total pakan

Perlakuan Kecernaan protein (%) Kecernaan total (%)

A (pakan kontrol) 98,54 55,06

C (tepung darah 6% + atraktan) 98,79 62,06

Nilai kecernaan tepung darah dengan kadar protein 88,48% adalah 81,36%.

Pada perlakuan tepung darah 12% ditambah atraktan menunjukkan nilai kecernaan protein dan kecernaan total tertinggi dengan nilai kecernaan 98,92% dan 65,75%. Sedangkan untuk nilai kecernaan protein dan kecernaan total terendah terdapat pada perlakuan kontrol dengan niali kecernaan 98,54% dan 55,06%. Data selengkapnya terdapat pada Lampiran 4.

4.2 Pembahasan

Tepung darah merupakan sumber protein alternatif pengganti sumber protein dari tepung ikan. Tepung darah merupakan bahan makanan yang berasal dari hewan dengan kadar proteinnya paling tinggi yaitu sekitar 80% dari bobot kering (Hertrampf dan Pascual, 2000). Hasil analisa proksimat di laboratorium nutrisi ikan menunjukkan bahwa kadar protein tepung darah jenis SBC sebesar 88,48% (Lampiran 1).

Konsumsi pakan pada perlakuan kontrol memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan tepung darah 6% dan tepung darah 12%. Konsumsi pakan pada perlakuan tepung darah 12% menghasilkan nilai konsumsi pakan yang rendah yaitu sebesar 92,99g. Konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabiliti pakan yang diberikan (Halver, 1989). Pemakaian tepung darah akan berdampak menurunkan palatabiliti pakan kerapu sehingga akan berpengaruh pada asupan pakan secara langsung oleh ikan (Setiawati dkk, 2008). Dengan demikian berarti konsumsi pakan akan semakin rendah dengan semakin tingginya level tepung darah. Formulasi pakan harus dilengkapi dengan perangsang yang disebut atraktan untuk membuat asupan pakan ikan lebih efisien (Hertrampf dan Pascual, 2000). Atraktan yang digunakan pada penelitian ini adalah taurin dan tepung cumi. Konsumsi pakan pada perlakuan kontrol memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan tepung darah 6% ditambah atraktan dan tepung darah 12% ditambah atraktan. Konsumsi pakan pada perlakuan tepung darah 6% ditambah atraktan yaitu 119,01g sedangkan untuk perlakuan tepung darah 6% tanpa atraktan 110,71g. Berarti penambahan atraktan dapat meningkatkan konsumsi pakan pada ikan kerapu. Hal tersebut sesuai dengan

pernyataan Martinez et al (2004), bahwa penggunaan taurin dalam pakan dapat meningkatkan konsumsi pakan.

Tepung darah jenis SBC memiliki kecernaan yang tinggi yaitu 81,36%. Kecernaan protein menunjukkan sejumlah protein pakan yang tercerna dalam tubuh. Tingginya nilai kecernaan protein menunjukkan semakin banyaknya protein yang dicerna oleh saluran pencernaan ikan yang selanjutnya akan diserap dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan ikan. Nilai kecernaan protein pakan tertinggi terdapat pada perlakuan tepung darah 12% ditambah atraktan sehingga menghasilkan nilai retensi protein yang tinggi. Kecernaan total mengindikasikan total kecernaan nutrien sebagai sumber energi (protein, lemak, karbohidrat). Nilai kecernaan total tertinggi terdapat pada pakan perlakuan tepung darah 12% ditambah atraktan, sedangkan nilai kecernaan pakan terendah terdapat pada pakan perlakuan kontrol. Kemampuan cerna terhadap suatu jenis pakan bergantung pada kuantitas dan kualitas pakan, jenis bahan pakan, kandungan gizi pakan, jenis serta aktivitas enzim-enzim pencernaan pada sistem pencernaan ikan, ukuran dan umur ikan serta sifat fisik dan kimia perairan (NRC, 1993). Pada setiap pakan perlakuan yang membedakan adalah kuantitas pakan yang dikonsumsi ikan dan jenis bahan pakan sehingga nilai kecernaan dari tiap pakan perlakuan berbeda. Tepung darah jenis SBC memiliki nilai kecernaan yang tinggi sehingga pakan dengan bahan baku tepung darah memiliki nilai kecernaan pakan yang tinggi.

