• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pelelangan Ikan

2.5.3 Retribusi Pelelangan Ikan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, tempat pelelangan adalah termasuk ke dalam retribusi jasa usaha. Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa tempat pelalangan adalah tempat yang secara khusus disediakan oleh pemerintah daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan, termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.

Berdasarkan pasal 9, disebutkan bahwa prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif retribusi jasa usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

2.5.4 Sistem Pemungutan Retribusi Pelelangan Ikan dan Besarnya Retribusi Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. SKRD adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya pokok retribusi. Dokumen lain yang dipersamakan antara lain berupa karcis masuk, kupon, dan kartu langganan. Jika wajib retribusi tertentu tidak membayar retribusi tepat pada waktunya atau kurang membayar, ia dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar dua persen setiap bulan dari retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah (STRD). STRD merupakan surat untuk melakukan tagihan retribusi dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Tata cara pelaksanaan pemungutan retribusi daerah ditetapkan oleh kepala daerah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 pasal 7, besarnya retribusi yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa atau perizinan tertentu dihitung dengan cara mengalikan tarif retribusi dengan tingkat pengguna jasa. Dengan demikian, besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan tarif retribusi daerah dan tingkat pengguna jasa.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 pasal 21 poin b dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 pasal 9, prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi daerah terkhusus untuk retribusi jasa usaha yaitu didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis yang beroperasi secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

Ketentuan pelaksanaan penarikan retribusi pelelangan ikan di Kota Pekalongan sendiri diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2009 tentang Tempat Pelelangan Ikan. Menurut Peraturan tersebut, Pemerintah Kota menarik retribusi sebesar 3% dari nilai lelang ikan, dengan ketentuan 1,5% ditarik dari nelayan dan 1,5% dari bakul ikan. Dengan menarik 3% dari lelang ikan tersebut, Pemerintah Kota Pekalongan juga bertanggungjawab terhadap perawatan dan sewa TPI, administrasi pelelangan, serta gaji karyawan.

2.6 Penghapusan Retribusi

Penghapusan retribusi lelang ikan yang diberlakukan per 1 Januari 2010 didasarkan pada Surat Menteri Perikanan dan Kelautan Tahun 2009 No B.636/MEN-KP/XI/09 tanggal 16 November 2009 tentang penghapusan retribusi dan pungutan hasil perikanan dalam rangka usaha nelayan. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan melalui surat edaran tersebut menyebutkan tiga alasan mengapa retribusi sebaiknya dihapuskan yaitu:

1) Penghapusan retribusi merupakan respon perkembangan perekonomian global yang memberikan dampak kurang menguntungkan bagi usaha nelayan dan iklim usaha yang belum kondusif;

2) Masih adanya pungutan dan retribusi yang dirasakan membebani dan memberatkan pada pendapatan dan kesejahteraan nelayan sehingga mengakibatkan rendahnya produktivitas usaha nelayan; dan

3) Untuk membantu pemerintah daerah dalam pembangunan kelautan dan perikanan.

Berdasarkan tiga hal tersebut, maka Menteri Kelautan dan Perikanan meminta gubernur dan bupati atau walikota seluruh Indonesia untuk dapat mengambil langkah-langkah dalam rangka penghapusan pungutan dan retribusi yang terkait dengan usaha nelayan. Sampai dengan akhir Februari 2010, terdapat 16 provinsi dan 89 bupati atau walikota yang telah menyampaikan tanggapan terhadap surat Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2009 tersebut. Pada prinsipnya keseluruhan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten atau kota mendukung kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menghapus retribusi yang dibebankan kepada nelayan, terlebih jika hal tersebut didukung dengan diterbitkannya peraturan perundangan yang tidak bertentangan dengan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

2.7 Pendapatan Nelayan

Pendapatan nelayan berasal dari dua sumber yaitu usaha penangkapan ikan di laut dan usaha non perikanan laut. Penangkapan ikan di laut dapat dikatakan sebagai mata pencaharian utama masyarakat nelayan, oleh sebab itu peningkatan pendapatan nelayan sangat terkait dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan. Jumlah hasil tangkapan ikan tergantung pada potensi sumberdaya perikanan juga tergantung pada faktor-faktor:

1) Biaya tetap sebagai modal investasi (pengadaan perahu dan alat tangkap lain); 2) Biaya bahan dan lain-lain (biaya perawatan, bahan bakar dan lain-lain); 3) Penggunaan tenaga kerja;

4) Jenis alat tangkap yang digunakan; 5) Angin;

6) Musim;

7) Perilaku dari masing-masing nelayan; 8) Pengalaman nelayan; dan

9) Inisiatif dalam menangkap ikan oleh nelayan.

