BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pandangan Emile Durkheim terhadap Kepercayaan Tradisional
Agama muncul karena manusia hidup di dalam masyarakat dan dengan
demikian mengembangkan kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu sebagai akibat
dari kehidupan kolektif mereka. Agama ada karena agama dapat memenuhi
fungsi-fungsi sosial tertentu yang penting dan tidak dapat dipenuhi tanpa agama.
Peranan utama agama adalah sebagai integrator kemasyarakatan. Agama mengikat
orang-orang menjadi satu dengan mempersatukan mereka dengan sekitar
seperangkat kepercayaan, nilai, dan ritual bersama. Dengan demikian agama
membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu komunitas moral.
(Sanderson, 2011:553).
Agama menurut Durkheim (dalam Kamanto, 2004:67) adalah suatu sistem
terpadu yang terdiri atas kepercayaan-kepercayaan dan praktik yang berhubungan
dengan hal yang suci, dan bahwa kepercayaan dan praktik tersebut
mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas moral yang
dinamakan umat. Semua benda yang ada di dunia ini baik benda yang nyata
maupun yang berwujud ideal memiliki pembagian, dan hal ini dibagi menjadi dua
kelompok yang bertentangan, yaitu hal yang bersifat profan dan hal yang bersifat
suci (sacred).
Analisis Durkheim dalam ritual-ritual keagamaan totemik arunta
Australia yang telah ada banyak pengetahuan etnografis mengenai masyarakat itu.
Bahwa bagi kalangan orang-orang Arunta, ritual dan seremoni adalah bagian yang
sangat penting daripada kehidupan sosial. Fakta bahwa orang-orang Arunta
menyembah kekuasaan-kekuasaan supernatural bukanlah merupakan apa yang
paling penting mengenai kegiatan mereka. Apakah mereka tahu atau tidak,
mereka sesungguhnya sedang menyembah kekuasaan masyarakat mereka sendiri,
kekuasaan masyarakat atas setiap individu. Ritual keagamaan mereka
mendemonstrasikan dan menyimbolkan perlunya individu-individu menyerahkan
diri mereka kepada kehendak kelompok. Dalam berkumpul bersama dalam ritual,
orang-orang Arunta secara terbuka mengeratkan kembali keterikatan mereka
antara yang satu dengan yang lainnya dan dengan masyarakat sebagai suatu
keseluruhan. Durkheim berpendapat bahwa hal ini bukan saja dilakukan oleh
orang-orang Arunta, tetapi apa yang dilakukan di semua agama. durkheim
menyimpulkan bahwa komponen ritualistik agamalah yang paling penting karena
melalui rituallah kekuatan mengikat komunitas itu disimbolkan.
Menurut Durkheim, peranan agama pada masyarakat kesukuan sangat
penting karena agama dapat menyatukan masyarakat kesukuan melalui
perkumpulan. Masyarakat dipersatukan dengan seperangkat kepercayaan, nilai,
dan ritual bersama. Dalam padangan Durkheim bahwa agama tradisional pada
akhirnya akan menghilang, kehilangannya akan membawa konsekuensi yang
buruk pada integrasi masyarakat kecuali muncul suatu pengganti yang dapat
2.2 Fungsi Agama Pada Masyarakat
Menurut Horton dan Hunt (dalam Kamanto, 2004:68), bahwa fungsi
agama dapat dibedakan menjadi fungsi manifes dan fugsi laten. Menurut mereka
bahwa fungsi manifes agama berkaitan dengan segi doktrin, ritual, dan aturan
perilaku dalam agama. Fungsi agama adalah untuk membujuk manusia agar
melaksanakan ritus agama, bersama-sama menerapkan ajaran agama, dan
menjalnkan kegiatan yang diperkenankan agama. Sedangkan fungsi laten agama,
antara lain menawarkan kehangatan bergaul, meningkatkan mobilitas sosial,
mendorong terciptanya beberapa bentuk stratifikasi sosial, dan mengembangkan
seperangkat nilai ekonomi.
Seperti yang tertulis dalam buku Pengantar Sosiologi oleh Narwoko dan
Suyanto (2004:255-256), bahwa fungsi agama adalah:
1. Agama mendasar perhatiannya pada sesuatu yang ada diluar jangkauan manusia
yang melibatkan takdir dan kesejahteraan. Terhadap dunia diluar jangkauannya,
manusia selain memberikan tanggapan serta menghubungkan dirinya, juga
memberikan atau menyediakan bagi pemeluknya suatu dukungan, pelipur lara dan
rekonsilias. Manusia membutuhkan dukungan moral dalam menghadapi
ketidakpastian dan membutuhkan rekonsiliasi dengan masyarakat bila diasingkan
dari tujuan dan norma-normanya.
