• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Manggar pada tanggal 15 Maret 1991 sebagai anak bungsu dari pasangan Rahmat Kurniawan dan Emma Kusjana. Pendidikan sarjana ditempuh sejak tahun 2008 di Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB dengan dukungan beasiswa dari Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung Timur melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD), lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Silvikultur Tropika Program Pascasarjana IPB.

Selama mengikuti program S-2, penulis memperoleh kesempatan belajar di Jepang melalui program “ yoto Uni er ity Graduate School of Global Environmental Studies (GSGES) Short-Term Scholarship Program”. Penulis menjalani perkuliahan selama enam bulan serta melakukan eksperimen mengenai analisis logam berat dan mineral liat di Laboratory of Soil Science, Kyoto University. Karya ilmiah yang berjudul The Comparison of Soil Properties in Heath Forest and Post-Tin Mined Land: Basic Information for Ecosystem Restoration telah dipresentasikan pada The 5th International Conference on Sustainable Future for Human Security (The 5th SustaiN) di Sanur, Bali pada 19 November 2014. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-2 penulis.

1

PENDAHULUAN

Kabupaten Belitung Timur merupakan salah satu kabupaten pemekaran yang terbentuk pada tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Bangka Tengah, Bangka Barat dan Belitung Timur di Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Secara geografis terletak antara 107°45’ BT – 108°18’ BT dan 02°30’ LS – 03°15’ LS. Luas Kabupaten Belitung Timur yaitu 2.506,91 km2 atau berkisar 250.691 hektar, terdiri dari 39 desa dari 7 kecamatan dengan jumlah penduduk 110.315 jiwa. Mayoritas masyarakat lokal bermata pencaharian di sektor pertanian, perkebunan dan pertambangan (BAPPEDAL 2011).

Pulau Belitung merupakan salah satu pulau penghasil timah terbesar kedua di dunia setelah Pulau Bangka. Kedua pulau ini berada di jalur timah dunia (Van Bemmelen 1970). Deposit timah di Bangka dan Belitung merupakan deposit timah terbaik di dunia (Hess & Hess 1912) dengan deposit timah primer terbanyak yaitu di Pulau Belitung (Marheni 2008). Sejarah pertambangan timah di Pulau Belitung sudah dimulai sejak tahun 1800-an oleh pemerintah Belanda dengan teknik eksplorasi open tin mining. Lapisan tanah digali terlebih dahulu, kemudian pengupasan menggunakan pompa semprot bertenaga listrik dan bijih timah akan terendapkan karena perbedaan berat jenis. Pemisahan antara tailing dan bijih timah dilakukan dengan menggunakan sakhan (Widhiyatna et al. 2006).

Penambangan timah dengan teknik tersebut berdampak pada lingkungan dan kelestarian ekosistem, diantaranya perubahan bentang alam, penurunan keanekaragaman hayati, pencemaran air dan sedimentasi. Cerukan-cerukan berisi air (kolong) bekas penambangan timah berpotensi mengandung kontaminan logam berat (Henny 2011). Tailing pasir pada lahan bekas tambang timah juga berpotensi meradiasikan unsur-unsur radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan manusia (Wahyudi 2003). Menurut Pratiwi (2010) berdasarkan analisis satuan kemampuan lahan kesuburan tanah di Belitung Timur, yaitu seluas 218.101 hektar lahan di Belitung Timur dalam kondisi buruk. Hal ini disebabkan oleh kegiatan penambangan timah yang tidak ramah lingkungan. Di sisi lain, kegiatan tersebut juga akan mengancam kelestarian 224 spesies tumbuhan di hutan kerangas yang 101 diantaranya berkhasiat sebagai obat (Oktavia 2012).

