• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palopo pada tanggal 20 Desember 1986, sebagai anak ke empat dari pasangan Supu dan Nursia. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi fisika, Fakultas Matemamatika dan Ilmu Pengetahuan Alam UNHAS, lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Biofisika pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2014. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari DIKTI selama satu tahun.

Penulis bekerja sebagai pengajar fisika pada salah satu kampus sekolah kesehatan di Makassar. Bidang keilmuan yang diajarkan adalah Fisika Kesehatan. Selama mengikuti program S-2, penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Makassar IPB.

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis energi di era teknologi merupakan salah satu tantangan yang sedang dihadapi sehingga perlu upaya untuk mengembangkan berbagai energi alternatif yaitu energi terbarukan. Potensi energi terbarukan di Indonesia sangatlah mendukung namun belum dimanfaatkan secara maksimal misalnya biomassa, panas bumi, energi surya, energi air, energi angin dan energi samudera. Energi surya merupakan salah satu energi yang banyak dikembangkan saat ini, misalnya teknologi sel surya. Sel surya mulai menarik banyak perhatian para peneliti karena diperkirakan dapat menjadi kandidat sumber pembangkit listrik di masa depan terutama untuk daerah-daerah terpencil yang masih sulit dijangkau oleh jaringan listrik. Sel surya juga merupakan sumber energi yang ramah lingkungan karena dalam konversinya tidak menghasilkan polutan sama sekali.

Saat ini, teknologi sel surya yang banyak dikembangkan masih didominasi oleh sel surya berbasis silikon amorf dan kristal namun harga bahan dasar dan biaya produksi yang mahal menjadikan harga jual sel surya di pasaran relatif tinggi (Fahlman dan Salaneck 2002). Pengembangan metode-metode sederhana dalam fabrikasi sel surya banyak dilakukan untuk menekan biaya produksinya. Oleh sebab itu, mulai dikembangkan dye sensitiser solar cell (DSSC) dengan menggunakan bahan organik. Jika dibandingkan dengan fotovoltaik berbasis Silikon (Si), DSSC memiliki keuntungan yaitu tidak sensitif terhadap cacat dalam semikonduktor seperti cacat di dalam struktur Si, mudah terbentuk dan biayanya lebih efektif untuk produksi serta lebih memungkinkan terjadinya transfer energi langsung dari foton menjadi energi kimia (Wei 2010).

Salah satu semikonduktor yang sering digunakan dalam DSSC adalah titanium oksida (TiO2). Titania relatif murah, banyak dijumpai dan juga tidak beracun (Grätzel 2003). Produk dari DSSC adalah energi listrik namun banyak faktor yang menyebabkan cahaya yang diproses di dalam sel surya mampu dikonversi menjadi energi listrik. Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya nilai efisiensi sel surya jenis DSSC adalah konsentrasi ekstrak dye yang secara langsung berhubungan dengan besarnya tingkat absorbansinya terhadap panjang gelombang sinar yang terserap.

Sel surya jenis DSSC merupakan sel tersensitisasi dye dan berbeda dari perangkat semikonduktor konvensional karena dalam proses absorpsi cahaya dan separasi muatan listrik terjadi dalam proses yang terpisah. Absorpsi cahaya dilakukan oleh molekul dye dan separasi muatan oleh semikonduktor anorganik nanokristal yang memiliki celah pita besar. Dye sensitiser menyerap sinar matahari dan memanfaatkan energi cahaya untuk menginduksi reaksi transfer elektron. Dye yang digunakan sebagai sensitiser dapat berupa dye sintesis maupun

dye alami. Dye sintesis yaitu jenis ruthenium complex yang telah mencapai efisiensi 10%, namun ketersediaan dan harganya yang mahal sehingga perlu adanya alternatif lain pengganti dye jenis ini yaitu dye alami. Dye alami dapat diekstraksi dari bagian-bagian tumbuhan seperti daun, bunga, atau buah. Berbagai

2

jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai fotosensitiser pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Berbagai jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai fotosensitiser pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Zat warna alami tersebut telah terbukti mampu memberikan efek fotovoltaik walaupun efisiensi yang dihasilkan masih jauh lebih kecil dibandingkan zat warna sintetis.