2. Agama menawarkan suatu hubungan trasendental melalui pemujaan dan
upacara ibadat, sehingga memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan
identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian dan ketidakberdayaan kondisi
3. Agama menyucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk,
mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas keinginan individu, dan
disiplin kelompok di atas dorongan hati individu. Dengan demikian, agama
memperkuat legitimasi pembagian fungsi, fasilitas, dan ganjaran yang merupakan
ciri khas suatu masyarakat. Agama juga menangani keterasingan dan kesalahan
individu yang menyimpang.
4. Agama juga dapat memberikan standar nilai dalam arti di mana norma-norma
yang telah terlembaga dapat dikaji kembali secara kritis dan kebetulan masyarakat
memang sedang membutuhkannya.
5. Agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Dengan menerima
nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan kepercayaan-kepercayaan tentang
hakikat dan takdir manusia, individu mengembangkan aspek penting tentang
pemahaman diri dari batasan diri. Melalui peran serta manusia di dalam ritual
agama dan doa, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam
identitasnya. Dengan cara ini, agama mempengaruhi pengertian individu tentang
siapa ia dan ia apa.
2.3 Tipe-tipe Agama berdasarkan Evolusinya
Agama yang berkembang di masyarakat saat ini berbeda dengan agama
yang dianut masyarakat pada zaman dahulu. Apabila mengikuti sejarah agama
menurut teori evolusi maka akan dipahami perkembangan bentuk-bentuk
keagamaan dari bentuk yang masih sederhana hingga bentuk yang modern.
Sesuatu yang berevolusi itu bukanlah kondisi-kondisi akhir, bukan Tuhan, dan
beragama, dan bukan struktur situasi keberagaman akhir dari manusia yang
berevolusi melainkan agama sebagai sistem simbol. Robert N. Bellah mencatat
lima tahap evolusi agama (Sanderson, 2011:521-523), hal tersebut dapat dilihat
pada tahap evolusi agama berikut:
1. Agama primitif
Merupakan agama yang berisi dengan mitos dan makhluk spiritual. Bellah
menguraikan tentang derajat yang paling dunia mitos dihubungkan dengan
ciri-ciri yang rinci tentang yang paling tinggi kemana dunia mitos dihubungkan
dengan ciri-ciri yang rinci tentang dunia aktual. Bukan hanya setiap klen dan
kelompok lokal yang dirumuskan dalam hubungan dengan tokoh-tokoh nenek
moyang dan peristiwa-peristiwa pemukiman dahulu kala, tapi juga setiap gunung,
batuan, dan pohon dijelaskan dalam hubungan dengan makhluk-makhluk mitos.
Makhluk-makhluk spiritual itu bukanlah dewa-dewa karena mereka tidak
menguasai dunia dan tidak disembah. Agama primitif dikenal tidak memiliki
spesialisasi: tidak ada padri, tidak ada jemaah, dan tidak ada penonton; agama dan
masyarakat terbaur menjadi satu.
2. Agama budaya atau Purbakala
Agama ini dikarakteristikkan oleh munculnya dewa-dewa, padri-padri,
ibadah, kurban, dan konsepsi-konsepsi tentang Tuhan. Makhluk-makhluk mitos
atau spiritual yang karakteristik dalam agama primitif ditranformasikan menjadi
dewa-dewa; makhluk yang diobyektifkan yang menguasai dunia dan yang patut
dihormati dan disembah. Agama ini pada umumnya dijumpai pada masyarakat
dengan sistem stratifikasi. Kelompok-kelompok status atas biasanya menuntut
status religius yang superior, yang sering menuntut sebagai keturunan ilahi.
Agama ini dikenal dengan kepadrian yang terspesialisasi dan legitimasi
kepemimpinan politik mereka dalam hubungan dengan keagamaan.
