• Tidak ada hasil yang ditemukan

Application of phycocyanin from microalgae Spirulina platensis as light harvesting in anatase TiO2 nanoparticle solar cell.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Application of phycocyanin from microalgae Spirulina platensis as light harvesting in anatase TiO2 nanoparticle solar cell."

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN FIKOSIANIN DARI MIKROALGA

Spirulina platensis

SEBAGAI

LIGHT HARVESTING

PADA SEL

SURYA

NANOPARTIKEL TiO

2

ANATASE

IDAWATI SUPU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Penggunaan Fikosianin

dari Mikroalga Spirulina platensis sebagai Light Harvesting pada Sel Surya

Nanopartikel TiO2 Anatase” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

(4)

RINGKASAN

IDAWATI SUPU. Penggunaan fikosianin dari mikroalga Spirulina platensis

sebagai light harvesting pada sel suryananopartikel TiO2 anatase. Dibimbing oleh AKHIRUDDIN MADDU dan IRIANI SETYANINGSIH.

Pembuatan dye sensitized solar cell (DSSC) dilakukan menggunakan film

hibrid nanopartikel tatanium oksida (TiO2)/fikosianin. Sintesis TiO2 dengan metode sol gel dari titanium klorida (TiCl4) sebagai prekursor melalui tahap hidrolisis menggunakan asam sulfat (H2SO4). Selanjutnya dipanaskan pada tanur (furnace) selama 2,5 jam dengan suhu berbeda (400oC, 600oC, 800oC, dan 1000oC). Pola XRD menunjukkan bahwa fase yang muncul pada suhu pemanasan 400oC sampai 800oC hanya anatase. Ketika suhu dinaikkan sampai 1000oC, terjadi transformasi fase dari anatase menjadi rutil. Berdasarkan hasil XRD diperoleh ukuran kristal dan partikel masing-masing 13,75 nm, 20,79 nm, 25,25 nm, 48,88 nm dan SEM diperoleh ukuran partikel 43,06 nm, 44,91 nm dan 64,99 nm dan 80,40 nm. Ukuran kristal dan ukuran partikel meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Pengukuran sifat optik film TiO2 dan hibrid TiO2/fikosianin menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Penambahan fikosianin mampu menambah lebar serapan dari daerah ultraviolet (UV) sampai daerah tampak (visible).

Energi celah dapat ditentukan dari hasil karakteristik film optik, yaitu berdasarkan perpotongan kurva bagian linear dengan sumbu energi (hv). Pada

penelitian ini, hanay dibatasi pada fase anatase saja. Hal ini disebabkan karena energi gap anatase yang lebih lebar jika dibandingkan fase rutil. Dengan demikian, sangat berarti dalam aplikasi sel surya seperti dye sensitized solar cell (DSSC).

Hasil perhitugan koefisien absorpsi rata-rata dari masing-masing suhu kalsinasi 400oC, 600oC, 800oC berturut-turut adalah 8,1600x102, 1,7535x103, dan 4,0154x102 lebih kecil dari 104 sehingga termasuk transisi langsung. Nilai energi celah pada kalsinasi 400oC, 600oC, 800oC masing-masing 3,79 eV, 3,58 eV dan 3,35 eV. Peningkatan suhu kalsinasi menyebabkan penurunan energi celah semikonduktor TiO2.

Kultivasi Spirulina platensis dilakukan dengan media MT (media teknis

modifikasi Hastuti). Kepadatan sel optimum ( fase stasioner) pada hari ke-8 dengan nilai OD > 0,5. Pada keadaan tersebut, kultur dapat dipanen. Inokulum

S.platensis yang dikultur dari 80 literdihasilkan berat kering biomassa 10,46 gram

dan bobot fikosianin dalam bentuk bubuk kering 5,50 gram. Daerah serapan tertinggi fikosianin berada pada panjang gelombang 619,36 nm (daerah visible) dengan energi relaksasi 2,945 eV. Spektrum emisi tertinggi pada panjang gelombang 708,55 nm dengan energi relaksasi 2,793 eV. Nilai pergeseran Stokes berdasarkan perbedaan transisi absorpsi dan emisi fikosianin adalah 0,152 eV.

Integrasi antara protein pemanen cahaya dengan permukaan semikonduktor TiO2 memiliki peranan penting dalam meningkatkan performa sebagai material sel surya. Gugus karboksilat (-COOH) dapat menjadikan dye lebih efisien karena

(5)

eksitasi (molekul orbital yang memiliki orbital p anti bonding) menuju tingkat

akseptor semikonduktor (pita konduksi TiO2).

Sampel yang telah dibuat berdasarkan variasi suhu masing-masing dibentuk sel surya. Selanjutnya sel surya dirangkai untuk pengujian karakteristik arus-tegangan (I-V) di bawah sinar matahari langsung sebagai sumber cahaya dengan intensitas ± 120 Watt/m2. Kurva terdiri atas beberapa parameter seperti arus hubungan singkat Isc (short circuit) yaitu arus ketika potensial sama dengan nol, tegangan rangkaian terbuka Voc (open circuit voltage) yaitu tegangan ketika beban luar diberikan sangat besar, Vmax yaitu tegangan yang memberikan nilai daya maksimum, dan Imax yaitu arus yang memberikan nilai daya maksimum. Faktor pengisi atau fill factor (FF) adalah perbandingan antara perkalian arus maksimum

dan tegangan maksimum dengan perkalian Voc dan Isc. Efisiensi merupakan perbandingan antara daya yang dihasilkan sel surya dengan daya cahaya yang mengenai sel surya tersebut.

Kemampuan sel mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik dengan efisiensi tertinggi dihasilkan dari sel dengan kalsinasi 800oC yaitu 1,04%. Pada suhu 400oC, efisiensi yang dihasilkan yaitu 0,06 lebih kecil jika dibandingkan sel pada suhu 600oC sebesar 0,29%. Dari ketiga jenis sel diperoleh nilai tegangan open-circuit (Voc) dan rapat arus (Isc) semakin meningkat seiring

dengan peningkatan suhu kalsinasi TiO2. Semakin tinggi suhu kalsinasi TiO2 maka efisiensi yang dihasilkan makin meningkat.

(6)

SUMMARY

IDAWATI SUPU. Application of phycocyanin from microalgae Spirulina platensis as light harvesting in anatase TiO2 nanoparticle solar cell. Supervised by AKHIRUDDIN MADDU and IRIANI SETYANINGSIH.

The dye sensitized solar cell (DSSC) has been assemblied used hybrid titanium oxide (TiO2) film/phycocyanin. The TiO2 film was synthesizedby sol gel method with titanium chlorida (TiCl4) as precursor by hydrolysis used sulfuric acid (H2SO4). Furthermore, it calcinated for 2,5 hours in variation of annealing temperature (400oC, 600oC, 800oC, dan 1000oC). In XRD patterns exhibited which annealing temperature at 400oC to 800oC were anatase phase all. When annealed at temperature 1000oC, it caused phase transformation from anatase to rutile. The crystals size according to XRD patterns were 13,75 nm, 20,79 nm, 25,25 nm, 48,88 nm and particle size from SEM images were 43,06 nm, 44,91 nm dan 64,99 nm, 80,40 nm, respectively. The crystals and particle size increased with annealing temperature. The film thickness influenced material absorption. The optical measurement of TiO2 film and TiO2/phycocyanin hybrid film used UV-Vis spectrophotometer. Additional phycocyanin caused peak width of absorbed region from ultraviolet to visible region.

The band gap energy of TiO2 can be calculated using the cut off wavelength obtained from the absorbance spectrum of a nanoparticles TiO2 films. Based on intersection between linear and energy (hv) axis. In this study just limited for anatase phase. It was caused anatase band gap is wider than rutile phase. That’s meaningful for solar cell application such as dye sensitized solar cell (DSSC). The absorption coefficient average at difference annealing temperature such as at 400oC, 600oC, 800oC were 8,1600x102, 1,7535x103 and 4,0154x102, where α < 104 include to direct transition. Band gap energy 400oC, 600oC, 800oC were 3,79 eV, 3,59 eV, and 3,35 eV, respectively. Based on this result, exhibition that band gap energy of TiO2 semiconductor film decreased with increasing annealing temperature.

Spirulina platensis was cultivated in technical modification (Hastuti) with

aeration under light intensity about 3000 lux. The cell density (stationer phase) for eighth day which OD value was more than 0,5. It means, the culture can be harvested. In 80 liters Spirulina platensis culture have been produced biomass dry

about 10,46 gram and extracted phycocyanin in dry powders was 5,50 gram. The phycocyanin absorption spectrum at the wavelength of 619,36 nm (visible region) which had relaxation energy was 2,945 eV. The emission peak at the wavelength of 708,55 nm with relaxation energy about 2,793 eV. The Stokes shift based on difference energy absorption and emission calculated about 0,152 eV. Both of this showed phycocyanin can absorbed and radiated the sun light which received. This choice characteristic pigment was a good one related to sensitizer in solar cell application.

(7)

which reacted with TiO2 surface formed ester. The carboxylate group increased of dye electronics couple from excited state (p anti bonding orbital) to

semiconductor acceptor state (TiO2 conduction band).