Ekstrak dye atau pigmen tumbuhan yang digunakan sebagai fotosensitiser dalam sistem DSSC antara lain berupa ekstrak antosianin (Cherepy et al. 1997; Dai et al. 2002), klorofil (Mabrouki et al. 2002), karoten (Yamazaki et al. 2006), buah mulberry hitam (Chang et al. 2010), cryptophyta (Doust et al. 2006), kol merah (Maddu et al. 2007), phycoerythrin (Kathiravan et al. 2009), bunga bougainville, lobak cina merah dan buah pear (Calogero et al. 2010) serta Zhou et al. (2011) telah menggunakan 20 warna alami dari tumbuhan untuk aplikasi DSSC. Selain pigmen dari tanaman darat, pigmen juga dapat diekstraksi dari mikroalga yaitu berupa fikosianin. Hall dan Rao (1992) menyatakan bahwa fikosianin merupakan salah satu dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang mampu menangkap radiasi yang tersedia dari matahari paling efisien dan bermanfaat dalam proses fotosintesis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa fikosianin mampu menyerap cahaya tampak paling banyak, dengan demikian perlu dikaji lebih dalam tentang kemampuan fikosianin sebagai sensitiser dalam DSSC.

Rumusan Masalah

Biaya produksi yang mahal dalam fabrikasi teknologi sel surya menjadikan harga jual di pasaran relatif tinggi sehingga DSSC merupakan salah satu jenis sel surya yang banyak dikembangkan sebagai alternatif dari sel surya konvensional. Sel surya yang menggunakan dye sintetis sangat mahal dalam fabrikasinya sehingga mendorong para peneliti untuk menggunakan dye alami pemanen cahaya pada organisme yang cenderung lebih mudah diperoleh.

Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah penggunaan dye fikosianin dari mikroalga

Spirulina platensis sebagai light harvesting dalam pembuatan DSSC. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah:

1 Kultivasi Spirulina platensis untuk memperoleh dye fikosianin 2 Sintesis nanopartikel TiO2

3 Pembuatan larutan elektrolit PEG/kitosan 4 Perakitan dan pengukuran performa sel surya

3

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL

TITANIUM OXIDE (TiO

2

) MENGGUNAKAN METODE

SOL-GEL

Pendahuluan

Bahan semikonduktor titanium oxide (TiO2) merupakan material yang banyak digunakan dalam berbagai aplikasi misalnya sel surya (Qin et al.2013), sensor kimia (Li et al.2013), sel fotoelektrokimia (Koyzyukin et al. 2013), fotokatalis (Macak et al. 2007), dan perangkat elektronik (Bach et al. 2002). Hal itu dikarenakan TiO2 memiliki fase kristal yang reaktif terhadap cahaya, eksitasi elektron ke pita konduksi dapat dengan mudah terjadi apabila kristal ini dikenai cahaya dengan energi yang lebih besar daripada celah energinya.

Aplikasi dari semikoduktor TiO2 berupa nanopartikel (Kathiravan dan Renganathan 2009, Meen et al. 2009), nanokristal (Wenbing Li et al. 2011), nanorods (Song et al. 2005), nanofiber (Onozuka et al. 2006), nanotubes (Cui et al. 2012) dan nanowires ( Kumar et al. 2010 ) sebagai elektroda pada DSSC mampu menghasilkan efisiensi yang baik. TiO2 memiliki tiga fase kristal yaitu rutil, anatase, dan brookit. Namun yang paling banyak digunakan dalam proses fotoelektrokimia adalah rutil dan anatase, keduanya memiliki struktur kristal tetragonal, dengan parameter kisi a = 4,5λ3 Ǻ dan c = 2,λ5λǺ untuk rutil dengan energi gap sebesar 3,0 serta anatase memiliki parameter kisi a = 3,785 Ǻ dan c = λ,513 Ǻ, energi gap sebesar 3,2 eV.