3. Agama Historis
Yaitu agama-agama besar dunia yang timbul pada suatu saat selama atau
sesudah masa seribu tahun (milenium) pertama sebelum Kristus. Ciri-ciri pokok
agama ini adalah dunia lain (otherworldliness) mereka, penolakan mereka
terhadap nilai dunia sekuler dan penetapan suatu dunia eksistensi yang lain
(kehidupan di kemudian hari) yang adalah superior dalam nilai terhadap dunia
sekuler. Tujuan utama agama ini adalah keselamatan (salvation), dan tindakan
religius yang paling penting ialah tindakan mempersiapkan jalan untuk
keselamatan. Berdasarkan hal tersebut, agama-agama historis itu menempatkan
tekanan yang besar atas alam dunia sekuler yang pada dasarnya berdosa dan
menekankan perlunya penghindaran diri religius dari dunia sekuler itu.
4. Agama Modern Awal
Lahir dengan adanya reformasi Protestan, yang meneruskan pembedaan
yang dilakukan agama-agama historis diantara dunia sekuler dan dunia lain itu,
maupun perhatiannya yang kuat akan keselamatan, tetapi mengubah cara
mencapai keselamatan itu. Bukannya dengan menghindar daru dunia ini,
keselamatan itu dapat dicapai melalui keterlibatan langsung dalam
masalah-masalah dunia. Karena itu agama modern awal menolak tema penolakan dunia
5. Agama Modern
Merupakan suatu bentuk kehidupan keagamaan di mana konsep-konsep
dan ritual-ritual agama tradisional yang sekurang-kurangnya sebagian telah
digantikan dengan kekhawatiran etik humanistik dari berbagai hal yang sekuler.
2.4 Nilai dan Norma
2.4.1 Nilai
Menurut Horton dan Hunt dalam (Narwoko, 2004:55) nilai adalah gagasan
mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada
hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak
menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar.
Nilai adalah suatu bagian penting dari kebudayaan. Suatu tindakan
dianggap sah, artinya secara moral dapat diterima kalau harmonis dengan
nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana tindakan itu
dilakukan. Ketika nilai yang berlaku menyatakan bahwa kesalehan beribadah
adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi, maka bila ada orang yang malas
berbiabadah tentu akan menjadi bahan perngunjingan. Sebaliknya, bila ada orang
yang dengan ikhlas rela menyumbangkan sebagian hartanya untuk kepentingan
ibadah atau rajin amal dan semacamnya, maka ia akan dinilai sebagai orang yang
pantas dihormati dan diteladani.
Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa akan ikut
berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan memengaruhi perubahan
televisi swasta mulai dikenal, dengan perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam
masyarakat itu mulai terjadi pergeseran nilai, misalnya nilai tentang
kesopanan.Tanyangan-tanyangan acara yang didominasi sinetron-sinetron
mutakhir yang sering memperlihatkan artis-artis berpakaian relatif terbuka alias
minim, sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat terpengaruh
menjadi ikut longgar. Kaum remaja yang dulu terbiasa berpakaian “normal”, kini
telah ikut berpakaian mini dan terkesan makin berani. Model rambut panjang dan
hitam yang dulu sebuah kebanggaan perempuan desa, kini justru dianggap sebuah
simbol ketertinggalan, dan sebagai gantinya bahwa model rambut yang dianggap
trend adalah rambut pirang yang mereka ikuti dari artis atau idola mereka. Dengan
kata lain bahwa kebiasaan dan tata kelakuan masyarakat ikut berubah seiring
dengan berubahnya nilai-nilai yang diyakini masyarakat itu. (Narwoko, 2004)
2.4.2 Norma
Nilai dan norma tidak dapat dipisahkan dan akan selalu berkaitan.
Perbedaannya secara umum bahwa norma mengandung sanksi yang relatif tegas
terhadap pelanggarnya. Norma lebih banyak penekanannya sebagai
peraturan-peraturan yang selalu disertai oleh sanksi-sanksi yang merupakan faktor
pendorong bagi individu ataupun kelompok masyarakat untuk mencapai ukuran
nilai-nilai sosial tertentu yang dianggap terbaik untuk dilakukan.
Alvin L. Bertrand dalam (Basrowi, 2005) mendefinisikan norma sebagai
suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam semua masyarakat. Ia
mengatakan, bahwa norma sebagai sesuatu bagian dari kebudayaan nonmateri,
laku. Sudah tentu bahwa tingkah laku erat hubungannya dengan apa yang menurut
pendapat seseorang itu benar atau baik, walaupun begitu, tingkah laku yang
sebenarnya dipandang sebagai suatu aspek dari organisasi sosial.