The samples which made based on annealing temperature variation formed be solar cell respectively. Furthermore, cells be assembled for current-voltage (I-V) measurement under direct sun light with intensity about 120 Watt/m2. The measurement result consists of Isc (short circuit) if voltage was zero, Voc (open circuit voltage) where external load was highest, Vmax when voltage provided maximum power and Imax when current produced maximum power. The fill factor (FF) was ratio between Vmax Imax and Voc Isc. The efficiency be calculated by comparison between power of solar cell result and light power which attracted.

The cell potentiality converted sunlight into electrical energy with highest efficiency resulted for cell at 800oC calcinated temperature was 1,04%. The annealing temperature at 400oC lesser than cell calcinated at 600oC was 0,29%. From the result, Voc and Isc increased with increasing of TiO2 annealing temperature. Moreover, increasing of annealing temperature increased to the efficiency result.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biofisika

PENGGUNAAN FIKOSIANIN DARI MIKROALGA

Spirulina platensis

SEBAGAI

LIGHT HARVESTING

PADA SEL

SURYA

NANOPARTIKEL TiO

2

ANATASE

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(10)
(11)

Judul Tesis : Penggunaan fikosianin dari mikroalga Spirulina platensis sebagai light harvesting pada sel suryananopartikel TiO2 anatase

Nama : Idawati Supu NRP : G751110141

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Akhiruddin Maddu,SSi MSi Ketua

Dr Ir Iriani Setyaningsih, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Biofisika

Dr Agus Kartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 23 Januari 2014

(tanggal pelaksanaan ujian tesis)

Tanggal Lulus:

(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Penggunaan fikosianin dari mikroalga spirulina platensis sebagai light harvesting pada sel suryananopartikel TiO2 anatase”. Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan pada program pascasarjana Mayor S2 Biofisika di Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua, kakak, adik serta seluruh keluarga besar yang selalu memberikan do’a, nasehat dan semangat serta kasih sayang kepada penulis. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Akhiruddin Maddu, SSi MSi dan ibu Dr. Ir. Iriani setyaningsih, MS selaku pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan angkatan 2011 dan 2012 mahasiswa pascasarjana S2 Biofisika IPB, Endang, Wahidin, Farly, Otto, Surianty, Sugianto, Nur Aisyah, Masrur, TB Gamma, Ridwan, Aminullah, Nurlaeli, Kania, dan Agus serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pengambilan dan pengumpulan data.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN Error! Bookmark not defined.

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

2 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL TITANIUM OXIDE (TiO2) MENGGUNAKAN METODE SOL-GEL

Pendahuluan 3

Bahan dan Metode 4

Hasil 7

Pembahasan 7

Simpulan 12

3 POTENSI FIKOSIANIN DARI MIKROALGA Spirulina platensis

SEBAGAI SENSITISER PADA DSSC

Pendahuluan 12

Bahan dan Metode 14

Hasil 17

Pembahasan 17

Simpulan 20

4 FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DSSC TiO2/FIKOSIANIN

Pendahuluan 21

Bahan dan Metode 23

Hasil 26

Pembahasan 26

Simpulan 31

5 PEMBAHASAN UMUM 31

6 SIMPULAN DAN SARAN 32

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 36

(14)

DAFTAR TABEL

1. Beberapa penelitian tentang perubahan ukuran kristal TiO2 akibat pengaruh

suhu kalsinasi 8

2. Nilai performa dari setiap sel 28

3. Nilai efisiensi dari dye organik pada beberapa penelitian DSSC 31

DAFTAR GAMBAR

1. Pengukuran absorbansi dengan spektroskopi UV-Vis 5

2. Diagram alir sintesis nanopartikel TiO2 metode sol gel 6 3. Pola difraksi sinar-X pada TiO2 fase antase (A) dan rutil (R) untuk setiap

kenaikan suhu kalsinasi (A) 400oC, (B) 600oC, (C) 800oC dan (D) 1000oC 7 4. Foto SEM dari film TiO2 (a) dengan perbedaan suhu kalsinasi (fase anatase)

400oC (b), 600oC (c), 800oC (d), dan fase rutil 1000oC (e) 9 5. Spektrum absorpsi film TiO2 anatase pada suhu kalsinasi masing-masing

4000oC, 600oC dan 800oC 10

6. Plot energi (hv) terhadap (αhv)2 film TiO2 pada suhu kalsinasi

masing-masing 400oC, 600oC dan 800oC 11

7. Plot energi foton (hv) terhadap perubahan suhu kalsinasi film TiO2 pada

suhu kalsinasi yang berbeda 11

8. Struktur molekul fikosianin 14

9. Diagram alir kultivasi dan ekstrak fikosianin mikroalga Spirulina platensis 16

10. Sel fikosianin Spirulina platensis 17

11. Pertumbuhan S. platensis pada media MT 17

12. Perbandingan spektrum absorpsi dan emisi fikosianin 19 13. Plot energi (hv) vs absorbansi dan flouresens fikosianin 20

14. Interaksi antara gugus fikosianin dengan permukaan TiO2 22 15. Rangkaian terbuka [Voc] (a), Rangkaian pengukuran arus- tegangan (I -V)

sel surya (b) 24

16. Kurva arus-tegangan (I-V) 25

17. Proses perakitan (assembly) sel surya hibrid TiO2/fikosianin 25 18. Daerah spektrum absorpsi film TiO2 dan film hibrid TiO2/fikosianin 26 19. Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi 400oC 27 20. Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi 600oC 28 21. Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi 800oC 28 22. Plot nilai arus hubungan singkat (Isc) terhadap perubahan suhu kalsinasi

TiO2 29

23. Plot nilai tegangan rangkaian terbuka (Voc) terhadap perubahan suhu

kalsinasi TiO2 30

DAFTAR LAMPIRAN

1. Media modifikasi teknis (MT) untuk pertumbuhan S. platensis 36

(15)

3. Data JCPDS (21-1276) kristal TiO2 fase rutil 38

4. Data hasil XRD TiO2 pada suhu 400oC 39

5. Data hasil XRD TiO2 pada suhu 600oC 40

6. Data hasil XRD TiO2 pada suhu 800oC 41

7. Data hasil XRD TiO2 pada suhu 1000oC 42

8. Karakteristik performa sel pada suhu 400oC 43

9. Karakteristik performa sel pada suhu 600oC 44

10. Karakteristik performa sel pada suhu 800oC 45

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis energi di era teknologi merupakan salah satu tantangan yang sedang dihadapi sehingga perlu upaya untuk mengembangkan berbagai energi alternatif yaitu energi terbarukan. Potensi energi terbarukan di Indonesia sangatlah mendukung namun belum dimanfaatkan secara maksimal misalnya biomassa, panas bumi, energi surya, energi air, energi angin dan energi samudera. Energi surya merupakan salah satu energi yang banyak dikembangkan saat ini, misalnya teknologi sel surya. Sel surya mulai menarik banyak perhatian para peneliti karena diperkirakan dapat menjadi kandidat sumber pembangkit listrik di masa depan terutama untuk daerah-daerah terpencil yang masih sulit dijangkau oleh jaringan listrik. Sel surya juga merupakan sumber energi yang ramah lingkungan karena dalam konversinya tidak menghasilkan polutan sama sekali.

Saat ini, teknologi sel surya yang banyak dikembangkan masih didominasi oleh sel surya berbasis silikon amorf dan kristal namun harga bahan dasar dan biaya produksi yang mahal menjadikan harga jual sel surya di pasaran relatif tinggi (Fahlman dan Salaneck 2002). Pengembangan metode-metode sederhana dalam fabrikasi sel surya banyak dilakukan untuk menekan biaya produksinya. Oleh sebab itu, mulai dikembangkan dye sensitiser solar cell (DSSC) dengan

menggunakan bahan organik. Jika dibandingkan dengan fotovoltaik berbasis Silikon (Si), DSSC memiliki keuntungan yaitu tidak sensitif terhadap cacat dalam semikonduktor seperti cacat di dalam struktur Si, mudah terbentuk dan biayanya lebih efektif untuk produksi serta lebih memungkinkan terjadinya transfer energi langsung dari foton menjadi energi kimia (Wei 2010).

Salah satu semikonduktor yang sering digunakan dalam DSSC adalah titanium oksida (TiO2). Titania relatif murah, banyak dijumpai dan juga tidak beracun (Grätzel 2003). Produk dari DSSC adalah energi listrik namun banyak faktor yang menyebabkan cahaya yang diproses di dalam sel surya mampu dikonversi menjadi energi listrik. Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya nilai efisiensi sel surya jenis DSSC adalah konsentrasi ekstrak dye yang secara

langsung berhubungan dengan besarnya tingkat absorbansinya terhadap panjang gelombang sinar yang terserap.

Sel surya jenis DSSC merupakan sel tersensitisasi dye dan berbeda dari

perangkat semikonduktor konvensional karena dalam proses absorpsi cahaya dan separasi muatan listrik terjadi dalam proses yang terpisah. Absorpsi cahaya dilakukan oleh molekul dye dan separasi muatan oleh semikonduktor anorganik

nanokristal yang memiliki celah pita besar. Dye sensitiser menyerap sinar

matahari dan memanfaatkan energi cahaya untuk menginduksi reaksi transfer elektron. Dye yang digunakan sebagai sensitiser dapat berupa dye sintesis maupun dye alami. Dye sintesis yaitu jenis ruthenium complex yang telah mencapai

efisiensi 10%, namun ketersediaan dan harganya yang mahal sehingga perlu adanya alternatif lain pengganti dye jenis ini yaitu dye alami. Dye alami dapat

(18)

2

jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai fotosensitiser pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Berbagai jenis ekstrak tumbuhan telah digunakan sebagai

fotosensitiser pada sistem sel surya tersensitisasi dye. Zat warna alami tersebut

telah terbukti mampu memberikan efek fotovoltaik walaupun efisiensi yang dihasilkan masih jauh lebih kecil dibandingkan zat warna sintetis.

