• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pandangan Emile Durkheim terhadap Kepercayaan Tradisional - Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kabupaten Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pandangan Emile Durkheim terhadap Kepercayaan Tradisional - Keberadaan Pemeluk dan Penerapan Nilai-nilai Aliran Kepercayaan Pemena di Desa Pergendangen Kabupaten Karo"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pandangan Emile Durkheim terhadap Kepercayaan Tradisional

Agama muncul karena manusia hidup di dalam masyarakat dan dengan

demikian mengembangkan kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu sebagai akibat

dari kehidupan kolektif mereka. Agama ada karena agama dapat memenuhi

fungsi-fungsi sosial tertentu yang penting dan tidak dapat dipenuhi tanpa agama.

Peranan utama agama adalah sebagai integrator kemasyarakatan. Agama mengikat

orang-orang menjadi satu dengan mempersatukan mereka dengan sekitar

seperangkat kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dengan demikian agama

membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu komunitas moral.

(Sanderson, 2011:553).

Agama menurut Durkheim (dalam Kamanto, 2004:67) adalah suatu sistem

terpadu yang terdiri atas kepercayaan-kepercayaan dan praktik yang berhubungan

dengan hal yang suci, dan bahwa kepercayaan dan praktik tersebut

mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas moral yang

dinamakan umat. Semua benda yang ada di dunia ini baik benda yang nyata

maupun yang berwujud ideal memiliki pembagian, dan hal ini dibagi menjadi dua

kelompok yang bertentangan, yaitu hal yang bersifat profan dan hal yang bersifat

suci (sacred).

Analisis Durkheim dalam ritual-ritual keagamaan totemik arunta

(2)

Australia yang telah ada banyak pengetahuan etnografis mengenai masyarakat itu.

Bahwa bagi kalangan orang-orang Arunta, ritual dan seremoni adalah bagian yang

sangat penting daripada kehidupan sosial. Fakta bahwa orang-orang Arunta

menyembah kekuasaan-kekuasaan supernatural bukanlah merupakan apa yang

paling penting mengenai kegiatan mereka. Apakah mereka tahu atau tidak,

mereka sesungguhnya sedang menyembah kekuasaan masyarakat mereka sendiri,

kekuasaan masyarakat atas setiap individu. Ritual keagamaan mereka

mendemonstrasikan dan menyimbolkan perlunya individu-individu menyerahkan

diri mereka kepada kehendak kelompok. Dalam berkumpul bersama dalam ritual,

orang-orang Arunta secara terbuka mengeratkan kembali keterikatan mereka

antara yang satu dengan yang lainnya dan dengan masyarakat sebagai suatu

keseluruhan. Durkheim berpendapat bahwa hal ini bukan saja dilakukan oleh

orang-orang Arunta, tetapi apa yang dilakukan di semua agama. durkheim

menyimpulkan bahwa komponen ritualistik agamalah yang paling penting karena

melalui rituallah kekuatan mengikat komunitas itu disimbolkan.

Menurut Durkheim, peranan agama pada masyarakat kesukuan sangat

penting karena agama dapat menyatukan masyarakat kesukuan melalui

perkumpulan. Masyarakat dipersatukan dengan seperangkat kepercayaan, nilai,

dan ritual bersama. Dalam padangan Durkheim bahwa agama tradisional pada

akhirnya akan menghilang, kehilangannya akan membawa konsekuensi yang

buruk pada integrasi masyarakat kecuali muncul suatu pengganti yang dapat

(3)

2.2 Fungsi Agama Pada Masyarakat

Menurut Horton dan Hunt (dalam Kamanto, 2004:68), bahwa fungsi

agama dapat dibedakan menjadi fungsi manifes dan fugsi laten. Menurut mereka

bahwa fungsi manifes agama berkaitan dengan segi doktrin, ritual, dan aturan

perilaku dalam agama. Fungsi agama adalah untuk membujuk manusia agar

melaksanakan ritus agama, bersama-sama menerapkan ajaran agama, dan

menjalnkan kegiatan yang diperkenankan agama. Sedangkan fungsi laten agama,

antara lain menawarkan kehangatan bergaul, meningkatkan mobilitas sosial,

mendorong terciptanya beberapa bentuk stratifikasi sosial, dan mengembangkan

seperangkat nilai ekonomi.