Untuk dapat membedakan kekuatan norma-norma tersebut, maka secara
sosiologis dalam Basrowi ( 2005 : 88) dikenal ada empat bagian norma-norma
sosial, yaitu:
1. Cara(usage)
Norma yang disebut cara hanya mempunyai kekuatan yang dapat
dikatakan sangat lemah dibanding norma lainnya. Cara lebih banyak terjadi pada
hubungan-hubungannya antarindividu dengan individu dalam kehidupan
masyarakat. Jika terjadi pelanggaran terhadapnya (norma), seseorang hanya
mendapat sanksi-sanksi yang ringan, seperti berupa cemoohan atau celaan dari
individu lain yang berhubungan dengannya. Perbuatan seseorang yang melanggar
norma (dalam tingkatan cara) tersebut dianggap orang lain sebagai perbuatan yang
tidak sopan, misalnya makan berdecak, makan sambil berdiri, dan sebagainya.
2. Kebiasaan atau perbuatan yang berulang-ulang (folkways)
Kebiasaan adalah perbuatan yang berulang-ulang dalam bentuk yang
sama. Kebiasaan mempunyai daya pengikat yang lebih kuat dibanding cara.
Kebiasaan merupakan suatu indikator. Jika orang-orang lain setuju atau menyukai
perbuatan tertentu, maka bisa menjadi sebuah ukuran. Misalnya bertutur sapa
lembut (sopan santun) terhadap orang lain yang lebih tua atau mengucapkan
3. Tata kelakuan (mores)
Tata kelakuan adalah suatu kebiasaan yang diakui oleh masyarakat sebagai
norma pengatur dalam setiap berperilaku. Tata kelakuan lebih menunjukkan
fungsi sebagai pengawas kelakuan oleh kelompok terhadap anggota-anggotanya.
Tata kelakuan mempunyai kekuatan pemaksa untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu. Jika terjadi pelanggaran, maka dapat mengakibatkan jatuhnya sanksi,
berupa pemaksaan terhadap pelanggarnya untuk kembali menyesuaikan diri
dengan tata kelakuan umum sebagaimana telah digariskan. Bentuk hukumannya
biasanya dikucilkan oleh masyarakat dari pergaulan, bahkan mungkin biasanya
dari tempat tinggalnya.
4. Adat istiadat (custom)
Adat istiadat adalah tata kelakuan yang berupa aturan-aturan yang
mempunyai sanksi lebih keras. Anggota masyarakat yang melanggar adat-istiadat
akan mendapatkan sanksi hukum, baik formal maupun informal. Sanksi hukum
formal biasanya melibatkan alat negara berdasarkan undang-undang yang berlaku
dalam memaksa pelanggarnya untuk menerima sanksi hukum, misalnya
pemerkosaan, menjual kehormatan orang lain dengan dalih usaha mencari kerja,
dan sebagainya. Sedangkan sanksi hukum informal biasanya diterapkan dengan
kurang atau bahkan tidak rasional, yaitu lebih ditekankan pada kepentingan
masyarakat.
Dalam penelitian ini, bahwa nilai dan norma yang ingin dilihat adalah nilai
dan norma yang masih terjaga dan dijalankan pada pemeluk kepercayaan Pemena
ingin diketahui adalah nilai dan norma yang berbeda dengan nilai dan norma
masyarakat lainnya, dan apa alasan mereka untuk tetap mempertahankan nilai dan
norma tersebut.
2.5 Status Sosial
Dalam buku Menyelami Fenomena Sosial dalam Masyarakat (Waluya,
2007: 23), bahwa kedudukan dan status memiliki pengertian yang sama, di mana
kedudukan atau status merupakan posisi seseorang dalam masyarakat yang juga
mencakup hak-hak dan kewajibannya. Masyarakat pada umumnya
mengembangkan tiga jenis kedudukan, yaitu sebagai berikut:
1. Ascribed Status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa
memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan
tersebut diperoleh karena kelahiran, misalnya kedudukan anak seorang bangsawan
yang juga merupakan bangsawan. Pada umunya, jenis status sosial seperti ini
dijumpai pada masyarakat dengan sistem pelapisan tertutup seperti halnya pada
masyarakat feodal.
2. Achieved Status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan
usaha-usaha yang disengaja. Misalnya, setiap orang dapat menjadi seorang dokter
asalkan memenuhi persyaratan tertentu.
