• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

D. Mazhab Hanafi

1. Riwayat Hidup Imam Hanafi

Imam Abu Hanifah lahir di Kufah pada tahun 80 H/659 M, dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 150 H/767 M.4 Beliau adalah seorang ulama mujtahid dalam bidang fikih dan salah seorang imam yang empat yang terkenal dalam Islam.

Imam Abu Hanifah hidup dimasa dua khalifah yakni daulah bani umayyah dan daulah bani abbassiyah. Ia sempat bertemu dengan 7 sahabat Nabi dan mendengarkan hadis dari mereka, sebagaimana pernah ia tuturkan. (Barmawi, 2006 : 269).

Nama lengkapnya Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha al Taimi bin Tsa’labah, ayahnya bernama Tsabit berasal dari keturunan Persia yang pada masa

46 kecil diajak orang tuanya berziarah kepada Ali bin Abi Thalib. Lalu ia didoakan agar dari keturunan Tsabit ada yang menjadi ahli agama.

Abu Hanifah menekuni ilmu fikih di Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fikih yang cenderung rasional. Di Irak terdapat Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud (wafat 63 H/ 682 M).

Kepemimpinan kemudian berpindah alih kepada Ibrahim Al-Nakha’i, lalu Hammad bin Sulaiman Al-Asyari (wafat 120 H). Hammad bin Sulaiman adalah seorang imam besar pada waktu itu. (Yanggo, 1976, : 95-96). Ia murid dari Al-Qamah ibn Qais dan Al-Qadhi Syuriah, keduanya adalah tokoh yang terkenal di Kufah dari golongan tabiin. Dari Hammad ibn Abi Salamah itulah Abu Hanifah belajar fikih dan hadis. Sepeninggal Hammad, majelis madrasah kufah sepakat untuk mengangkat Abu Hanifah menjadi kepala madrasah. Selama itu ia mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa-fatwa dalam masalah fikih. Fatwa tersebut merupakan dasar utama pemikiran mazhab Hanafi yang dikenal saat ini.

Abu Hanifah adalah seorang ulama yang mempunyai kepandaian yang sangat tinggi dalam mempergunakan ilmu mantiq dan menetapkan hukum syarak, dengan qiyas dan istihsan. Beliau juga terkenal sebagai ulama yang berhati-hati dalam menerima suatu hadis.

2. Metode Istinbat Hukum Mazhab Hanafi

Dari beberapa sumber yang ditemukan bahwa yang menjadi dasar pegangan Imam Abu Hanifah dalam berijtihad adalah sebagai berikut: pertama al-Qur’an, kedua al-Sunah, ketiga Fatwa Para Sahabat, keempat Qiyas, kelima Istihsan,

47 keenam al-Urf, hal ini berdasarkan pernyataan Imam Abu Hanifah sendiri yang berbunyi:

Dasar-dasar pegangan mazhab Hanafi adalah:

a. Al-Qur’an

Ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa pesan al-Qur’an tidak semuanya qath’i dalalah. Ada beberapa hal yang memerlukan interprestasi terhadap hukum yang ditunjukan oleh al-Qur’an, terutama terhadap ayat-ayat yang menerangkan muamalah antar manusia. (Supriyadi, 2008 : 159).

Dalam memahami al-Qur’an ulama Hanafiyah tidak hanya melakukan interprestasi terhadap ayat al-Quran yang masih mujmal, akan tetapi mereka juga melakukan penelaahan terhadap ‘am dan khas ayat al-Quran tersebut.

b. Al-Sunnah

Dasar kedua yang digunakan mazhab Hanafi adalah al-Sunnah. Al- Sunnah kedudukannya di bawah al-Qur’an. Imam Abu Yusuf berkata, aku belum pernah melihat seseorang yang lebih alim tentang menafsirkan hadis dari pada Abu Hanifah. Ia adalah seorang yang mengerti hadis dan mendetail dan mentarjih hadis.14 Dasar kedua ini Mazhab Hanafi sepakat mengamalkan al- Sunnah yang mutawatir, masyhur dan sahih. Mazhab Hanafi sangat selektif dalam menetapkan syarat-syarat yang digunakan untuk menerima hadis ahad.

