• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 37-52)

Ringkasan hasil persamaan regresi linier berdasarkan uji signifikansi parsial (uji t) disajikan dalam Tabel 31 berikut:

75 Tabel 4.31

Ringkasan Hasil Pengujian Hipotesis

MAHASISWA MAHASISWI

Nonimpulsive Action = 25,05%

Self Discipline = 23,47%

Work Ethic = 18,22%

Healty Habits = 18,19%

SE Peubah KD = 31,05%

Aspek-aspek KD:

Work Ethic = 24,74%

Nonimpulsive Action = 22,42%

Self Discipline = 19,77%

Healty Habits = 16,38%

SE Peubah SA = 6,47%

Aspek-aspek SA:

Study Despondency = 19,09%

SE Peubah SA = 7,99%

Aspek-aspek SA:

Workload = 9,44%

4.8 PEMBAHASAN

Hasil analisis data menunjukkan bahwa Kendali Diri berpengaruh terhadap Kecanduan Gawai pada mahasiswa di Universitas AKI Semarang. Hipotesis yang diterima ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hwang et al (2013) bahwa semakin tinggi kendali diri maka semakin randah kecanduan gawai. Menurut Young (2010) pengguna internet yang memiliki kontrol diri yang tinggi mampu mengatur penggunaan internet, sehingga tidak menjadikan internet sebagai tempat melarikan diri dari masalah atau untuk menghilangkan perasaan tidak berdaya, rasa bersalah, cemas dan depresi. Internet merupakan salah satu fitur utama dalam gawai, kebanyakan dari pengguna gawai

76

menggunakan gawai mereka untuk mengakses internet, bahkan tanpa internet, para pengguna gawai tidak tahu mau melakukan apa dengan gawai mereka. Menurut Widiana (2004) pengguna internet yang memiliki kontrol diri tinggi mampu untuk mengatur perilaku online.

Sehingga dapat disimpulkan mahasiswa yang memiliki kendali diri yang baik akan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami kecanduan terhadap gawai, disebabkan adanya kemampuan untuk mengontrol dan mengelola diri dalam setiap keadaan dan setiap stimulus yang ada di sekitarnya. Sebaliknya mahasiswa yang memiliki kendali diri yang rendah akan lebih besar kemungkinan untuk mengalami kecanduan gawai dikarenakan kurangnya kemampuan dalam diri untuk mengontrol dan mengelola setiap keadaan dan stimulus dan mudah terpengaruh dengan keadaan stimulus di sekitarnya. Hasil temuan dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kendali diri antara gender laki-laki dan perempuan.

Kemungkan hal ini terjadi dikarenakan latar belakang subjek penelitain ini adalah mahasiswa, yang secara konseptual dan pemikiran sudah lebih terbuka pada konsep persamaan gender, dimana laki-laki dan perempuan memiliki peran dan hak yang sama di linkungan kampus tempat mereka menimba ilmu saat ini. Gender mengacu pada dimensi sosialbudaya seseorang sebagai laki-laki atau perempuan Santrock (2003).

Handayani dan Sugiarti (2008) menjelaskan gender sebagai konsep sosial yang membedakan (dalam arti memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan, bersifat dapat dipertukarkan, tidak ditentukan oleh perbedaan biologis atau kodrat melainkan dibedakan atau dipilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing

77

dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Konsep gender tidak bisa digeneralisasikan, dikarena tiap lingkungan dan budaya dapat memiliki konsep peran gender yang berbeda dan bersifat relatif karena dapat dipertukarkan dan bersifat dinamis, dapat berubah dari waktu ke waktu seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan jaman. Sementara itu dalam hal pengaruh kendali diri terhadap kecanduan gawai pada mahasiswa ditemukan bahwa 62,86%

mahasiswa berada pada kategori tingkat kendali diri yang rendah.

Hasil pengujian hipotesis secara parsial antara peubah kendali diri dan peubah kecanduan gawai pada mahasiswa menunjukkan adanya pengaruh yang negatif antara peubah kendali diri dan kecanduan gawai.