3. Assigned Status merupakan status yang diberikan kepada seseorang.
Kedudukan ini mempunyai hubungan yang erat dengan Achieved status. Artinya
suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada
seseorang yang berjasa, yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi
Status akan selalu berkaitan dengan peranan (role), di mana peranan
merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Di mana jika seseorang
menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia telah
menjalankan suatu peranan. Jadi peranan disesuaikan dengan status yang
dimilikinya dalam masyarakat.
2.6 Kepercayaan Tradisional di Indonesia
Kepercayaan tradisional di Indonesia saat ini masih banyak yang
berkembang, karena seperti yang diketahui bahwa hampir dari setiap suku atau
etnis di Indonesia memiliki keperayaan tradisional masing-masing. Namun
kepercayaan tradisional ini mengalami banyak tantangan, seperti halnya tantangan
tidak diakui sebagai agama di Indonesia melainkan sebuah budaya. Ditambah lagi
bahwa tantangan ini semakin berat dirasakan oleh pemeluk kepercayaan
tradisional ini karena semakin banyaknya pandangan negatif atau stereotip
terhadap mereka dalam masyarakat.
Di mana dalam Kamanto (2004:152-153), bahwa stereotip merupakan
suatu konsep yang erat kaitannya dengan konsep prasangka, di mana orang yang
menganut stereotip mengenai kelompok lain cenderung berprasangka terhadap
kelompok tersebut. Menurut Kornblum (1988 :303) stereotip merupakan citra
yang kaku mengenai suatu kelompok rasa tahu budaya yang dianut tanpa
mempehatikan kebenaran citra tersebut. Sedangkan menurut Banton
(1967:299-303), bahwa stereotip mengacu pada kecenderungan bahwa sesuatu yang
Dari padangan negatif atau streotip inilah yang menyebabkan kepercayaan
tradisional seperti telah disudutkan oleh masyarakat di sekitarnya. Seperti halnya
Salah satunya beberapa tahun lalu di Sulawesi Tengah. Ada ajaran yang digerebek
karena dianggap menyebarkan ajaran sesat. Padahal mereka sedang melakukan
ritual untuk penyembuhan (Kompas.com, 21 April 2010). Dari hal ini dapat kita
lihat bahwa keberadaan beberapa kepercayaan tradisional di Indonesia telah
mengalami tantangan yang mungkin akan menyebabkan hilangnya kepercayaan
tersebut.
Namun masih banyak juga kepercayaan tradisional yang masih terjaga di
beberapa daerah di Indonesia. Hal ini sangat berkaitan dengan sikap penghargaan
dari masyarakatnya untuk menjaga kepercayaan tersebut, yang saat ini dianggap
sebagai sebuah budaya lokal. Adapun beberapa kepercayaan tradisional yang
terdapat di beberapa daerah antara lain sebagai berikut:
1. Kepercayaan Tradisional Sulawesi
Sebelum masuknya agama-agama modern, masyarakat Sulawesi pada
umumnya masih menganut kepercayaan tradisional yang mereka terima dari
warisan nenek moyang. Kepercayaan aslinya yang berbentuk dinamisme dan
animisme yang menyembah pada roh-roh nenek moyang yang mereka anggap
masih bersemayam di batu besar, pohon rindang dan tempat-tempat yang
dianggap keramat. Kepercayaan dinamisme menyebab kepada kekuatan alam atau
benda-benda seperti gunung, batu, dan keris. Kekuatan-kekuatan ini dijadikan
sebagai penangkal bahaya atu berfungsi sebagai alat memperoleh kekebalan.
benar dan yang dikenal dengan berbagai nama seperti Toani Tolotang, dan Aluk
Todolo (Mukhlis,1995:30).
2. Kepercayaan Malim di tanah Batak Toba
Kepercayaan kepada kuasa supernatural merupakan asa dalam agama
Malim. Kuasa supernatural itu disebut Tuhan Debata Mulajadi Nabolon. Debata
inilah sebagai tuhan yang mahakuasa, maha pencipta dan maha menjadikan
seluruh alam semesta alam. Kepercayaan ini tetap terjaga dalam masyarakat batak
toba hingga saat ini walaupun secara kuantitas telah berkurang akibat adanya
pengaruh modernisasi yang memunculkan agama-agama modern saat ini seperti
agama Kristen dan Islam yang saat ini memiliki umat terbesar pada masyarakat
Batak Toba. Keberadaan mereka saat ini sudah diakui pada daerah mereka, namun
diakui dalam bidang kebudayaan karena lebih dilihat dari kearifan loakalnya.