Di sisi lain, masyarakat Melayu Belitung memiliki suatu sistem lansekap tradisional dalam mengelola ekosistem. Menurut Fakhrurrazi (2001), terdapat beberapa tipe ekosistem berdasarkan kearifan tradisional mereka antara lain ekosistem alami (Rimba, Padang, Ai’), ekosistem suksesi (Bebak, Bebak usang,

Kelekak, Kelekak usang). Masyarakat juga membagi beberapa ekosistem yang

dilarang untuk diolah karena berbahaya bagi keseimbangan ekosistem. Selain lansekap, masyarakat lokal juga membagi kondisi tanah ke dalam beberapa tipe seperti tana teraja (tanah podsolik yang banyak mengandung kuarsa), tana darat

(tanah podsolik merah-kuning), tana amau (lahan basah, rawa atau daerah tepian sungai), tana kepo (tanah peralihan antara tana amau dan tana darat berwarna cokelat pucat), dan tana malangen (tanah peralihan yang berbatasan dengan tana teraja).

Secara umum ekosistem hutan yang tumbuh di daratan Pulau Belitung dikenal dengan nama hutan kerangas. Hutan kerangas tumbuh di atas tanah

2

podsol, tanah pasir kuarsa miskin hara dan memiliki pH rendah (Brunig 1974; Whitmore 1984; Whitten et al. 1984; MacKinnon et al. 1992), dalam jumlah yang cukup luas dapat dijumpai di Pulau Bangka dan Belitung (Whitten et al. 1984). Konsorsium Revisi High Conservation Value (HCV) Toolkit Indonesia (2008) menegaskan bahwa hutan kerangas harus dipertahankan dalam kondisi alami dengan ditambah zona penyangga minimal satu kilometer, dimana kegiatan pemanfaatan harus seminimal mungkin dilakukan. Peran hutan kerangas sebagai kawasan hutan lindung dinilai dari jenis tanahnya dan fungsinya sebagai resapan air perlu dipertahankan sesuai dengan Keputusan Presiden No 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung.

Hutan kerangas sebagai suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap gangguan ini, membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun dalam suksesi alami mendekati kondisi ekosistem semula (Whitten et al. 1984). Elfis (1998) diacu dalam Nurtjahya (2008) meyebutkan bahwa diperlukan waktu 150 tahun bagi lahan pasca tambang timah untuk kembali menjadi hutan kerangas. Oleh karena itu perlu adanya campur tangan manusia dalam mengembalikan komposisi vegetasi hutan kerangas dan fungsi ekosistem hutan kerangas melalui kegiatan restorasi. Pendekatan suksesi alami dalam restorasi dapat meningkatkan keanekargaman hayati dan memperbaiki kualitas tanah serta mendukung keberlanjutan ekosistem (Bradshaw 1997; Aronson & Alexander 2013). Setiadi (2012) menjelaskan bahwa dalam restorasi perlu mempertimbangkan aspek tanah dan vegetasi sebagai suatu informasi dasar dalam menentukan teknik pembenahan tanah yang tepat dan memilih spesies pionir yang menjadi katalisator dalam kolonisasi alami. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menerangkan kondisi tanah dan vegetasi di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah sehingga dapat merumuskan teknik rehabilitasi lahan pasca tambang timah dengan pendekatan suksesi berdasarkan data lapangan.

Latar Belakang

Belitung Timur merupakan salah satu kabupaten pemekaran yang masih banyak membutuhkan ruang untuk pembangunan infrastruktur dan lahan-lahan untuk perkembangan sektor pertanian/ perkebunan dan pertambangan untuk menggerakkan perekonomian daerah. Ekosistem hutan kerangas di Belitung Timur terancam oleh beberapa intervensi manusia membangun perkebunan kelapa sawit, karet dan juga pertambangan timah, pasir kuarsa, bijih besi, dan kaolin. Pertambangan timah merupakan salah satu bentuk intervensi manusia yang sudah berlangsung ratusan tahun dengan mengeksploitasi sumberdaya timah di daratan.

Desa Kelubi merupakan salah satu desa di Kabupaten Belitung Timur yang kondisi lansekapnya terdiri dari pemukiman, ekosistem hutan, perkebunan karet, kelapa sawit, lada, dan penambangan timah. Masyarakat lokal masih memegang kearifan lokal dalam mengolah lahan. Namun, dengan adanya intervensi dari luar, beberapa perusahaan perkebunan skala besar dapat masuk dan mengusahakan lahan hutan untuk dijadikan perkebunan dan pertambangan. Dampak dari kegiatan eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan ini telah dirasakan oleh masyarakat lokal khususnya dalam hal ketersediaan sumber air bersih yang sudah sulit dipenuhi.