Retensi protein adalah persentase protein yang disimpan dalam tubuh. Nilai retensi protein pada perlakuan kontrol, tepung darah 6% dan tepung darah 12% adalah 61.88%, 67.26% dan 81.21%. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan tepung darah sampai level 12% dapat meningkatkan retensi protein. Nilai retensi protein pada perlakuan kontrol menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan tepung darah 6% ditambah atraktan dan tepung darah 12% ditambah atraktan. Tepung darah memiliki nilai kecernaan protein yang tinggi. Jika nilai kecernaan protein tinggi maka protein pakan yang diserap oleh tubuh ikan juga semakin tinggi sehingga nilai retensi protein akan tinggi. Nilai kecernaan protein yang tinggi akan meningkatkan nilai retensi protein

Retensi lemak menunjukkan persentase lemak yang disimpan dalam tubuh. Nilai retensi lemak pada perlakuan kontrol, tepung darah 6% dan tepung darah

12% yaitu 62.94%, 60.37% dan 67.43%. Nilai retensi lemak tertinggi terdapat pada perlakuan tepung darah 12% (Tabel 3). Dengan tingginya nilai retensi lemak, kandungan lemak yang disimpan dalam tubuh ikan tinggi. Lemak diperlukan untuk pembentukan berbagai penyusun membran sel dan sebagai pelarut beberapa vitamin (NRC, 1993). Nilai retensi lemak pada perlakuan kontrol memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan tepung darah 6% ditambah atraktan dan tepung darah 12% ditambah atraktan. Nilai retensi lemak pada perlakuan tepung darah 12% ditambah atraktan menunjukan nilai yang paling tinggi sebesar 81,46%. Hal tersebut berarti ikan kerapu memanfaatkan karbohidrat sebagai energi (protein sparing effect). Berdasarkan hasil proksimat pakan (tabel 2), kadar karbohidrat pada pakan perlakuan tepung darah 12% ditambah atraktan lebih tinggi dibanding pakan perlakuan lainnya. Pemanfaatan karbohidrat pada pakan perlakuan tepung darah 12% ditambah atraktan lebih tinggi sehingga protein dan lemak yang diretensi oleh tubuh ikan akan lebih tinggi.

Adanya peningkatan ukuran biomasa rata-rata pada ikan uji menunjukkan. ikan mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan adalah penambahan ukuran panjang dan berat dalam waktu tertentu. Pertumbuhan akan terjadi jika energi dari pakan yang dikonsumsi ikan lebih besar daripada energi yang dibutuhkan ikan untuk pemeliharaan tubuh. Pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan dalam hal keseimbangan nutrien, jumlah energi dan kondisi hidup (Watanabe and Cho, 1988). Nilai laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan panjang relatif pada perlakuan kontrol menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan tepung darah 6% dan tepung darah 12%. Dengan demikian berarti dengan meningkatnya level tepung darah sampai level 12% tidak mengurangi pertumbuhan ikan. Nilai laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan panjang relatif pada perlakuan kontrol menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan tepung darah 6% ditambah atraktan dan tepung darah 12% ditambah atraktan. Pada perlakuan pakan dengan kandungan tepung darah yang ditambahkan atraktan memberikan nilai laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan relatif yang lebih besar daripada pakan dengan kandungan tepung darah tanpa atraktan. Atraktan umumnya dihasilkan dari asam amino bebas. Penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan atraktan dapat meningkatkan pemanfaatan tepung darah terhadap

kinerja pertumbuhan ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yufera et al (2002), bahwa asam amino bebas sebagai komponen untuk memacu pertumbuhan dan sebagai sumber energi.

Efisiensi pakan adalah nilai (%) makanan yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh. Nilai efisiensi menunjukkan kualitas pakan buatan yang diberikan pada ikan. Semakin tinggi nilai efisiensinya maka semakin bagus kualitas pakannya. Nilai efisiensi pakan pada perlakuan kontrol, tepung darah 6% dan tepung darah 12% yaitu 46.85%, 52.64% dan 61.62%. Peningkatan level darah sampai 12% ternyata dapat meingkatkan nilai efisiensi pakan. Nilai efisiensi pakan pada perlakuan kontrol memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap perlakuan tepung darah 6% ditambah atraktan dan tepung darah 12% ditambah atraktan. Nilai efisiensi pakan pada perlakuan kontrol, tepung darah 6 ditambah atraktan dan tepung darah 12% ditambah atraktan adalah 46.85%, 66.36% dan 74.38%. Tingginya nilai efisiensi makanan karena jumlah konsumsi pakan lebih rendah tetapi menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi.