48 Abu Hanifah menolak hadis ahad apabila berlawanan dengan makna al- Qur’an baik makna yang diambil dari illat hukum maupun diambil dari nash. Ali Hasan Abd. Al-Qadir mengatakan “Musuh-musuh Abu Hanifah menuduhnya tidak memberikan perhatian yang besar terhadap hadis, ia memprioritaskan ra’yu”.

Terhadap hadis mutawatir Imam Abu Hanifah menerimanya tanpa syarat karena tingkat kehujahannya qath’i, meskipun terdapat beberapa pertentangan antara hadis mutawatir dengan akal, tetapi beliau lebih mendahulukan hadis mutawatir. Hal ini berbeda dengan hadis ahad, beliau menerima dan mengamalkan hadis ahad apabila hadis tersebut memenuhi beberapa persyaratan yaitu:

1.) Periwayat tidak boleh berfatwa yang bertentangan dengan hadis yang diriwayatkannya.

2.) Hadis ahad tidak boleh menyangkut persoalan umum yang sering terjadi, sebab jika menyangkut persoalan yang sering terjadi mestinya hadis ini diriwayatkan oleh banyak perawi.

3.) Hadis ahad tidak boleh bertentangan dengan kaidah umum atau dasar-dasar kauliyah.

c. Fatwa Para Sahabat

Imam Abu Hanifah sangat menghargai sahabat. Beliau menerima dan mengharuskan umat Islam mengikutinya. Menurut Imam Abu Hanifah ijma’ para

49 sahabat adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Islam yang dilakukan sesudah masa Nabi SAW karena suatu urusan. (Supriyadi, 2008 : 162).

Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma’ itu dijadikan hujah, mereka menerima ijma kauli dan sukuti. Mereka menetapkan bahwa tidak boleh ada hukum yang baru terhadap suatu urusan yang telah disepakati oleh para ulama, karena menurut ulama Hanafiyah membuat hukum baru adalah menyalahi ijma’. Berikut ada tiga alasan yang di sebutkan ulama Hanafiyah dalam menerima ijma’ sebagai hujah :

1.) Para sahabat berijtihad dalam menghadapi suatu masalah yang timbul.

Umar bin khatab dalam menghadapi suatu masalah sering memanggil para sahabatnya untuk bermusyawarah dan bertukar pikiran. Apabila dalam musyawarah tersebut terjadi kesepakatan maka umar pun melaksanakannya.

2.) Para imam selalu menyesuaikan pahamnya dengan paham yang telah diambil oleh ulama-ulama di Negerinya. Abu Hanifah tidak mau menyalahi sesuatu yang telah difatwakan oleh ulama kufah.

3.) Adanya sebuah hadis yang menunjukan keharusan menghargai ijma’.

Ulama Hanafiyah tidak membeda-bedakan antara macam-macam ijma’, oleh karena itu apapun yang menjadi kesepakatan para ulama berhak atas penetapan hukum serta menjadi hujah hukum.

50 d. Qiyas

Qiyas adalah penetapan dan penjelasan suatu hukum tertentu yang tidak ada nashnya dengan melihat masalah lain yang jelas hukumnya dalam kitabullah, Sunah ataupun ijmak karena kesamaan illatnya.17 Yang menjadi inti pegangan dalam menjalankan qiyas adalah bahwa segala hukum syarak ditetapkan untuk menghasilkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Baik hukum-hukum yang di perintah ataupun dilarang yang terpenting mengandung pengertian-pengertian dan hikmah-hikmah ysng menghasilkan kemaslahatan yang baikbagi umat.