3 Interaksi masyarakat Desa Kelubi dengan ekosistem hutan dapat dilihat dari pemanfaatan tumbuhan obat tradisional yang berasal dari dalam hutan. Ketua adat atau dukun kampung dan beberapa peramu obat tradisional khususnya memiliki interaksi yang erat terhadap ekosistem hutan. Namun kerusakan hutan akibat kegiatan penambangan timah telah menyisakan beberapa lahan marginal yang tidak produktif serta berkurangnya sumberdaya hutan. Untuk mendukung kelestarian eksosistem hutan kerangas yang merupakan salah satu ekosistem hutan dalam status rawan (vulnerable) di dunia (WWF 2014) dan mendukung interaksi masyarakat terhadap sumberdaya hutan, maka perlu adanya upaya restorasi hutan kerangas di lahan pasca tambang timah. Informasi mengenai kondisi tanah dan vegetasi merupakan dua aspek penting dalam menentukan teknik restorasi yang tepat, sehingga penting dilakukan sebuah penelitian dasar tentang karakteristik tanah dan vegetasi di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam penelitian selanjutnya terkait percobaan tanam untuk tujuan restorasi di lahan pasca tambang timah.

Perumusan Masalah

Kondisi lahan pasca tambang timah di Bangka dan Singkep yang berumur kurang dari 100 tahun yang dibiarkan mengalami suksesi alami tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan dalam beberapa aspek fisika maupun kimia tanah dan juga kondisi vegetasinya (Badri 2004; Nurtjahya 2008). Penelitian ini mengambil dua lokasi lahan pasca tambang yang berumur kurang dari 100 tahun dan lebih dari 100 tahun. Perbedaan lokasi diduga dapat menjadi sebuah kemungkinan terjadinya perbedaan kondisi sifat tanah dan vegetasi meskipun memiliki permasalahan yang sama akibat kegiatan penambangan timah, sehingga perlu dilakukan kajian terkait karakteristik tanah di lahan pasca tambang timah di Belitung.

Ekosistem hutan kerangas menjadi suatu standar kualitatif dari kondisi yang belum terganggu oleh kegiatan penambangan timah. Dikarenakan sulitnya ditemukan ekosistem hutan yang masih primer maka dipilihlah tiga tipe ekosistem hutan kerangas yang menjadi bagian dari lansekap tradisional masyarakat lokal yaitu Rimba (hutan kerangas sekunder campuran), Bebak (hutan bekas ladang) dan Padang (ekosistem disklimaks hutan kerangas yang berupa padang rumput dan beberapa semak). Kajian karakteristik tanah dan vegetasi di tiga lokasi ini dapat menjadi bahan pembanding terhadap ekosistem lahan pasca tambang timah dari sifat tanah dan komposisi vegetasinya. Berkaitan dengan penjelasan di atas, adapun pertanyaan yang ingin dijawab oleh penulis yaitu: 1) bagaimana karakteristik tanah di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah ditinjau dari sifat fisika dan kimia tanahnya, 2) bagaimana komposisi vegetasi di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah, 3) apa saja spesies yang berpotensi menjadi pionir dan bersifat katalitik untuk mendukung proses suksesi alami dan 4) bagaimana teknik pembenahan tanah yang dapat direkomendasikan untuk kegiatan restorasi.

4

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan karakteristik tanah di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah, 2) mengidentifikasi komposisi vegetasi di hutan kerangas dan lahan pasca tambang timah, 3) mengidentifikasi spesies pionir potensial dan 4) merekomendasikan teknik pembenahan tanah yang dapat dilakukan.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai bahan acuan dalam mengambil tindakan teknik restorasi yang tepat di lahan pasca tambang timah di kabupaten Belitung Timur. Selain itu juga menjadi informasi dasar dalam menentukan teknik rehabilitasi atau revegetasi di lahan pasca tambang timah baik untuk tujuan konservasi maupun produksi.