Tingkat pendapatan nelayan juga dipengaruhi oleh sosial budaya nelayan. Sosial budaya khususnya kelembagaan adalah dalam bentuk sistem hubungan kerja, sistem bagi hasil, dan ikatan sosial ekonomi antara nelayan dengan lembaga tataniaga pemberi modal. Kelembagaan yang berlaku akan berbeda antara nelayan tradisional dengan nelayan modern, begitu pula keterikatan nelayan dengan lembaga pemberi kredit akan berbeda antara nelayan tradisional dengan nelayan modern (Pangemanan, 1994).

Selanjutnya menurut Sahami (2006), pendapatan nelayan bergantung pada pemasaran hasil tangkapan. Damanhuri (1997) vide Sahami (2006) menyatakan bahwa data potensi, jumlah armada penangkapan, jumlah nelayan, dan jumlah produksi hasil tangkapan merupakan faktor yang sangat penting untuk mewujudkan kenaikan tingkat pendapatan masyarakat nelayan.

Analisis pendapatan bertujuan untuk mengetahui komponen-komponen input dan output yang digunakan dalam usaha, serta besarnya keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha. Keuntungan usaha diperoleh dari selisih antara total penerimaan (total revenue) dan total biaya (total cost). Bila penerimaan total

lebih besar dibandingkan dengan biaya total maka usaha tersebut dikatakan untung, jika sebaliknya usaha tersebut dikatakan merugi (Djamin, 1984 videLee, 2010). Formula yang digunakan untuk menghitung keuntungan usaha menurut Djamin (1984) adalah:

µ= TR-TC Keterangan:

µ : Keuntungan (Rupiah) TR : Total Penerimaan (Rupiah) TC : Total Biaya (Rupiah) Kriteria:

TR>TC : usaha menguntungkan TR<TC : usaha mengalami kerugian TR=TC : usaha impas

Menurut Nugroho (1996) videLee (2010), nelayan sebagai pelaku kegiatan perikanan memiliki nilai pendapatan yang berbeda tergantung pada hasil tangkapan (produksi) dan harga komuditas hasil tangkapan tersebut. Lebih lanjut Hermanto (1996) vide Lee (2010) menyatakan bahwa keberhasilan produksi dan harga hasil tangkapan sangat tergantung pada tingkat penggunaan teknologi (perlengkapan, motorisasi unit penangkapan, dan mekanisme alat tangkapan) dan penguasaan teknologi. Melalui mekanisasi dan motorisasi, kegiatan usaha penangkapan menjadi lebih efektif dan efisien sehingga dengan kecenderungan demikian diharapkan tingkat pendapatan yang diperoleh rumah tangga akan semakin baik dan meningkat.

2.8 Proses Hirarki Analitik (PHA) 2.8.1 Definisi PHA

Proses hirarki analitik merupakan suatu model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya. Proses ini juga memberi suatu kerangka bagi partisipasi kelompok dalam pengambilan keputusan atau pemecahan persoalan.

PHA memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis. Proses ini bergantung pada imajinasi, pengalaman, dan pengetahuan untuk menyusun hirarki suatu masalah dan pada logika, intuisi, serta pengalaman untuk memberi pertimbangan. Proses ini dapat diterapkan pada banyak persoalan nyata dan terutama berguna untuk pengalokasian sumberdaya, perencanaan, analisis pengaruh kebijakan, dan penyelesaian konflik (Saaty, 1991).

2.8.2 Prinsip-Prinsip PHA

Prinsip-prinsip dasar yang harus dipahami dalam menyelesaikan persoalan dengan menggunakan PHA adalah menyusun hirarki, menetapkan prioritas, dan konsistensi logis.