Bahkan untuk saat ini, agama Malim telah memiliki struktur organisasi yang jelas
dan tidak dikatakan sebagai bentuk agama, namun dalam bentuk kepercayaan
tradisional yang lebih dikaitkan pada budaya setempat (Gultom, 2010).
3. Agama lokal yang ada di Papua pada kecamatan Arso dan Waris
Kepercayaan ini dinamakan “Yonggoway”, yang diambil dari nama seorang
tokoh yang sangat dihormati mereka. Agama lokal ini tetap dianut masyarakat
Papua meskipun mereka pada umumnya telah menganut agama Kristen Katolik.
Dalam kepercayaan ini, salah satu dewa yang dianggap memiliki hal pencipta
dalah Kwembo, ialah yang menciptakan alam semesta, termasuk manusia dan
“fowor-fowor (manusia roh). Dalam kepercayaan ini terdapat tiga hierarki
Yoggoway. Menurut kepercayaan mereka, yang paling ditakuti adalah Yoggoway
karena ia bertugas mencabut nyawa orang. Disamping mereka percaya pada tiga
penguasa tersebut, mereka percaya pula terhadap roh dan makhluk-makhluk halus
yang berada di lingkungan kehidupan mereka. Dan untuk daerah Papua lainnya,
masih terdapat kepercayaan-kepercayaan lainnya dan memiliki sebutan yang
berbeda-beda juga (Oscar, 1994).
2.7 Kepercayaan Pemena di Tanah Karo
Sebelum agama Kristen dan Islam berpengaruh di daerah Batak Karo,
orang Karo memeluk agama yang dikenal dengan agama Pelbegu yaitu suatu
kepercayaan terhadap adanya begu-begu (roh atau bahan yang tidak berdaging
yang sakti) dewa-dewa dan roh nenek moyang yang bertempat tinggal di
gunung-gunung, pohon-pohon, sungai, rumah serta mepunyai kekuasaan atas hidup
manusia.
Orang Karo meyakini bahwa selain dihuni oleh manusia, alam juga
merupakan tempat bagi roh-roh gaib atau mahluk-mahluk lain yang hidup bebas
tanpa terikat pada suatu tempat tertentu, untuk itu diperlukan beberapa
aktivitas-aktivitas yang dapat menjaga keseimbangan alam. Segala kegiatan yang
berhubungan dengan roh-roh gaib dan upacara ritual, suatu kompleks
penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib, merupakan sebagian aspek penting
dalam kepercayaan tradisional Karo yang pelaksanaanya terpusat pada guru.
Suatu peranan yang mencakup luas dan mempunyai kaitan yang erat sekali
dengan konsepsi tentang kosmos dari guru sebagai pelaksana utama, sebab
adalah untuk mencapai kembali “equilibrium” atau keseimbangan. Baik itu
keseimbangan dalam diri manusia sendiri dan lingkungannya, maupun
keseimbangan “makro-kosmos” dalam konteks yang lebih luas. Guru dianggap
memiliki banyak pengetahuan yang mendetail tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan kehidupan dan kejadian-kejadian dalam hubungannya
dengan kehidupan (Alem, 2005).
Pemena merupakan istilah dalam bahasa Karo yang berarti awal atau
pertama. Sehingga agama Pemena dapat diartikan dengan agama awal atau agama
pertama yang ada di suku Karo. Dalam agama Pemena, masih menyakini adanya
begu atau roh orang yang telah meninggal. Roh tersebut ada yang baik dan ada
yang tidak baik, roh yang baik mampu membantu orang yang masih hidup seperti
halnya mengobati orang sakit dan mencengah adanya musibah. Hubungan mereka
dengan roh itu dilakukan melalui perantara guru. Jadi guru atau sering disebut
dengan guru si baso adalah salah satu orang yang berperan penting dalam
pemujaan terhadap yang dipercayai.
Dalam pandangan orang Karo seperti yang tertulis dalam buku Makna
Pemakaian Rebu dalam Kekerabatan Orang Batak Karo (Ahmad: 1995 dkk.:
18-21), bahwa alam semesta ini dikuasai oleh Dibata (Tuhan). Alam semesta ini
terbagi atas tiga yakni, langit, bumi, dan di bawah bumi. Masing-masing bagian
dikepalai oleh bagian dari Dibata yang satu, istilah agama kristen dengan Trinitas.
Ia bernama Dibata Mulajadi, biasa disebut Dibata saja.
