• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis lahir di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang tanggal 16 Februari 1960. Anak pertama dari delapan bersaudara dari pasangan Nandang Rusnardi (Alm) dan Hj. Endang Poernomosasi (Almh). Pada tahun 1994 penulis menikah dengan Efrini binti Faisal dan dikaruniai dua putra (Riza dan Dafaa) dan dua putri (Rara dan Ica). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 1984. Pada tahun 1996, penulis diterima di Program Studi Bioteknologi pada Program Pascasarjana IPB dengan beasiswa pendidikan pascasarjana TMPD dan menamatkannya pada tahun 1999. Kesempatan melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB diterima pada tahun 2008 dengan beasiswa pendidikan pascasarjana BPPS dan kemudian didukung oleh dana penelitian doktor (Thesis Research Grants) dari BIOTROP SEAMEO.

Pada tahun 1984 bekerja di perusahaan konsultan transmigrasi, mengajar di SMA dan Universitas Tirtayasa Serang, kemudian pada tahun 1989 di bekerja di IPB di Program Studi Biokimia, FMIPA IPB pada bagian Biomolekul.

Selama mengikuti kuliah program S-3, penulis menjadi anggota Himpunan Kimia Indonesia dan Perhimpunan Biokimia dan Biologi Molekuler. Disertasi ini memuat sembilan bab yang akan disarikan dalam naskah artikel dan diajukan ke berkala ilmiah. Bab 3 berjudul “Ekstraksi dan Karakterisasi Propolis dari Sarang Lebah Trigona Asal Lima Lokasi di Indonesia”, akan diterbitkan dalam Emirate Journal of Food and Agriculture dengan judul “Antioxidant, Apoptosis Inducer, and Anticytotoxic Activities of Trigona Propolis from Five Regions in Indonesia”, Bab 4 berjudul “Ekstraksi Propolis Trigona spp Asal Pandeglang Menggunakan Pelarut Etanol 70% dan Pemanasan Gelombang Mikro serta Karakterisasinya” akan diterbitkan dalam Jurnal TIP volume 23, April 2013 dengan judul “Ekstraksi Propolis Menggunakan Cara Maserasi dengan Pelarut Etanol 70% dan Pemanasan Gelombang Mikro serta Karakterisasinya sebagai Bahan Antikanker Payudara” sedang menunggu penerbitan dan Bab 6 berjudul “Aktivitas Nanopropolis sebagai Bahan Antikanker Payudara pada Tikus Betina Strain Sprague-Dawley yang Dinduksi DMBA” akan diajukan pada Jurnal BIOTROPIA dengan judul “Anticancer Activity of Nanopropolis on Induced Mammary Tumor Gland in Sprague-Dawley Rats”. Pada tahun 2010, penulis telah mengarang buku dengan judul “Sehat dan Cantik dengan Propolis” yang diterbitkan oleh IPB Press.

1.1 Latar Belakang

Propolis merupakan nama generik dari resin lebah. Kata propolis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “pro” artinya sebelum atau pertahanan dan “polis” artinya kota. Jadi, propolis adalah pertahanan kota atau memiliki arti sebagai sistem pertahanan pada sarang lebah. Karena sifatnya yang lengket seperti lem, propolis disebut sebagai beeglue (Anonim 2006). Menurut Gojmerac (1983), propolis adalah bahan perekat atau dempul yang bersifat resin yang dikumpulkan oleh lebah pekerja dari kuncup, kulit tumbuhan atau bagian-bagian lain dari tumbuhan. Resin-resin yang diperoleh dari bermacam-macam tumbuhan ini dicampur dengan saliva dan enzim lebah sehingga berbeda dari resin asalnya. Bentuk propolis dipengaruhi oleh suhu, pada suhu di bawah 15 ºC sifatnya keras dan rapuh, tapi pada suhu yang lebih tinggi (25-45ºC) sifatnya lembek. Propolis umumnya meleleh pada suhu 60-69ºC dan ada pula yang mempunyai titik leleh di atas 100ºC (Woo 2004).