Tidak semua masalah yang baru timbul dan tidak ada hukumnya dalam al-Qur’an, as-Sunah dan ijmak boleh diqiyaskan begitu saja dengan dalih kemaslahatan umum, berikut persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan qiyas, sebagai berikut:

1.) Ashal

Ashal adalah suatu yang telah ditentukan ketentuan hukumnya berdasarkan nash, baik nash tersebut berupa al-Qur’an maupun Sunah. Dalam masalah lain ashal disebut dengan naqis’alaih (yang diqiyaskan atasnya) atau juga musyabbah bih (yang diserupakan dengannya). (Djazuli & Aen, 2000 :137).

2.) Al- Far‘u (Cabang)

Al-Far‘u adalah masalah yang hendak diqiyaskan yang tidak ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya.

51 3.) Hukum Ashal

Hukum ashal adalah hukum syarak yang terdapat pada ashal yang hendak ditetapkan pada far‘u dengan jalan qiyas. Misalnya hukum haram khamar yang ditegaskan dalam al-Qur’an maupun as-Sunah.

4.) I‘llat

Secara Bahasa illat adalah suatu yang bisa mengubah keadaan. Sedangkan menurut istilah adalah suatu sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum dan sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa. (Saebani, 2008 : 174)

e. Istihsan

Istihsan merupakan pola istinbath hukum Imam Abu Hanifah, secara termonologi istihsan dapat dipahami dengan pindahnya para fukaha dari qiyas jali kepada qiyas khafi.( Romli, 1999 :79). Imam Abu Hanifah membagikan teori istihsan dalam enam bentuk, yaitu:

1) Istihsan bi Al-Nash 2) Istihsan bi Al Ijma’

3) Istihsan bi Al-Qiyas Al-Khafi 4) Istihsan bi Al-Maslahah 5) Istihsan bi Al-‘Urf 6) Istihsan bi Al-Dharuroh

52 f. Al-‘Urf

‘Urf adalah suatu kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Misalnya kebiasaan pada suatu masyarakat tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi keperluan rumah tangga pada suatu perkawinan biasa diambil dari maskawin yang diberikan oleh suami. (Haroen, 138-139)

Ulama mazhab Hanafi menerima dan menjadikannya sebagai dalil syarak, adapun ‘urf yang dijadikan sebagai hujah adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syarak baik berupa perkataan dan perbuatan maupun ‘urf yang menyangkut kebiasaan yang bersifat umum dan khusus atau biasa disebut dengan ‘urf sharih.

53 BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Ittihad al-majelis Menurut Persepsi Ulama Mazhab

Suatu akad pernikahan apabila telah memenuhi segala rukun dan syaratnya secara lengkap menurut yang telah ditentukan seperti menurut hukum Islam ataupun perundang-undangan, maka akad pernikahan yang demikian itu disebut akad pernikahan yang sah dan mempunyai implikasi hukum. (Shomad, 2010: 280) Selain itu ada sebuah kesepakatan bahwa pernikahan itu dipandang sebagai sebuah akad. Akad (kontrak) yang terkandung dalam isi UU No 1/1974 dan KHI sebenarnya merupakan pengertian yang dikehendaki oleh undang undang. Acapkali disebut bahwa pernikahan adalah, "marriage in Islam is purely civil contract"

(pernikahan merupakan suatu perjanjian semata). Yang berarti point of interest atau urgensi dari sebuah pernikahan adalah sebuah akad atau perjanjian. (Nuruddin dan Tarigan, 2004 :47)

Berdasarkan kerangka diatas para ulama sepakat bahwa pernikahan dapat dinyatakan sah apabila dilaksanakan dengan sebuah akad, yang melingkup iijab dan qabul antara seorang wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil atau wali, dan dipandang tidak sah jika semata-mata hanya berdasarkan suka sama suka tanpa adanya sebuah akad.( Mughniyah, 2010: 309)

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ijab dan qabul merupakan unsur yang fundamental dan menjadi bagian esensi terhadap keabsahan suatu akad pernikahan.