Seperti yang tertulis dalam buku Pengantar Sosiologi oleh Narwoko dan

Suyanto (2004:255-256), bahwa fungsi agama adalah:

1. Agama mendasar perhatiannya pada sesuatu yang ada diluar jangkauan manusia

yang melibatkan takdir dan kesejahteraan. Terhadap dunia diluar jangkauannya,

manusia selain memberikan tanggapan serta menghubungkan dirinya, juga

memberikan atau menyediakan bagi pemeluknya suatu dukungan, pelipur lara dan

rekonsilias. Manusia membutuhkan dukungan moral dalam menghadapi

ketidakpastian dan membutuhkan rekonsiliasi dengan masyarakat bila diasingkan

dari tujuan dan norma-normanya.

2. Agama menawarkan suatu hubungan trasendental melalui pemujaan dan

upacara ibadat, sehingga memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan

identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian dan ketidakberdayaan kondisi

(4)

3. Agama menyucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk,

mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas keinginan individu, dan

disiplin kelompok di atas dorongan hati individu. Dengan demikian, agama

memperkuat legitimasi pembagian fungsi, fasilitas, dan ganjaran yang merupakan

ciri khas suatu masyarakat. Agama juga menangani keterasingan dan kesalahan

individu yang menyimpang.

4. Agama juga dapat memberikan standar nilai dalam arti di mana norma-norma

yang telah terlembaga dapat dikaji kembali secara kritis dan kebetulan masyarakat

memang sedang membutuhkannya.

5. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Dengan menerima

nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan kepercayaan-kepercayaan tentang

hakikat dan takdir manusia, individu mengembangkan aspek penting tentang

pemahaman diri dari batasan diri. Melalui peran serta manusia di dalam ritual

agama dan doa, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam

identitasnya. Dengan cara ini, agama mempengaruhi pengertian individu tentang

siapa ia dan ia apa.

2.3 Tipe-tipe Agama berdasarkan Evolusinya

Agama yang berkembang di masyarakat saat ini berbeda dengan agama

yang dianut masyarakat pada zaman dahulu. Apabila mengikuti sejarah agama

menurut teori evolusi maka akan dipahami perkembangan bentuk-bentuk

keagamaan dari bentuk yang masih sederhana hingga bentuk yang modern.

Sesuatu yang berevolusi itu bukanlah kondisi-kondisi akhir, bukan Tuhan, dan

(5)

beragama, dan bukan struktur situasi keberagaman akhir dari manusia yang

berevolusi melainkan agama sebagai sistem simbol. Robert N. Bellah mencatat

lima tahap evolusi agama (Sanderson, 2011:521-523), hal tersebut dapat dilihat

pada tahap evolusi agama berikut:

1. Agama primitif

Merupakan agama yang berisi dengan mitos dan makhluk spiritual. Bellah

menguraikan tentang derajat yang paling dunia mitos dihubungkan dengan

ciri-ciri yang rinci tentang yang paling tinggi kemana dunia mitos dihubungkan

dengan ciri-ciri yang rinci tentang dunia aktual. Bukan hanya setiap klen dan

kelompok lokal yang dirumuskan dalam hubungan dengan tokoh-tokoh nenek

moyang dan peristiwa-peristiwa pemukiman dahulu kala, tapi juga setiap gunung,

batuan, dan pohon dijelaskan dalam hubungan dengan makhluk-makhluk mitos.

Makhluk-makhluk spiritual itu bukanlah dewa-dewa karena mereka tidak

menguasai dunia dan tidak disembah. Agama primitif dikenal tidak memiliki

spesialisasi: tidak ada padri, tidak ada jemaah, dan tidak ada penonton; agama dan

masyarakat terbaur menjadi satu.

2. Agama budaya atau Purbakala

Agama ini dikarakteristikkan oleh munculnya dewa-dewa, padri-padri,

ibadah, kurban, dan konsepsi-konsepsi tentang Tuhan. Makhluk-makhluk mitos

atau spiritual yang karakteristik dalam agama primitif ditranformasikan menjadi

dewa-dewa; makhluk yang diobyektifkan yang menguasai dunia dan yang patut

dihormati dan disembah. Agama ini pada umumnya dijumpai pada masyarakat

(6)

dengan sistem stratifikasi. Kelompok-kelompok status atas biasanya menuntut

status religius yang superior, yang sering menuntut sebagai keturunan ilahi.

Agama ini dikenal dengan kepadrian yang terspesialisasi dan legitimasi

kepemimpinan politik mereka dalam hubungan dengan keagamaan.