Gojmerac (1983) menyatakan bahwa propolis mengandung bahan campuran kompleks malam, resin, balsam, minyak, dan sedikit polen. Komposisinya bervariasi tergantung dari tumbuhan asal. Propolis juga mengandung zat aromatik, zat wangi, dan berbagai mineral. Propolis dengan komponen senyawa-senyawa kimianya menunjukkan bermacam-macam efek biologis dan aktivitas farmakologis. Menurut Kasahara et al. (2004) dan Khismatullina (2005), lebih dari 180 senyawa yang terkandung di dalam propolis sudah diketahui. Unsur aktif yang penting dalam farmakologi dan aktivitas biologis adalah flavonoid (flavon, flavonol, flavonon) dan senyawa fenolat serta senyawa aromatik. Flavonoid berperan dalam pewarnaan tumbuhan. Sekurang-kurangnya ada 38 jenis flavonoid termasuk flavonol (galangin, kaemferol, quersetin), flavonon (pinocembrin dan pinosrobin), dan flavononol (pinobanksin), serta flavon (chrysin, acacetin, apigenin, ermanin). Beberapa senyawa fenolat yang terkandung di dalam propolis antara lain adalah hidroksisinamat, asam sinamat, vanilin, benzil alkohol, asam benzoat, kafeat, kumarat, serta asam ferulat. Kandungan flavonoid propolis setara dengan 500 jeruk (Khismatullina 2005). Menurut Matienzo dan Lamoreno (2004), propolis mengandung senyawa hidrokarbon aromatik, hidrokarbon alifatik, ester, aldehida, asam alifatik, sesquiterpena, amid, oksim, gula, gula alkohol dan asam uronat. Pino et al. (2006) melaporkan bahwa senyawa volatil pada stingles bee lebih tinggi daripada lebah Apis mellifera. Senyawa volatil yang dikandungnya antara lain α-pinene, β-pinene, trans-verbenol, α-copaene, β- bourbonene, β-caryophyllene, spathulenol dan caryophyllene oxide.

Bahan untuk mendapatkan propolis pada umumnya berasal dari sarang lebah Apis sp. Selain Apis sp, ada salah satu jenis yaitu lebah madu Trigona sp. Lebah jenis ini diperkirakan menghasilkan jumlah propolis lebih banyak dibandingkan dengan Apis sp dengan kandungan bahan aktif yang lebih baik. Propolis memiliki warna yang sangat beragam. Propolis dengan warna yang lebih gelap menghasilkan rendemen ekstrak yang lebih tinggi dibandingkan dengan warna yang lebih muda dan berhubungan dengan kandungan flavonoid (Woo 2004). Propolis hasil ekstraksi dari sarang lebah ini mempunyai sifat tidak larut

dalam air, tapi larut sempurna dalam propilen glikol dan etanol (Jang et al. 2009). Penambahan propilen glikol pada ekstrak propolis berfungsi sebagai zat yang dapat meningkatkan keefektifan propolis. Propolis sangat mudah teroksidasi. Untuk menjaga kestabilan komponen aktifnya, propolis dan hasil ekstraksinya disimpan pada suhu tidak lebih dari 35 ºC, ditempatkan di dalam tempat yang gelap dan tidak langsung terkena sinar matahari, serta dalam wadah yang tertutup.

Maserasi merupakan teknik yang umum dilakukan untuk mengekstrak bahan aktif. Pelarut yang umum digunakan dalam mengekstrak propolis adalah etanol yang dicampur dengan air (etanol 70%). Etanol merupakan senyawa yang memiliki sifat semipolar sehingga komponen aktif dengan kepolaran yang berbeda yang terkandung di dalam propolis dapat terekstrak. Menurut Woo (2004), propolis larut di dalam etanol dan sedikit larut air. Harborne (1987) menyatakan bahwa etanol 70% dapat mengekstrak flavonoid yang merupakan senyawa aktif terbanyak dan terpenting di dalam propolis. Menurut Cunha et al. (2004), ekstraksi propolis dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 70% menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan pelarut etanol absolut dan tidak terekstraksi komponen lilinnya.