Ekstrak dye atau pigmen tumbuhan yang digunakan sebagai fotosensitiser

dalam sistem DSSC antara lain berupa ekstrak antosianin (Cherepy et al. 1997;

Dai et al. 2002), klorofil (Mabrouki et al. 2002), karoten (Yamazaki et al. 2006),

buah mulberry hitam (Chang et al. 2010), cryptophyta (Doust et al. 2006), kol

merah (Maddu et al. 2007), phycoerythrin (Kathiravan et al. 2009), bunga

bougainville, lobak cina merah dan buah pear (Calogero et al. 2010) serta Zhou et al. (2011) telah menggunakan 20 warna alami dari tumbuhan untuk aplikasi

DSSC. Selain pigmen dari tanaman darat, pigmen juga dapat diekstraksi dari mikroalga yaitu berupa fikosianin. Hall dan Rao (1992) menyatakan bahwa fikosianin merupakan salah satu dari tiga pigmen (klorofil dan karotenoid) yang mampu menangkap radiasi yang tersedia dari matahari paling efisien dan bermanfaat dalam proses fotosintesis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa fikosianin mampu menyerap cahaya tampak paling banyak, dengan demikian perlu dikaji lebih dalam tentang kemampuan fikosianin sebagai sensitiser dalam DSSC.

Rumusan Masalah

Biaya produksi yang mahal dalam fabrikasi teknologi sel surya menjadikan harga jual di pasaran relatif tinggi sehingga DSSC merupakan salah satu jenis sel surya yang banyak dikembangkan sebagai alternatif dari sel surya konvensional. Sel surya yang menggunakan dye sintetis sangat mahal dalam fabrikasinya

sehingga mendorong para peneliti untuk menggunakan dye alami pemanen

cahaya pada organisme yang cenderung lebih mudah diperoleh.

Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah penggunaan dye fikosianin dari mikroalga Spirulina platensis sebagai light harvesting dalam pembuatan DSSC.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah:

1 Kultivasi Spirulina platensis untuk memperoleh dye fikosianin

2 Sintesis nanopartikel TiO2

(19)

3

2

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL

TITANIUM OXIDE

(TiO

2

) MENGGUNAKAN METODE

SOL-GEL

Pendahuluan

Bahan semikonduktor titanium oxide (TiO2) merupakan material yang banyak digunakan dalam berbagai aplikasi misalnya sel surya (Qin et al.2013),

sensor kimia (Li et al.2013), sel fotoelektrokimia (Koyzyukin et al. 2013),

fotokatalis (Macak et al. 2007), dan perangkat elektronik (Bach et al. 2002). Hal

itu dikarenakan TiO2 memiliki fase kristal yang reaktif terhadap cahaya, eksitasi elektron ke pita konduksi dapat dengan mudah terjadi apabila kristal ini dikenai cahaya dengan energi yang lebih besar daripada celah energinya.

Aplikasi dari semikoduktor TiO2 berupa nanopartikel (Kathiravan dan Renganathan 2009, Meen et al. 2009), nanokristal (Wenbing Li et al. 2011),

nanorods (Song et al. 2005), nanofiber (Onozuka et al. 2006), nanotubes (Cui et al. 2012) dan nanowires ( Kumar et al. 2010 ) sebagai elektroda pada DSSC

mampu menghasilkan efisiensi yang baik. TiO2 memiliki tiga fase kristal yaitu rutil, anatase, dan brookit. Namun yang paling banyak digunakan dalam proses fotoelektrokimia adalah rutil dan anatase, keduanya memiliki struktur kristal tetragonal, dengan parameter kisi a = 4,5λ3 Ǻ dan c = 2,λ5λǺ untuk rutil dengan

energi gap sebesar 3,0 serta anatase memiliki parameter kisi a = 3,785 Ǻ dan c =

λ,513 Ǻ, energi gap sebesar 3,2 eV.

Aplikasi dari nanopartikel TiO2 sebagai elektroda pada DSSC dengan ukuran partikel 8-10 nm dengan fase anatase (suhu 600 0C) menunjukkan performa yang sangat bagus. Salah satu metode pembuatan nano TiO2 yang halus dan berpori dalam bentuk film tipis (ketebalan 4 m) yaitu melalui metode sol gel spin-coating (Meen et al. 2009). Fase anatase lebih efektif digunakan dalam

aplikasi fotokatalisis dan sel surya karena band gap yang lebih lebar jika dibandingkan dengan fase rutil (Mills dan Hunte 1997) .

Ahmadi (2011) melakukan riset tentang beberapa parameter yang mempengaruhi pembentukan nanopartikel TiO2, yaitu pH larutan, suhu kalsinasi, waktu aging, suhu aging, serta perbandingan konsentrasi pereaksi. Parameter

tersebut berkaitan erat dengan sifat material seperti ukuran partikel dan jenis fase yang terbentuk. Pada penelitian ini, pembentukan nanopartikel TiO2 dilakukan dengan metode sol gel dengan perlakuan variasi suhu kalsinasi dan menggunakan

(20)

4

Bahan dan Metode

Bahan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan semikonduktor TiO2 adalah titanium klorida (TiCl4), asam sulfat (H2SO4), amonia (NH3), akuabides, kertas saring (whatman 0,45 µm), perak nitrat (AgNO3) 0,1 M.

Metode

Pembuatan bubuk TiO2 dilakukan menggunakan metode sol-gel melalui tahap hidrolisis TiCl4 dengan menggunakan H2SO4 (Wenbing et al. 2011). Pencampuran diawali dengan bahan TiCl4 (1 ml) sebagai prekursor ditambahkan H2SO4 (2 ml). Kedua bahan dicampur dalam wadah berisi es sambil diaduk dengan stirrer magnetic (350 rpm) selama 30 menit. Selanjutnya dipanaskan pada

suhu sekitar 600C selama 1 jam sampai membentuk larutan bening sambil tetap diaduk. Larutan didiamkan pada temperatur ruang, kemudian larutan ditetesi dengan amonia sampai membentuk gel berwarna putih dengan pH 7 sambil tetap diaduk sampai 12 jam sampai homogen. Larutan disaring dengan kertas saring whatman (0,45 m) sampai bebas klorida. Cairan bening yang keluar dari kertas saring ditetesi dengan larutan AgNO3 0,1 M (sebagai indikator bebas klorida). Jika tidak berwarna keruh (putih) menandakan bebas klorida. Endapan putih pada kertas saring dikeringkan pada suhu ruang sampai kering. Selanjutnya digerus sampai halus dan dipanaskan pada tanur (furnace) selama 2,5 jam dengan suhu berbeda (400oC, 600oC, 800oC, dan 1000oC).

Pelapisan TiO2 dilakukan dengan metode casting. Kaca TCO (tebal: 2 mm) dibersihkan dengan aquadest/etanol di dalam ultrasonic bath, kemudian

dikeringkan. Sebanyak 0,2 gram bubuk TiO2 ditetesi dengan 1 ml asam asetat 3% sambil digerus pada mortar sampai homogen membentuk koloid. Kaca TCO dengan permukaan yang konduktif dilapisi dengan selotip Scotch dengan menyisakan bagian tengah berukuran 1 cm x 1cm. Bagian yang terbuka ditetesi dengan koloid TiO2 dan diratakan menggunakan batang gelas bersih sampai menutupi semua bagian yang terbuka, dibiarkan beberapa menit sampai agak mengering. Lapisan Scoth pada masing-masing tepi kaca TCO dilepas secara perlahan, kemudian dikeringkan pada suhu ≥ 4000C selama dua jam.

Film tipis yang terbentuk dikarakterisasi dengan spektrofotometer UV-Vis (ocean optic spectrophotometer) untuk menentukan sifat optik yaitu nilai

absorbansi. Pengukuran kristalintas menggunakan x-ray diffraction (XRD-GBC EMMA) dan scanning electron microscope (SEM) untuk melihat bentuk

(21)

5

Gambar 1 Pengukuran absorbansi dengan spektroskopi UV-Vis

Penentuan karakteristik sifat optik film TiO2 menggunakan alat spektroskopi OceanOpticTM 4000 untuk rentang frekuensi UV-Vis. Film TiO2 berbentuk transparan sehingga dapat terukur dengan baik. Performa alat karakterisasi sifat optik dapat dilihat pada gambar 1. Pengukuran absorbansi tersebut dirangkai terlebih dulu dengan menghubungkan spektrofotometer UV-Vis

ke komputer yang telah diinstal software SpectraSuite (Ocean Optics).

Selanjutnya, holder kuvet dihubungkan langsung dengan spektrofotometer dan sumber cahaya.

Proses pengukuran ini diawali dengan membuka program SpectraSuite.

