• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2.1 Definisi dan Ruang Lingkup Bisnis Ritel

Secara harfiah, kata ritel atau retail berarti eceran atau perdagangan eceran, dan peritel/retailer diartikan sebagi pengecer atau pengusaha perdagangan eceran (Utami, 2006). Bisnis ritel adalah kegiatan usaha menjual barang atau jasa kepada perorangan untuk keperluan diri sendiri, keluarga, atau rumah tangga. Kegiatan itu mencakup penjualan barang dan jasa kepada pengguna yang bervariasi mulai dari mobil, pakaian, makanan, hingga tiket bioskop. Mereka menjual barang (atau jasa) langsung ke konsumen (Ma’ruf, 2006). Kotler (2005) mendefinisikan usaha eceran (retailing) adalah kegiatan yang terlibat dalam penjualan barang atau jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis, sedangkan pengecer (retailer) adalah lembaga pemasaran yang berhubungan langsung dengan konsumen akhir.

Berdasarkan definisi di atas, maka ada dua hal yang terkait dengan bisnis ritel, yaitu pertama, penjualan kepada end user (konsumen akhir), dan kedua, motivasi pembelian konsumen adalah untuk kepentingan sendiri (termasuk keluarganya) dan tidak untuk dijual kembali, atau paling tidak lebih dari separuh perjalanannya adalah kepada konsumen untuk kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, ruang lingkup bisnis ritel tidak hanya sekedar penjualan barang dalam arti fisik, namun pada hakikatnya juga termasuk penjualan jasa. Pengertian bisnis ritel yang terkait dengan dilakukannya aktivitas penjualan, mencakup tidak hanya

digunakannya sebuah toko (shop/store), tetapi juga termasuk aktivitas yang tidak menggunakan tempat khusus dalam proses jual beli. Begitu juga pada penjualan partai besar (grosir) atau wholesaler, dan bahkan pabrikan (manufacture) dapat juga berlaku sebagai ritel, jika mereka melakukan penjualan barang dan jasanya kepada konsumen akhir langsung (Utami, 2006).

2.2.2 Fungsi Ritel

Fungsi ritel dalam rantai distribusi ada empat fungsi, yaitu fungsi perantara, penghimpun, tempat rujukan, dan penentu eksistensi. Fungsi perantara dalam bisnis ritel merupakan suatu fungsi atau mata rantai proses distribusi sebagai perantara antara distributor (wholesaler ataupun importer) dengan konsumen akhir. Fungsi penghimpun dalam bisnis ritel artinya bahwa ritel tersebut melakukan kegiatan menghimpun berbagai kategori atau jenis barang yang menjadi kebutuhan konsumen.

Fungsi tempat rujukan dalam bisnis ritel artinya bahwa konsumen menjadikan toko ritel tersebut sebagai tempat rujukan untuk mendapatkan (to choose, to find) barang yang dibutuhkannya. Fungsi penentu eksistensi dalam bisnis ritel merupakan fungsi ritel yang berperan sebagai penentu eksistensi barang dari manufacture di pasar konsumsi (consumption market). Dengan demikian, manufacture dan distributor memiliki ketergantungan yang besar terhadap entitas bisnis ritel (Utami, 2006).

2.2.3 Jenis-jenis Ritel Modern

Jenis-jenis ritel modern di Indonesia (Ma’ruf , 2006) adalah : a. Minimarket

Sarana/tempat usaha untuk melakukan penjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sehari- hari, secara eceran dan langsung kepada konsumen akhir dengan cara swalaya n. Luas lantai usaha minimarket adalah 50 m2 sampai dengan 200 m2.

b. Pasar Swalayan (Supermarket)

Sarana/tempat usaha untuk melakukan penjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sembilan bahan pokok secara eceran dan langsung kepada konsumen akhir dengan cara swalayan. Luas lantai usaha supermarket maksimal 4.000 m2.

c. Hipermarket

Sarana/tempat usaha untuk melakukan penjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sembilan bahan pokok secara eceran dan langsung kepada konsumen akhir. Hipermarket terdiri dari pasar swalayan dan toko serba ada yang menyatu dalam satu bangunan serta dalam pelayanannya dilakukan secara swalayan. Pengelolaan hipermarket dilakukan secara tunggal dengan luas lantai usahanya di atas 5000 m2.

d. Departemen Store atau toserba (toko serba ada)

Sarana/tempat usaha untuk melakukan penjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga dan bukan kebutuhan sembilan bahan pokok, yang disusun dalam bagian yang terpisah-pisah dalam bentuk counter secara eceran dan langsung kepada konsumen akhir. Pelaya nannya dibantu oleh para

pramuniaga. Luas lantai usahanya beraneka ragam, mulai beberapa m2 hingga 2.000 m2 – 3.000 m2.

2.2.4 Sejarah Perkembangan Bisnis Ritel

Bisnis ritel modern di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Bisnis ritel modern ini lahir dengan proses yang sangat panjang. Ritel-ritel modern tersebut tumbuh dan berkembang melalui proses metamorfosis dari bentuk pasar tradisional, pusat-pusat perbelanjaan modern dan menjadi ritel modern. Sebelum adanya ritel modern, pusat-pusat perbelanjaan modern merupakan tempat yang paling populer bagi masyarakat modern. Keberadaan pusat-pusat perbelanjaan modern ini merupakan dampak yang diperoleh dari kemajuan peradaban manusia modern.