2.8.2.1 Menyusun Hirarki

Suatu permasalahan yang kompleks dapat dipahami dengan memecah persoalan tersebut ke dalam elemen-elemen pokoknya, kemudian elemen dibagi ke dalam sub-sub elemen seterusnya sampai membentuk suatu hirarki. Dengan memecah permasalahan ke dalam gugusan yang lebih kecil, dapat dipadukan sejumlah informasi ke dalam struktur masalah yang membentuk gambaran yang lengkap dari keseluruhan sistem.

Penyusunan hirarki tidak memerlukan aturan khusus. Hirarki dimaksudakan untuk dapat memahami persoalan dan menstrukturnya dalam bagian-bagian yang menjadi elemen pokoknya dengan cukup rinci untuk pengambilan keputusan yang logis (Nurani, 2002).

2.8.2.2 Menetapkan Prioritas

Penetapan prioritas dimaksudkan untuk dapat membandingkan tingkat kepentingan dari berbagai pertimbangan yang ada. Perbandingan dilakukan dengan membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan elemen pada suatu tingkat di atasnya. Ada dua langkah dalam menetapkan prioritas yaitu:

1) Membuat matriks banding berpasang

Langkah pertama dalam menetapkan prioritas dari elemen dalam suatu persoalan keputusan adalah membuat matriks banding berpasang. Matriks banding berpasang dibuat dari puncak hirarki, kemudian satu tingkat di bawahnya, dan seterusnya dibuat untuk keseluruhan tingkatan hirarki. Matriks banding berpasang dapat berdasarkan pendapat perseorangan dapat pula berdasarkan pendapat dari beberapa orang. Matriks ini diisi dengan suatu bilangan yang menggambarkan relatif pentingnya suatu elemen atas elemen yang lainnya, berkenaan dengan sifat yang dibandingkan, bilangan yang digunakan adalah suatu skala nilai dari 1 sampai 9 seperti pada Tabel 1.

2) Mensintesis berbagai pertimbangan

Prioritas menyeluruh dari berbagai pertimbangan dalam permasalahan pengambilan keputusan, diperoleh dengan cara mensintesis terhadap keseluruhan pertimbangan. Sintesis dilakukan dengan pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas setiap elemen (Nurani, 2002).

2.8.2.3 Konsistensi Logis

Konsistensi perlu diperhatikan dalam persoalan pengambilan keputusan karena tidak diharapkan bahwa suatu pengambilan keputusan didasarkan pada pertimbangan yang memiliki konsistensi rendah yang nampak seperti pertimbangan acak. Konsistensi dalam PHA diukur secara menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui ratio konsistensi (Consistency Ratio: CR). Nilai rasio konsistensi harus berniali 10% atau kurang, jika rasio konsistensi lebih dari 10% maka pertimbangan tersebut mungkin acak dan perlu diperbaiki (Nurani, 2002).

Tabel 1 Skala kepentingan faktor

Skala Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen menyumbangnya sama besar pada sifat itu.

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada yang lainnya

Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lainnya.

5 Elemen yang satu esensial atau sangat penting daripada elemen yang lainnya

Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya. 7 Satu elemen jelas lebih penting

dari eleman yang lainnya

Satu elemen dengan kuat disokong dan dominasinya telah terlihat dalam praktek.

9 Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen yang lainnya

Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.

2,4,6,8 Nilai-nilai antara diantara dua pertimbangan yang berdekatan

Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan.