2

METODE

Penelitian ini bersifat survei lapangan yang dirancang untuk mengeksplorasi dan mendeskripsikan setiap lokasi berdasarkan kriteria yang ditentukan. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan menetapkan konsep suksesi alami dan restorasi sebagai pendekatan dalam pembahasan kondisi tanah dan vegetasi di lokasi penelitian.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2013 – Agustus 2014. Pengambilan sampel tanah dan analisis vegetasi dilakukan di Desa Kelubi Kecamatan Manggar Kabupaten Belitung Timur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dipilih lima lokasi, antara lain: 1) hutan kerangas sekunder tua (Rimba), 2) hutan kerangas sekunder muda (Bebak), 3) vegetasi padang (Padang), 4) lahan pasca tambang timah (LPT) kurang dari 100 tahun (area KP PT Timah) dan 5) lahan pasca tambang timah (LPT) lebih dari 100 tahun (area Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)). Semua lokasi berada dalam status area penggunaan lain (APL) (Tabel 1). Daerah penelitian disajikan pada Gambar 1.

Tabel 1 Lokasi penelitian

No Lokasi Posisi Geografis Status

1 Rimba 02º48’1,60” LS dan 108º08’16,5” BT APL

2 Bebak 02º50’10,9” LS dan 108º09’20,8” BT APL

3 Padang 02º52’53,0” LS dan 108º09’52,9” BT APL

4 KP PT Timah (LPT<100 th) 02º49’20,1” LS dan 108º11’35,3” BT APL

5

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam pengambilan sampel tanah dan vegetasi di lapangan meliputi: 1) peralatan pengambilan sampel tanah komposit (bor tanah, plastik sampel, label, spidol), 2) peralatan analisis vegetasi dan pembuatan herbarium (meteran 20 m, meteran jahit, tali rafia, parang, plastik sampel herbarium, label, spidol, alkohol) dan 3) peralatan dokumentasi (Global Position

System (GPS), kamera, buku catatan dan alat tulis). Peralatan untuk analisis logam

berat dilakukan dengan menggunakan mesin Inductively Coupled PlasmaAtomic

Emission Spectrometry (ICP-AES) ICPE-9000. Analisis mineral liat dilakukan

dengan menggunakan mesin X-Ray Diffraction MiniFlex 600. Prosedur Penelitian

Pengambilan sampel tanah komposit

Contoh tanah komposit diambil dengan menggunakan teknik cluster

sampling (Suganda et al. 2006). Contoh cluster dipilih secara purposive,

dikarenakan kondisi lahan di setiap lokasi lahan pasca tambang tidak homogen, maka pada setiap LPT dibagi ke dalam beberapa cluster. Adanya penambangan ulang di lokasi lahan pasca tambang, sehingga memengaruhi umur suksesi setiap

cluster. Pembagian cluster berdasarkan tutupan vegetasi dominan di atasnya. Di LPT < 100 tahun dibagi menjadi dua cluster yaitu pasir (tailing 5 tahun) dan semak (tailing 50 tahun). Pada LPT > 100 tahun dibagi menjadi tiga cluster yaitu pasir (tailing 3 tahun), semak (tailing 15 tahun) dan hutan (tailing 130 tahun). Pada lokasi Rimba, Bebak dan Padang hanya terdapat satu cluster karena relatif homogen dalam satu hamparan. Contoh tanah berupa contoh tanah komposit seberat 600 gram yang diambil dari lima sub contoh tanah di setiap cluster di

6

setiap lokasi. Kedalaman pengambilan sampel tanah yaitu 0–20 cm (1) dan 20–40 cm (2).

Pengambilan contoh akar dan rizosfir

Pengambilan contoh akar untuk megetahui ada tidaknya asosiasi antara fungi mikoriza arbuskula (FMA) dengan akar tumbuhan. Contoh tanah yang berada di sekitar rambut akar (rizosfer) diambil untuk dianalisis potensi FMA di sekitar vegetasi tersebut. Contoh akar diambil dari tiga vegetasi dominan di dalam plot analisis vegetasi pada kedalaman 0–20 cm. Total panjang akar yang diambil yaitu 10–20 cm setiap jenisnya. Contoh tanah komposit dari sekitar akar tiga vegetasi dominan dan 4 titik rizosfir. Jumlah tanah yang diambil sebanyak 300– 500 g setelah dikompositkan.