Awalnya pasar terselenggara secara tradisional, kemudian berkembang pasar yang dikelola secara modern dengan menawarkan kenyamanan belanja. Perbedaan yang mencolok antara pasar tradisional dan pasar modern terlihat dari kondisi fisiknya. Pasar tradisional umumnya dikelola oleh pemerintah dengan kondisi fisik sederhana, namun karena perawatannya cenderung terabaikan maka dikatakan kumuh. Sebaliknya, konsumen cenderung semakin memerlukan kenyamanan dalam belanja, seperti suasana sejuk, tidak berdesakan, dan tidak mencium bau yang tidak sedap. Oleh karena itu, pasar tradisional di kota-kota besar semakin ditinggalkan oleh konsumen terutama golongan mene ngah ke atas.

Pasar tradisional yang sudah mulai ditinggalkan oleh konsumen kelas menengah ke atas, menyebabkan perkembangan pusat perbelanjaan modern semakin pesat. Pusat perbelanjaan ini pada perkembangannya ditandai dengan

penampilan bentuk fisik yang lebih mewah dan fasilitas yang lebih canggih dibandingkan pasar tradisional. Pertumbuhan pusat perbelanjaan modern di Indonesia diawali dengan berdirinya Sarinah Building di Bilangan Thamrin pada tahun 1964. Gagasan pendirian Sarinah sudah muncul tahun 1962, yang berasal dari Presiden Soekarno. Gagasan tersebut menjadi kenyataan dalam waktu dua tahun setelah membangun gedung dengan dana rampasan perang yang berasal dari Jepang. Namun, karena kondisi perekonomian saat itu sedang buruk dan ditambah situasi politik yang tidak stabil, membuat Sarinah gagal menjadi pelopor pasar modern seperti yang dicita-citakan. Seiring dengan itu, konsep belanja di pusat perbelanjaan ikut gagal.

Pada akhir tahun 1970-an atau tepatnya tahun 1979, masyarakat Jakarta mulai diperkenalkan dengan pola pasar modern dengan berdirinya Aldiron Plasa yang terletak di kawasan Blok M. Pada zaman keemasannya, sebagian besar orang dari luar Jakarta yang mengunjungi Jakarta pasti akan mengunjungi Aldiron Plasa yang terkenal dengan pertokoan emas, kerajinan, baju dan kain. Kesuksesan Aldiron pada masa itu diikuti dengan dibangunnya Duta Merlin, Ratu Plaza, Pasaraya Young & Trendy dan Hayam Wuruk Plaza pada tahun 1980-an.

Seiring dengan perkembangan pusat perbelanjaan modern, bisnis eceran (ritel) mulai tampak dengan hadirnya supermarket yang mulai dirintis pada awal tahun 1970-an oleh Gelael dan Hero Supermarket yang kemudian diikuti oleh perkembangan dan berdirinya supermarket lain seperti Golden Truly, Grasera, Tomang Tol, Permata, Jameson dan lain sebagainya. Setelah itu, tren bisnis ritel sampai saat ini lebih berkembang pesat dibanding pusat perbelanjaan modern.

Ritel modern yang kini lebih dikenal dengan department store ataupun supermarket dimulai sejak berdirinya Sarinah Departement Store pada tahun 1964. Sementara itu, embrio pasar modern yang menjadi cikal bakal pasar modern di Indonesia telah muncul pada tahun-tahun sebelumnya, seperti toko Ataka, Eropa dan Dezon. Toko-toko yang tergolong eksklusif pada waktu itu umumnya untuk konsumsi orang-orang Eropa yang ada di Indonesia yang telah mengenal tradisi berbelanja di toko-toko semacam itu. Namun, selain orang Eropa terdapat juga konsumen Timur Asing dan kala ngan masyarakat pribumi.

Setelah gagalnya Sarinah sebagai perintis ritel modern di Indonesia, muncul perintis modern lainnya, seperti Gelael, Kemchick, Hero, dan Matahari yang hingga saat ini masih bertahan. Gelael yang dimotori oleh Dick Gelael memulai bisnis ini dengan meniru pasar swalayan yang ada di luar negeri. Kemudian pada tahun 1970, ia membuka supermarket di kawasan Melawai Raya, Blok M, Jakarta.

Bersamaan dengan berdirinya Gelael, Hero juga membuka outlet pertamanya di kawasan Blok M, atau tepatnya di Jalan Falatehan. Pada saat itu pendiri Hero, Saleh Kurnia merupakan orang yang menekuni usaha dagang. Kemudian dia mengembangkan usahanya itu dengan membuka supermarket yang didorong oleh relasi bisnisnya yang berkebangsaaan Kanada. Perkembangan para perintis ritel itu juga diikuti oleh ritel-ritel baru, seperti Golden Truly, Target, Rama, dan sejumlah nama lainnya.

Seiring perkembangan ritel modern dalam bentuk department store dan supermarket, ritel modern dalam bentuk minimarket dan hipermarket mulai masuk ke Indonesia sejak tahun 1998 yaitu melalui Continent dan Careffour yang

keduanya berasal dari Perancis. Tumbuh suburnya ritel modern dalam konsep minimarket dan hipermarket tersebut, sebagai akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Pada saat itu daya beli masyarakat menurun, menyebabkan volume penjualan supermarket dan department store mengalami penurunan, sehingga peritel merespon kondisi ini dengan mendirikan hipermarket dan minimarket yang memiliki keunggulan harga relatif lebih murah.

Dokumen terkait