• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. Hasil dan Pembahasan

5.2 Pembahasan

5.2.1 Intensitas Dismenore

Berdasarkan hasil penelitian, responden mayoritas mengalami Intensitas nyeri sedang sebanyak 40 siswi (65.6%). Dari crosstab yang dilakukan peneliti didapatkan hasil bahwa dismenore sedang dialami oleh siswi SMA Negeri 4 Medan yang berusia 14 – 17 tahun. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka peneliti menyimpulkan bahwa Dismenore dialami oleh siswi SMAN 4 Medan dikarenakan siswi sedang berada pada usia pubertas dimana pada usia 14-17 tahun sedang terjadi perkembangan organ – organ reproduksi.

Hasil penelitian ini didukung oleh teori yang menyatakan Dismenore pada umumnya terjadi 2-3 tahun setelah menarce, umur menarce yang ideal adalah 13-14 tahun, sehingga dismenore lebih banyak terjadi pada usia 15-17 tahun. Selain itu pada usia tersebut terjadi perkembangan ortgan - organ reproduksi dan perubahan hormonal yang signifikan (Baradero, 2006).

Kejadian dismenore sangat dipengaruhi oleh usia wanita. Rasa sakit yang dirasakan beberapa hari sebelum menstruasi dan saat menstruasi biasanya karena meningkatnya sekresi hormone prostaglandin. Semakin tua umur seseorang, semakin sering ia mengalami menstruasi dan semakin lebar leher Rahim maka sekresi hormone prostaglandin akan semakin berkurang. Selain itu, dismenore

nantinya akan hilang dengan makin menurunnya fungsi saraf rahim akibat penuaan (Novia, 2006).

Hasil penelitian ini sejalan dengan Shinta (2014) mengenai Faktor – factor yang berhubungan dengan kejadian dismenore pada siswi SMA Negeri 2 Medan yaitu dismenore pada kelompok umur 15 tahun yaitu 86,0% dan pada kelompok umur 16-18 tahun yaitu 85,9%. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Shopia (2013) mengenai Faktor – factor yang berhubungan dengan dismenore pada siswi SMK Negeri 10 Medan yaitu kelompok umur 15-17 tahun mengalami dismenore sebanyak (85,9%), siswi pada kelompok umur 15-17 tahun memiliki kemungkinan resiko 1,6 kali lebih besar mengalami dismenore dibandingkan kelompok usia > 17 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah responden sebagian besar mengalami dismenore sedang pada usia menarce 12 tahun yaitu 17 orang (77,3%). Dismenore berat dialami oleh siswi yang usia menarcenya 12 tahun yaitu 1 orang (4,5%) dan usia menarce 13 tahun yaitu 1 orang (5,3%). Maka peneliti menyimpulkan bahwa siswi yang mengalami dismenore adalah siswi yang usia

menarce ≤ 12 tahun . dismenore yang dialami dikarenakan pada usia menarce ≤

12 tahun organ reproduksi belum berkembang secara maksimal.

Hasil penelitian ini didukung oleh teori Ehrenthal tahun 2006 menyatakan Pubertas adalah suatu masa transisi antara masa anak – anak dan dewasa yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan organ – organ reproduksi. Salah satu tanda remaja wanita sudah memasuki masa pubertas adalah menarce. Menarce atau

menstruasi pertama pada umumnya dialami remaja pada usia 13 – 14 tahun,

namun pada dapat terjadi pada usia ≤ 12 tahun. Umur menarce yang terlalu muda (≤ 12 tahun) dimana organ – organ reproduksi belum berkembang secara maksimal dan masih terjadi penyempitan pada leher rahim, maka akan timbul rasa sakit pada saat menstruasi karena organ reproduksi wanita belum berfungsi secara maksimal.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Shopia (2013) yang

menyatakan bahwa siswi yang menstruasi pada umur ≤ 12 tahun memiliki kemungkinan resiko 1,6 kali lebih besar dibandingkan dengan siswi yang menstruasi pada umur 13-14 tahun. Berdasarkan hasil penelitian gustina (2015)

diketahui respomden yang usia menarce ≤ 12 tahun mengalami dismenore

sebanyak 89 siswi (89,9%), lebih banyak dibandingkan dengan usia menarce > 12 tahun yaitu sebanyak 11 siswi (22,4%). Penelitian ini tidak sejalan dengan Shinta (2014) yang dilakukan di SMA Negeri 2 Medan, menunjukkan bahwa responden

yang mengalami usia menarce ≥ 12 tahun paling banyak yaitu sebanyak (86,4%). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden mengalami lama pendarahan 6-8 hari dan mengalami dismenore yang sedang yaitu 21 orang (72,4%). Dan yang mengalami lama pendarahan 6-8 hari dan mengalami dismenore berat yaitu 2 orang (6,9%). Maka dapat disimpulkan bahwa wanita yang mengalami menstruasi lebih lama dari menstruasi normal akan mengalami nyeri ketika menstruasi. Hal ini dikarenakan kontraksi otot uterus yang berlebih dalam fase sekresi sehingga produksi hormon prostaglandin menjadi berlebih.