Holder sampel berisi kaca TCO sebagai blanko, kemudian lampu sebagai sumber cahaya dinyalakan. Kurva blanko diatur dengan menyesuaikan fiber optic

terhadap cahaya lampu. Setelah itu lampu dimatikan tanpa membuat fiber optic

bergeser, kemudian kuvet blanko diganti dengan film TiO2. Lampu dinyalakan kembali dan dapat dilihat kurva absorbansi yang terbentuk pada komputer. Data yang diperoleh dari karakterisasi ini berupa data nilai aborbansi pada masing-masing panjang gelombang (ultraviolet). Pengukuran dilakukan pada setiap sampel dengan suhu kalsinasi yang berbeda.

Karakterisasi XRD dilakukan pada TiO2 dalam bentuk bubuk (powder) pada sudut 2θ μ 20o sampai 80o. Alat ini menggunakan sinar-X dengan panjang gelombang 0,154059 nm sebagai sumber radiasi. Sampel pada holder diradiasi langsung yang terintegrasi dengan tabung XRD. Alat tersebut terhubung langsung dengan komputer yang dilengkapi dengan software GBC-EMMA. Dari hasil XRD dapat diperoleh intensitas, sistem kristal, ukuran kristal, parameter kisi, jarak antar bidang kristal, jenis fase kristal berdasarkan database (JCPDS) TiO2.

Karakterisasi SEM dilakukan untuk melihat bentuk permukaan film TiO2 dengan pembesaran seragam pada semua sampel (40.000 kali). Selain ukuran partikel, ketebalan masing-masing film juga dapat diperoleh dari hasil SEM. Nilai ketebalan film tersebut digunakan dalam menentukan energi gap berdasarkan data spektroskopi optik yang diperoleh.

Sumber cahaya

Sampel

Alat spektroskopi

(22)

6

Gambar 2 Diagram alir sintesis nanopartikel TiO2 metode sol gel

TiCl4 + H2SO4 (10%)

Pengadukan

(stirring 350 rpm; suhu= 0oC; waktu=30 menit)

Pembentukan larutan sol

(stirring 350 rpm; suhu=60oC; waktu=1 jam

Pembentukan gel

(warna putih, pH 7)

Pengujian bebas klorida

(AgNO3 0,1 M)

Penambahan amonia/NH3H2O

(stirring 350 rpm; suhu ruang)

Pengeringan dengan inkubator

(suhu= 27oC; waktu=12 jam)

Nanokristal TiO2 (bubuk)

Karakterisasi (UV-Vis, SEM) Pencucian (aquabidest)

Penyaringan (Whatman 45 m)

Kalsinasi

(suhu=400oC-1000oC;laju=5oC/menit; waktu=2 jam)

Pelapisan film tipis

(23)

7 Hasil dan Pembahasan

Pola XRD TiO2

Pola XRD pada Gambar 3 menunjukkan fase TiO2 yang muncul pada

pemanasan dari suhu 400oC-800oC hanya anatase, semua puncak muncul dengan jelas. Ketika suhu dinaikkan sampai 1000oC, terjadi transformasi fase dari anatase menjadi rutil. Puncak anatase tertinggi pada sudut 2 = 25,33o yang bersesuain dengan bidang difraksi (101) (JCPDS 21-1272) dan rutil dengan intensitas tertinggi pada sudut 2 = 27,46o yang bersesuain dengan bidang difraksi (110) (JCPDS 21-1276). Pada setiap kenaikan suhu, hanya terdapat satu jenis fase yang muncul disebut fase tunggal (single phase), karena tidak terdapat puncak difraksi

lain (pengotor).

2 (derajat)

20 40 60 80

In te ns ita s ( a.u .) A (10 1) A (10 3) A (00 4) A (11 2) A (20 0) A (10 5) A ( 21 1) A (20 4) A (22 0) R (11 0) R (10 1) R (21 1) A (11 6) A (21 5) R (20 0) R (11 1) R (21 0) R (22 0) R (00 2) R (31 0) R (30 1) R (11 2) R (20 2) A B C D

Ganbar 3 Pola difraksi sinar-X pada TiO2 fase antase (A) dan rutil (R) untuk setiap kenaikan suhu kalsinasi (A) 400oC, (B) 600oC, (C) 800oC dan (D) 1000oC

Ukuran kristal dihitung dengan persamaan Debye–Scherrer:

�= 0,9

� (1)

(24)

8

Ukuran kristal (Tabel 1) pada suhu 800oC lebih besar dibanding dengan ukuran kristal pada suhu 400oC. Ukuran kristal bertambah besar karena proses sintering yaitu peningkatan suhu akibat adanya energi tambahan pada material tersebut berupa energi panas. Energi panas menyebabkan material-material tersebut memiliki energi lebih untuk memperbesar ukuran kristal (penumbuhan kristal) melalui proses difusi antar partikel-partikel TiO2. Suhu kalsinasi yang semakin meningkat akan merubah ikatan interatomik di dalam partikel dan merusak ikatan –OH, sehingga ukuran semakin bertambah besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian tentang pengaruh suhu kalsinasi terhadap ukuran kristal TiO2 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Beberapa penelitian tentang perubahan ukuran kristal TiO2 akibat pengaruh suhu kalsinasi

Suhu

kalsinasi (oC) Ukuran kristal ()

400 13,75

600 20,79

800 25,25

1000 48,88

Penelitian sekarang

Suhu

kalsinasi (oC) 350 400 450 500 525

Gonzales dan Santiago (2007) Ukuran

kristal () 15,6 16,1 16,3 17,9 20

Suhu

kalsinasi (oC) 400 500 600 700 Ahmadi et

al. 2011

Ukuran

kristal (nm) 13,96 17,60 20,68 26,44

Morfologi TiO2

Bentuk permukaan film TiO2pada suhu kalsinasi berbeda yaitu 400oC, 600oC dan 800oC memiliki ketebalan yang berbeda berturut-turut adalah 780,16 nm, 328,57 nm, dan 588,27 nm. Bentuk morfologi permukaan dari film TiO2 dengan pembesaran 40.000 kali dapat diamati pada Gambar 3.

(25)

9

(a) (b)

(c) (d)

(e)

Ganbar 4 Foto SEM dari film TiO2 (a) dengan perbedaan suhu kalsinasi (fase anatase) 400oC (b), 600oC (c), 800oC (d), dan fase rutil 1000oC (e)

Sifat Optik dan Energi Band Gap TiO2

(26)

10

wilayah panjang gelombang lebih panjang atau frekuensi lebih kecil. Ketika TiO2 menyerap energi foton yang lebih besar atau sama dengan energi gap yang dimiliki, maka elektron akan tereksitasi dari pita valensi menuju pita konduksi, kemampuan absorpsi menjadi meningkat untuk panjang gelombang yang sesuai dengan energi celah.

Energi celah dapat ditentukan berdasarkan koefisien absorpsi dalam persamaan Tauc (1972) yaitu:

ℎ�=� ℎ� − (2)

dimana A adalah konstanta optik, α adalah koefisien absorpsi, hv adalah

energi foton, Eg adalah energi celah, dan n adalah nilai transisi yang bergantung

pada jenis transisi (transisi langsung n=1/2 dan transisi tidak langsung n=2). Jika dalam proses transisi, momen elektron kekal (konservatif) maka terjadi transisi langsung, namun jika sebaliknya dalam proses transisi tidak konservatif maka harus disertai dengan energi fonon disebut sebagai transisi tidak langsung (Islam et al. 2012).

Panjang gelombang (nm)

300 400 500 600 700 800 900

A

bs

or

ba

ns

i (

a.u

)

0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5

400oC 600oC 800oC

Gambar 5 Spektrum absorpsi film TiO2 anatase pada suhu kalsinasi masing-masing 400oC, 600oC dan 800oC

Jenis transisi film TiO2 dapat ditentukan berdasarkan nilai koefisien absorpsi. Jika nilai koefisien lebih besar dari 104 termasuk transisi tidak langsung, sebaliknya jika koefisien absorpsi kurang dari 104 merupakan transisi langsung (Tauc 1972). Pada penelitian ini, hasil perhitungan koefisien absorpsi rata-rata dari masing-masing suhu kalsinasi 400oC, 600oC, 800oC berturut-turut adalah 8,160x102, 1,754x103, dan 4,015x102 lebih kecil dari 104 sehingga termasuk transisi langsung. Koefisien absorpsi dapat ditentukan menggunakan persamaan,

=2,303 � (3)

A adalah absorbansi, α adalah koefisiens absorpsi, dan d adalah ketebalan

(27)

11

hv (eV)

1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5

(

hv)

2 (c

m

-1 . e

V

)

2

0 1e+8 2e+8 3e+8 4e+8

4000C

6000C

8000C

Gambar 6 Plot energi (hv) terhadap (αhv)2 film TiO2 pada suhu kalsinasi masing-masing 400oC, 600oC dan 800oC

Gambar 7 Plot energi foton (hv) terhadap perubahan suhu kalsinasi film TiO2 pada suhu kalsinasi yang berbeda

Energi celah (Gambar 6) ditentukan berdasarkan perpotongan kurva bagian linear dengan sumbu energi (hv). Nilai energi celah pada kalsinasi 400oC,

600oC, 800oC masing-masing 3,79 eV, 3,58 eV dan 3,35 eV. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa perubahan suhu kalsinasi menyebabkan perubahan

3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8

300 400 500 600 700 800 900

hv

(e

V)

(28)

12

energi celah semikonduktor TiO2. Hal ini berkaitan erat dengan perubahan ukuran partikel-partikel TiO2.