Aplikasi dari nanopartikel TiO2 sebagai elektroda pada DSSC dengan ukuran partikel 8-10 nm dengan fase anatase (suhu 600 0C) menunjukkan performa yang sangat bagus. Salah satu metode pembuatan nano TiO2 yang halus dan berpori dalam bentuk film tipis (ketebalan 4 m) yaitu melalui metode sol gel spin-coating (Meen et al. 2009). Fase anatase lebih efektif digunakan dalam aplikasi fotokatalisis dan sel surya karena band gap yang lebih lebar jika dibandingkan dengan fase rutil (Mills dan Hunte 1997) .

Ahmadi (2011) melakukan riset tentang beberapa parameter yang mempengaruhi pembentukan nanopartikel TiO2, yaitu pH larutan, suhu kalsinasi, waktu aging, suhu aging, serta perbandingan konsentrasi pereaksi. Parameter tersebut berkaitan erat dengan sifat material seperti ukuran partikel dan jenis fase yang terbentuk. Pada penelitian ini, pembentukan nanopartikel TiO2 dilakukan dengan metode sol gel dengan perlakuan variasi suhu kalsinasi dan menggunakan TiCl4 sebagai prkursor melalui tahap hidrolisis. Pereaksi logam klorida seperti TiCl4 cenderung banyak digunakan dalam metode sol gel karena mampu menghasilkan produk akhir berupa oksida logam TiO2. Proses pembentukan oksida logam tersebut dapat terjadi melalui tiga tahap yaitu: hidrolisis, polimerisasi dan pertumbuhan partikel.

4

Bahan dan Metode

Bahan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan semikonduktor TiO2 adalah titanium klorida (TiCl4), asam sulfat (H2SO4), amonia (NH3), akuabides, kertas saring (whatman 0,45 µm), perak nitrat (AgNO3) 0,1 M.

Metode

Pembuatan bubuk TiO2 dilakukan menggunakan metode sol-gel melalui tahap hidrolisis TiCl4 dengan menggunakan H2SO4 (Wenbing et al. 2011).

Pencampuran diawali dengan bahan TiCl4 (1 ml) sebagai prekursor ditambahkan H2SO4 (2 ml). Kedua bahan dicampur dalam wadah berisi es sambil diaduk dengan stirrer magnetic (350 rpm) selama 30 menit. Selanjutnya dipanaskan pada suhu sekitar 600C selama 1 jam sampai membentuk larutan bening sambil tetap diaduk. Larutan didiamkan pada temperatur ruang, kemudian larutan ditetesi dengan amonia sampai membentuk gel berwarna putih dengan pH 7 sambil tetap diaduk sampai 12 jam sampai homogen. Larutan disaring dengan kertas saring whatman (0,45 m) sampai bebas klorida. Cairan bening yang keluar dari kertas saring ditetesi dengan larutan AgNO3 0,1 M (sebagai indikator bebas klorida). Jika tidak berwarna keruh (putih) menandakan bebas klorida. Endapan putih pada kertas saring dikeringkan pada suhu ruang sampai kering. Selanjutnya digerus sampai halus dan dipanaskan pada tanur (furnace) selama 2,5 jam dengan suhu berbeda (400oC, 600oC, 800oC, dan 1000oC).