Istri dan Asyanti (2016) menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan kecanduan internet (salah satu fitur yang ada di smartphone) semakin tinggi kontrol diri maka semakin rendah kecanduan internet. Dari lima aspek dalam peubah kendali diri ditemukan bahwa aspek yang paling memberikan kontribusi terhadap kecanduan gawai pada mahasiswa dalam penelitian ini adalah aspek nonimpulsive action yaitu sebesar 25,05%. Tampak dalam pernyataan bahwa mahasiswa berusaha untuk melakukan tindakan yang tidak impulsif atau selalu berusaha memberikan respon dengan pemikiran yang matang. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Wan dan Chiou (2006) bahwa kontrol diri merupakan salah satu faktor yang memengaruhi ketergantungan yang terjadi pada individu. Individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi dapat menahan diri untuk tidak melakukan hal yang kurang baik yang merugikan diri sendiri atau bahkan orang lain.

78

Hasil selanjutnya menunjukkan bahwa Self Discipline memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap kecanduan gawai pada gender lak-laki sebesar 23,47%, yang berarti bahwa mahasiswa memiliki kemampuan untuk melakukan disiplin diri seperti tindakan mengikuti peraturan yang ada di lingkungan sosialnya. Menurut Baumeister (2002) kontrol diri merupakan kemampuan untuk menahan keinginan dan dorongan dalam diri sendiri. Kontrol diri mengacu pada kapasitas untuk mengubah tanggapan sendiri, terutama untuk mengarahkan seseorang sesuai dengan standar seperti cita-cita, nilai-nilai, moral, dan harapan sosial, dan untuk mendukung mereka dalam mengejar tujuan jangka panjang (Baumeister, Vohs & Tice, 2007). Aspek Work Ethic memberikan kontribusi terbesar ketiga pada gender laki-laki sebesar 18,22%, yang berarti penilaian mahasiswa terhadap kemampuan regulasi diri dalam pelayanan etika kerja. Biasanya individu mampu memberikan perhatian penuh pada pekerjaan yang sedang dikerjakan.

dan aspek Healthy Habits memberikan kontibusi terbesar keempat sebesar 18,19%, merupakan kemampuan individu dalam mengatur pola perilaku menjadi sebuah kebiasaan yang pada akhirnya menyehatkan.

Biasanya individu yang memiliki kebiasaan baik akan menolak sesuatu yang dapat menimbulkan dampak buruk walaupun hal tersebut menyenangkan baginya.

Sedangkan untuk pengaruh kendali diri terhadap kecanduan gawai pada mahasiswi ditemukan bahwa bahwa 50,68% mahasiswi berada pada kategori tingkat kendali diri yang rendah. Hasil pengujian hipotesis secara parsial antara peubah kendali diri dan peubah kecanduan gawai menunjukkan adanya pengaruh yang negatif antara peubah kendali diri dan kecanduan gawai. Dari lima aspek dalam

79

peubah kendali diri ditemukan bahwa aspek yang paling memberikan kontribusi terhadap kecanduan gawai pada mahasiswi Aspek Work Ethic memberikan kontribusi terbesar yaitu sebesar 24,72% Aspek ini berkaitan dengan kemampuan mahasiswa dalam melakukan penilaian terhadap regulasi dirinya dalam layanan etika kerja. Biasanya individu mampu memberikan perhatian penuh pada pekerjaan yang dilakukan.

Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Averill (1973) bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk perilaku yang membawa individu ke arah yang positif sehingga tingkah lakunya.

Hasil selanjutnya menunjukkan bahwa aspek nonimpulsive action memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap kecanduan gawai pada gender perempuan sebesar 22,42%, tentang kecenderungan mahasiswa dalam melakukan suatu tindakan yang impulsive dengan pertimbangan yang baik, bersifat hati-hati, dan tidak tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan atau tindakan. Sejalan dengan pernyataan Chaplin (2011), kontrol diri adalah kemampuan untuk membimbing tingkah laku sendiri dalam artian kemampuan seseorang untuk menekan atau merintangi impuls-impuls atau tingkah laku impuls. Kontrol diri ini menyangkut seberapa kuat seseorang memegang nilai dan kepercayaan untuk dijadikan acuan ketika bertindak atau mengambil suatu keputusan.