Teknik ekstraksi dengan maserasi dapat dimodifikasi dengan penambahan komponen panas untuk meningkatkan jumlah terekstrak. Menurut Trusheva et al. (2007) teknik ekstraksi menggunakan pemanasan gelombang mikro merupakan cara yang sangat cepat dalam menghasilkan asam fenolat dan flavonoid. Teknik ekstraksi dengan pemanasan gelombang mikro merupakan cara terbaik dibandingkan dengan teknik Soxhlet maupun pemanasan gelombang suara (Dean 1998). Demikian pula dengan pendapat Zhang et al. (2011) bahwa ekstraksi menggunakan pemanasan gelombang mikro merupakan cara yang dapat mengekstrak metabolit sekunder seperti flavonoid. Pemanasan dengan menggunakan gelombang mikro dapat membuat terbuka sel atau bagian penutup tempat metabolit sekunder berada, sehingga akan mengeluarkan bahan atau metabolit sekunder karena terdapat bagian pembungkus rusak dan mengakibatkan bahan terpisah dari asalnya. Secara prinsip, mekanisme kerja dan peralatan ekstraksi menggunakan pemanasan gelombang mikro lebih menguntungkan karena waktu relatif singkat, hasil ekstraksi yang tinggi dan penggunaan pelarut yang sedikit dibandingkan dengan cara konvensional.

Propolis umumnya dikonsumsi dalam bentuk ekstrak etanol propolis (EEP). Penerapan teknologi nano merupakan upaya dalam membuat bahan menjadi berukuran nano, sehingga memiliki kelebihan dalam segi manfaat, kelarutan dan efisiensi kerja bahan. Menurut Ekambram et al. (2012) dan Meghana et al. (2012), secara umum nanopartikel dibuat dengan berbagai teknik yaitu metode homogenisasi (homogenisasi panas dan dingin), metode evaporasi pelarut, metode difusi-emulsifikasi pelarut, metode berdasarkan mikroemulsi, metode cairan super kritis, metode pengering semprot, metode emulsi ganda, teknik presipitasi, dispersi film-ultrasound, homogenisasi kecepatan tinggi diikuti dengan metode ultrasonikasi, serta Choil et al. (2006) dan Patravale et al. (2004) menambah dengan metode penggilingan. Dalam proses pembuatan nanopartikel menggunakan bahan alami yang dapat terurai (biodegredable) diklasifikasikan menjadi empat kelompok yang berbeda, yaitu nanostruktur berbahan dasar lipid (liposome dan solid lipid nanoparticles), dendrimers, polymeric nanoparticles, nanopartikel berbahan dasar albumin.

Pembuatan partikel berukuran nano ini telah diperbolehkan oleh FDA dalam tujuan pengaliran obat dan pencapaian target jaringan yang terkena kanker, misalnya nanopartikel doksorubisin dan daunorubisin (Haley dan Frenkel 2008). Bahan lain yang telah dibuat berukuran nanometer adalah kurkumin (Das et al. 2010), propolis (Kim et al. 2008; Hasan et al. 2012), kamptokatekin (Cirpanli et al. 2009), paclitaxel (Bilensoy et al. 2007). Penelitian yang dilakukan Hasan et al. (2012) menunjukkan bahwa nanopropolis mempunyai konsentrasi hambat tumbuh bakteri minimum jauh lebih kecil dibandingkan dengan ekstrak etanol propolis bukan ukuran partikel nano. Kim et al. (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa propolis berbentuk partikel nano dapat mengatasi kanker.

Penelitian yang dilakukan oleh Hasan et al. (2006) menunjukkan bahwa ekstrak etanol propolis Trigona sp yang berasal dari Pandeglang memiliki aktivitas antibakteri, baik untuk bakteri Gram positif (Staphilococcus aureus dan Bacillus subtilis), maupun bakteri Gram negatif (Escherichia coli). Data lain mengenai kandungan kimia stingless bees diungkap oleh Matienzo dan Lamorena (2004) serta Pino et al. (2006). Hasil pengujian pendahuluan propolis Trigona sp sebagai antikanker telah dilakukan terhadap sel Murine leukemia P-388 dengan nilai IC50 18.1 µg ml-1. Hasil ini menunjukkan bahwa propolis Trigona spp mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan antikanker, dan pembuatan nanopartikel merupakan salah satu alternatif untuk peningkatan daya efikasinya.