Kelangsungan hidup merupakan peluang hidup suatu individu. Kelangsungan hidup pada setiap perlakuan tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemakaian tepung darah sampai level 12% tidak mempengaruhi kelangsungan hidup ikan. Selain pakan yang berkualitas, kondisi lingkungan dari ikan kerapu harus berada dalam kisaran yang optimum. Kualitas air yang berperan terhadap kelangsungan hidup pada ikan kerapu meliputi suhu air, oksigen terlarut, salinitas, pH air dan amonia. Suhu air pada pemeliharaan ikan kerapu selama 40 hari adalah 29,5-30 oC, nilai oksigen terlarut 8-8,7mg/L, salinitas 30-32ppt, pH air 7,62-8,5 dan amonia 0,0065-0,178ppm. Data kualitas air terdapat pada Lampiran 5. Kualitas air tersebut sudah masuk dalam kisaran kualitas air yang optimum untuk ikan kerapu.

Penggunaan atraktan dapat meningkatkan konsumsi pakan, nilai laju pertumbuhan harian dan pertumbihan relatif ikan kerapu bebek. Tepung darah jenis SBC (spray-dried blood cells) memiliki kecernaan yang tinggi yaitu 81,36% sehingga retensi protein dan retensi lemak akan semakin tinggi. Nilai kelangsungan hidup tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelangsungan hidup. Hasil terbaik didapatkan pada perlakuan tepung darah 12%

ditambah atraktan karena menghasilkan nilai retensi protein dan retensi lemak tertinggi yaitu 93,05% dan 81,46% serta nilai efisiensi pakan yang tinggi yaitu 74.38%.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penggunaan tepung darah dapat ditingkatkan sampai level 12% jika ditambahkan atraktan karena memberikan hasil terbaik terhadap kinerja pertumbuhan ikan kerapu dan efisiensi pakan sebesar 74.38%.

5.2 Saran

Pakan dengan menggunakan tepung darah 12% ditambah atraktan dapat digunakan sebagai pakan pengganti ikan rucah pada budidaya ikan kerapu dan diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh atraktan dengan penggunaan level tepung darah lebih dari 12%.

DAFTAR PUSTAKA

Boonyaratpalin, M.1997. Nutrisional Requirements of Marine Food Fish Cultured in South East Asia. Aquaculture 151, 283-313

Bureau, D. P. , A. M. Harris, C. Y. Cho. 1999. Apparent digestibility of rendered animal protein ingredients for rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Aquaculture, 180 : 345-358

Cullison, A.G. 1979. Feeds and Feeding, 2nd Edition. Reston Publishing Co., Reston, VA, 595 pp

Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. 2001. Pembesaran Kerapu Macan Epinephelus fuscoguttatus dan Kerapu Tikus Cromileptes altivelis di Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut. Lampung

Effendi, M.I. 1978. Dinamika populasi ikan, hal 1-20. Dalam Biologi perikanan, bagian 2. Faperikan-IPB

Furuici, M. 1988. Fish nurition, p. 3-77. In Fish nutrition and mariculture. T. Watanabe (ed). Kanagawa International Fisheries Training Centre. JICA.

Giri, N. A.1998. Aspek nutrisi dalam menunjang pembenihan ikan kerapu. Seminar teknologi perikanan pantai. Hotel Sahid Raya Denpasar, 6-7 Agustus 1998. Loka penelitian perikanan pantai bekerjasama dengan JICA (ATA-379).

Halver, J. E. 1989. Fish Nutrision. Second Edition. Academic Press Inc. New York. 789 pp.

Harris, L. E. 1980. Feedstuffs. In: T. V. R. Pillary (Editor), Fish Feed Technology. Lectures Presented at The FAO/UNDIP Training Course in Fish Feed Technology , College of Fisheries, University of Washington, Seattle, WA, 9 October-15 December,1978, pp. 111-170

Hertrampf, J.W., dan Pascual, F.P., 2000. Handbook on Ingredients for Aquaculture Feeds. Kluwer Academic Publishers, London, 573 pp.

Houlihan, D., Boujard, T., and Jobling, M. 2002. Food Intake in Fish. University of Tromso. Norway.

Johnson, J. A. and R. C. Summerfelt. 2000. Spray-dried blood cells as a partial replacement in diets for rainbow trout Oncorhynchus mykiss. Journal of the world aquaculture society, 31 (1) : 96-117.

Kompiang, I. P. 1996. Penyiapan Rencana Pengembangan Teknologi Nutrisi. Makalah disampaikan Pada Pelatihan Rekayasa Tenologi Budidaya Perikanan, 18 Desember s/d 16 Januari 1996, di Balai Budidaya Air Payau, Jepara. 11 Hal

Martinez JB, Chatzfotis S, Divanach P and Takeuchi T. 2004. Effect of Dietary Taurine Supplementation on Growth Performance and Feed

Selection of Sea Bass Dicentrarchus labrax Fry Feed Selection With Demand-Feeder. Fish Sci 70:74-79

Michael, BN.1980. The Diet of Prawn.

http://www.FAO.org/dorcep/field/003/AB915E/AB915E00.htm.