3. Agama Historis

Yaitu agama-agama besar dunia yang timbul pada suatu saat selama atau

sesudah masa seribu tahun (milenium) pertama sebelum Kristus. Ciri-ciri pokok

agama ini adalah dunia lain (otherworldliness) mereka, penolakan mereka

terhadap nilai dunia sekuler dan penetapan suatu dunia eksistensi yang lain

(kehidupan di kemudian hari) yang adalah superior dalam nilai terhadap dunia

sekuler. Tujuan utama agama ini adalah keselamatan (salvation), dan tindakan

religius yang paling penting ialah tindakan mempersiapkan jalan untuk

keselamatan. Berdasarkan hal tersebut, agama-agama historis itu menempatkan

tekanan yang besar atas alam dunia sekuler yang pada dasarnya berdosa dan

menekankan perlunya penghindaran diri religius dari dunia sekuler itu.

4. Agama Modern Awal

Lahir dengan adanya reformasi Protestan, yang meneruskan pembedaan

yang dilakukan agama-agama historis diantara dunia sekuler dan dunia lain itu,

maupun perhatiannya yang kuat akan keselamatan, tetapi mengubah cara

mencapai keselamatan itu. Bukannya dengan menghindar daru dunia ini,

keselamatan itu dapat dicapai melalui keterlibatan langsung dalam

masalah-masalah dunia. Karena itu agama modern awal menolak tema penolakan dunia

(7)

5. Agama Modern

Merupakan suatu bentuk kehidupan keagamaan di mana konsep-konsep

dan ritual-ritual agama tradisional yang sekurang-kurangnya sebagian telah

digantikan dengan kekhawatiran etik humanistik dari berbagai hal yang sekuler.

2.4 Nilai dan Norma

2.4.1 Nilai

Menurut Horton dan Hunt dalam (Narwoko, 2004:55) nilai adalah gagasan

mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada

hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak

menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.

Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan

dianggap sah, artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan

nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu

dilakukan. Ketika nilai yang berlaku menyatakan bahwa kesalehan beribadah

adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi, maka bila ada orang yang malas

berbiabadah tentu akan menjadi bahan perngunjingan. Sebaliknya, bila ada orang

yang dengan ikhlas rela menyumbangkan sebagian hartanya untuk kepentingan

ibadah atau rajin amal dan semacamnya, maka ia akan dinilai sebagai orang yang

pantas dihormati dan diteladani.

Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa akan ikut

berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan memengaruhi perubahan

(8)

televisi swasta mulai dikenal, dengan perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam

masyarakat itu mulai terjadi pergeseran nilai, misalnya nilai tentang

kesopanan.Tanyangan-tanyangan acara yang didominasi sinetron-sinetron

mutakhir yang sering memperlihatkan artis-artis berpakaian relatif terbuka alias

minim, sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat terpengaruh

menjadi ikut longgar. Kaum remaja yang dulu terbiasa berpakaian “normal”, kini

telah ikut berpakaian mini dan terkesan makin berani. Model rambut panjang dan

hitam yang dulu sebuah kebanggaan perempuan desa, kini justru dianggap sebuah

simbol ketertinggalan, dan sebagai gantinya bahwa model rambut yang dianggap

trend adalah rambut pirang yang mereka ikuti dari artis atau idola mereka. Dengan

kata lain bahwa kebiasaan dan tata kelakuan masyarakat ikut berubah seiring

dengan berubahnya nilai-nilai yang diyakini masyarakat itu. (Narwoko, 2004)

2.4.2 Norma

Nilai dan norma tidak dapat dipisahkan dan akan selalu berkaitan.

Perbedaannya secara umum bahwa norma mengandung sanksi yang relatif tegas

terhadap pelanggarnya. Norma lebih banyak penekanannya sebagai

peraturan-peraturan yang selalu disertai oleh sanksi-sanksi yang merupakan faktor

pendorong bagi individu ataupun kelompok masyarakat untuk mencapai ukuran

nilai-nilai sosial tertentu yang dianggap terbaik untuk dilakukan.

Alvin L. Bertrand dalam (Basrowi, 2005) mendefinisikan norma sebagai

suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat. Ia

mengatakan, bahwa norma sebagai sesuatu bagian dari kebudayaan nonmateri,

(9)

laku. Sudah tentu bahwa tingkah laku erat hubungannya dengan apa yang menurut

pendapat seseorang itu benar atau baik, walaupun begitu, tingkah laku yang

sebenarnya dipandang sebagai suatu aspek dari organisasi sosial.

Untuk dapat membedakan kekuatan norma-norma tersebut, maka secara

sosiologis dalam Basrowi ( 2005 : 88) dikenal ada empat bagian norma-norma

sosial, yaitu:

1. Cara(usage)

Norma yang disebut cara hanya mempunyai kekuatan yang dapat

dikatakan sangat lemah dibanding norma lainnya. Cara lebih banyak terjadi pada

hubungan-hubungannya antarindividu dengan individu dalam kehidupan

masyarakat. Jika terjadi pelanggaran terhadapnya (norma), seseorang hanya

mendapat sanksi-sanksi yang ringan, seperti berupa cemoohan atau celaan dari

individu lain yang berhubungan dengannya. Perbuatan seseorang yang melanggar

norma (dalam tingkatan cara) tersebut dianggap orang lain sebagai perbuatan yang

tidak sopan, misalnya makan berdecak, makan sambil berdiri, dan sebagainya.