Pelapisan TiO2 dilakukan dengan metode casting. Kaca TCO (tebal: 2 mm) dibersihkan dengan aquadest/etanol di dalam ultrasonic bath, kemudian dikeringkan. Sebanyak 0,2 gram bubuk TiO2 ditetesi dengan 1 ml asam asetat 3% sambil digerus pada mortar sampai homogen membentuk koloid. Kaca TCO dengan permukaan yang konduktif dilapisi dengan selotip Scotch dengan menyisakan bagian tengah berukuran 1 cm x 1cm. Bagian yang terbuka ditetesi dengan koloid TiO2 dan diratakan menggunakan batang gelas bersih sampai menutupi semua bagian yang terbuka, dibiarkan beberapa menit sampai agak mengering. Lapisan Scoth pada masing-masing tepi kaca TCO dilepas secara perlahan, kemudian dikeringkan pada suhu ≥ 4000C selama dua jam.

Film tipis yang terbentuk dikarakterisasi dengan spektrofotometer UV-Vis (ocean optic spectrophotometer) untuk menentukan sifat optik yaitu nilai absorbansi. Pengukuran kristalintas menggunakan x-ray diffraction (XRD-GBC EMMA) dan scanning electron microscope (SEM) untuk melihat bentuk morfologi serta ukuran partikel TiO2. Diagram alir proses pembuatan TiO2 disajikan pada Gambar 2.

5

Gambar 1 Pengukuran absorbansi dengan spektroskopi UV-Vis

Penentuan karakteristik sifat optik film TiO2 menggunakan alat spektroskopi OceanOpticTM 4000 untuk rentang frekuensi UV-Vis. Film TiO2 berbentuk transparan sehingga dapat terukur dengan baik. Performa alat karakterisasi sifat optik dapat dilihat pada gambar 1. Pengukuran absorbansi tersebut dirangkai terlebih dulu dengan menghubungkan spektrofotometer UV-Vis

ke komputer yang telah diinstal software SpectraSuite (Ocean Optics). Selanjutnya, holder kuvet dihubungkan langsung dengan spektrofotometer dan sumber cahaya.

Proses pengukuran ini diawali dengan membuka program SpectraSuite. Holder sampel berisi kaca TCO sebagai blanko, kemudian lampu sebagai sumber cahaya dinyalakan. Kurva blanko diatur dengan menyesuaikan fiber optic

terhadap cahaya lampu. Setelah itu lampu dimatikan tanpa membuat fiber optic

bergeser, kemudian kuvet blanko diganti dengan film TiO2. Lampu dinyalakan kembali dan dapat dilihat kurva absorbansi yang terbentuk pada komputer. Data yang diperoleh dari karakterisasi ini berupa data nilai aborbansi pada masing-masing panjang gelombang (ultraviolet). Pengukuran dilakukan pada setiap sampel dengan suhu kalsinasi yang berbeda.

Karakterisasi XRD dilakukan pada TiO2 dalam bentuk bubuk (powder) pada sudut 2θ μ 20o sampai 80o. Alat ini menggunakan sinar-X dengan panjang gelombang 0,154059 nm sebagai sumber radiasi. Sampel pada holder diradiasi langsung yang terintegrasi dengan tabung XRD. Alat tersebut terhubung langsung dengan komputer yang dilengkapi dengan software GBC-EMMA. Dari hasil XRD dapat diperoleh intensitas, sistem kristal, ukuran kristal, parameter kisi, jarak antar bidang kristal, jenis fase kristal berdasarkan database (JCPDS) TiO2.

Karakterisasi SEM dilakukan untuk melihat bentuk permukaan film TiO2 dengan pembesaran seragam pada semua sampel (40.000 kali). Selain ukuran partikel, ketebalan masing-masing film juga dapat diperoleh dari hasil SEM. Nilai ketebalan film tersebut digunakan dalam menentukan energi gap berdasarkan data spektroskopi optik yang diperoleh.