Hasil selanjutnya menunjukkan bahwa Self Discipline ini memberikan kontribusi terbesar ketiga pada gender perempuan sebesar 19,77% yang mengacu pada kemampuan mahasiswa dalam melakukan disiplin diri seperti tindakan mengikuti peraturan yang ada di lingkungan sosialnya, dan Aspek Healty Habits memberikan kontibusi

80

terbesar keempat pada gender perempuan sebesar 16,38%. Aspek ini mengacu pada kemampuan mahasiswa dalam mengatur pola perilaku menjadi kebiasaan yang baik bagi dirinya. Mahasiswa dengan healthy habits akan menolak hal-hal yang memberikan dampak buruk bagi dirinya, meskipun hal tersebut menyenangkan. Individu tersebut akan mengutamakan hal-hal yang memberikan dampak positif, meskipun dampak tersebut tidak diterimanya secara langsung. Menurut Skiner, kontrol diri merupakan tindakan diri dalam mengontrol variabel-variabel luar yang menentukan tingkah laku. Dan tingkah laku dapat dikontrol melalui berbagai cara yaitu menghindar, penjenuhan, stimuli yang tidak disukai, dan memperkuat diri (Alwisol, 2009).

Perbedaan yang terjadi pada indikator yang berperan pada aspek kendali diri terhadap kecanduan gawai berbeda antar mahasiswa dan mahasiswi kemungkinan dikarenakan adanya konsep yang berbeda dalam menmandang sesuatu, cara berpikir dan cara menghadapi sesuatu. Hurlock (1999) mengatakan bahwa konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif dan prestasi yang mereka capai. Menurut Naomi & Elise (2016) bawha antara pria dan wanita memiliki cara yang berbeda dalam berkomunikasi, bertatap-muka, menulis, juga melalui teknologi komunikasi dan komunikasi.

Mahasiswa akan lebih matang dalam merespon sesuatu lebih disiplin terhadap diri sendiri dalam mengikuti peraturan di lingkungan sosialnya, setelahnya barulah mereka akan memikirkan dampak dari tindakan mereka tersebut bagi diri mereka. Sedangkan mahasiswi sangat memperhatikan pola perilakunya karena dapat membentuk kebiasaan, lalu mereka membangun displin diri dalam melakukan pola

81

perilaku tersebut dan selanjutnya barulah memikirkan hal itu secara matang.

Selanjutnya hasil penelitian juga menunjukkan dalam hal pengaruh stres akademik terhadap kecanduan gawai pada mahasiswa ditemukan bahwa stres akademik berpengaruh terhadap kecanduan gawai pada mahasiswa di Universitas AKI Semarang. Santrock (2003) mengatakan bahwa stres merupakan respon seseorang terhadap suatu kejadian yang memicu stres yang tidak dapat dihadapi oleh individu. Hicks dan Heastie (2008) mengatakan bahwa mahasiswa rentan mengalami stres akademik dikarenakan tuntutan dari rutinitas belajar dalam dunia perkuliahann tuntutan untuk berpikir lebih tinggi dan kritis, mandiri dan peran dalam kehidupan masyarakat. Stres akademik merupakan dampak yang diakibatkan dari kegiatan, tanggung jawab yang harus di tanggung sebagai akibat dari kegiatan akademik yang sedang di jalani mahasiswa. Sun & Dun dkk (2011) Adanya beban tugas yang menjadi tanggungjawab Akademik dari mahasiswa dapat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan stress akademik. Stres akademik merupakan dampak yang diakibatkan dari kegiatan, tanggung jawab yang harus di tanggung sebagai akibat dari kegiatan akademik yang sedang di jalani mahasiswa.

Penelitian Kurniawan dan Ika (2013) di UNAIR Surabaya, terdapat hubungan yang signifikan antara stres akademik dan smartpone addiction. Mahasiswa yang mengalami stres akademik akan cendrung mencari pengalihan dari stres akademik yang mereka alami. Senada dengan yang di ungkapkan Bian dan Leung (2014) individu yang mengalami stres, dalam penggunaan Gawai mereka biasanya aktif dalam sosial media yang digunakan sebagai tempat untuk meluapkan

82

semua yang ada di hati dan pikiran mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mahasiswa yang mengalami stres akademik pada umumnya akan mencari koping dari stres yang dialaminya, dan salah satu kemungkinannya adalah dengan menggunakan gawai secara berlebihan sehingga terjadi Kecanduan gawai.