2. Kebiasaan atau perbuatan yang berulang-ulang (folkways)

Kebiasaan adalah perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang

sama. Kebiasaan mempunyai daya pengikat yang lebih kuat dibanding cara.

Kebiasaan merupakan suatu indikator. Jika orang-orang lain setuju atau menyukai

perbuatan tertentu, maka bisa menjadi sebuah ukuran. Misalnya bertutur sapa

lembut (sopan santun) terhadap orang lain yang lebih tua atau mengucapkan

(10)

3. Tata kelakuan (mores)

Tata kelakuan adalah suatu kebiasaan yang diakui oleh masyarakat sebagai

norma pengatur dalam setiap berperilaku. Tata kelakuan lebih menunjukkan

fungsi sebagai pengawas kelakuan oleh kelompok terhadap anggota-anggotanya.

Tata kelakuan mempunyai kekuatan pemaksa untuk berbuat atau tidak berbuat

sesuatu. Jika terjadi pelanggaran, maka dapat mengakibatkan jatuhnya sanksi,

berupa pemaksaan terhadap pelanggarnya untuk kembali menyesuaikan diri

dengan tata kelakuan umum sebagaimana telah digariskan. Bentuk hukumannya

biasanya dikucilkan oleh masyarakat dari pergaulan, bahkan mungkin biasanya

dari tempat tinggalnya.

4. Adat istiadat (custom)

Adat istiadat adalah tata kelakuan yang berupa aturan-aturan yang

mempunyai sanksi lebih keras. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat

akan mendapatkan sanksi hukum, baik formal maupun informal. Sanksi hukum

formal biasanya melibatkan alat negara berdasarkan undang-undang yang berlaku

dalam memaksa pelanggarnya untuk menerima sanksi hukum, misalnya

pemerkosaan, menjual kehormatan orang lain dengan dalih usaha mencari kerja,

dan sebagainya. Sedangkan sanksi hukum informal biasanya diterapkan dengan

kurang atau bahkan tidak rasional, yaitu lebih ditekankan pada kepentingan

masyarakat.

Dalam penelitian ini, bahwa nilai dan norma yang ingin dilihat adalah nilai

dan norma yang masih terjaga dan dijalankan pada pemeluk kepercayaan Pemena

(11)

ingin diketahui adalah nilai dan norma yang berbeda dengan nilai dan norma

masyarakat lainnya, dan apa alasan mereka untuk tetap mempertahankan nilai dan

norma tersebut.

2.5 Status Sosial

Dalam buku Menyelami Fenomena Sosial dalam Masyarakat (Waluya,

2007: 23), bahwa kedudukan dan status memiliki pengertian yang sama, di mana

kedudukan atau status merupakan posisi seseorang dalam masyarakat yang juga

mencakup hak-hak dan kewajibannya. Masyarakat pada umumnya

mengembangkan tiga jenis kedudukan, yaitu sebagai berikut:

1. Ascribed Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa

memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan

tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang bangsawan

yang juga merupakan bangsawan. Pada umunya, jenis status sosial seperti ini

dijumpai pada masyarakat dengan sistem pelapisan tertutup seperti halnya pada

masyarakat feodal.

2. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan

usaha-usaha yang disengaja. Misalnya, setiap orang dapat menjadi seorang dokter

asalkan memenuhi persyaratan tertentu.

3. Assigned Status merupakan status yang diberikan kepada seseorang.

Kedudukan ini mempunyai hubungan yang erat dengan Achieved status. Artinya

suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada

seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi

(12)

Status akan selalu berkaitan dengan peranan (role), di mana peranan

merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Di mana jika seseorang

menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia telah

menjalankan suatu peranan. Jadi peranan disesuaikan dengan status yang

dimilikinya dalam masyarakat.

2.6 Kepercayaan Tradisional di Indonesia

Kepercayaan tradisional di Indonesia saat ini masih banyak yang

berkembang, karena seperti yang diketahui bahwa hampir dari setiap suku atau

etnis di Indonesia memiliki keperayaan tradisional masing-masing. Namun

kepercayaan tradisional ini mengalami banyak tantangan, seperti halnya tantangan

tidak diakui sebagai agama di Indonesia melainkan sebuah budaya. Ditambah lagi

bahwa tantangan ini semakin berat dirasakan oleh pemeluk kepercayaan

tradisional ini karena semakin banyaknya pandangan negatif atau stereotip

terhadap mereka dalam masyarakat.