Kebalikan Jika untuk aktivitas I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i Sumber : Saaty, 1991

2.8.3 Langkah-Langkah PHA

Menurut Saaty (1991), langkah-langkah dalam pengkajian PHA adalah sebagai berikut:

1) Mendefinisikan persoalan dan membuat perincian pemecahan yang diinginkan; 2) Menyusun struktur hirarki dari sudut pandang manajerial menyeluruh;

3) Membuat matriks banding berpasang untuk kontribusi atau pengaruh setiap elemen yang relevan atas setiap kriteria yang berpengaruh yang berada setingkat di atasnya;

4) Menggunakan komposisi secara hirarki (sintesis) untuk menghasilkan vektor prioritas; dan

2.8.4 Keuntungan PHA

Beberapa keuntungan dalam menggunakan PHA menurut Saaty (1991) untuk pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

1) PHA memberi satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tak terstruktur;

2) PHA memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks;

3) PHA dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier;

4) PHA mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat;

5) PHA memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal dan berwujud suatu metode untuk menetapkan prioritas;

6) PHA melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas;

7) PHA menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif;

8) PHA mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka;

9) PHA tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda; dan

10) PHA memungkinkan orang memperluas definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.

2.9 Metode Penelitian Kualitatif

Metode penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Metode ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Afriani, 2009).

2.9.1 Jenis-Jenis Penelitian Kualitatif

Ada empat jenis penelitian kualitatif yaitu etnografi, studi kasus, studi dokumen atau teks, dan pengamatan alami. Studi kasus merupakan penelitian yang mendalam tentang individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program kegiatan, dan sebagainya dalam waktu tertentu. Tujuannya untuk memperoleh diskripsi yang utuh dan mendalam dari sebuah entitas. Studi kasus menghasilkan data untuk selanjutnya dianalisis untuk menghasilkan teori. Sebagaimana prosedur perolehan data penelitian kualitatif, data studi kasus diperoleh dari wawancara, observasi, dan arsip (Rahardjo, 2010).

2.9.2 Metode Pengumpulan Data

Beberapa metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif menurut Afriani (2009) yaitu:

1) Wawancara

Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai.

2) Observasi

Beberapa informasi yang dapat diperoleh dari hasil observasi yaitu ruang, pelaku, objek, kegiatan, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan. Alasan seorang peneliti melakukan observasi yaitu dapat menyajikan gambaran sebenarnya mengenai perilaku atau kejadian untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi. 3) Dokumen

Dokumen merupakan salah satu metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dimana sebagian besar fakta dan data tersimpan dalam dokumentasi. Data yang tersedia dalam dokumen ini antara lain surat-surat, catatan harian, cenderamata, laporan, artefak, serta foto.

2.10 Dana Alokasi Khusus (DAK)

2.10.1 Pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, penerimaan daerah dalam rangka desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah yang dimaksud bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-Lain Pendapatan. Dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

DAK merupakan salah satu unsur dari dana perimbangan selain DAU (Dana Alokasi Umum) dan DBH (Dana Bagi Hasil). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

2.10.2 Pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK)

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka tujuan dari DAK adalah untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, disebutkan bahwa program yang menjadi prioritas nasional dimuat dalam rencana kerja pemerintah tahun anggaran bersangkutan. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah Tahun Anggaran 2012, prioritas pembangunan nasional sesuai RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) tahun 2010-2014 terdiri dari 11 prioritas nasional dan 3 prioritas lainnya yaitu:

1. Reformasi birokrasi dan tata kelola; 2. Pendidikan;

3. Kesehatan;

4. Penanggulangan kemiskinan; 5. Ketahanan pangan;

6. Infrastruktur;

7. Iklim investasi dan usaha; 8. Energi;

9. Lingkungan hidup dan bencana;

10. Daerah tertinggal, terdepan, terluas, dan pasca konflik; 11. Kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi; dan

12. Tiga prioritas lainnya yaitu: 1) bidang politik, hukum, dan keamanan; 2) bidang perekonomian; 3) bidang kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 162 disebutkan bahwa DAK dialokasikan dari APBN ke daerah tertentu dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk mendanai kegiatan khusus yang ditentukan pemerintah atas dasar prioritas nasional dan mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu. Penyusunan kegiatan khusus yang ditentukan pemerintah dikoordinasikan dengan Gubernur, sedangkan penyusunan kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu dikoordinasikan oleh daerah yang bersangkutan.