Berdasarkan hasil plot kurva (Gambar 7) diketahui bahwa nilai energi celah menurun terhadap peningkatan suhu kalsinasi. Gao et al. (2003) dan Ge et al.

(2006) menyatakan bahwa perubahan energi celah disebabkan oleh perubahan ukuran pertikel karena adanya efek ukuran kuantum (quantum size effect). Hal ini

disebabkan oleh perubahan nilai quantum confinement yang menyebabkan

peningkatan energi kinetik pada medan kuantum yang diiluminasi, sehingga energi celah meningkat seiring dengan penurunan ukuran partikel. Peristiwa tersebut dikenal sebagai efek ukuran quantum. Beberapa penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa nilai energi celah TiO2 anatase yaitu 3,78 (Karabay et al. 2012), 3,6 eV (Gonz´alez dan Santiago 2007), 3,67 eV (Li et al. 2000), variasi suhu

kalsinasi 400oC sampai 700oC masing-masing 3,67 eV , 3,40 eV, 3,80 eV, 3,65 eV (Gao et al. 2003), 3,36 eV (Reddy et al. 2002), dan 3,5-3,8 eV (Hasan et al.

2008).

Simpulan

Peningkatan suhu kalsinasi menyebabkan perubahan struktur TiO2, terjadi transformasi fase serta semakin kristal. Ukuran kristal sangat dipengaruhi oleh lebar puncak difraksi yang tertinggi dari setiap fase. Selain itu, peningkatan suhu sangat berpengaruh pada ukuran butir dan keterikatan antar butir TiO2. Semakin tinggi suhu maka ukuran butir semakin meningkat, demikian halnya dengan ukuran makin bertambah besar. Sifat optik TiO2 menunjukkan berada pada daerah UV, dengan koefisien absorpsi yang mengindikasikan terjadinya transisi langsung. Nilai energi gap sangat bergantung pada jenis transisi elektroniknya. Setiap perubahan kenaikan suhu menyebabkan energi gap menjadi semakin berkurang.

3

POTENSI FIKOSIANIN DARI MIKROALGA

Spirulina

platensis

SEBAGAI SENSITISER PADA DSSC

Pendahuluan

Fikosianin dapat dihasilkan dari beberapa jenis mikroalga yang mengandung pigmen biru yaitu kelas mikroalga Cyanophyceae. Fikosianin dan

allofikosianin terdapat di dalam group Cyanobacteria yang mempertahankan

(29)

13 terlibat dalam pemanenan cahaya, energi transduksi dan dapat bertindak sebagai bahan penyimpan nitrogen dan asam amino karena konsentrasi fikosianin tinggi bila ditumbuhkan dalam kondisi nitrogen yang optimal. Protein kompleks yang terdapat dalam Spirulina platensis lebih dapat dijadikan sumber kehidupan bagi

makhluk hidup dan merupakan prekursor bagi klorofil dan hemoglobin karena mengandung magnesium dan besi yang merupakan pigmen biru yang secara struktural mirip dengan karoten, yang telah diketahui mampu meningkatkan aksi sistem kekebalan dan berperan aktif melindungi tubuh dari penyakit tertentu. Pigmen ini mempunyai fungsi sebagai pewarna alami untuk makanan (Yoshida et al. 1996), kosmetik (Cohen 1986), penelitian biomedis (Glazer 1994) dan

obat-obatan khususnya sebagai pengganti pewarna sintetik dan mampu mengurangi obesitas (Bhat dan Madyastha 2001).

Fikosianin adalah pigmen yang paling banyak pada Spirulina (alga hijau

biru) dan jumlahnya lebih dari 20% berat kering alga (Vonshack 1997). Fikosianin mempunyai absorbansi cahaya maksimum pada panjang gelombang 546 nm. Berat bobot molekul fikosianin (C-fikosianin) adalah sebesar 134 kDa, namun ditemukan bobot molekul yang lebih besar (262 kDa) dari ekstrak fikosianin segar pada banyak spesies. Bobot molekul yang lebih besar ini diduga disebabkan oleh keberadaan fragmen fikobilisom (Ó Carra et al. 1976).

Spirulina sp. merupakan organisme multiseluler yang merupakan alga

hijau-biru. Tubuhnya berupa filamen berwarna hijau-biru berbentuk silinder dan tidak bercabang dan mengandung protein dalam jumlah yang cukup tinggi. Kandungan protein Spirulina bervariasi dari 50%, hingga 70% dari berat keringnya. Hasil

analisis asam amino dari Spirulina mexican yang dikeringkan dengan spray dryer

ditemukan 18 asam amino (Oliverira et al. 2009). Spirulina sp. memiliki membran

tilakoid. Pada membran tilakoid terdapat struktur granula berupa fikobilisom yang terdiri dari fikobiliprotein yang berfungsi untuk menyerap cahaya dan diduga dapat melindungi pigmen fotosintesis lainnya dari oksidasi pada cahaya berintensitas tinggi.

Spirulina dapat hidup di perairan tawar (S. fusiformis) maupun di air laut

(S.platensis, S.maxima, dll). Jenis Spirulina tersebut dapat menghasilkan pigmen

klorofil dan fikosianin. Pigmen fikosianin berwarna biru tua yang dapat memancarkan warna merah tua. Biliprotein atau biasa dikenal dengan fikobiliprotein adalah kelompok pigmen yang ditemukan pada Rhodophyta (alga

merah), Cyanophyta (alga hijau-biru) dan Cryptophyta (alga crytomonad). Pigmen

ini berfungsi sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis. Fikosianin termasuk golongan biliprotein. Kelompok pigmen ini diantaranya adalah R -phycoerythrin, C-phycoerythrin, B-phycoerythrin, allofikosianin, R-phycocyanin

dan C-phycocyanin. Bentuk lain dari fikosianin adalah allofikosianin, yang

(30)

14

Gambar 8 Struktur molekul fikosianin (Kathiravan dan Renganathan 2009) Keberadaan gugus kromofor dan kemampuan fikosianin dalam menangkap cahaya matahari yang tinggi serta gugus karboksil fikosianin (-COOH) yang berperan penting untuk berikatan dengan permukaan semikonduktor tertentu (misalnya TiO2). Kedua faktor ini mendorong penelitain lebih lanjut untuk menjadikan fikosianin sebagai salah satu komponen dye sensitiser dalam pembuatan DSSC.

Bahan dan Metode

Bahan

Bahan yang digunakan untuk proses kultivasi dan pemanenan alga Spirulina platensis adalah air laut, NaOCl (klorin), Na2C2O3 (Natrium thiosulfat), media Zarrouk teknis modifikasi (MgSO4, CaCl2, FeCl3, EDTA/ Ethylenediaminetetra

acetic, Urea, ZA, NaHPO4, Vitamin B12), larutan bufer sodium fosfat 10 mM pH7 (Na2HPO4 dan NaH2POH2O), aluminium foil, inokulum kultur Spirulina

platensis, etanol, aquades.

Metode

Proses kultivasi diawali dengan persiapan air meliputi penyaringan air laut menggunakan filter (50µm), penurunan salinitas air laut menjadi 15 ppt menggunakan water quality measurement (WQM) sambil ditambahkan air tawar

untuk memperoleh salinitas yang diinginkan. Air laut yang telah diturunkan salinitasnya diaerasi 24 jam setelah ditambahkan NaOCl 60 ppm. Kemudian NaOCl dinetralkan kembali dengan menambahkan Na2C2O3 20 ppm sambil tetap diaerasi selama 24 jam.

Kultivasi Spirulina platensis dilakukan di dalam ruangan (di Laboratorium

Bioteknologi Hasil Perairan II), menggunakan pupuk yang terdiri dari MgSO4, CaCl2, FeCl3, EDTA, Urea, ZA, NaHPO4,Vitamin B12. Kultivasi dilakukan pada suhu ruang. Selama kultivasi dilakukan pengukuran rapat optis (optical density

(31)

15 Pemanenan Spirulina platensis. dilakukan saat kepadatan sel sudah cukup

tinggi (rapat optis kultur >0,5). Pemanenan dilakukan dengan cara menyaring

biomasa menggunakan kain nylon mesh dengan kerapatan 20 m. Pengeringan

biomasa S. platensis. dilakukan pada suhu ruang (25-300C).

Fikosianin diekstraksi (metode Lorenz) dari biomassa Spirulina sp.

menggunakan larutan buffer fosfat 10 mM pH 7. Prosedur ekstraksi dilakukan dengan cara menambahkan larutan buffer fosfat ke dalam biomassa kering S. platensis. yang akan diekstraksi. Campuran biomassa dan buffer fosfat dengan

perbandingan 0.04 gr/1 ml (Lorenz 1998) dikocok menggunakan vorteks agar homogen. Sampel disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 10oC selama 24 jam. Selanjutnya disentrifugasi untuk memisahkan fikosianin dari biomasa

Spirulina sp dengan kecepatan minimum 12.000 rpm selama 15 menit pada suhu

10oC. Kemudian memisahkan supernatan (bagian atas) cairan fikosianin berwarna biru dan natan (bagian bawah) berupa padatan. Fikosianin dikeringkan dengan cara freeze drying sampai pada suhu -50oC selama ± 104 jam, bentuk akhir berupa

serbuk kering siap digunakan sebagai dye dalam perakitan sel surya.