Di mana dalam Kamanto (2004:152-153), bahwa stereotip merupakan

suatu konsep yang erat kaitannya dengan konsep prasangka, di mana orang yang

menganut stereotip mengenai kelompok lain cenderung berprasangka terhadap

kelompok tersebut. Menurut Kornblum (1988 :303) stereotip merupakan citra

yang kaku mengenai suatu kelompok rasa tahu budaya yang dianut tanpa

mempehatikan kebenaran citra tersebut. Sedangkan menurut Banton

(1967:299-303), bahwa stereotip mengacu pada kecenderungan bahwa sesuatu yang

(13)

Dari padangan negatif atau streotip inilah yang menyebabkan kepercayaan

tradisional seperti telah disudutkan oleh masyarakat di sekitarnya. Seperti halnya

Salah satunya beberapa tahun lalu di Sulawesi Tengah. Ada ajaran yang digerebek

karena dianggap menyebarkan ajaran sesat. Padahal mereka sedang melakukan

ritual untuk penyembuhan (Kompas.com, 21 April 2010). Dari hal ini dapat kita

lihat bahwa keberadaan beberapa kepercayaan tradisional di Indonesia telah

mengalami tantangan yang mungkin akan menyebabkan hilangnya kepercayaan

tersebut.

Namun masih banyak juga kepercayaan tradisional yang masih terjaga di

beberapa daerah di Indonesia. Hal ini sangat berkaitan dengan sikap penghargaan

dari masyarakatnya untuk menjaga kepercayaan tersebut, yang saat ini dianggap

sebagai sebuah budaya lokal. Adapun beberapa kepercayaan tradisional yang

terdapat di beberapa daerah antara lain sebagai berikut:

1. Kepercayaan Tradisional Sulawesi

Sebelum masuknya agama-agama modern, masyarakat Sulawesi pada

umumnya masih menganut kepercayaan tradisional yang mereka terima dari

warisan nenek moyang. Kepercayaan aslinya yang berbentuk dinamisme dan

animisme yang menyembah pada roh-roh nenek moyang yang mereka anggap

masih bersemayam di batu besar, pohon rindang dan tempat-tempat yang

dianggap keramat. Kepercayaan dinamisme menyebab kepada kekuatan alam atau

benda-benda seperti gunung, batu, dan keris. Kekuatan-kekuatan ini dijadikan

sebagai penangkal bahaya atu berfungsi sebagai alat memperoleh kekebalan.

(14)

benar dan yang dikenal dengan berbagai nama seperti Toani Tolotang, dan Aluk

Todolo (Mukhlis,1995:30).

2. Kepercayaan Malim di tanah Batak Toba

Kepercayaan kepada kuasa supernatural merupakan asa dalam agama

Malim. Kuasa supernatural itu disebut Tuhan Debata Mulajadi Nabolon. Debata

inilah sebagai tuhan yang mahakuasa, maha pencipta dan maha menjadikan

seluruh alam semesta alam. Kepercayaan ini tetap terjaga dalam masyarakat batak

toba hingga saat ini walaupun secara kuantitas telah berkurang akibat adanya

pengaruh modernisasi yang memunculkan agama-agama modern saat ini seperti

agama Kristen dan Islam yang saat ini memiliki umat terbesar pada masyarakat

Batak Toba. Keberadaan mereka saat ini sudah diakui pada daerah mereka, namun

diakui dalam bidang kebudayaan karena lebih dilihat dari kearifan loakalnya.

Bahkan untuk saat ini, agama Malim telah memiliki struktur organisasi yang jelas

dan tidak dikatakan sebagai bentuk agama, namun dalam bentuk kepercayaan

tradisional yang lebih dikaitkan pada budaya setempat (Gultom, 2010).

3. Agama lokal yang ada di Papua pada kecamatan Arso dan Waris

Kepercayaan ini dinamakan “Yonggoway”, yang diambil dari nama seorang

tokoh yang sangat dihormati mereka. Agama lokal ini tetap dianut masyarakat

Papua meskipun mereka pada umumnya telah menganut agama Kristen Katolik.