(al-Kattani dkk., 2011 :45). Karena dengan adanya ijab dan qabul, berarti ada yang

54 mengucapkan ijab dan ada yang mengucapkan qabul, dan keberadaan keduanya yang saling terhubung dan berkaitan tersebut mengharuskan adanya objek dimana implikasi dari pengikatan itu muncul. (Zaidan, 2008: 365)

Jika suatu akad pernikahan kurang satu atau beberapa rukun dan syaratnya maka pernikahan tersebut dipandang tidak sah (Mardani, 2013 : 76-78) beberapa rukun, dan hal ini di kategorikan akad pernikahan yang batal (neiting) (Mardani, 2013 : 76). Dapat pula terjadi diakibatkan tidak terpenuhinya salah satu syaratnya, dan hal ini di kategorikan akad pernikahan yang fasid (verniettigbaar). (Shomad, 2010:

281). Ada beberapa persyaratan yang mesti terpenuhi untuk keabsahan suatu akad dalam pernikahan.

Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Fiqh Islam Wa-Adillatuhu halaman 57 menjelaskan bahwa menurut kesepakatan para ulama, dalam shigat akad (ijab dan qabul) disyaratkan empat hal:

(1) Kesesuaian dan ketepatan kalimat ijab dengan qabul.

Kesesuaian itu dapat terwujud dengan adanya kesesuaian ijab dan qabul dalam tempat akad dan ukuran mahar.Jika ijab dan qabul berbeda, dan perbedaan itu terletak pada tempat akad, misalnya ayah perempuan berkata,"Aku menikahkanmu dengan khadijah," lantas si lelaki menjawab,

"Aku menerima pernikahan Fatimah," maka pernikahan tidak sah. Itu dikarenakan isi dari kalimat qabul berbeda dengan apa yang disebutkan dalam kalimat ijab. Jika perbedaan itu terletak pada ukuran mahar, misalnya saja si wali perempuan berkata, "Aku nikahkan kamu dengan puteriku dengan mahar 1000 dirham," lantas si lelaki menjawab, "Saya terima

55 nikahnya dengan mahar 800 dirham," maka pernikahannya tidak sah. Sebab tidak sahnya akad karena ada perbedaan dalam ukuran mahar, sekalipun mahar bukan merupakan rukun akad adalah bahwa sesungguhnya jika mahar disebutkan di dalam akad maka ia menjadi bagian dari kalimat ijab.

(2) Orang yang mengucapkan kalimat ijab tidak boleh menarik kembali ucapannya. Di dalam akad disyaratkan bagi orang yang mengucapkan kalimat ijab untuk tidak menarik kembali ucapannya sebelum pihak yang lain mengucapkan kalimat qabul. Jika dia menarik kembali ucapannya maka ijabnya tersebut menjadi batal.Dengan demikian, tidak ada kalimat yang sesuai dengan kalimat qabul.Karena ijab dan qabul merupakan satu rukun.

Dengan kata lain, salah satu dari keduanya haya meupakan setengah rukun saja

(3) Diselesaikan pada waktu akad. Di dalam fikih empat mazhab tidak dibolehkan melakukan akad nikah untuk pernikahan diwaktu yang akan datang, misalnya dengan berkata "Aku akan menikahimu besok, atau lusa".

Juga tidak membolehkan akad dengan dibarengi syarat yang tidak ada, seperti berkata, "Aku akan menikahimu jika Zaid datang", atau "jika ayah meridhai", atau berkata, "Aku akan menikahkanmu dngan putriku jika matahari telah terbit".Itu dikarenakan akad nikah termasuk akad pemberian hak kepemilikan atau penggantian.( Zahra, 1957:75)

Disamping itu, telah dijelaskan di dalam KHI pada Pasal 27, yakni: "Ijab dan qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu".