Untuk pengikatan bahan aktif dibutuhkan matriks yang berfungsi sebagai penginklusi, agen pengenkapsulasi dan dapat melepaskan bahan aktif secara perlahan. Bahan yang digunakan oleh Kim et al. (2008) adalah propolis berbentuk kopolimer antara N-isopropylacrylamide (NIPAAM) dengan N-vinyl- 2-pyrrolidone (VP) poly (ethyleneglycol) monoacrylate (PEG-A). Pemakaian β- siklodekstrin sebagai penginklusi galangin telah dilakukan oleh Jullian (2009). Metode pembuatan nanopartikel berdasarkan Abbasalipourkabir et al. (2010) menggunakan komponen lipid berupa virgin coconut oil (VCO) dan asam stearat dari buah kelapa sawit sebagai agen pencegah bersatunya komponen penginkulsi dan mengurangi kerusakan akibat gesekan pada proses pembuatan nanopartikel. Menurut Aimi et al. (2009) dalam patennya mengungkapkan bahwa proses pembuatan nanopartikel herbal dapat menggunakan kasein susu tanpa penambahan surfaktan. Oligosakarida yang berbentuk siklik seperti β- siklodekstrin mempunyai sisi hidrofilik di bagian luar dan hidrofobik di bagian dalam sikliknya yang terbentuk dari tujuh monomer glukosa. Dengan bentuk dan komposisi seperti itu β-siklodekstrin dapat menginklusi suatu senyawa kimia (Cirpanli et al. 2009; Jullian 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cirpanli et al. (2009) membuktikan bahwa nanopartikel camptothecin dalam bentuk nanopartikel dengan β-siklodektrin lebih aktif dibandingkan dengan bentuk nanopartikel poly(lactide-co-glycolide) (PLGA) atau poly-ε-caprolactone (PCL) terhadap sel kanker payudara MCF-7. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan β-siklodektrin sebagai bahan penginklusi dengan proses pembuatan nanopartikel memodifikasi metode Aimi et al. (2009). Bagian yang dimodifikasi adalah tiga tahap proses pembuatan nanopartikel dengan proses inklusi, re- solubilisasi dan stabilisasi, selain itu bahan penginklusi kasein diganti dengan β- siklodekstrin.

Pengujian propolis sebagai antikanker dapat dilakukan menggunakan sel model seperti Saccharomyces cerevisiae, langsung pada sel lestari kanker seperti

untuk kanker payudara menggunakan sel kanker MCF-7 dan dapat juga dilakukan pada hewan coba seperti tikus atau mencit yang telah diinduksi oleh senyawa karsinogen seperti DMBA maupun induksi dengan sel kanker yang berasal dari jaringan yang terkena kanker. Menurut Pray (2008) dan Ruckenstuhl et al. (2009), yeast ini dapat dijadikan model dalam proses terjadinya apoptosis dan stres akibat oksidasi (Laun et al. 2001). Demikian pula menurut Halazenotis et al. (2008) dan Lotti et al. (2011) bahwa yeast merupakan model yang cocok digunakan untuk melihat perkembangan kanker. Yeast ini telah dijadikan model untuk kanker yang berhubungan dengan regulasi reseptor hormon estrogen oleh Lyttle et al. (1992). Menurut Ayer et al. (1995), yeast ini terdapat pemodelan dengan mamalia dari repsesor sisi gen homolog Sin3. Sedangkan menurut Lotti et al. (2011) pada gen Pdr5p. Penelitian yang menyangkut perbedaan ukuran partikel propolis terhadap aktivitas antikapang telah dilakukan oleh Dota et al. (2011).

Sel lestari kanker MCF-7 merupakan sel hasil isolasi dari seorang wanita Kaukasian (69 tahun, golongan darah O dan RH+), sel MCF-7 pertama kali diisolasi pada tahun 1970. Sel ini merupakan cell line adherent, yang tumbuh melekat dengan karakter resisten terhadap agen kemoterapi, mengekspresikan reseptor estrogen (ER+), ekspresi berlebih Bcl-2, tidak mengekspresikan caspase- 3, serta resisten terhadap doksorubisin. Sel MCF-7 dapat ditumbuhkan pada media mengandung Roswell Park Memorial Institute Medium (RPMI), Fetal Bovine Serum (FBS), dan perlu ditambahkan antibiotik dan antimikotik.