Dalam kepercayaan ini, salah satu dewa yang dianggap memiliki hal pencipta

dalah Kwembo, ialah yang menciptakan alam semesta, termasuk manusia dan

“fowor-fowor (manusia roh). Dalam kepercayaan ini terdapat tiga hierarki

(15)

Yoggoway. Menurut kepercayaan mereka, yang paling ditakuti adalah Yoggoway

karena ia bertugas mencabut nyawa orang. Disamping mereka percaya pada tiga

penguasa tersebut, mereka percaya pula terhadap roh dan makhluk-makhluk halus

yang berada di lingkungan kehidupan mereka. Dan untuk daerah Papua lainnya,

masih terdapat kepercayaan-kepercayaan lainnya dan memiliki sebutan yang

berbeda-beda juga (Oscar, 1994).

2.7 Kepercayaan Pemena di Tanah Karo

Sebelum agama Kristen dan Islam berpengaruh di daerah Batak Karo,

orang Karo memeluk agama yang dikenal dengan agama Pelbegu yaitu suatu

kepercayaan terhadap adanya begu-begu (roh atau bahan yang tidak berdaging

yang sakti) dewa-dewa dan roh nenek moyang yang bertempat tinggal di

gunung-gunung, pohon-pohon, sungai, rumah serta mepunyai kekuasaan atas hidup

manusia.

Orang Karo meyakini bahwa selain dihuni oleh manusia, alam juga

merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau mahluk-mahluk lain yang hidup bebas

tanpa terikat pada suatu tempat tertentu, untuk itu diperlukan beberapa

aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam. Segala kegiatan yang

berhubungan dengan roh-roh gaib dan upacara ritual, suatu kompleks

penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib, merupakan sebagian aspek penting

dalam kepercayaan tradisional Karo yang pelaksanaanya terpusat pada guru.

Suatu peranan yang mencakup luas dan mempunyai kaitan yang erat sekali

dengan konsepsi tentang kosmos dari guru sebagai pelaksana utama, sebab

(16)

adalah untuk mencapai kembali “equilibrium” atau keseimbangan. Baik itu

keseimbangan dalam diri manusia sendiri dan lingkungannya, maupun

keseimbangan “makro-kosmos” dalam konteks yang lebih luas. Guru dianggap

memiliki banyak pengetahuan yang mendetail tentang berbagai hal yang

berhubungan dengan kehidupan dan kejadian-kejadian dalam hubungannya

dengan kehidupan (Alem, 2005).

Pemena merupakan istilah dalam bahasa Karo yang berarti awal atau

pertama. Sehingga agama Pemena dapat diartikan dengan agama awal atau agama

pertama yang ada di suku Karo. Dalam agama Pemena, masih menyakini adanya

begu atau roh orang yang telah meninggal. Roh tersebut ada yang baik dan ada

yang tidak baik, roh yang baik mampu membantu orang yang masih hidup seperti

halnya mengobati orang sakit dan mencengah adanya musibah. Hubungan mereka

dengan roh itu dilakukan melalui perantara guru. Jadi guru atau sering disebut

dengan guru si baso adalah salah satu orang yang berperan penting dalam

pemujaan terhadap yang dipercayai.

Dalam pandangan orang Karo seperti yang tertulis dalam buku Makna

Pemakaian Rebu dalam Kekerabatan Orang Batak Karo (Ahmad: 1995 dkk.:

18-21), bahwa alam semesta ini dikuasai oleh Dibata (Tuhan). Alam semesta ini

terbagi atas tiga yakni, langit, bumi, dan di bawah bumi. Masing-masing bagian

dikepalai oleh bagian dari Dibata yang satu, istilah agama kristen dengan Trinitas.

Ia bernama Dibata Mulajadi, biasa disebut Dibata saja.

Menurut kepercayaan orang Karo, masing-masing alam semesta dikepalai oleh:

(17)

2. Padukah Niaji disebut Dibata tengah, mengepalai bumi.

3. Banu Koling disebut Dibata teruh, mengepala di bawah bumi.

Dalam kehidupan sehari-hari yang paling ditakuti adalah dibata tengah

atau padukah niaji. Dia dianggap dapat membantu, karena secara langsung dapat

berhubungan dengan manusia, melalui hasil tanam-tanaman, hasil ternak dan

lain-lain.

Tanaman yang subur atau tidak subur, kesusahan atau kebahagiaan,

kesehatan atau penyakit, semua itu berada di tangan dibata tengah. Dibata tengah

juga mempunyai wakil-wakil yang ditempatkan pada setiap kegiatan manusia.

Setiap orang diawasi oleh wakil-wakil dibata tengah, dan ini disebut dengan tendi.

Tendi atau tondi di Batak Toba adalah jiwa dari orang yang masih hidup.

Ada beberapa pengertian tentang tendi:

1. Tendi pelindung manusia. Setiap orang mempunyai tendi sebagai

pemerintah diri sendiri, tubuh sebagai pelaksana.