Selama ini pemerintah daerah tidak mendapatkan kesempatan untuk mengusulkan kegiatan yang dibiayai DAK kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah hanya bertugas untuk menyediakan data mengenai kondisi sarana dan prasarana bidang-bidang pemerintahan yang menjadi tujuan pengalokasian DAK dari pemerintah pusat. Sebaliknya selama ini pemerintah daerah hanya menunggu alokasi DAK untuk daerahnya. Setelah mengetahui alokasi DAK untuk daerahnya barulah pemerintah daerah membuat perencanaan untuk mendistribusikan dana DAK untuk kegiatan-kegiatan yang telah ditentukan oleh

pemerintah pusat melalui petunjuk teknis pengalokasian DAK (Hadiz, 2008). Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan terkait dengan pengalokasian DAK yang cenderung masih bersifat sentralistis dari pemerintah pusat yang juga merupakan kendala pengalokasian Dana Alokasi Khusus (DAK) berdasarkan kerangka acuan kerja penyusunan evaluasi DAK jangka menengah, padahal dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah jelas disebutkan bahwa Pemerintah Daerah bisa ikut terlibat dalam penyusunan kegiatan khusus yang didanai DAK. Permasalahan-permasalahan yang muncul seputar pengalokasian DAK yaitu:

1. Aspek keuangan: belum optimalnya kinerja DAK di daerah karena ketidaksesuaian antara alokasi dengan kebutuhan daerah;

2. Aspek teknis: masih belum optimalnya kebijakan teknis DAK;

3. Aspek kelembagaan: belum mantap dan optimalnya koordinasi kelembagaan antara pusat dan daerah, belum terbentuknya tim koordinasi di pusat dan provinsi, serta belum optimalnya kinerja tim koordinasi di kabupaten atau kota; dan

4. Tata kelola pemerintahan yang baik: masih rendahnya kinerja penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam pengelolaan DAK.

Penetapan jumlah DAK dan alokasinya kepada daerah merupakan hasil keputusan antara departemen-departemen pemerintahan, yaitu Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Departemen Teknis yang bidang tugasnya menerima alokasi DAK. Mekanisme pengalokasian DAK sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan dapat dilihat pada Gambar 1. Meskipun penetapan DAK melibatkan banyak pihak, namun keputusan akhir mengenai total jumlah DAK dan alokasinya per bidang maupun per daerah menjadi wewenang Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan DPR. Peran lembaga lainnya hanya sebagai fasilitator. Departemen Teknis misalnya hanya berperan dalam memberikan data teknis tiap daerah sesuai dengan bidang tugasnya (Usman et all, 2008).

Gambar 1 Mekanisme pengalokasian DAK berdasarkan PP No 55 Tahun 2005. Departemen Teknis

mengusulkan kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK

Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Koordinasi Ketetapan Departemen Teknis menyampaikan ketetapan kepada Menteri Keuangan

Menteri Keuangan melakukan penghitungan

alokasi DAK

Penentuan daerah yang menerima DAK

Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing

daerah

Kriteria umum, kriteria khusus, kriteria teknis

Indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus,

kriteria teknis

Penyusunan petunjuk teknis penggunaan DAK oleh Menteri Teknis dan berkoordinasi dengan Menteri Dalam

Keterangan:

Kriteria Umum: Dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah (dihitung berdasarkan indeks fiskal netto) yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah.

Kriteria Khusus: Dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah (dirumuskan melalui indeks kewilayahan oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan masukan dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan menteri atau pimpinan lembaga terkait).

Kriteria Teknis: Disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK (dirumuskan melalui indeks teknis oleh menteri teknis terkait).

2.10.3 Dana Alokasi Khusus Bidang Kelautan dan Perikanan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Kelautan dan Perikanan Tahun 2011, menyebutkan bahwa DAK bidang kelautan dan perikanan adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan pembangunan fisik di bidang kelautan dan perikanan yang bersifat investasi jangka menengah guna menunjang pelayanan dasar yang merupakan urusan kabupaten atau kota sesuai dengan prioritas nasional.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 42/PMK07/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 216/PMK07/2010 tentang Pedoman Umum Dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2011, DAK bidang Kalautan dan Perikanan dialokasikan untuk meningkatkan sarana dan prasarana produksi, pengolahan, peningkatan mutu, pemasaran, pengawasan perikanan, serta penyediaan sarana prasarana pemberdayaan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkait dengan peningkatan produksi