National Research Council. 1977. Nutrient requirements of Warmwater Fishes. National Academy of Sci., Washington,D.C.125 p

---. 1993. Nutrient requirements of fish. National Academic Press. Washington D. C. 115 pp.

Park GS, Takeuchi T, Yokohama M, Seikai T. 2002. Optimal Dietary Taurine Level for Growth of Juvenil Japanese Flounder Paralichthys Olivaceaus. Fish Sci 68: 824-829.

Setiawati, M., P. Purnama dan I. Mokoginta. 2008. Penggunaan Tepung Darah Sebagai Substitusi Tepung Ikan Pada Pakan Kerapu Bebek Cromileptes altivelis. Jurnal Akuakultur (belum dipublikasi)

---. 2008. Penggunaan Tepung Darah Sebagai Sumber Zat Besi Organik dalam Pakan Kerapu Bebek Cromileptes altivelis. Makalah Poster. Simposium Bioteknologi Akuakultur. Bogor 14 Agustus 2008

Suwirya, K., N. A Giri and M. Marzuki. 2004. Effect of Dietary n-3 HUFA on Growth of Humpback Grouper Cromileptes altivelis and Tiger Grouper Epinephelus fuscoguttatus Juvenils. Advances in Grouper Aquaculture. ACIAR Moograph. 110.

Takeuchi, T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrients, p. 179-225. In Fish nutrition and mariculture. T. Watanabe (ed). Kanagawa International Fisheries Training Centre. JICA.

Watanabe, T., and C. Y. Cho. 1988. Nutritional energetics, p. 72-92. In Fish Nutrition and marine culture. T. Watanabe (ed). Kanagawa International Fisheries Training Centre. JICA.

Webster, C. D., and C. Lim. 2002. Introduction to fish nutrition, p. 19-30. In Nutrient requirements and feeding of finfish for aquaculture. C. D. Webster (eds). British Library. London, UK.

Wikipedia. 2006. Taurine Information. http://en.wikipedia.org/wiki/taurine

Yufera M, Kolkovski S, Fernandez-Diaz and Pabrowski K. 2002. Free Asam Amino Acid Leaching From Protein-Walled Microencapsulated Diet For Fish Larvae. Aquaculture 214: 273-287

Lampiran 1. Komposisi proksimat bahan penyusun pakan (% bobot kering)

Berat kering (%)

Bahan Protein Lemak Abu Serat kasar BETN

Tepung Darah 88,48 0,97 3,63 2,89 4,03

Tepung Ikan 68,81 9,72 18,14 1,00 2,34

Tepung Bungkil Kedelai 48,69 2,17 6,76 9,18 33,20

Tepung Terigu 10,82 2,05 0,50 0,49 86,14

Tepung pollard 15,97 6,47 4,49 7,57 65,51

Tepung cumi 57,97 4,33 17,45 0,24 20,02

Tepung rebon 73,71 6,68 6,75 5,22 7,64

Lampiran 2. Prosedur Analisis Proksimat (Takeuchi, 1988) A. Kadar Protein

Tahap Oksidasi

1. Sampel ditimbang sebanyak 0.5 gram dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl.

2. Katalis (K2SO4+CuSo4.5H2O) dengan rasio 9:1 ditimbang sebanyak 3 gram dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl.

3. 10 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam labu Kjeldahl dan kemudian labu tersebut dipanaskan dalam rak oksidasi/digestion pada suhu 400oC selama 3-4 jam sampai terjadi perubahan warna cairan dalam labu menjadi hijau bening.

4. Larutan didinginkan lalu ditambahkan air destilasi 100 ml. Kemudian larutan dimasukkan ke dalam labu takar dan diencerkan dengan akuades sampai volume larutan mencapai 100 ml. Larutan sampel siap didestilasi.

Tahap Destilasi

1. Beberapa tetes H2SO4 dimsukkan ke dalam labu, sebelumnya labu diisi setengahnya dengan akuades untuk menghindari kontaminasi oleh ammonia lingkungan. Kemudian didihkan selama 10 menit.

2. Erlenmeyer diisi 10 ml H2SO4 0.05 N dan ditambahkan 2 tetes indicator methyl red diletakkan di bawah pipa pembuangan kondensor dengan cara dimiringkan sehingga ujung pipa tenggelam dalam cairan.