2. Tendi dimiliki oleh setiap manusia yang masih hidup, ke mana saja

manusia pergi tendi ada di sana. Tendi dapat terpisah dari jasad apabila

seseorang meninggal dunia, atau sakit.

3. Tendi merupakan pribadi dari seseorang, seluruh tindakan seseorang

merupakan ekspresi dari tendi, orang baik mempunyai tendi yang baik

pula, orang jahat atau orang yang berkelakuan tidak baik akan mempunyai

tendi yang jahat dan tidak baik pula.

4. Tendi sebagai jiwa sewaktu-waktu dapat meninggalkan jasad, misalnya

(18)

orang batak Karo tendi tidak dapat meninggal seperti jasad. Tendi ini

dapat pula dikembalikan dengan satu upacara yang biasa disebut raleng

tendi.

5. Tendi seperti jasad harus dipelihara sebaik-baiknya. Ini berarti bahwa

tendi itu juga memerlukan pemeliharaan seperti jasad, misalnya dengan

memberikan sajian kecil berupa kapur dan sirih.

6. Tendi sebagai pelaksana mimpi, seseorang yang sedang bermimpi berarti

tendinya sedang pergi. Bagi orang yang sedang tidur biasanya dianjurkan

supaya yang membangunkan harus dengan suara yang lemah lembut

sambil memegang ibu jari kaki orang yang sedang tidur, dengan demikian

diharapkan tendinya masih sempat datang kepada orang yang tidur

tersebut jika kebetulan sedang bermimpi.

Orang yang meninggal dunia, tendinya akan berubah menjadi begu. Begu adalah

roh orang yang sudah meninggal.

Beberapa aspek pengertian tentang begu:

1. Begu sebagai roh yang sudah meninggal dunia, tidak dapat dilihat oleh

orang biasa. Guru sibaso dapat melihat dan berbicara dengan begu siapa

saja yang diingini, baik atas keinginan sendiri maupun atas permintaan

orang lain.

2. Begu sebagai roh manusia yang telah meninggal dunia dapat dipanggil.

Begu nenek moyang, begu orang yang baru meninggal dunia, semuanya

dapat dipanggil atas permintaan keluarga yang bersangkutan. Orang yang

(19)

tentang sebab-sebab dia meninggal dan apa keluhannya setelah meninggal.

Semua upacara memanggil begu tersebut upacara perumah begu.

3. Begu sebagai roh manusia yang jahat adalah orang-orang yang matinya

tidak layak, seperti disiksa terlalu lama, tidak diperhatikan keluarganya

semasa hidupnya. Begu ini biasanya dipelihara oleh orang kikir, untuk

menjaga tanaman, orang yang penakut untuk menjaga diri sendiri. Orang

yang memelihara begu jahat ini disebut dengan istilah perbegu ganjang

dan tidak disenangi oleh masyarakat.

4. Begu sebagai roh yang dapat menunggu sesuatu tempat, contohnya begu

juma yakni yang menempati ladang, begu lau yakni yang menempati

tempat mandi dan banyak lagi begu-begu lain. Begu ini dihormati karena

dapat membantu dalam kehidupan sehari-hari.

Pada masyarakat Karo yang belum memeluk agama resmi baik islam dan

kristen, jika seseorang menyatakan sukacitanya kepada Dibata, dia mengadakan

persembahan kecil, persembahan yang paling disukai adalah ayam, warna ayam

ditentukan oleh guru sibaso sesudah berhubungan dengan roh-roh halus. Upacara

ini disebut mulahi manuk.

Dalam pelaksaan keagamaan diakan upacara-upacara, setiap upacara

selalu dipimpin oleh guru. Guru sibaso memimpin upacara yang langsung

berhubungan dengan roh halus, seperti begu atau tendi, guru dapat memberikan

keterangan tentang keinginan begu atau tendi. Guru umumnya berhubungan

dengan kepentingan umum dan masyarakat. Contohnya jika ada wabah penyakit

(20)

Guru disamping mengetahui soal-soal keagamaan juga harus mengetahui

soal adat, untuk segala persoalan adat yang berhubungan dengan roh halus, selalu

diselesaikan oleh guru, misalnya kawin semarga atau kawin sumbang yang

merupakan incest bagi orang Karo. Menurut penilaian guru, hal itu diakibatkan

oleh kemarahan roh halus atau roh nenek moyang yang bersangkutan. Dalam hal

ini guru dapat menetralisir kegoncangan hubungan antara masyarakat dengan

roh-roh halus.