Sumber cahaya

Sampel

Alat spektroskopi

6

Gambar 2 Diagram alir sintesis nanopartikel TiO2 metode sol gel

TiCl4 + H2SO4 (10%)

Pengadukan

(stirring 350 rpm; suhu= 0oC; waktu=30 menit)

Pembentukan larutan sol

(stirring 350 rpm; suhu=60oC; waktu=1 jam

Pembentukan gel

(warna putih, pH 7)

Pengujian bebas klorida

(AgNO3 0,1 M)

Penambahan amonia/NH3H2O

(stirring 350 rpm; suhu ruang)

Pengeringan dengan inkubator

(suhu= 27oC; waktu=12 jam)

Nanokristal TiO2 (bubuk)

Karakterisasi (UV-Vis, SEM) Pencucian (aquabidest) Penyaringan (Whatman 45 m)

Kalsinasi

(suhu=400oC-1000oC;laju=5oC/menit; waktu=2 jam)

Pelapisan film tipis

7 Hasil dan Pembahasan

Pola XRD TiO2

Pola XRD pada Gambar 3 menunjukkan fase TiO2 yang muncul pada pemanasan dari suhu 400oC-800oC hanya anatase, semua puncak muncul dengan jelas. Ketika suhu dinaikkan sampai 1000oC, terjadi transformasi fase dari anatase menjadi rutil. Puncak anatase tertinggi pada sudut 2 = 25,33o yang bersesuain dengan bidang difraksi (101) (JCPDS 21-1272) dan rutil dengan intensitas tertinggi pada sudut 2 = 27,46o yang bersesuain dengan bidang difraksi (110) (JCPDS 21-1276). Pada setiap kenaikan suhu, hanya terdapat satu jenis fase yang muncul disebut fase tunggal (single phase), karena tidak terdapat puncak difraksi lain (pengotor). 2 (derajat) 20 40 60 80 In te ns ita s ( a.u .) A (10 1) A (10 3) A (00 4) A (11 2) A (20 0) A (10 5) A ( 21 1) A (20 4) A (22 0) R (11 0) R (10 1) R (21 1) A (11 6) A (21 5) R (20 0) R (11 1) R (21 0) R (22 0) R (00 2) R (31 0) R (30 1) R (11 2) R (20 2) A B C D

Ganbar 3 Pola difraksi sinar-X pada TiO2 fase antase (A) dan rutil (R) untuk setiap kenaikan suhu kalsinasi (A) 400oC, (B) 600oC, (C) 800oC dan (D) 1000oC

Ukuran kristal dihitung dengan persamaan Debye–Scherrer:

�= 0,9

(1)

σ adalah ukuran kristal, adalah panjang gelombang sumber sinar-X ( Cu Kα adalah 0,15405λ nm). Nilai β yang digunakan adalah setengah nilai puncak difraksi (dalam radian), nilai puncak maksimum disebut FWHM (full width at half maximum ) dan θ adalah sudut difraksi Bragg.

8

Ukuran kristal (Tabel 1) pada suhu 800oC lebih besar dibanding dengan ukuran kristal pada suhu 400oC. Ukuran kristal bertambah besar karena proses sintering yaitu peningkatan suhu akibat adanya energi tambahan pada material tersebut berupa energi panas. Energi panas menyebabkan material-material tersebut memiliki energi lebih untuk memperbesar ukuran kristal (penumbuhan kristal) melalui proses difusi antar partikel-partikel TiO2. Suhu kalsinasi yang semakin meningkat akan merubah ikatan interatomik di dalam partikel dan merusak ikatan –OH, sehingga ukuran semakin bertambah besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian tentang pengaruh suhu kalsinasi terhadap ukuran kristal TiO2 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Beberapa penelitian tentang perubahan ukuran kristal TiO2 akibat pengaruh suhu kalsinasi

Suhu kalsinasi (oC) Ukuran kristal (� ) 400 13,75 600 20,79 800 25,25 1000 48,88 Penelitian sekarang Suhu kalsinasi (oC) 350 400 450 500 525 Gonzales dan Santiago (2007) Ukuran kristal (� ) 15,6 16,1 16,3 17,9 20 Suhu kalsinasi (oC) 400 500 600 700 Ahmadi et al. 2011 Ukuran kristal (nm) 13,96 17,60 20,68 26,44 Morfologi TiO2