Tikus merupakan spesies hewan kedua yang paling sering digunakan dalam penelitian dan pengujian biomedis. Tikus telah digunakan sebagai hewan coba pengujian antitumor tamoxifen oleh Abbasalipourkabir et al. (2010). Demikian pula penelitian Padmavathi et al. (2006) menggunakan tikus Sprague Dawley yang diinduksi oleh DMBA dalam pengujian propolis dan paklitaksel sebagai bahan antikanker.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini secara umum adalah pengembangan proses untuk me- ningkatkan nilai tambah propolis dan meningkatkan kemampuan aktivitas pro- polis dalam bentuk partikel yang berukuran nano (nanopropolis) sebagai bahan antikanker payudara.

Secara khusus, tujuan penelitian ini diuraikan untuk setiap bab sebagai berikut :

1. Mendapatkan ekstrak propolis dari sarang lebah Trigona spp yang berasal dari lima lokasi di Indonesia dan karakteristik bahan aktifnya.

2. Mendapatkan kondisi terbaik untuk ekstraksi propolis menggunakan pelarut etanol 70% dan pemanasan gelombang mikro serta karakteristik hasil ekstraknya.

3. Mengkaji proses pembuatan nanopropolis Trigona spp dengan cara inklusi pada β-siklodekstrin dan karakteristiknya.

4. Mengkaji efektivitas nanopropolis sebagai bahan antikanker payudara secara in-vivo.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup pada penelitian ini adalah :

1. Bahan baku propolis berasal dari sarang lebah Trigona spp yang berasal dari lima lokasi di Indonesia (Pekanbaru, Pandeglang, Kendal, Banjarmasin dan Makassar).

2. Ekstraksi awal adalah pelarutan sarang lebah dalam pelarut etanol 70% (b/b, etanol absolut dengan air).

3. Proses pembuatan nanopropolis dilakukan dengan cara inkulusi pada β- siklodekstrin.

4. Pengujian secara in-vitro dilakukan terhadap sel lestari kanker MCF-7, sedangkan pengujian secara in-vivo menggunakan hewan coba tikus betina strain Sprague-Dawley yang diinduksi dengan DMBA.

1.4 Kebaruan

Pada penelitian ini dilakukan penerapan teknologi proses pembuatan nanopropolis menggunakan bahan penginklusi β-siklodekstrin yang dilakukan tanpa surfaktan dengan tiga tahap proses yaitu inklusi, re-solubilisasi dan stabilisasi. Aplikasi dari hasil pembuatan nanopropolis ini adalah sebagai bahan antikanker payudara.

2 METODOLOGI PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia, FMIPA IPB, Laboratorium Pusat Penelitian Kimia, LIPI Bandung, Laboratorium Pengembangan Teknologi Industri Agro dan Biomedika, BPPT Serpong, dan Laboratorium Patologi dan Kandang Hewan di Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Juni 2010 sampai dengan Agustus 2012.

2.2 Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan adalah raw propolis yang diambil dari sarang lebah Trigona spp dari lima lokasi di Indonesia (Banjarmasin, Kendal, Pandeglang, Pekanbaru dan Makassar). Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah AlCl3, etanol, Saccharomyces cerevisiae, sel lestari kanker Michigan Cancer Foundation-7 (MCF-7), tikus betina strain Sprague-Dawley, media padat agar (yeast extract potato dextrose, YEPD), 1,1-diphenyl-2-picrilhydrazil (DPPH), 7,12-dimethylbenz(a)anthracene (DMBA), β-siklodekstrin, kuersetin, Na-asetat, minyak zaitun, NaCl, medium Roswell Park Memorial Institute (RPMI) 1640, Fetal Bovine Serum (FBS), metanol, KBr, pereaksi-pereaksi uji fitokimia, pereaksi 3-(4,5-dimethylthiazol-2yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT)- assay, KH2PO4, K2HPO4, Xylol, buffer neutral formalin (BNF) 10%, Haematoxyllin-Eosin, Dimehyl Sulfoxide (DMSO), Coomassie blue, fungizon, penisilin-streptomisin dan akuades.

Alat-alat yang digunakan ialah Homogenizer, Pemanas gelombang mikro (Microwave Processor, Kriss Microwave Oven frekuensi 2.450 MHz dan daya 800 Watt), laminar air flow cabinet, Kromatografi cair berperforma tinggi (high performance liquid chromatography, HPLC model JSA-65 10LA), inkubator anaerob 5% CO2, XRD Xray Difractometer (SHIMADZU), spektrofotometer, Fourier Transform Infra Red (FTIR), mikroskop, scanning electron microscopy (SEM), particle size analyzer (PSA, Delsa Nano C, Particle Analyzer, Beckman Coulter), rotavapor, tissue tec, pengering vakum, pembaca Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA reader), penghitung koloni dan beberapa alat gelas lainnya.