Adanya hubungan antara stres akademik dengan kecenderungan kecanduan gawai pada mahasiswa mengartikan bahwa stres akademik memberikan sumbangan terhadap kecenderungan kecanduan gawai pada mahasiswa. Stres akademik merupakan sumber stressor yang menuntut mahasiswa untuk lebih efektif dalam bidang akademik. Hal tersebut terjadi karena pada kehidupan perkuliahan, tuntutan dari rutinitas belajar, tuntutan untuk berpikir lebih tinggi dan kritis, kehidupan yang mandiri, serta peran dalam kehidupan sosial bermasyarakat membuat mahasiswa rentan sekali mengalami stres akademik (Hicks & Heastie, dalam Karuniawan & Cahyanti, 2013).

Penggunaan gawai yang merupakan salah satu fasilitas belajar yang saat ini aktif digunakan, menjadikan mahasiswa tidak merasakan dampak negatifnya (Karuniawan & Cahyanti, 2013). Selain itu, gawai dapat menghasilkan kesenangan serta menghilangkan rasa sakit dan stres sehingga membuat mahasiswa lebih sibuk dan aktif saat menggunakan gawai. Saat menghadapi situasi stres, orang secara alami berusaha mengatasi stres dengan menggunakan perilaku positif maupun negatif. Jika mahasiswa menggunakan gawai sebagai coping stress untuk mengatasi stres akademik yang mereka alami dan memiliki konsekuensi positif, hal ini akan menyebabkan penggunaan gawai secara berlebihan dan menyebabkan kecanduan gawai (Karuniawan & Cahyanti, 2013).

83

Hasil temuan dalam penelitian ini juga menunjukkan adanya perbedaan tingkat stress akademik yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Tingkat stres akademik pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perbedaan ini terlihat dalam aspek yang mempengaruhi stres akademik. Pada laki-laki aspek yang memberi pengaruh lebih besar adalah study despondency, sedang perempuan lebih kepada aspek workload. Hasil penelitian ini senada dengan penelitian yang Agolla dan Ongori (2009) bahwa terdapat perbedaan tingkat stres akademik pada laki-laki dan perempuan, stres akademik yang terjadi pada laki-laki cenderung menggunakan mekanisme koping yang berorientasi terhadap ego, sehingga laki-laki lebih santai dalam menghadapi stres akademik sedangkan perempuan lebih sering menggunakan mekanisme koping yang berorientasi terhadap tugas, sehingga perempuan lebih mudah diidentifikasi jika mengalami kondisi stres. Perbedaan gender juga memengaruhi persepsi dan reaksi mahasiswa terhadap stressor akademik (Misra, McKean, West, &

Russo. 2000).

Sementara itu dalam hal pengaruh stres akademik terhadap kecanduan gawai pada mahasiswa ditemukan bahwa 51,43%

mahasiswa berada pada kategori tingkat stres akademik yang rendah.

Hasil pengujian hipotesis secara parsial antara peubah stres akademik dan peubah kecanduan gawai menunjukkan bahwa hipotesis diterima.

Dari lima aspek peubah stres akademik ditemukan bahwa aspek yang paling besar memberikan kontribusi terhadap kecanduan gawai mahasiswa adalah aspek study Despondency (keputusasaan), yaitu sebesar 19,09%. Aspek ini berkaitan dengan respon emosional seseorang ketika ia merasa tidak mampu mencapai tujuan dalam

84

hidupnya. Mahasiswa yang mengalami stres akademik akan merasa bahwa dia tidak mampu memahami pelajaran serta mengerjakan tugas−tugas yang harus ia selesaikan. Menurut Govaerst dan Gregoire (2004), Senada dengan penelitian yang dilakukan Nindyati (2020) di universitas Paramadina, Jakarta, diperoleh bahwa kecerdasan emosi dan jenis kelamin memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap stres akademik mahasiswa secara langsung. Stres akademik mahasiswa dapat dikelola ketika individu memiliki kecerdasan emosi yang baik. Reaksi emosi laki-laki dan perempuan terhadap situasi yang menekan juga berbeda.