Fikosianin hasil ekstraksi dengan massa 0,2 gram diencerkan dalam buffer posfat 2 ml sebanyak 3 kali pengenceran. Selanjutnya sampel tersebut diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 615 nm dan 620 nm, nilai optical density (OD) yang diperoleh pada masing-masing panjang gelombang

untuk mengetahui konsentrasi fikosianin (PC) dengan menggunakan persamaan Bennet dan Bogorad (1973), yaitu:

=( 615)−0,474 620

5,34 (4)

PC adalah konsentrasi fikosianin (mg/ml), OD615 adalah nilai absorbansi pada panjang gelombang 615 nm, dan OD620 adalah nilai absorbansi pada panjang gelombang 620 nm. Selanjutnya mengukur absorbansi dan emisi fikosianin menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Diagram alir proses kultivasi dan ekstrak fikosianin disajikan pada Gambar 9.

Pengukuran fluoresensi menggunakan spektrofotometer (Ocean Optics USB 4000), dirangkai terlebih dulu dengan menghubungkan spektrofotometer ke

komputer yang telah diinstal program SpectraSuite. Setelah itu tempat kuvet

(32)
[image:32.595.88.371.106.778.2]

16

Gambar 9 Diagram alir kultivasi dan ekstrak fikosianin mikroalga S. platensis

Inokulum Spirulina

Kultivasi

Pemanenan dan penyaringan

Biomassa basah

Pengeringan

(suhu oven=300C; waktu=48 jam)

Penambahan buffer fosfat (10 mM,0.04 gr/1ml)

Ekstraksi dengan sentrifuse (12.000 rpm; waktu=15 menit)

Penggerusan

Pengadukan dengan vortex (waktu=20 menit)

Pengeringan dengan freeze dryer

(suhu= -500C; waktu =104 jam)

Fikosianin (kering)

(33)

17 Hasil dan Pembahasan

Rendemen Fikosianin S. platensis

Kultivasi dilakukan dengan media MT (media teknis modifikasi Hastuti) dengan pemberian aerasi serta intensitas cahaya 3000 lux. Salinitas air laut yang digunakan sebesar 15 ppt. Kandungan garam yang terlalu tinggi dapat menyebabkan inokulum tidak mampu untuk bertahan hidup. Pertumbuhan kultur ditandai dengan perubahan nilai optical density (OD) yang meningkat dan

[image:33.595.232.424.279.451.2]

mengindikasikan jumlah sel yang semakin padat. Kandungan nutrien dari media MT yang digunakan berupa nitrogen (berasal dari urea) merupakan salah satu faktor yang memicu pertumbuhan sel.

Gambar 10 Sel fikosianin Spirulina platensis

Waktu (Hari)

0 2 4 6 8 10 12

OD

670 nm

(a

.u

)

0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 1,2

[image:33.595.203.454.503.697.2]
(34)

18

Bentuk sel berupa benang yang memanjang, filamen berwarna hijau-biru berbentuk silinder dan tidak bercabang (Gambar 10). Pengamatan kepadatan sel dilakukan setiap 24 jam pada jam yang sama dengan menggunakan spektrofotometer. Kepadatan sel optimum ( fase stasioner) pada hari ke-8 dengan nilai OD > 0,5. Pada keadaan tersebut, kultur dapat dipanen dengan menggunakan

nylon mesh.

Pemisahan pigmen fikosianin dari biomassa tersebut dilakukan melalui proses yang disebut ekstraksi. Achmadi (1992) menyatakan bahwa proses ekstraksi bertujuan untuk memperoleh ekstrak murni atau ekstrak yang hanya terdiri dari satu komponen tunggal. Ekstraksi dapat dilakukan dengan menggunakan aquades dan bufer posfat. Pada penelitian ini digunakan bufer posfat 10 mM dengan pH 7 dengan cara organic phase. Hal ini bertujuan untuk

menentukan konsentrasi fikosianin (PC) dan kemurnian fikosianin (Silveira et al.

2007). Inokulum S.platensis yang dikultur dari 80 liter dihasilkan berat kering

biomassa 10,46 gram dan bobot fikosianin dalam bentuk bubuk kering 5,50 gram. Berdasarkan jumlah bobot kering yang dihasilkan menunjukkan bahwa metode MT cukup optimum untuk menghasilkan fikosianin. Bahan yang digunakan cenderung lebih murah (bahan teknis) serta kultivasi dapat dilakukan di dalam ruangan.

Sifat Optik Fikosianin

Fikosianin adalah penyimpan cadangan nitrogen dan asam amino serta merupakan pigmen fotosintetik utama pada Spirulina. Fikosianin merupakan

protein yang bersifat larut air yang dapat dibebaskan secara sederhana yaitu oleh penghancuran mekanis, seperti perlakuan pembekuan kemudian dicairkan ( freeze-thaw). Fikosianin banyak digunakan sebagai pewarna alami untuk bahan pangan.

Keberadaan pigmen fikosianin ini mampu menyerap cahaya yang datang.

Pigmen fikosianin merupakan kelompok pigmen fikobiliprotein yang dipisahkan menjadi dua kelompok utama berdasarkan warnanya. Kelompok pertama adalah fikoeritrin, yaitu pigmen berwarna merah bila terkena cahaya dan memancarkan cahaya pendar berwarna kuning-oranye. Kelompok kedua adalah fikosianin, yaitu pigmen berwarna biru dan memancarkan cahaya pendar merah kuat. Pigmen ini di Spirulina berfungsi sebagai pigmen asesoris yang membantu

klorofil sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis (Ó Carra & Ó hEocha 1976).

(35)

19

Panjang gelombang (nm)

400 500 600 700 800 900

[image:35.595.120.498.63.373.2]

A bs or ba ns i ( a.u ) 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 E m is i ( a.u ) -5000 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 Absorbsi Emisi 619,36 708,55

Gambar 12 Perbandingan spektrum absorpsi dan emisi fikosianin Ketika fikosianin diiluminasi cahaya maka akan menyerap foton sehingga terjadi eksitasi elektron ke level LUMO. Elektron kembali ke keadaan dasar sambil mengemisikan cahaya (fluoresensi). Gambar 12 memperlihatkan serapan dan emisi sampel larutan pigmen fikosianin yang diukur dari panjang gelombang 400 nm hingga 700 nm. Pada gambar tampak jelas bahwa karakteristik puncak serapan berada pada wilayah spektrum cahaya tampak (visible). Spektrum serapan

(absorpsi) dan emisi (fluoresens) ekstrak fikosianin ditunjukkan pada Gambar 12.

Soret band fikosianin berada pada panjang gelombang 619,36 nm dan Q band

maksimum pada panjang gelombang 708,55 nm. Soret band merupakan keadaan fikosianin yang mampu menyerap foton dan bergeser pada panjang gelombang yang lebih pendek atau energi yang lebih besar. Q band adalah keadaan maksimum ketika fikosianin bergeser pada panjang gelombang yang lebih besar atau energi yang lebih kecil. Hal ini disebabkan adanya perbedaan keadaan elektronik fikosianin ketika diiluminasi cahaya.

Gambar 13 memperlihatkan perbedaan energi relaksasi antara keadaan absorpsi dan emisi fikosianin. Nilai pergeseran Stokes berdasarkan perbedaan transisi absorpsi dan emisi fikosianin adalah 0,152 eV. Keadaan absorpsi dengan energi relaksasi 2,945 eV dan spektrum emisi tertinggi yang bersesuaian dengan energi relaksasi 2,793 eV. Pergeseran Stokes ini terjadi karena struktur relaksasi fikosianin pada keadaan dasar (ground state) berbeda jika dibandingkan dengan

struktur relaksasi pada keadaan tereksitasi. Nilai pergeseran panjang gelombang tersebut menunjukkan bahwa fikosianin mampu memanen cahaya tampak yang paling banyak dipancarkan oleh sinar matahari. Berbeda dengan dyesintetis yang

(36)

20

Energi (eV)

2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0

[image:36.595.105.487.101.381.2]

In te ns ita s F lu or es en s ( a.u ) -5000 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 A bs or ba ns i ( a.u ) 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0 Emisi Absorbsi 2,793 2,945

Gambar 13 Plot energi (hv) vs absorbansi dan flouresens fikosianin

Transisi elektronik merupakan penyebab terjadinya transisi absorpsi tersebut. Lebar spektrum ditentukan transisi elektron dari satu keadaan energi ke keadaan yang lain, serta meliputi beberapa keadaan vibrasi. Peristiwa ini terjadi karena perbedaan energi antara dua keadaan yang berdekatan karena keadaan vibrasi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan keadaan elektroniknya. Kedua karakteristik ini menunjukkan bahwa fikosianin mampu menyerap cahaya yang datang serta memancarkan kembali cahaya yang diterima. Hal ini merupakan salah satu karakteristik pigmen yang cocok digunakan sebagai sensitiser dalam sel surya.

Simpulan

(37)

21

4

FABRIKASI DAN KARAKTERISASI DSSC

TiO

2

/FIKOSIANIN

Pendahuluan

Integrasi antara protein pemanen cahaya dan molekul fotosintesis lainnya dengan permukaan semikonduktor memiliki peranan penting dalam meningkatkan performa sebagai material sel surya. Prinsip DSSC didasarkan pada fotosensitisasi yang diproduksi oleh pewarna pada celah pita lebar semikonduktor logam oksida mesopori, sensitisasi ini disebabkan adanya penyerapan zat warna dari bagian spektrum cahaya tampak (Martínez et al. 2012). Fikosianin mempunyai absorpsi

cahaya maksimum pada panjang gelombang 546 nm, merupakan salah satu protein yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan tersebut karena fikosianin termasuk ke dalam kelompok fikobilisom yang bersifat sebagai pemanen cahaya. Dengan struktur partikel yang nano maka permukaan dari TiO2 yang dilapiskan menjadi lebih luas sehingga memperbanyak dye yang terserap dan elektron yang

tereksitasi. Semakin banyak dye yang terserap dan elektron yang tereksitasi maka

akan mengakibatkan meningkatnya efisiensi.