56 (4) Dilakukan dalam satu majelis (ittihād al-majlis). Dilakukan dalam satu majelis (ittihād al-majlis).jika kedua belah pihak hadir. Jika pihak perempuan berkata, "Aku menikahkanmu dengan diriku", lantas pihak yang lain berdiri sebelum mengucapkan kata qabul, atau menyibukkan diri dengan perbuatan yang menunjukkan berpaling dari mejelis, kemudian setelah itu baru mengatakan, "Aku menerima", maka akad tersebut tidak sah.( Masykur A.B dkk., 2010 :311-312). Hal ini menunjukkan bahwa sekedar berdiri saja dapat mengubah majelis. Demikian juga jika pihak pertama meninggalkan majelis setelah mengucapkan kalimat ijab, lantas pihak kedua mengucapkan kata qabul di dalam majelis disaat pihak pertama tidak ada atau setelah kembalinya, maka itu juga dianggap tidak sah. (Az-Zuhaili, 2011:56-58).

Berbicara keabasahan hukum nikah secara virtual tidak bisa terlepas dengan rukun dan syarat pernikahan dan erat kaitannya dengan makna substansial ittihād al-majelis (satu majelis) dalam suatu syarat akad nikah, dan hal ini sangat kompleks karena terdapat beragam sudut pandang dari para ulama mazhab berkaitan hal ini,diantaranya ada yang menginterpretasikan persyaratan ittihād almajelis adalah menyangkut keharusan kesinambungan waktu (zaman) antara ijab dan Kabul, bukan menyangkut kesatuan tempat (makan). Dan adapula yang menginterpretasikan bahwa bukan saja menyangkut keharusan kesinambungan waktu (zaman) antara ijab dan Kabul, tetapi juga mengandung persyaratan lain, yaitu al-mu'ayyanāh (berhadap-hadapan), yakni menyangkut kesatuan tempat (makan).( M. Zein, 2010 :3-8)

57 Oleh karena masih terdapat perbedaan-perbedaan yang signifikan terkait pemaknaan ittihād al-majelis di antara para ulama madzhab, maka perlu adanya pembahasan yang lebih lanjut terkait apa gerangan yang dimaksudkan dengan bersatu majelis itu dan apa gerangan substansi yang terkandung dalam interpretasi sebenarnya terhadap kata satu majelis. Karena hal ini erat kaitannya dengan keabsahan suatu akad nikah melalui media online atau secara virtual. Untuk lebih jelasnya maka disini penulis akan coba mengkonparasikan pendapat kedua mazhab yaitu mazhab Syafi’I dan mazhab Hanafi.

1. Pendapat Ulama Mazhab Syafi'I Tentang Ittihād al-Majelis

Menurut ulama mazhab Syafi'iyah, salah satu syarat penting dalam suatu akad pernikahan adalah adanya kesinambungan (Muttaşhil) antara ijab dan qabul.

Oleh karena itu, dalam madzhab yang memegang teguh pada Imam Syafi'i ini, pengucapan ijab dan kabul dalam satu tempat (makan) dan kurun waktu (zaman) yang sama adalah suatu keharusan. Hal ini berarti esensi dari pensyaratan akad ittihad al-majelis adalah menyangkut kesatuan tempat (makan), bukan semata-mata kesatuan ucapan (kalam) dari kedua belah pihak. Beranjak dari pemahaman inilah ulama Syafi'iyah menolak dan menganggap tidak sah suatu aqad (ijab qabul) dengan media tulisan (al-kitābah) yang dilakukan melalui surat, selain melalui perwakilan. Hal ini didasarkan pada disyaratkan kesegeraan dalam akad. Artinya, qabul harus dilakukan segera setelah ijab, secara langsung dan tidak terpisah (oleh perkataan lain). (Mughniyah,2010 : 311). Alasan yang juga ikut mencuat adalah karena ijab dan qabul harus dilakukan dengan lafadz yang şharih, sedang suatu

58 ucapan yang termuat dalam redaksi sebuah surat (kitābah) dianggap tidak jelas atau samar (kināyah). Sementara persoalan nikah tidak diperkenankan dengan sesuatu yang masih samar atau tidak jelas (kināyah).( al-Syafi'I, 1996: 30)