Menurut Goleman (2003), kecerdasan emosi merupakan kemampuan individu dalam mengelola perasaan atau emosinya dengan tepat atau selaras, sehingga individu mampu mencapai keseimbangan dalam dirinya. Mahasiswa cenderung mengalami stres akademik karena kecerdasan emosinya cenderung tidak kuat. Hal ini dikarenakan laki-laki pada umumnya lebih sulit mengelola reaksi emosinya ketika menghadapi hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginannya, khususnya pada situasi yang sulit dalam menghadapi banyaknya tugas-tugas akademis (Kauts, 2018). Hal ini sejalan dengan pendapat Barseli, Ifdil dan Nikmarijal (2017) individu yang berpikir tidak dapat mengendalikan situasi, cenderung mengalami stres lebih besar.

Semakin besar kendali bahwa ia dapat melakukan sesuatu, semakin kecil kemungkinan stres yang akan dialami siswa.

Sedangkan untuk pengaruh stres akademik terhadap kecanduan gawai pada mahasiswi ditemukan bahwa bahwa 54,11% gender perempuan berada pada kategori tingkat stres akademik yang rendah.

Hasil pengujian hipotesis secara parsial antara peubah stres akademik

85

dan peubah kecanduan gawai menunjukkan bahwa hipotesis diterima.

Dari lima aspek peubah stres akademik ditemukan bahwa aspek yang paling besar memberikan kontribusi terhadap kecanduan gawai pada gender perempuan adalah aspek Workload yaitu sebesar 9,44%. Beban tugas yang diterima mahasiswa yang harus dikerjakan sebagai tanggung jawab akademis dalam menyelesaikan studi. Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa kondisi stres terjadi bila terdapat kesenjangan dan ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan.

Tuntutan adalah segala sesuatu yang jika tidak dipenuhi maka akan dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak menyenangkan.

Berdasarkan hasil studi ini, stres akademik responden termasuk dalam kategori rendah, maka dapat disimpulkan bahwa responden mampu mengelola stres akademik yang disebabkan oleh workload atau beban studi yang dimiliki.

Perbedaan yang terjadi pada indikator yang berperan pada aspek stress akademik terhadap kecanduan gawai berbeda antar mahasiswa dan mahasiswi kemungkinan dikarenakan adanya perbedaan reaksi antara mahasiswa dan mahasiswi dalam menghadapai sebuah tekanan.

Perbedaan reaksi stres antara laki-laki dan perempuan juga dapat dilihat dari segi strukur otak (Santrock, 2008) dan hormon (Wade & Tavris, 2007). Penelitian Calvarese (2015) menunjukkan bahwa perempuan mengalami reaksi stres yang lebih tinggi daripada laki-laki, sedangkan penelitian Kai-Wen (2009) menunjukkan bahwa laki-laki dalam konteks akademik memiliki stres yang lebih tinggi Dhull & Kumari (2015) menyatakan bahwa stres akademik terlihat berbeda pada kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Kelompok perempuan menunjukkan stres akademik yang lebih besar dibandingkan pada

86

kelompok laki-laki. Hal ini tidak terlepas dari faktor alamiah bahwa perempuan lebih sensitif dan lebih peka terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Kondisi ini juga membuat perempuan cenderung lebih menganggap semua hal yang terjadi dengan serius, berbeda dengan laki-laki yang terkadang cenderung menganggap enteng dan menunjukkan sikap yang easy going dalam menghadapi situasi yang ada.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa Kendali Diri dan Stres Akademik secara simultan menjadi prediktor terhadap Kecanduan Gawai. Kendali Diri berhubungan negatif terhadap Kecanduan Gawai dan Stres Akademik berhubungan positif terhadap Kecanduan Gawai berdasarkan gender. Jadi dapat dikatakan bahwa makin tinggi kendali diri maka makin rendah kecanduan gawai, semakin rendah kendali diri maka makin tinggi kecanduan gawai, sebaliknya semakin tinggi stres akademik makin tinggi pula kecanduan gawai, semakin rendah stres akademik makin rendah pula kecanduan gawai. Chiu (2014) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa adanya kecenderungan smartphone addiction adalah sebagai salah satu alasan untuk pengalihan rasa stres pada diri seorang individu dikalangan remaja karena tidak adanya kontrol diri yang kuat terhadap pemakaian smartphone sehingga menjadi awal mula terjadinya ketergantungan akan alat komunikasi tersebut.