Menurut kepercayaan orang Karo, masing-masing alam semesta dikepalai oleh:
2. Padukah Niaji disebut Dibata tengah, mengepalai bumi.
3. Banu Koling disebut Dibata teruh, mengepala di bawah bumi.
Dalam kehidupan sehari-hari yang paling ditakuti adalah dibata tengah
atau padukah niaji. Dia dianggap dapat membantu, karena secara langsung dapat
berhubungan dengan manusia, melalui hasil tanam-tanaman, hasil ternak dan
lain-lain.
Tanaman yang subur atau tidak subur, kesusahan atau kebahagiaan,
kesehatan atau penyakit, semua itu berada di tangan dibata tengah. Dibata tengah
juga mempunyai wakil-wakil yang ditempatkan pada setiap kegiatan manusia.
Setiap orang diawasi oleh wakil-wakil dibata tengah, dan ini disebut dengan tendi.
Tendi atau tondi di Batak Toba adalah jiwa dari orang yang masih hidup.
Ada beberapa pengertian tentang tendi:
1. Tendi pelindung manusia. Setiap orang mempunyai tendi sebagai
pemerintah diri sendiri, tubuh sebagai pelaksana.
2. Tendi dimiliki oleh setiap manusia yang masih hidup, ke mana saja
manusia pergi tendi ada di sana. Tendi dapat terpisah dari jasad apabila
seseorang meninggal dunia, atau sakit.
3. Tendi merupakan pribadi dari seseorang, seluruh tindakan seseorang
merupakan ekspresi dari tendi, orang baik mempunyai tendi yang baik
pula, orang jahat atau orang yang berkelakuan tidak baik akan mempunyai
tendi yang jahat dan tidak baik pula.
4. Tendi sebagai jiwa sewaktu-waktu dapat meninggalkan jasad, misalnya
orang batak Karo tendi tidak dapat meninggal seperti jasad. Tendi ini
dapat pula dikembalikan dengan satu upacara yang biasa disebut raleng
tendi.
5. Tendi seperti jasad harus dipelihara sebaik-baiknya. Ini berarti bahwa
tendi itu juga memerlukan pemeliharaan seperti jasad, misalnya dengan
memberikan sajian kecil berupa kapur dan sirih.
6. Tendi sebagai pelaksana mimpi, seseorang yang sedang bermimpi berarti
tendinya sedang pergi. Bagi orang yang sedang tidur biasanya dianjurkan
supaya yang membangunkan harus dengan suara yang lemah lembut
sambil memegang ibu jari kaki orang yang sedang tidur, dengan demikian
diharapkan tendinya masih sempat datang kepada orang yang tidur
tersebut jika kebetulan sedang bermimpi.
Orang yang meninggal dunia, tendinya akan berubah menjadi begu. Begu adalah
roh orang yang sudah meninggal.
Beberapa aspek pengertian tentang begu:
1. Begu sebagai roh yang sudah meninggal dunia, tidak dapat dilihat oleh
orang biasa. Guru sibaso dapat melihat dan berbicara dengan begu siapa
saja yang diingini, baik atas keinginan sendiri maupun atas permintaan
orang lain.
2. Begu sebagai roh manusia yang telah meninggal dunia dapat dipanggil.
Begu nenek moyang, begu orang yang baru meninggal dunia, semuanya
dapat dipanggil atas permintaan keluarga yang bersangkutan. Orang yang
tentang sebab-sebab dia meninggal dan apa keluhannya setelah meninggal.
Semua upacara memanggil begu tersebut upacara perumah begu.
3. Begu sebagai roh manusia yang jahat adalah orang-orang yang matinya
tidak layak, seperti disiksa terlalu lama, tidak diperhatikan keluarganya
semasa hidupnya. Begu ini biasanya dipelihara oleh orang kikir, untuk
menjaga tanaman, orang yang penakut untuk menjaga diri sendiri. Orang
yang memelihara begu jahat ini disebut dengan istilah perbegu ganjang
dan tidak disenangi oleh masyarakat.
4. Begu sebagai roh yang dapat menunggu sesuatu tempat, contohnya begu
juma yakni yang menempati ladang, begu lau yakni yang menempati
tempat mandi dan banyak lagi begu-begu lain. Begu ini dihormati karena
dapat membantu dalam kehidupan sehari-hari.