Analisis tanah

Analisis tanah meliputi tekstur tanah (proporsi pasir, debu dan liat), pH, C organik (Walkley & Black), N total (Kjeldhal), P tersedia (Bray l), P total (HCl 25%), Kapasitas Tukar Kation (KTK), Ca, Mg, Na,K (N NH4OAc pH 7,0), Kejenuhan Basa (KB), Al, H (N KCl), Fe, Mn (0.05 N HCl) dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB. Analisis logam berat (Cd, Cr, Cu, Ni, Pb, Zn) dan analisis mineral liat dilakukan di Laboratory of Soil Science, Kyoto University.

Analisis logam berat dan mineral liat menggunakan sampel tanah 0–20 cm. Analisis logam berat dilakukan dengan metode modifikasi BCR tiga tahapan ekstraksi bertingkat (Rauret et al. 1999) (Tabel 2). Analisis mineral liat dilakukan dengan teknik X-Ray Diffraction (Whittig & Allardice 1986).

Analisis kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA) menggunakan metode

Wet Sieving Decanting atau penyaringan basah (Brundrett et al. 1996) yang telah

dimodifikasi. Taksonomi genus FMA dilakukan berdasar performa morfologi spora dan merujuk http:invam.caf.wvu.edu. Analisis FMA dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hutan PPSHB IPB.

Pengambilan data vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan di lima lokasi (Rimba, Bebak dan Padang, LPT < 100 tahun dan LPT > 100 tahun) dengan menggunakan modifikasi teknik pengambilan contoh kuadrat oleh Oosting 1942 (Soerianegara & Indrawan 2008) dengan ukuran petak contoh 10 m × 10 m sebanyak 20 petak contoh (Nurtjahya 2008) dan jarak antar petak contoh 20 m. Perisalahan komposisi vegetasi

Tabel 2 Metode modifikasi BCR dengan tiga tahapan ekstraksi bertingkat

Step Fraksi Target Pelarut

1 Dapat dipertukarkan,

larut dalam air dan asam

Spesies yang mudah larut, karbonat, pertukaran kation

Acetic Acid 0.11 M

2 Dapat tereduksi Besi oksida dan Mangan oksida Hydroxylammonium

Chloride 0.5 M

3 Dapat teroksidasi Bahan organik dan sulfida Hydrogen Peroxyde 8.8

M dikuti oleh

7 dilakukan terhadap tiga fase pertumbuhan (semai, pancang dan pohon) dan habitus tumbuhan bawah (herba, semak, perdu, liana) dengan kriteria sebagai berikut;

a. Petak ukur semai 1 m × 1 m, yaitu anakan dengan tinggi ≤ 1.5 m semai dan tumbuhan bawah (herba, semak, perdu, liana).

b. Petak ukur pancang 5 m × 5 m, yaitu anakan dengan tinggi > 1.5 m dan diameter setinggi dada < 10 cm.

c. Petak ukur pohon 10 m × 10 m, batang berdiameter ≥ 10 cm. Prosedur Analisis Data

Tanah

Hasil analisis tanah dinilai berdasarkan kriteria kondisi tanah (Landon 1986) (Tabel 3). Permasalahan tanah dinilai menurut kriteria penilaian tanah bermasalah (Setiadi 2012) (Tabel 4). Kandungan logam berat dinilai berdasarkan standar

Ecological Investigation Level yang disajikan pada Tabel 5 (DEC 2010).