Bentuk permukaan film TiO2pada suhu kalsinasi berbeda yaitu 400oC, 600oC dan 800oC memiliki ketebalan yang berbeda berturut-turut adalah 780,16 nm, 328,57 nm, dan 588,27 nm. Bentuk morfologi permukaan dari film TiO2 dengan pembesaran 40.000 kali dapat diamati pada Gambar 3.

Hasil SEM menunjukkan permukaan dari film tipis TiO2pada suhu yang berbeda dari 400oC, 600oC, 800oC dan 1000oC. Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa ukuran butir partikel TiO2 semakin bertambah besar dengan meningkatnya suhu kalsinasi yaitu 43,06 nm, 44,91 nm dan 64,99 nm dan 80,40 nm. Pada suhu 400oC belum terlihat batas antar butir dengan jelas karena permukaan yang hampir seragam dan rapat sehingga permukaan film terlihat rata, sedangkan pada suhu 1000oC terlihat batas antar butir secara jelas sehingga membentuk pori.

9 (a) (b) (c) (d) (e)

Ganbar 4 Foto SEM dari film TiO2 (a) dengan perbedaan suhu kalsinasi (fase anatase) 400oC (b), 600oC (c), 800oC (d), dan fase rutil 1000oC (e)

Sifat Optik dan Energi Band Gap TiO2

Film TiO2 yang ditumbuhkan di atas substrat kaca dikarakterisasi sifat optik untuk mengetahui spektrum serapan, dilanjutkan dengan penentuan energi celah pita optik. Spektrum serapan TiO2 anatase dikalsinasi pada suhu yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 5. Daerah absorpsi pada kisaran ultraviolet (UV) bergeser pada setiap kenaikan suhu. Perbedaan nilai tersebut menunjukkan adanya serapan optik pada panjang gelombang UV. Tepi pita serapan bergeser ke

10

wilayah panjang gelombang lebih panjang atau frekuensi lebih kecil. Ketika TiO2 menyerap energi foton yang lebih besar atau sama dengan energi gap yang dimiliki, maka elektron akan tereksitasi dari pita valensi menuju pita konduksi, kemampuan absorpsi menjadi meningkat untuk panjang gelombang yang sesuai dengan energi celah.

Energi celah dapat ditentukan berdasarkan koefisien absorpsi dalam persamaan Tauc (1972) yaitu:

ℎ�=� ℎ� − (2)

dimana A adalah konstanta optik, α adalah koefisien absorpsi, hv adalah energi foton, Eg adalah energi celah, dan n adalah nilai transisi yang bergantung pada jenis transisi (transisi langsung n=1/2 dan transisi tidak langsung n=2).

Jika dalam proses transisi, momen elektron kekal (konservatif) maka terjadi transisi langsung, namun jika sebaliknya dalam proses transisi tidak konservatif maka harus disertai dengan energi fonon disebut sebagai transisi tidak langsung (Islam et al. 2012). Panjang gelombang (nm) 300 400 500 600 700 800 900 A bs or ba ns i ( a.u ) 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 400oC 600oC 800oC

Gambar 5 Spektrum absorpsi film TiO2 anatase pada suhu kalsinasi masing-masing 400oC, 600oC dan 800oC

Jenis transisi film TiO2 dapat ditentukan berdasarkan nilai koefisien absorpsi. Jika nilai koefisien lebih besar dari 104 termasuk transisi tidak langsung, sebaliknya jika koefisien absorpsi kurang dari 104 merupakan transisi langsung (Tauc 1972). Pada penelitian ini, hasil perhitungan koefisien absorpsi rata-rata dari masing-masing suhu kalsinasi 400oC, 600oC, 800oC berturut-turut adalah 8,160x102, 1,754x103, dan 4,015x102 lebih kecil dari 104 sehingga termasuk transisi langsung. Koefisien absorpsi dapat ditentukan menggunakan persamaan,