Pada masyarakat Karo yang belum memeluk agama resmi baik islam dan
kristen, jika seseorang menyatakan sukacitanya kepada Dibata, dia mengadakan
persembahan kecil, persembahan yang paling disukai adalah ayam, warna ayam
ditentukan oleh guru sibaso sesudah berhubungan dengan roh-roh halus. Upacara
ini disebut mulahi manuk.
Dalam pelaksaan keagamaan diakan upacara-upacara, setiap upacara
selalu dipimpin oleh guru. Guru sibaso memimpin upacara yang langsung
berhubungan dengan roh halus, seperti begu atau tendi, guru dapat memberikan
keterangan tentang keinginan begu atau tendi. Guru umumnya berhubungan
dengan kepentingan umum dan masyarakat. Contohnya jika ada wabah penyakit
Guru disamping mengetahui soal-soal keagamaan juga harus mengetahui
soal adat, untuk segala persoalan adat yang berhubungan dengan roh halus, selalu
diselesaikan oleh guru, misalnya kawin semarga atau kawin sumbang yang
merupakan incest bagi orang Karo. Menurut penilaian guru, hal itu diakibatkan
oleh kemarahan roh halus atau roh nenek moyang yang bersangkutan. Dalam hal
ini guru dapat menetralisir kegoncangan hubungan antara masyarakat dengan
roh-roh halus.
2.8 Defenisi Konsep
Agar penelitian ini tetap pada focus penelitian dan supaya tidak
menimbulkan penafsiran ganda dikemudian hari, maka perlu dibuat defenisi
konsep antara lain sebagai berikut:
1. Keberadaan pemeluk kepercayaan adalah kejelasan akan posisi seseorang
atau sekelompok pemeluk suatu kepercayan. Dalam hal ini yang ingin
dilihat adalah kejelasan identitas dari pemeluk kepercayaan Pemena di
Desa Pergendangen, Kecamatan Tiga Binanga.
2. Agama dan kepercayaan dalam konsep sosiologi memiliki pengertian yang
sama. Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dianut oleh
penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang
dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi
diri mereka dan masyarakat luas umumnya. (Hendropuspito, 1996:34).
Sehingga dalam penelitian ini tidak dibedakan agama dengan kepercayaan,
di mana dalam hal ini Pemena dapat dikatakan sebuah agama ataupun
3. Nilai-nilai religius adalah sesuatu yang dianggap baik, benar dan berguna
dalam masyarakat yang berkaitan dengan religi atau kepercayaan. Dalam
hal ini, nilai-nilai religius yang dimaksud adalah nilai-nilai kepercayaan
Pemena yang masih dipakai dalam kehidupan sehari-hari dan
penerapannya dalam masyarakat.
4. Kepercayaan Pemena merupakan kepercayaan pada masyarakat Karo.
Pemena merupakan bahasa Karo berarti awal atau pertama dalam bahasa
Indonesia. Kepercayaan ini mempercayai roh-roh nenek moyang yang
dapat berwujud benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan
supranatural misalnya batu, pohon, sungai, tempat keramat dan
sebagainya. Di Desa ini terdapat tempat penyembahan untuk semua
masyarakat desa yang masih memeluk kepercayaan Pemena, yang
dinamakan batu Penembahan yang pada dahulunya merupakan pusat
penyembahan untuk semua warga desa sebelum masuknya agama resmi.
Ada juga penyembahan yang didasarkan oleh marga yang ada menjadi
peletak dasar desa ini, yaitu:
Nini Galuh yang merupakan tempat penyembahan bagi marga
Tarigan Rumah Sendi.
Nini Batu Pulu Balang adalah tempat penyembahan yang dibuat
oleh klan marga Perangin-angin Mano.
Nini Batu dan Hutan Selantam adalah tempat penyembahan yang
berbentuk batu yang ada di dalam hutan Selantam di pinggir desa
yang dibuat untuk tempat penyembahan marga Ginting
5. Masyarakat Karo adalah sekumpulan manusia yang hidup pada wilayah
yang dinamakan kuta (desa), dan memiliki cirri-ciri dengan memakai
bahasa, nilai, adat-istiadat, dan ikut dalam merga si lima, tutur siwaluh,
perkaden-kaden sepulu dua dan cirri budaya Karo lainnya.
6. Stereotip adalah pandangan atau prasangka buruk terhadap sesuatu yang
pada dasarnya belum dapat dipastikan secara faktual. Dalam penelitian ini,
pandangan yang ingin dilihat adalah pandangan masyarakat yang bukan