2.3 Metode

Penelitian ini terdiri atas 5 bagian (Gambar 2.1), yaitu ekstraksi propolis dari sarang lebah dari lima lokasi di Indonesia, ekstraksi propolis dari sarang lebah asal Pandeglang dengan dua peubah (pemanasan gelombang mikro dan nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah), pembuatan nanopropolis (tahap pertama) dengan tiga peubah (waktu inklusi, re-solubilisasi dan stabilisasi) dari ekstrak propolis dari lokasi terpilih, pembuatan nanopropolis dengan dua peubah (jumlah

propolis dan jumlah β-siklodekstrin) pada kondisi terbaik tahap pertama, pengujian aktivitas antikanker payudara nanopropolis pada tikus betina strain Sprague-Dawley yang diinduksi DMBA.

Gambar 2.1 Diagram alir penelitian pembuatan nanopropolis asal Indonesia sebagai bahan antikanker

2.3.1 Ekstraksi dan Karakterisasi Propolis dari Sarang Lebah Trigona Asal Lima Lokasi di Indonesia

2.3.1.1 Ekstraksi Propolis. Proses ekstraksi propolis yang dilakukan merupakan hasil modifikasi metode dari Armstrong (1999), Trusheva et al. (2007), Li et al. (2010), Jang et al. (2009). Sebanyak 2 g sarang lebah Trigona spp direndam dengan 18 ml etanol 70%, ditutup lalu dikocok dengan orbital shaker selama 18 jam. Kemudian dipanaskan dengan pemanas gelombang mikro (frekuensi 2.450 MHz dan daya 800 Watt) selama 10 menit, lalu disaring. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan rotavapor pada suhu 50±2 C selama tiga jam atau hingga air dan etanol menguap sempurna. Ekstrak yang diperoleh kemudian ditimbang dan dihitung rendemennya. Rendemen ditentukan dengan rumus

Ekstraksi propolis dari lima lokasi di

Indonesia

Data Karakter Propolis dari Lima Lokasi di

Indonesia Perbaikan Proses Ekstraksi Pembuatan Nanopropolis Tahap 1 Pembuatan Nanopropolis Tahap 2

Uji Efikasi Nanopropolis secara In-Vivo

Desain Proses Ekstraksi Propolis dan

Karakter Propolis

Desain Proses Pembuatan Nanopropolis

sebagai berikut : Rendemen (%) = (bobot hasil ekstraksi/bobot raw propolis) x 100.

Hasil ekstraksi disimpan dalam botol gelap dan ditempatkan di ruang yang tidak terkena sinar matahari langsung. Untuk pengujian selanjutnya, ekstrak ini dilarutkan dalam etanol 70% sebanyak satu kali volumenya.

2.3.1.2 Karakterisasi ekstrak propolis dari lima lokasi di Indonesia.

Karakterisasi ekstrak propolis dari lima lokasi di Indonesia dilakukan meliputi komponen propolis (kandungan kualitatif komponen kimia dan kadar total flavonoid) dan kinerja propolis (aktivitas antioksidan, induksi apoptosis terhadap sel Saccharomyces cerevisiae, aktivitas antisitotoksik terhadap sel lestari kanker payudara MCF-7) sebagai bahan antikanker payudara.

2.3.1.2.1 Pengujian kualitatif komponen kimia. Uji kualitatif propolis Trigona spp meliputi uji keberadaan alkaloid, flavonoid, terpenoid, steroid, saponin dan tannin (Harborne 1987).

Uji alkaloid. Sebanyak 100 mg propolis dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan dua tetes ammonia dan 5 ml kloroform lalu disaring. Filtrat hasil penyaringan ditambahkan 1 ml H2SO4 2 M, kemudian fraksi asam ditambahkan pereaksi Dragendorf, Meyer dan Wagner. Keberadaan alkaloid dalam propolis ditunjukkan dengan terbentuknya endapan merah pada pereaksi Dragendorf, endapan putih pada pereaksi Meyer dan endapan coklat pada pereaksi Wagner.