2.8 Defenisi Konsep

Agar penelitian ini tetap pada focus penelitian dan supaya tidak

menimbulkan penafsiran ganda dikemudian hari, maka perlu dibuat defenisi

konsep antara lain sebagai berikut:

1. Keberadaan pemeluk kepercayaan adalah kejelasan akan posisi seseorang

atau sekelompok pemeluk suatu kepercayan. Dalam hal ini yang ingin

dilihat adalah kejelasan identitas dari pemeluk kepercayaan Pemena di

Desa Pergendangen, Kecamatan Tiga Binanga.

2. Agama dan kepercayaan dalam konsep sosiologi memiliki pengertian yang

sama. Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dianut oleh

penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang

dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi

diri mereka dan masyarakat luas umumnya. (Hendropuspito, 1996:34).

Sehingga dalam penelitian ini tidak dibedakan agama dengan kepercayaan,

di mana dalam hal ini Pemena dapat dikatakan sebuah agama ataupun

(21)

3. Nilai-nilai religius adalah sesuatu yang dianggap baik, benar dan berguna

dalam masyarakat yang berkaitan dengan religi atau kepercayaan. Dalam

hal ini, nilai-nilai religius yang dimaksud adalah nilai-nilai kepercayaan

Pemena yang masih dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan

penerapannya dalam masyarakat.

4. Kepercayaan Pemena merupakan kepercayaan pada masyarakat Karo.

Pemena merupakan bahasa Karo berarti awal atau pertama dalam bahasa

Indonesia. Kepercayaan ini mempercayai roh-roh nenek moyang yang

dapat berwujud benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan

supranatural misalnya batu, pohon, sungai, tempat keramat dan

sebagainya. Di Desa ini terdapat tempat penyembahan untuk semua

masyarakat desa yang masih memeluk kepercayaan Pemena, yang

dinamakan batu Penembahan yang pada dahulunya merupakan pusat

penyembahan untuk semua warga desa sebelum masuknya agama resmi.

Ada juga penyembahan yang didasarkan oleh marga yang ada menjadi

peletak dasar desa ini, yaitu:

 Nini Galuh yang merupakan tempat penyembahan bagi marga

Tarigan Rumah Sendi.

 Nini Batu Pulu Balang adalah tempat penyembahan yang dibuat

oleh klan marga Perangin-angin Mano.

 Nini Batu dan Hutan Selantam adalah tempat penyembahan yang

berbentuk batu yang ada di dalam hutan Selantam di pinggir desa

yang dibuat untuk tempat penyembahan marga Ginting

(22)

5. Masyarakat Karo adalah sekumpulan manusia yang hidup pada wilayah

yang dinamakan kuta (desa), dan memiliki cirri-ciri dengan memakai

bahasa, nilai, adat-istiadat, dan ikut dalam merga si lima, tutur siwaluh,

perkaden-kaden sepulu dua dan cirri budaya Karo lainnya.

6. Stereotip adalah pandangan atau prasangka buruk terhadap sesuatu yang

pada dasarnya belum dapat dipastikan secara faktual. Dalam penelitian ini,

pandangan yang ingin dilihat adalah pandangan masyarakat yang bukan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data pada Tabel 5 diketahui bahwa terjadi interaksi dan pengaruh nyata pada perlakuan klon temulawak dengan perlakuan berbagai taraf konsentrasi 2,4-D, dimana baik

Tidak ada perbedaan rerata persentase asupan gizi menurut tingkat pendidikan, kemungkinan karena setiap pasien mendapatkan makanan yang sama dari rumah sakit dan mendengarkan

Pada penelitian ini peneliti menggunakan PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dengan pembelajaran menggunakan media pembelajaran program Festo Fluidsim pada mata

Kehadiran IPB University khususnya PKSPL dan FPIK menjadi partner utama pada aspek pengembangan seafood industry menjadi signifikan dan mampu berperan penting dalam

Hubungan antara kecepatan dan volume lalulintas secara mendasar dapat dinyatakan sebagai berikut: apabila arus lalulintas pada suatu ruas jalan bertambah maka kecepatan

Lemak yang biasa digunakan adalah campuran lemak padat yang berfungsi untuk membentuk lapisan film pada bibir, memberi tekstur yang lembut, meningkatkan kekuatan lipstik, dan

Dengan menggunakan teknik pengimplementasiannya metode muroja’ah dan semaan tersebut, akan membantu siswa dalam meningkatkan. hafalan dan menjaga hafalan Al-

Semua pasir yang digunakan dalam pengurugan harus berasal dari pasir alam, dengan butiran dari halus sampai kasar, bebas dari kotoran, debu, atau bahan- bahan lain yang tidak