Tabel 4 Kriteria kondisi tanah bermasalah

Parameter Kriteria Efek terhadap pertumbuhan

pH < 3 Asam, keracunan Al dan Fe

Kekompakan tanah Debu dan liat >70% Stagnasi, perkembangan akar terhambat

Al > 60% / > 3 mek 100 g-1 Akar keriting, stagnasi

Fe 12000 ppm Gangguan akar, stagnasi

KTK <16 mek 100 g-1 Stagnasi

KB < 20% Pertumbuhan lambat

Ca dan Mg Ca < Mg Stagnasi

Pasir Pasir > 80 % Stagnasi

Tabel 3 Kriteria kondisi tanah

Komponen Satuan Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah

C-Organik % ≥ 10 > 4 ≤ 4 < 2 N-Total % > 0.5 > 0.2 ≤ 0.2 < 0.1 P-Bray 1 ppm > 20 > 7 < 7 < 3 K mek 100 g-1 > 0.5 ≥ 0.25 < 0.25 ≤ 0.15 Ca mek 100 g-1 ≥ 10 > 4 ≤ 4 - Mg mek 100 g-1 ≥ 1.5 > 0.8 ≤ 0.4 < 0.2 Fe ppm Kekurangan pada 2 Cu ppm Kekurangan pada 0.2 Mn ppm Kekurangan pada 5 – 9 Zn ppm Kekurangan pada 1 – 7.5 Al % > 60 ≤ 60 < 40 < 20

Kapasitas Tukar Kation (KTK) mek 100 g-1 ≥ 25 > 15 ≤ 15 < 5

Kejenuhan Basa % > 60 > 20 ≤ 20

8

Komposisi dan Struktur Vegetasi

Data yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi akan dianalisis secara kuantitatif dengan menghitung Indeks Nilai Penting setiap spesies yang ditemukan.

Kerapatan (K) : mlah indi id pe ie tertent l a el r h petak contoh

Kerapatan Relatif (KR) : erapatan pe ie tertent

erapatan el r h pe ie 100

 Dominansi (D) : mlah l a idang da ar pe ie tertent l a el r h petak contoh

 Dominansi Relatif (DR) : ominan i pe ie tertent

ominan i el r h pe ie 100

 Frekuensi (F) : mlah petak contoh ditem kan pe ie tertent j mlah el r h petak contoh

Frekuensi Relatif (FR) : rek en i pe ie tertent

rek en i el r h pe ie 100

 Indeks Nilai Penting (INP) :

INP = KR + FR (untuk semai dan pancang) INP = KR + FR + DR (untuk pohon)

Nilai penting merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif, frekuensi relatif dan dominansi relatif, yang berkisar antara 0 dan 300 (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974). Untuk tingkat pertumbuhan sapihan dan semai merupakan penjumlahan kerapatan relatif dan frekuensi relatif, sehingga maksimum nilai penting adalah 200.

Keanekaragaman spesies tumbuhan ditentukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon (Ludwig & Reynolds 1988) dengan rumus:

∑pi ln pi

i 1

dimana pi niN

Keterangan:

’ Indek eanekaragaman pe ie

ni = Nilai penting spesies ke-i

N = Total nilai penting semua spesies

Makin e ar ’ at komunitas maka semakin mantap pula komunitas tersebut. H’ maksimal bila semua spesies mempunyai jumlah individu yang sama

Tabel 5 Batas minimum konsentrasi logam berat terhadap lingkungan ekologi Unsur Konsentrasi (mg kg -1) Cd 3 Cr 400 Cu 100 Ni 60 Pb 100 Zn 200

9 dan ini menunjukkan kelimpahan terdistribusi secara sempurna (Ludwig & Reynolds 1988).

Kekayaan spesies diukur dengan menggunakan Indeks Margalef (1958) diacu dalam Ludwig dan Reynolds (1988), yaitu:

ln N S 1

Keterangan:

R : Indeks kekayaan spesies S : Jumlah spesies

N : Jumlah individu

Kemerataan spesies digunakan untuk mengetahui gejala dominansi diantara setiap spesies dalam suatu lokasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung nilai Evennes (Ludwig & Reynolds 1988). Nilai E yang mendekati satu menunjukkan distribusi jumlah individu setiap spesies hampir sama.

ln S

Keterangan

E : Indeks kemerataan spesies

’ : Indeks keanekaragaman spesies S : Jumlah spesies

Indeks kesamaan komunitas dihitung untuk membandingkan keanekaragaman spesies antara dua komunitas yang berbeda. Nilai IS teringgi 100% dan terendah 0%, semakin mendekati 100% komunitas tumbuhan yang dibandingkan semakin identik (Odum 1993).