Menurut Shanon (2006) semakin lama menstruasi terjadi, maka semakin sering uterus berkontraksi, akibatnya semakin banyak prostaglandin yang dikeluarkan. Akibat produksi prostaglandin yang berlebihan, maka timbul rasa nyeri. Selain itu kontraksi uterus yang terus-menerus juga menyebabkan suplai darah ke uterus berhenti sementara sehingga terjadilah dismenore. Lama pendarahan menstruasi secara fisiologis lebih kepada kontraksi otot uterus yang berlebihan, dalam fase sekresi akan memproduksi hormon prostaglandin. Prostaglandin terbentuk dari asam lemak tidak jenuh yang disintesis oleh seluruh sel yang ada di dalam tubuh (Anurogo, 2011). Lama menstruasi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya dismenore, teratur atau tidaknya lama menstruasi bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya faktor stres atau aktivitas remaja yang berlebihan sehingga mengakibatkan stres yang bisa menjadikan lama menstruasi (Proverawati dan Misaroh, 2009).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Shopia (2013) yaitu proporsi

dismenore tertinggi pada kelompok siswi dengan lama menstruasi ≥ 7 hari yaitu

87,20% dan terendah pada kelompok siswi dengan lama menstruasi < 7 hari yaitu 73,30%. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Novia (2006) bahwa dismenore paling banyak terjadi (76,5%) pada responden yang lama menstruasinya > 7 hari jika dibandingkan dengan responden yang lama menstruasinya 3-7 hari dan < 3 hari. Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Gustina (2015) yaitu responden yang mengalami lama menstruasi ≤ 7

hari mengalami dismenore sebanyak 96 siswi (85%), sedangkan yang mengalami lama menstruasi > 7 hari yaitu 31 siswi. Hasil penelitian ini juga berbeda dengan

penelitian Utami (2012) pada siswi SMA Negeri 1 Kahu Bone yang menunjukkan bahwa responden yang mengalami dismenore terbanyak yaitu yang mengalami

lama menstruasi ≤ 7 hari(86,5%).

5.2.2 Aktivitas belajar

Hasil penelitian menunjukkan aktivitas belajar siswi SMA Negeri 4 Medan mayoritas memiliki aktivitas belajar terganggu sebanyak 38 siswi (63.3%). Dari hasil penelitian dappat disimpulkan bahwa aktivitas belajar siswi mayoritas terganggu, aktivitas belajar yang terganggu dapat menjadikan tujuan belajar tidak tercapai.

Aktivitas belajar adalah kegiatan-kegiatan siswa yang menunjang keberhasilan siswa. Jadi dapat kita pahami bahwa segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan baik secara jasmani atau rohani yang dilakukan dalam proses interaksi antara guru dan siswa sehingga dapat mencapai tujuan belajar (Iin, 2012).

Belajar bukanlah berproses dalam kehampaan. Tidak pula pernah sepi dari berbagai aktivitas, tidak pernah terlihat orang yang belajar tanpa melibatkan aktivitas raganya. Apalagi bila aktivitas belajar itu berhubungan dengan masalah belajar menulis, mencatat, memandang, membaca, mengingat, berfikir, atau praktek (Djamarah, 2008).

Dalam aktivitas kehidupan manusia sehari-hari hampir tidak pernah dapat terlepas dari kegiatan belajar, baik ketika seseorang melakukan aktivitas sendiri, maupun di dalam suatu kelompok tertentu. Dipahami ataupun tidak dipahami,

sesungguhnya sebagian besar aktivitas di dalam kehidupan sehari-hari kita merupakan kegiatan belajar (Aunurrahman, 2009).

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa 31 siswi (51,3%) mengalami dismenore sedang dengan aktivitas belajar yang terganggu, yang mengalami dismenore sedang dan aktivitas sangat terganggu adalah 7 siswi (11,7 %). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas belajar responden cukup terganggu dengan adanya dismenore yang dialaminya. Menurut Kurniawati (2008), dismenore merupakan salah satu penyebab utama absen sekolah pada remaja putri untuk beberapa jam atau beberapa hari. Hal tersebut dihubungkan pada pengaruh negative terhadap aktivitas belajar sosial pada kebanyakan remaja putri. Remaja putri yang mengalami dismenore pada saat libur sekolah atau absen, prestasinya kurang begitu baik di sekolah dibandingkan mereka yang tidak terkena dismenore. Menurut Prawiroharjo (2008) dismenore membuat remaja tidak bisa beraktivitas secara normal dan memerlukan resep obat. Keadaan tersebut menyebabkan menurunnya kualitas hidup remaja sebagai contoh siswi yang mengalami dismenore tidak dapat berkonsentrasi dalam belajar dan motivasi belajar menurun karena nyeri yang dirasakan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Handayani (2011) mengenai hubungan dismenore terhadap aktivitas belajar siswi SMA Muhammadiyah 5 Yogyakarta bahwa mengalami dismenore sedang dan aktivitas belajarnya cukup terganggu yaitu 22 orang (42,3%) sedangkan responden yang paling sedikit mangalami dismenore ringan dengan aktivitas terganggu dan mengalami

dismenore ringan dengan aktivitas belajar terganggu yaitu masing-masing 2 orang (3,8%).

Dokumen terkait