Penggunaan pigmen alami seperti klorofil dan porfirin (Wang dan Kitao 2012) dan antosianin (Cherepy et al. 1997; Dai dan Rabani 2002) sebagai

sensitiser pada DSSC telah dilakukan. Selain itu pada tahun sebelumnya telah dilakukan penelitian tentang fenomena transport muatan pada beberapa pikobiliprotein yaitu fikosianin dan pikoeritrin melalui analisis efek fotovoltaik arus photo dan arus-tegangan pada kondisi gelap pada lapisan Au-pikobiliprotein-Au, karena pikobiliprotein merupakan antenna protein-pigmen yang berperan dalam pemanenan cahaya (Beladekere et al. 1993). Beberapa kriteria fikosianin

sehingga cocok digunakan sebagai dye dalam DSSC karena absorpsi yang

signifikan pada cahaya tampak dan memiliki gugus karboksilat (-COOH) sebagai grup pengikat antara dye dan permukaan TiO2. Fikosianin mengandung beberapa bilin kromofor dan koefisien absorbansi tinggi di wilayah visible ( = 615 nm), fluoresensi quantum yield tinggi (Φ= 0,8) tidak bergantung pada pH, memiliki

absorpsi kuat di sekitar 615 nm dan emisi yang kuat pada 642 nm, memiliki

fluoresens life time (nano detik) dibandingkan dye yang banyak digunakan seperti

pewarna berbasis N3 atau N719 Ru.

Fikosianin sangat larut dalam air dan stabil dalam larutan bersuhu rendah juga sebagai fase padat, sehingga dapat disimpan untuk waktu yang lama (Benko

et al. 2002; Hara et al. 2005; Katoh et al. 2007). Gugus karboksilat dapat

menjadikan dye lebih efisien karena melekat pada permukaan ampoter oksida

TiO2 dapat bereaksi dengan permukaan oksida dengan membentuk ester dan dapat menaikkan pasangan elektronik dye dari tingkat eksitasi (molekul orbital yang

memiliki orbital p anti bonding) menuju tingkat akseptor semikonduktor (pita

konduksi TiO2) (Kalyanasundaram et al. 1998).

(38)

22

oleh perbedaan energi antara pita konduksi pada TiO2 dan potensial oksidasi pada keadaan eksitasi fikosianin. Sesuai dengan persamaan: /

+ = �/�+ − � (5)

Potensial oksidasi pada keadaan eksitasi fikosianin adalah -1,41 vs SCE (saturated calomel electrode), dimana /+adalah potensial oksidasi fikosianin

[image:38.595.73.474.75.567.2]

0,53 V vs SCE, merupakan keadaan energi tereksitasi 1,94 eV keadaan energi eksitasi dari fikosianin yang ditentukan dari fluoresens maksimum bedasarkan metode yang dilaporkan (Shin et al. 2002). Level energi dari pita konduksi TiO2 adalah -0,52 V vs SCE (Ramakrishna et al. 2001).

Gambar 14 Interaksi antara gugus fikosianin dengan permukaan TiO2 (Kathiravan dan Renganathan 2009)

Peningkatan arus foto berkaitan erat dengan penyerapan cahaya yang disempurnakan dari film semikonduktor setelah terintegrasi dengan protein, seperti terlihat melalui karakterisasi spektrum UV-Vis dan spektrum arus-foto. Perakitan menunjukkan stabilitas jangka panjang sehingga merupakan foto anoda hibrida menjanjikan untuk aplikasi fotoelektrokimia (Bora et al. 2012). Hal ini

menunjukkan bahwa transfer elektron dari keadaan tereksitasi fikosianin ke pita konduksi TiO2 merupakan transfer energi yang sangat baik.

Prinsip sel surya sambungan p-n, ketika semikonduktor tipe-p dan tipe-n

disambungkan maka akan terjadi difusi hole dari tipe-p menuju tipe-n. Difusi

tersebut akan meninggalkan daerah yang lebih positif pada batas tipe-n dan daerah

lebih negatif pada batas tipe-p. Batas tempat terjadinya perbedaan muatan pada

sambungan p-n disebut dengan daerah deplesi. Adanya perbedaan muatan pada

daerah deplesi akan mengakibatkan munculnya medan listrik yang mampu menghentikan laju difusi selanjutnya. Medan listrik tersebut mengakibatkan munculnya arus drift (Wei et al. 2007).

Sel surya p-n ketika tidak disinari mirip dengan karakteristik hubungan arus

(39)

23

�= �0 � −

� −1 (6)

Arus yang mengalir pada persambungan p-n ketika disinari cahaya adalah: �=� +�0 � −

� −1 (7)

Pada rangkaian terbuka (open circuit), I=0 maka:

� = � � ℎ

�0

(8)

q adalah elemen muatan, k adalah konstanta Boltzman, T adalah temperatur mutlak, I0 adalah intensitas awal dan I adalah arus jenuh (saturasi) persambungan. Elektron adalah partikel bermuatan yang mampu dipengaruhi oleh medan listrik. Kehadiran medan listrik pada elektron dapat mengakibatkan elektron bergerak. Hal inilah yang dilakukan pada sel surya sambungan p-n, yaitu dengan

menghasilkan medan listrik pada sambungan p-n agar elektron dapat mengalir

akibat kehadiran medan listrik tersebut. Ketika sambungan semikonduktor ini terkena cahaya matahari, maka elektron mendapat energi dari cahaya matahari untuk melepaskan dirinya dari semikonduktor n, daerah deplesi maupun

semikonduktor. Terlepasnya elektron ini meninggalkan hole pada daerah yang ditinggalkan oleh elektron yang disebut dengan fotogenerasi elektron-hole (electron-hole photogeneration) yakni, terbentuknya pasangan elektron dan hole

akibat cahaya matahari (Kayes 2009).

Bahan dan Metode

Bahan

Bahan yang digunakan dalam pembuatan sel surya tersensitisasi dye

fikosianin adalah TCO, bubuk fikosianin, bubuk TiO2, etanol, asam asetat 3%, elektrolit polimer PEG/kitosan, karbon konduktif.

Metode

Proses pembuatan sel surya diawali dengan membersihkan kaca preparat (TCO) dengan aquadest/etanol di dalam ultrasonic bath, kemudian dikeringkan.

(40)

24

Kaca TCO yang lain (sebagai counter electrode) setengah sisi konduktif

dilapisi karbon dengan menggosokkan ujung pensil karbon (Monolith HB) secara merata. Permukaan film TiO2/fikosianin ditetesi dengan larutan elektrolit polimer PEG/kitosan (perbandingan konsentrasi garam alkali iodida 0,5 M dan I2 0,05 M).

Perakitan sel surya dilakukan dengan menempelkan kedua kaca (bagian yang dilapisi TiO2/fikosianin dengan counter electrode) secara berhadapan sambil dijepit pada sisi

kiri dan kanan.

Sel surya dirangkai untuk pengujian karakteristik arus-tegangan (I-V) (Gambar 13). Pengukuran nilai arus dan tegangan dilakukan dengan menggunakan amperemeter digital dalam orde mikroampere serta voltmeter digital dalam orde milivolt. Nilai keluaran I-V sel diukur menggunakan sinar matahari langsung dengan intensitas ± 120 Watt/m2.

Karakteristik I-V menjelaskan bagaimana DSSC tersebut mampu bekerja di bawah cahaya langsung. Hal tersebut dapat terlihat pada kurva yang terdiri atas beberapa parameter seperti arus hubungan singkat Isc (short circuit) yaitu arus ketika potensial sama dengan nol, tegangan rangkaian terbuka Voc (open circuit

voltage) yaitu tegangan ketika beban luar diberikan sangat besar, Vmax yaitu tegangan yang memberikan nilai daya maksimum, dan Imax yaitu arus yang memberikan nilai daya maksimum.

�� = � ��� �� = � �� (9)

Faktor pengisi atau fill factor (FF) adalah perbandingan antara perkalian arus

maksimum dan tegangan maksimum dengan perkalian Voc danIsc.

=� ��� ��

�� � (10)

Efisiensi merupakan perbandingan antara daya yang dihasilkan sel surya dengan daya sinar/cahaya yang mengenai sel surya tersebut. Adapun hubungan dari parameter tersebut adalah:

= ��

� � 100% (11)

Pmax adalah daya maksimum yang dihasilkan sel surya dan Pin adalah daya sumber cahaya yang digunakan (Maddu et al. 2007). Rangkaian komponen untuk

mengukur keluaran sel surya disajikan pada gambar 15. Diagram alir perakitan sel surya dapat disajikan pada Gambar 17.