IS a 2 100

Keterangan:

IS = Index of Similarity atau Indeks Kesamaan Komunitas (%) C = Jumlah spesies yang sama dan terdapat pada kedua komunitas

a = Jumlah spesies di dalam komunitas A b = Jumlah spesies di dalam komunitas B

Identifikasi Spesies Pionir Potensial

Kriteria penentuan spesies pionir potensial dilihat dari tingkat adaptability

di lapangan, jenis pionir cepat tumbuh, ketersediaan bahan tanaman, bersimbiosis dengan mikroba potensial dan bersifat pionir katalitik (Setiadi 2014).

Teknik Restorasi

Perumusan teknik restorasi dilakukan dengan menelaah literatur terkait pembenahan tanah pada permasalahan tanah yang teridentifikasi.

10

Gambar 2 Ekosistem Rimba.

Hasil analisis tanah dan pengolahan data vegetasi disajikan dalam tabel, diagram dan gambar. Data dan informasi dianalisis dan diinterpretasikan secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

3

HASIL

Deskripsi Lokasi Penelitian Hutan kerangas sekunder tua (Rimba)

Rimba merupakan ekosistem hutan kerangas sekunder tua yang tumbuh di kaki Gunung Bolong, Desa Kelubi dan berbatasan dengan lahan perkebunan kelapa sawit (Gambar 2). Secara geologi, kawasan Rimba termasuk dalam formasi Granodiorit Burung Mandi. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan granodiorit (Pratiwi 2010). Berdasarkan data atribut peta kawasan hutan di Kabupaten Belitung Timur, Rimba berada pada daerah dataran dengan batuan induk batuan sedimen kasar masam dan kelerengan < 8%. Rimba termasuk dalam kelas penutupan lahan sebagai hutan lahan kering dengan > 75% ditutupi oleh vegetasi dan dalam kategori tidak kritis (Distanhut 2012).

Hutan kerangas sekunder muda (Bebak)

Bebak merupakan ekosistem hutan kerangas sekunder muda yang tumbuh di lahan bekas perladangan yang berumur 10 tahun di atas tanah milik masyarakat dan berbatasan dengan lahan perkebunan karet (Gambar 3). Secara geologi, termasuk dalam formasi Kelapa Kampit. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan batupasir, batuserpih, batulempung dan batulumpur (Pratiwi 2010). Berdasarkan data atribut peta kawasan hutan di Kabupaten Belitung Timur, Bebak berada pada daerah dataran dengan batuan induk batuan sedimen kasar masam dan kelerengan < 8%. Bebak termasuk dalam kelas penutupan lahan sebagai semak belukar dengan 26–50% ditutupi oleh vegetasi dan dalam kategori agak kritis (Distanhut 2012).

11

Vegetasi padang (Padang)

Padang merupakan ekosistem hutan kerangas yang mengalami disklimaks, sehingga berupa hamparan padang rumput yang sulit untuk tumbuh menjadi hutan kembali (Gambar 4). Lokasi padang berbatasan dengan lahan perkebunan karet dan kelapa sawit. Secara geologi, kawasan termasuk dalam formasi Kelapa Kampit. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan batupasir kuarsa (Pratiwi 2010). Berdasarkan data atribut peta kawasan hutan di Kabupaten Belitung Timur, Padang beradapada daerah dataran dengan batuan induk batuan sedimen kasar masam dan kelerengan < 8%. Padang termasuk dalam kelas penutupan lahan sebagai semak belukar dengan 26–50% ditutupi oleh vegetasi dan dalam kategori agak kritis (Distanhut 2012).

Lahan pasca tambang timah kurang dari 100 tahun (LPT < 100 tahun)

Pada lokasi LPT < 100 tahun terdapat dua cluster tanah dilihat dari tingkat suksesinya antara lain cluster pasir (tailing umur 5 tahun) dan cluster vegetasi semak (tailing umur 50 tahun) (Gambar 5). Secara geologi, kawasan termasuk dalam formasi Diorit Kuarsa Batubesi. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan diorit kuarsa batubesi (Pratiwi 2010). Berdasarkan data atribut peta kawasan hutan di Kabupaten Belitung Timur, LPT < 100 tahun berada pada daerah dataran

Dokumen terkait