Hasil uji signifikansi secara simultan untuk peubah tak gayut kecanduan gawai dan stres akademik terhadap peubah gayut kecanduan gawai berdasarkan gender laki-laki diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh kendali diri dan stres akademik terhadap kecanduan gawai secara simultan pada gender laki-laki. Hasil uji signifikansi secara

87

simultan untuk peubah tak gayut kendali diri dan stres akademik terhadap peubah gayut kecanduan gawai berdasarkan gender perempuan diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh kendali diri dan stres akademik terhadap kecanduan gawai secara simultan pada gender perempuan. Tidak adanya kontrol diri dan tekanan akademik yang kuat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kecanduan gawai.

Seperti yang dikatakan oleh Chiu (2014) bahwa gangguan kecanduan Gawai (Smartphone) adalah sebagai salah satu alasan untuk pengalihan rasa stress yang dialami individu di kalangan remaja, dan tidak adanya kontrol diri yang kuat terhadap pemakaian Gawai (Smartphone) sebagai awal mula dari ketergantungan terhadap Gawai.

Penggunaan gawai yang sudah sangat umum dikalangan mahasiswa mengakibatkan perilaku kecanduan gawai terkadang sudah di anggap sebagai hal yang umum. Chiu (2014) menyatakan bahwa terjadi stres pada kehidupan mahasiswa, yang mengakibatkan mahasiswa menggunakan gawai (smartphone) sebagai pelarian rasa stres yang mereka alami, adanya penggunaan gawai (smartphone) yang tidak terkontrol membuat mahasiswa menjadi kecanduan terhadap gawai.

Sehingga dapat disimpulkan Mahasiswa yang memiliki kendali diri yang rendah dan mengalami stres akademik akan besar kemungkinannya untuk mengalami kecanduan gawai, atau mahasiswa yang memiliki kendali diri yang baik namun mengalami stres akademik akan mampu mengontrol diri untuk tidak mengalami kecanduan gawai.

Seperti kecanduan pada umumnya, kecanduan gawai juga akan membawa dampak yang negatif bagi individu yang mengalami gangguan kecanduan gawai. Yuwanto (2010) menyatakan bahwa individu yang kecanduan tidak mampu mengontrol keinginan mereka

88

untuk menggunakan gawai (smartphone), merasa cemas, kehilangan, menarik diri dari masalah dan kehilangan produktivitas.

Hasil temuan dalam penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan tingkat kecanduan gawai yang signifikan antara mahasiswa dan mahasiswi yang bermakna tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat kecanduan gawai antara subjek laki-laki dan perempuan.

Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian dilakukan oleh Choliz (2012), yang menyatakan bahwa perempuan memiliki tingkat ketergantungan smartphone lebih tinggi dibandingkan dengan laki, perempuan lebih sering menggunakan smartphone daripada laki-laki, perempuan juga lebih cenderung terlibat dalam penyalahgunaan smartphone dan mengalami masalah dengan orang tua karena penggunaan yang berlebihan.

Hasil temuan dalam penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kendali diri antara gender laki-laki dan perempuan Hal ini sesuai dengan penelitian Tairas (2013), menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kendali diri pada remaja laki-laki dan perempuan yang kecanduan internet. Tinggi rendahnya kendali diri seseorang tidak ditentukan oleh gender (Shekarkhan & Gibson, 2011), tingkat kendali diri juga dipengaruhi oleh faktor luar dari individu.

Misalnya, faktor lingkungan, kesempatan, dan kemudahan fasilitas yang dimiliki individu yang dapat mempengaruhi kendali diri pada mahasiswa di Universitas AKI dalam memberikan dorongan pada perilaku individu dalam menggunakan gawai.

Oleh karena itu berdasarkan pembahasan ini, tidak adanya perdaan tingkat kecanduan gawai antara gender laki-laki dan perempuan pada mahasiwa Universitas AKI dikarenakan tidak terdapatnya perbedaan

89

kendali diri antara gender laki-laki dan perempuan. Menurut Agusta (2016) ada empat faktor penyebab kecanduan gawai salah satunya yaitu faktor inernal, dimana kontrol diri yang rendah merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi kecanduan gawai. Kontrol diri adalah kemampuan individu untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan mengarahkan langkah-langkah dan tindakannya untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.

4.8 Kekuatan dan Keterbatasan yang Dimiliki Oleh Penelitian yang

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 37-52)

Dokumen terkait