2. Pendapat Ulama Mazhab Hanafi Tentang Ittihād al-Majelis

Para ulama mazhab Hanafi menginterprestasikan tentang ittihād almajelis bersatu majelis pada sebuah akad dalam pernikahan adalah menyangkut kesinambungan waktu (zaman) diantara ijab dan qabul, bukan menyangkut kesatuan tempat. Karena ijab dan qabul pada konteks ini harus dilaksanakan dalam kurun waktu yang terdapat dalam satu ritual akad nikah, bukan dilaksanakan pada dua kurun waktu yang terpisah, dalam artian bahwa ijab diikrarkan dalam satu ritual, lalu setelah ritual ijab bubar, qabul di ucapkan pula pada acara selanjutnya.

Dalam hal yang disebutkan terakhir tadi, meski dua acara berkesinambungan secara terpisah bisa jadi dilaksanakan dalam kurun waktu yangsama, akan tetapi dikarenakan kesinambungan antara ijab dan qabul itu terputus, maka akad nikah tersebut tidak sah. (M. Zein, 2010: 3)

Meskipun tempatnya bersatu, namun jikalau dilaksanakan dalam kurun waktu yang tidak sama, dalam dua acara yang terpisah, maka kesinambungan diantara penerapan ijab dan penerapan qabul sudah tidak dapat diwujudkan, oleh sebab itu akad nikahnya tidak sah. (Az-Zuhaili, 2011: 56)

Salah satu kasus yang dikemukakan oleh Ibnu Nujaim adalah dalam konteks salah satu pihak yang berakad menguapkan ijab di suatu tempat (makan), selanjutnya pada sisi atau pihak lain mengucapkan di tempat lain maka akadnya

59 tersebut dianggap sah, apabila pihak-pihak yang berakad dapat melihat mitranya dan suaranya yang dapat didengar dengan şharih, meski diantara keduanya terpisahkan jarak yang jauh. (al-Hanafi, 1993 : 294)

Dari kasus di atas dapat diindikasikan atau dipahami bahwa substansi atau esensi dari sebuah persyaratan bersatu majelismenurut Hanafiyahialah berkaitan keharusan kesinambungan waktu (zaman), bukan berkaitan kesatuan tempat (makan) selama belum terjadi hal-hal menolak dan memalingkan mereka dari majelis akad tersebut.

Berdasarkan hal itu, menurut Hanafiyah pengikraran ijab dan qabul lewat perkataan mulut (lisan) bukanlah salah satunya cara yang harus dijalani dalam pengikraran ijabnya. Menurut Hanafiyah aqad dapat juga dilaksanakan melalui tulisan (al-kitābah). Dalam fungsinya sebagai pernyataan sikap, tulisan dipahami memiliki fungsi yang sama dengan ucapan (lisan). Dapat diartikan bahwa pernyataan sikap yang diutarakan lewat media tulisan yang şharih memiliki kekuatan hukum yang sama dengan pengucapan secara langsung melalui lisan.

Salah satu contoh lain yang dikemukakan oleh al-Jaziri dalam memperjelas penginterpretasian bersatu majelismenurut Hanafiyah adalah dalam misalnya seorang laki-laki mengirim suratyang berisikan akad nikah yang ditujukan kepada pihak perempuan yang dikehendakinya. Setelah surat itu sampai, lalu isi surat itu dibacakan di depan wali wanita dan para saksi, dan dalam majelis yang sama setelah isi surat dibacakan, wali dari pihak perempuan langsung mengucapkan penerimaannya (qabulnya). Praktik akad nikah seperti tersebut oleh kalangan Hanafiyah dianggap sah, dengan alasan bahwa pembacaan ijab yang terdapat dalam

60 surat calon suami dan pengucapan qabul dari pihak wali wanita, sama-sama didengar oleh dua orang saksi dalam majelis yang sama, bukan dalam dua upacara berturut-turut secara terpisah dari segi waktunya. Dalam contoh tersebut, ucapan akad nikah lebih dahulu diucapkan oleh calon suami, dan setelah itu baru pengucapan akad dari pihak wali si wanita.Praktik tersebut boleh menurut Hanafiyah dan dianggap sah. (M. Zein, 2010: 4).