=2,303

(3)

A adalah absorbansi, α adalah koefisiens absorpsi, dan d adalah ketebalan

11 hv (eV) 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 ( hv) 2 (cm -1 . eV ) 2 0 1e+8 2e+8 3e+8 4e+8 4000C 6000C 8000C

Gambar 6 Plot energi (hv) terhadap (αhv)2 film TiO2 pada suhu kalsinasi masing-masing 400oC, 600oC dan 800oC

Gambar 7 Plot energi foton (hv) terhadap perubahan suhu kalsinasi film TiO2 pada suhu kalsinasi yang berbeda

Energi celah (Gambar 6) ditentukan berdasarkan perpotongan kurva bagian linear dengan sumbu energi (hv). Nilai energi celah pada kalsinasi 400oC, 600oC, 800oC masing-masing 3,79 eV, 3,58 eV dan 3,35 eV. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa perubahan suhu kalsinasi menyebabkan perubahan

3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 300 400 500 600 700 800 900 hv (e V) Suhu (oC)

12

energi celah semikonduktor TiO2. Hal ini berkaitan erat dengan perubahan ukuran partikel-partikel TiO2.

Berdasarkan hasil plot kurva (Gambar 7) diketahui bahwa nilai energi celah menurun terhadap peningkatan suhu kalsinasi. Gao et al. (2003) dan Ge et al.

(2006) menyatakan bahwa perubahan energi celah disebabkan oleh perubahan ukuran pertikel karena adanya efek ukuran kuantum (quantum size effect). Hal ini disebabkan oleh perubahan nilai quantum confinement yang menyebabkan peningkatan energi kinetik pada medan kuantum yang diiluminasi, sehingga energi celah meningkat seiring dengan penurunan ukuran partikel. Peristiwa tersebut dikenal sebagai efek ukuran quantum. Beberapa penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa nilai energi celah TiO2 anatase yaitu 3,78 (Karabay et al. 2012), 3,6 eV (Gonz´alez dan Santiago 2007), 3,67 eV (Li et al. 2000), variasi suhu kalsinasi 400oC sampai 700oC masing-masing 3,67 eV , 3,40 eV, 3,80 eV, 3,65 eV (Gao et al. 2003), 3,36 eV (Reddy et al. 2002), dan 3,5-3,8 eV (Hasan et al. 2008).

Simpulan

Peningkatan suhu kalsinasi menyebabkan perubahan struktur TiO2, terjadi transformasi fase serta semakin kristal. Ukuran kristal sangat dipengaruhi oleh lebar puncak difraksi yang tertinggi dari setiap fase. Selain itu, peningkatan suhu sangat berpengaruh pada ukuran butir dan keterikatan antar butir TiO2. Semakin tinggi suhu maka ukuran butir semakin meningkat, demikian halnya dengan ukuran makin bertambah besar. Sifat optik TiO2 menunjukkan berada pada daerah UV, dengan koefisien absorpsi yang mengindikasikan terjadinya transisi langsung. Nilai energi gap sangat bergantung pada jenis transisi elektroniknya. Setiap perubahan kenaikan suhu menyebabkan energi gap menjadi semakin berkurang.