Lanjutan Lampiran 2.

3. 5 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung destilasi melalui corong yang kemudian dibilas dengan akuades dan ditambahkan 10 ml NaOH 30% lalu dimasukkan melalui corong tersebut dan ditutup.

4. Campuran alkaline dalam labu destilasi disuling menjadi uap air selama 10 menit terjadi pengembunan pada kondensor.

5. Labu erlenmeyer diturunkan hingga ujung pipa kondensor berada di leher labu, diatas permukaan larutan. Kondensor dibilas dengan akuades selama 1-2 menit.

Tahap Titrasi

1. Larutan hasil destilasi ditritasi dengan larutan NaOH 0.05 N. 2. Volume hasil titrasi dicatat.

3. Prosedur yang sama juga dilakukan pada blanko.

Kadar Protein (%) = 0.0007 * x (Vb – Vs) x 6.25 ** x 20 x 100% S

Keterangan : Vb = Volume hasil titrasi blanko (ml) Vs = Volume hasil titrasi sampel (ml)

S = Bobot sampel (gram)

* = Setiap ml 0.05 NaOH ekivalen dengan 0.0007 gram Nitrogen ** = Faktor Nitrogen

B. Kadar Lemak

Metode ekstraksi Soxhlet

1. Labu ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 110o dalam waktu 1 jam. Kemudian didiinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang bobot labu tersebut (X1)

2. Sampel ditimbang sebanyak 3-5 gram (A), dan dimasukkan ke dalam selongsong tabung filter dan dimasukkan ke dalam soxhlet dan pemberat diletakkan di atasnya.

3. N-hexan 100-150 ml dimasukkan ke dalam soxhlet sampai selongsong terendam dan sisa N-hexan dimasukkan ke dalam labu.

Lanjutan Lampiran 2.

4. Labu yang telah dihubungkan dengan soxhlet dipanaskan di atas water bath sampai cairan yang merendam sampel dalam soxhlet berwarna bening.

5. Labu dilepaskan dan tetap dipanaskan hingga N-hexan menguap.

6. Labu dan lemak yang tersisa dipanakan dalam oven selama 15-60 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15-30 menit dan ditimbang (X2)

Metode Folch

1. Labu silinder dioven terlebih dahulu pada suhu 110oC selama 1 jam, didinginkan dalam desikaotr selama 30 menit kemudian ditimbang (X1). 2. Sampel ditimbang sebanyak 2-3 gram (A) dan dimasukkan ke dalam gelas

homogenize dan ditambahkan larutan kloroform / methanol (20xA) , sebagian disisakan untuk membilas pada saat penyaringan.

3. Sampel dihomogenizer selama 5 menit setelah itu disraing dengan vacuum pump.

4. Sampel yang telah disaring tersebut dimasukkan dalamlabu pemisah yang telah diberi larutan MgCl2 0.03 N(0.2xC), kemudian dikocok dengan kuat minimal selama 1 menit kemudian ditutup dengan aluminium foil dan didiamkan selama 1 malam.

5. Lapisan bawa yang terdapat dalam labu pemisah disaring ke dalam labu silinder kemudian dievaporator sampai kering. Sisa kloroform / methanol yang terdpat dalam labu ditiup dengan menggunakan vacuum setelah itu ditimbang (X2)

Kadar Lemak (%) = X2 –X1 x 100% A

C. Kadar Air

1. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam dan kemudian dimasukkan dalam dessikator selama 30 menit dan ditimbang (X1)

Lanjutan Lampiran 2.

3. Cawan dan bahan dipansakan dalam oven pada suhu 110oC selama 4 jam kemudian dimasukkan dalam desikator selam 30 menit dan ditimbang (X2) Kadar Air (%) = (X1+A)-X2 x 100%

A D. Kadar Abu

1. Cawan dipanaskan dalam oven pada suhu 100oC selama 1 jam dan kemudian dimasukkan dalam dessikator selama 30 menit dan ditimbang (X1)

2. Bahan ditimbang 2-3 gram (A)

3. Cawan dan bahan dipansakan dalam tanur pada suhu 600oC sampai mnejadi abu kemudian dimasukkan dalam desikator selam 30 menit dan ditimbang (X2)

Kadar Abu (%) = X2 –X1 x 100%

E. Kadar Serat Kasar

1. Kertas filter dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 110oC setelah itu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (X1)

2. Sampel ditimbang sebnayak 0.5 gram (A) dimasukkan kedalam Erlenmeyer 250 ml

3. H2SO4 0.3 N sebanyak 50 ml ditambahkan ke dalam Erlenmeyer

Dokumen terkait