Dalam redaksi yang lain, menurut mazhab ini, kalau terdapat seorang laki-laki yang mengirim surat berupa lamaran terhadap seorang wanita kemudian si wanita tersebut menghadirkan para saksi dan membacakan surat itu kepada mereka, kemudian mengatakan, "Saya nikahkan diri saya kepadanya," padahal laki-laki yang melamarnya itu tidak dalam tempat yang sama, maka akad tersebut dianggap sah. (Mughniyah,2010 : 312

Selain melalui media tulisan, para ulama Hanafiyah juga memperbolehkan ijab dan qabul melalui media utusan. Contohnya seorang laki-laki mengutus utusan kepada pihak perempuan yang dikehendakinya, dan ketika utusan itu tiba di tempat yang ditujukan, kemudian ia menyampaikan ucapan si pengutus kemudian ucapannya tersebut langsung diucapkan penerimaan (qabulnya) di depan wali pihak perempuan dan para saksi dan tentunya dalam majelis yang sama. (al-Kasani, :349) Praktik sebuah akad nikah berdasarkan contoh di atas, menurut Hanafiyahhukumnya sah, selama pembacaan ijab calon suami yang termaktub melalui media surat (tulisan) ataupun yang disampaikan melalui media utusan, dan pengucapan qabul dari wali pihak calon isteri sama-sama dapat didengar oleh kedua saksi dalam majelis itu dengan alasan tulisan sama kedudukannya dimata hukum

61 dengan ucapan si penulis, begitupun ucapan utusan sama kedudukannya dengan si pengutus.

B. Analisis Hukum Nikah Secara Virtual dalam Perspektif kedua Madzhab Untuk menganalisa dan menyimpulkan pendapat ulama imam mazhab, sebelumnya harus dipahami dulu tentang nikah virtual dan kaitannya dengan interpretasi ittihād al-majelis. Sehingga dengan memahami terlebih dahulu konteks keduanya, maka dapatlah kita menggali hukum dan menetapkan hukum dengan sebenar-benarnya. Agar dapatlah kita terhindar dari kemungkinan menetapkan hukum yang jauh dari kebenaran.Karena permasalahan ini sangatlah kompleks.

Sesuai dengan perkataan Sayyidina Umar ra. :

َو ل اِثْملأا ْف َرْعإ ِةَّنُّسلا َو ِباَتِكْلا يِف َكغُلْبَي ْمَل اَّمِم َك ِرْدَص يِف جلخي اَمْيِف ْمَهْفِإ لاا ي َرَت اميف قحلااب امهبشاو الله يلا دمعاف كللذ دنع ر ْوملأا سق مُث هب ش

“Pahamilah baik-baik persoalan yang menyita perhatianmu soal yang tidak dapat dalam Alqurān dan sunnāh. Kenalilah contoh-contoh dan kemiripankemiripan kemudian Qiyaskanlah persoalan-persoalan itu. Usahakanlah sungguh sungguh untuk mendapatkan keputusan yang menurutmu paling disukai Allah dan yang paling dekat kepada kebenaran."

Nikah secara virtual adalah suatu bentuk pernikahan yang transaksi ijab kabulnya dilakukan melalui keadaan konektivitas atau kegiatan yang terhubung dengan suatu jaringan atau sistem internet (via online),jadi antara mempelai lelaki

Nikah secara virtual adalah suatu bentuk pernikahan yang transaksi ijab kabulnya dilakukan melalui keadaan konektivitas atau kegiatan yang terhubung dengan suatu jaringan atau sistem internet (via online),jadi antara mempelai lelaki

Dokumen terkait