3 POTENSI FIKOSIANIN DARI MIKROALGA Spirulina

platensis SEBAGAI SENSITISER PADA DSSC

Pendahuluan

Fikosianin dapat dihasilkan dari beberapa jenis mikroalga yang mengandung pigmen biru yaitu kelas mikroalga Cyanophyceae. Fikosianin dan allofikosianin terdapat di dalam group Cyanobacteria yang mempertahankan hidupnya pada lapisan permukaan danau, rawa, kolam dan perairan laut. Lebih lanjut Hall dan Rao (1992) menyatakan bahwa fikosianin merupakan salah satu dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang mampu menangkap radiasi yang tersedia dari matahari paling efisien dan bermanfaat dalam proses fotosintesis. Fikosianin merupakan kompleks pigmen protein yang saling berhubungan dan

13 terlibat dalam pemanenan cahaya, energi transduksi dan dapat bertindak sebagai bahan penyimpan nitrogen dan asam amino karena konsentrasi fikosianin tinggi bila ditumbuhkan dalam kondisi nitrogen yang optimal. Protein kompleks yang terdapat dalam Spirulina platensis lebih dapat dijadikan sumber kehidupan bagi makhluk hidup dan merupakan prekursor bagi klorofil dan hemoglobin karena mengandung magnesium dan besi yang merupakan pigmen biru yang secara struktural mirip dengan karoten, yang telah diketahui mampu meningkatkan aksi sistem kekebalan dan berperan aktif melindungi tubuh dari penyakit tertentu. Pigmen ini mempunyai fungsi sebagai pewarna alami untuk makanan (Yoshida et al. 1996), kosmetik (Cohen 1986), penelitian biomedis (Glazer 1994) dan obat-obatan khususnya sebagai pengganti pewarna sintetik dan mampu mengurangi obesitas (Bhat dan Madyastha 2001).

Fikosianin adalah pigmen yang paling banyak pada Spirulina (alga hijau biru) dan jumlahnya lebih dari 20% berat kering alga (Vonshack 1997). Fikosianin mempunyai absorbansi cahaya maksimum pada panjang gelombang 546 nm. Berat bobot molekul fikosianin (C-fikosianin) adalah sebesar 134 kDa, namun ditemukan bobot molekul yang lebih besar (262 kDa) dari ekstrak fikosianin segar pada banyak spesies. Bobot molekul yang lebih besar ini diduga disebabkan oleh keberadaan fragmen fikobilisom (Ó Carra et al. 1976).

Spirulina sp. merupakan organisme multiseluler yang merupakan alga hijau-biru. Tubuhnya berupa filamen berwarna hijau-biru berbentuk silinder dan tidak bercabang dan mengandung protein dalam jumlah yang cukup tinggi. Kandungan protein Spirulina bervariasi dari 50%, hingga 70% dari berat keringnya. Hasil analisis asam amino dari Spirulina mexican yang dikeringkan dengan spray dryer

ditemukan 18 asam amino (Oliverira et al. 2009). Spirulina sp. memiliki membran tilakoid. Pada membran tilakoid terdapat struktur granula berupa fikobilisom yang terdiri dari fikobiliprotein yang berfungsi untuk menyerap cahaya dan diduga dapat melindungi pigmen fotosintesis lainnya dari oksidasi pada cahaya berintensitas tinggi.

Spirulina dapat hidup di perairan tawar (S. fusiformis) maupun di air laut (S.platensis, S.maxima, dll). Jenis Spirulina tersebut dapat menghasilkan pigmen klorofil dan fikosianin. Pigmen fikosianin berwarna biru tua yang dapat memancarkan warna merah tua. Biliprotein atau biasa dikenal dengan fikobiliprotein adalah kelompok pigmen yang ditemukan pada Rhodophyta (alga merah), Cyanophyta (alga hijau-biru) dan Cryptophyta (alga crytomonad). Pigmen ini berfungsi sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis. Fikosianin termasuk golongan biliprotein. Kelompok pigmen ini diantaranya adalah R -phycoerythrin, C-phycoerythrin, B-phycoerythrin, allofikosianin, R-phycocyanin

dan C-phycocyanin. Bentuk lain dari fikosianin adalah allofikosianin, yang merupakan pelengkap biliprotein dalam jumlah sedikit pada mikroalga merah dan

Dokumen terkait