(a) (b)

[image:40.595.80.478.557.816.2]
(41)
[image:41.595.207.417.85.224.2]

25

[image:41.595.111.417.87.735.2]

Gambar 16 Kurva arus-tegangan (I-V)

Gambar 17 Proses perakitan (assembly) sel surya hibrid TiO2/fikosianin

TiO2 + Fikosianin (bubuk)

(1:1)

Penambahan larutaan (etanol 96%, asam asetat 3%)

Homogenisasi (Penggerusan dengan mortar )

Pelapisan pada kaca TCO (1cm x 1cm; tebal 2 mm)

Penambahan elektroda lawan (TCO dilapisi karbon)

Pengeringan (suhu ruang; 6-12 jam)

Sel surya (DSSC) Penambahan elektrolit

(PEG/kitosan/KI/I2)

Penambahan elektrolit

(PEG-kitosan/KI/I2)

(42)

26

Hasil dan Pembahasan

Sifat Optik Hybrid TiO2/Fikosianin

Pigmen fikosianin merupakan kelompok pigmen fikobiliprotein yang diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama berdasarkan warnanya. Kelompok pertama adalah fikoeritrin, yaitu pigmen berwarna merah bila terkena cahaya dan memancarkan cahaya pendar berwarna kuning-orange. Kelompok kedua adalah fikosianin, yaitu pigmen berwarna biru dan memancarkan cahaya pendar merah kuat. Pigmen ini di Spirulina berfungsi sebagai pigmen asesoris yang membantu

klorofil sebagai penyerap cahaya pada sistem fotosintesis (Ó Carra dan Ó hEocha 1976).

Panjang Gelombang (nm)

300 400 500 600 700 800 900

A bs or ba ns i ( a.u ) 0,22 0,24 0,26 0,28 0,30 0,32 0,34 0,36 A bs or ba ns

i (

a.u ) 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5

[image:42.595.73.465.110.642.2]

TiO2/Fikosianin TiO2

Gambar 18 Daerah spektrum absorpsi film TiO2 dan film hibrid TiO2/fikosianin

Karakteristik penting dari bahan dye yang digunakan untuk DSSC yaitu mampu

[image:42.595.102.452.266.477.2]

menyerap spektrum cahaya yang lebar dan cocok dengan pita energi TiO2. Daerah spektrum serapan film TiO2 dan film hibrid TiO2/fikosianin disajikan pada Gambar 18. Gambar tersebut mengindikasikan bahwa gugus karboksil (-COOH) pada gugus molekul fikosianin mampu berikatan dengan permukaan TiO2 ditandai dengan perbedaan daerah serapan antara kedua sampel. Serapan film TiO2 (sebelum ditambahkan fikosianin)sekitar 300 nm sedangkan serapan film hibrid TiO2/fikosianin melebar dari 300 nm sampai 700 nm atau hampir meliputi seluruh spektrum tampak. Hal ini menunjukkan bahwa pelebaran spektrum serapan film hibrid TiO2/fikosianin sangat dipengaruhi oleh fikosianin.

Fikosianin berperan sebagai sensitiser, karena keberadaan fikosianin pada film tersebut mampu berikatan dengan TiO2 serta diharapkan menyerap lebih banyak jenis cahaya tampak dari matahari yang datang ketika diiluminasi.

Semakin banyak cahaya yang terserap sehingga semakin banyak pula elektron yang di transfer dari level LUMO ke pita konduksi TiO2. Hal ini menyebabkan kuantitas

(43)

27

menyatakan bahwa efisiensi yang dihasilkan dye alami masih lebih rendah jika

dibandingkan dengan dye sintetis N3 (ruthenium). Hal ini disebabkan karena

ketidakmampuan dalam menyerap panjang gelombang infra red (IR) atau near infra red (NIR)

Karakteristik Sel Surya

Karakteristik arus–tegangan (I-V) dari masing-masing sel yang dibuat berdasarkan variasi suhu kalsinasi TiO2 menunjukkan bahwa ketiga sampel tersebut telah merespon cahaya ketika diiluminasi. Performa sel surya ditentukan dari parameter-parameter sel surya yang diperoleh melalui karakterisasi arus– tegangan. Tabel 2 menunjukkan karakteristik I-V ketika sel diiluminasi di bawah sinar matahari langsung dengan intensitas 120 Watt/m2 pada masing-masing sel, dengan suhu kalsinasi TiO2 pada 400oC, 600oC dan 800oC.

Penyinaran dengan cahaya pada masing-masing sel dapat meningkatkan arus maju. Pada keadaan tersebut, fikosianin sebagai donor elektron mampu membangkitkan lebih banyak eksiton. Eksiton tersebut akan terpisah menjadi elektron dan hole karena adanya medan listrik yang muncul pada persambungan TiO2 dan fikosianin. Akibatnya, pasangan muatan elektron-hole tersebut bergerak menuju elektroda. Hole menuju anoda sedangkan elektron menuju katoda. Perbedaan jumlah muatan antara kedua elektroda tersebut menimbulkan beda potensial. Tegangan ketika rangkaian terbuka disebut open circuit voltage (Voc). Selanjutnya, arus listrik mengalir dari anoda menuju katoda akibat pemberian beban pada sel, arus ini disebut short circuit current (Isc).

Tegangan (mV)

10 20 30 40 50

R ap at A ru s ( m A /c m 2) ( x 1 0 -3) 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30

Gambar 19 Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi 400oC

Kualitas sel surya dapat dilihat berdasarkan hasil perhitungan fill factor (FF).

(44)

28

Tegangan (mV)

20 40 60 80 100 120 140 160

R ap at A ru s ( m A /c m 2) ( x 1 0 -3) 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7

Gambar 20 Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi 600oC.

Nilai FF sel pada Gambar 20 bentuk kurva yang dihasilkan kurang ideal jika dibandingkan dengan sel pada Gambar 19. Kemampuan sel dalam mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik dapat dilihat dari besarnya efisiensi yang dihasilkan yaitu 0,29%, lebih besar jika dibandingkan sel pada perlakuan kalsinasi 400oC sebesar 0,06%. Hal ini mengindikasikan bahwa performa sel dipengaruhi oleh perubahan suhu kalsinasi.

Tegangan (mV)

50 100 150 200 250 300 350

Ra pa t A ru s ( mA /cm 2 ) ( x 1 0 -3 ) 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0

Gambar 21 Karakteristik I-V pada sel yang menggunakan bubuk TiO2 kalsinasi 800oC

Pada Gambar 21, nilai FF yang dihasilkan 0,64 paling tinggi dari dua sel lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas sel surya pada suhu kalsinasi 800oC lebih ideal. Efisiensi yang dihasilkan 1,04% paling tinggi dari dua sel lainnya. Proses transfer elektron dalam rangkain lebih optimum, sehingga keluaran yang dihasilkan juga lebih tinggi.

Tabel 2 Nilai performa dari setiap sel Suhu kalsinasi

(oC)

Isc (mA) Voc (mV) Pmaks (mW) Fill factor (FF) Efisiensi (%) 400oC

600oC 800oC

2,6 x 10-4 6,8 x 10-4 8,9 x 10-4

[image:44.595.77.451.64.822.2]
(45)

29 Kemampuan sel mengkonversi energi matahari menjadi energi listrik pada efisiensi tertinggi (Tabel 2) pada sel dengan kalsinasi 800oC yaitu 1,04%. Semakin tinggi suhu kalsinasi TiO2 maka efisiensi yang dihasilkan makin meningkat. Nilai efisiensi yang dihasilkan belum optimum. Hal ini diduga karena banyak faktor, misalnya jarak antara level LUMO (Lowest Unoccupied Molecular Orbital) dan level pita konduksi TiO2 merupakan faktor penting dalam menentukan rapat arus (Jsc). Energi celah yang semakin besar menandakan bahwa

jarak antara pita konduksi dan level LUMO juga semakin besar. Leve

Gambar

Gambar 9 Diagram alir kultivasi dan ekstrak fikosianin mikroalga S. platensis
Gambar 11   Pertumbuhan  S.platensis pada media MT
Gambar 12  Perbandingan spektrum absorpsi dan emisi fikosianin
Gambar 13  Plot energi ( hv) vs absorbansi dan flouresens fikosianin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dampak Psikologis Isteri Akibat Poligini Secara Sirri (Studi di Desa Tapaan Kecamatan Bugul Kidul Kota Pasuruan), Skripsi, Fakultas Syariah, Jurusan Al-Ahwal

1) Untuk menjawab pertanyaan Nomor 1 Anda harus membaca kembali beberapa pendapat ahli tentang definisi/konsep pragmatik. Dari sekian banyak pendapat yang Anda

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Keputusan Menteri Perhubungan tentang Persetujuan

Tingginya tingkat aktifitas manusia merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi kondisi sungai yang meliputi kualitas air sungai dan ekosistem yang ada di

Pada sistem CBE terdiri dari beberapa elemen yang terdiri dari lembar alur, dokumentasi berdasarkan referensi standar praktik, protokol, dan instruksi indiden, data dasar

Kasi Tata Pemerintahan Kelurahan Sumampir, Kecamatan Purwokerto Utara, Eselon IV.B Kasubag Tata Usaha UPK Purwojati Dinas Pendidikan, Eselon IV.B. Kasubag Tata Usaha UPK

Hasil observasi penulis menunjukkan bahwa informan pejabat yang didemosi dalam hal ini pada saat ditemui, ditemukan tidak masuk jam kantor, tidak hanya satu (1) kali saja

Hasil penelitian didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi dengan kemampuan interaksi sosial pasien harga