Uji triterpenoid dan steroid. Sebanyak 100 mg propolis dimasukan dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan etanol panas sebanyak 5 ml lalu disaring. Filtrat hasil penyaringan dievaporasi, kemudian ditambahkan 1 ml dietileter. Setelah dikocok dengan ‘vortex’, lalu ditambahkan 1 ml H2SO4 pekat dan 1 ml CH3COOH. Terbentuknya warna merah atau kelabu menunjukkan adanya triterpenoid dan warna hijau menunjukkan adanya steroid dalam propolis.

Uji flavonoid. Sebanyak 100 mg propolis dimasukkan dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 5 ml air, lalu dilakukan penyaringan. Filtrat yang diperoleh ditambahkan bubuk Mg, 1 ml HCl pekat, dan 1 ml amilalkohol. Kemudian diaduk sempurna sehingga timbul lapiran yang berbeda. Warna yang terbentuk antara dua larutan amilalkohol menunjukkan adanya flavonoid.

Uji tanin. Sebanyak 100 mg propolis dimasukkan dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 5 ml air dan disaring. Fltrat hasil penyaringan ditambahkan 3 tetes FeCl3 1%. Terbentuknya warna biru atau hijau kehitam-hitaman menunjukkan adanya tannin dalam propolis.

Uji saponin. Sebanyak 100 mg propolis dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 5 ml air dan disaring. Fltrat hasil penyaringan dikocok dengan sempurna lalu dibiarkan selama 10 menit. Terbentuknya buih yang stabil menunjukkan adanya saponin dalam propolis.

2.3.1.2.2 Penentuan total flavonoid. Kandungan total flavonoid ditentukan dengan metoda Chang et al. (2002) dengan modifikasi. Pengujian dilakukan menggunakan AlCl3 yang diukur dengan metode pewarnaan.

Sebanyak 2 ml contoh (1 mg ml-1) ditambah 100 µl AlCl3 10%, 100 µl Na- Asetat 1 M dan 2.8 ml akuades. Kemudian larutan dikocok hingga homogen lalu

dibiarkan selama 30 menit. Setelah itu larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimal kuersetin. Absorban yang dihasilkan dimasukkan ke dalam persamaan regresi dari kurva standar kuersetin. Kemudian kadar flavonoid total dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar Flavonoid Total (%, b/b)

=kadar kuersetin (mg mlꜗ) x faktor pengenceran x volume (ml)x 1001000 x bobot contoh (mg) 2.3.1.2.3 Pengujian kemampuan antioksidan metode DPPH

Aktivitas antioksidan propolis diuji dengan metoda Cottica et al. (2011) yang dimodifikasi untuk melihat penghambatan oksidasi radikal bebas DPPH. Contoh propolis dilarutkan dalam etanol 70% dan dibuat dalam berbagai konsentrasi (500, 250, 125, 62.5, 31.25, 15.5 dan 7.75 mg ml-1). Setelah itu dikocok dengan vorteks. Kemudian diambil 100 µl ekstrak dan direaksikan dengan 100 µl DPPH 125 µmol. Kemudian diinkubasi selama 30 menit. Setelah itu diukur absorbansinya dengan menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 515 nm. Persentase penangkapan radikal bebas DPPH diukur menggunakan persamaan :

Penangkapan radikal bebas (%)

=absorbansi blanko − absorbansi contoh x 100absorbansi blanko

Setelah diketahui persentase penangkapan radikal bebas DPPH, dibuat kurva dan persamaan antara konsentrasi EEP (sumbu X) dan nilai persentase penangkapan radikal bebas DPPH (sumbu Y) diperoleh persamaan Y = aX + b. Untuk menghitung konsentrasi yang menghasilkan penangkapan radikal bebas sebanyak 50% adalah dengan cara memasukkan angka 50 pada sumbu Y kemudian diperoleh nilai konsentrasi EEP pada sumbu X dari kurva antara konsentrasi EEP dan nilai persentase penangkapan radikal bebas DPPH. Nilai konsentrasi EEP yang diperoleh merupakan nilai IC50 aktivitas antioksidan.

2.3.1.2.4 Pengujian kemampuan apoptosis terhadap sel Saccharomyces cerevisiae

Pengujian induksi apoptosis terhadap S. cerevisiae dilakukan sesuai dengan metoda Laun et al. (2001) yang dimodifikasi. Ke dalam media yeast agar