• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 8 Mei 1988 sebagai anak ketiga dari 3 bersaudara dari pasangan Usman AR dan Salmiah Syama’un. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus pada tahun 2010. Penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan saat menempuh pendidikan sarjana, yaitu di HIMAFARIN (Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) sebagai anggota bidang Peningkatan Minat dan Bakat pada tahun 2008 dan anggota bidang Penelitian, Pengembangan, dan Keprofesian pada tahun 2009.

Penulis diterima di Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap pada Program Magister, Pascasarjana IPB pada tahun 2011. Penulis pernah mengikuti berbagai kegiatan yang menunjang potensi akademik seperti seminar nasional perikanan tangkap, workshop penulisan karya ilmiah internasional, dan seminar nasional penulisan karya ilmiah. Penulis menjalani pendidikan selama 34 bulan dan dinyatakan lulus pada ujian tesis tanggal 30 Desember 2013.

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Fokus perikanan di Indonesia saat ini adalah pengembangan perikanan menuju industrialisasi, salah satunya melalui industrialisasi ikan tuna, tongkol, dan cakalang (TTC). Peraturan berupa PER.27/MEN/2012 menjelaskan bahwa industrialisasi TTC dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dan nilai produksi serta mutu jenis produk perikanan sehingga mampu diekspor ke luar negeri (KKPa

2013). Kebijakan industrialisasi ini harus didukung oleh sistem perikanan yang baik, seperti proses penangkapan yang sesuai aturan, kemampuan nelayan dalam pengoperasian alat tangkap dan penjagaan mutu hasil tangkapan, hasil tangkapan yang layak tangkap, lancarnya proses pemasaran, hingga pada kelengkapan dokumen kapal dan kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan.

Indonesia saat ini memiliki 5 pelabuhan perikanan yang menjadi contoh nasional dalam industrialisasi TTC, yang diharapkan dapat memacu pelabuhan perikanan lainnya. Pelabuhan perikanan yang terdapat di provinsi Jawa Timur memiliki potensi untuk mengikuti 5 pelabuhan perikanan tersebut, salah satunya adalah Kabupaten Malang. Potensi tersebut terlihat dari jumlah produksi TTC Kabupaten Malang tahun 2012 mencapai 3787 ton, yang menjadi salah satu produsen TTC terbesar di provinsi Jawa Timur (DKP Provinsi Jawa Timur 2013). Tingginya produksi Kabupaten Malang didukung dengan adanya keberadaan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap. Posisi PPP Pondokdadap yang strategis dan dilindungi oleh Pulau Sempu sebagai breakwater alami menjadi tempat yang aman bagi kapal-kapal yang ingin berlabuh. Sebagian besar kapal- kapal tersebut melakukan kegiatan penangkapan di dekat Samudera Hindia yang merupakan daerah penangkapan potensial untuk ikan pelagis jenis TTC (UPPP Pondokdadap 2012).

Komoditas TTC di perairan selatan Jawa Timur banyak ditangkap menggunakan alat tangkap pancing dengan kapal tonda (sekoci). Pangkalan Pendaratan Ikan (2007) dalam Hermawan (2011) menyatakan bahwa jumlah kapal tonda di PPP Pondokdadap berkembang cukup pesat, pada tahun 2001 hanya berjumlah 30 unit, namun pada tahun 2007 jumlahnya meningkat sebanyak 318 unit dan pada tahun 2008 menjadi 335 unit. Peningkatan tersebut dikarenakan preferensi nelayan terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang terdapat di PPP Pondokdadap, yaitu tingginya harga jual hasil tangkapan kapal tonda, prospek pasar yang baik, dan adanya tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Sebagian besar nelayan Sendang Biru mengoperasikan kapal tonda dibantu dengan menggunakan alat bantu penangkapan yang dikenal dengan rumpon. Prinsip utama rumpon adalah mengumpulkan ikan, dimana ikan-ikan yang berkumpul di sekitar rumpon diduga karena mencari tempat berlindung atau mencari makan. Hasil penelitian Yusfiandayani (2004) menunjukkan bahwa mekanisme berkumpulnya ikan pelagis kecil di sekitar rumpon cenderung disebabkan oleh proses rantai makanan yang diawali dengan tahapan terbentuknya kolonisasi mikroorganisme yang menempel pada bahan atraktor rumpon, berkumpulnya pemangsa mikroorganisme disekitar rumpon, berkumpulnya ikan

penjaring (ikan herbivora) dan berkumpulnya ikan predator (karnivora dan omnivora).

Penggunaan rumpon pada perikanan tonda awalnya dianggap cukup efektif karena nelayan dapat langsung menemukan daerah penangkapan yang potensial sehingga dapat meminimalisir biaya operasional penangkapan. Pemanfaatan rumpon saat ini ternyata menimbulkan permasalahan, seperti adanya konflik horisontal diantara nelayan, tingginya upaya penangkapan yang dilakukan di sekitar rumpon, hingga adanya kenaikan jumlah rumpon (ilegal) yang dipasang di perairan. Budiono (2005) pada penelitiannya menyebutkan bahwa pada tahun 1990, nelayan Sendang Biru mengenal rumpon bekas nelayan Philipina dan mereka belum mengetahui fungsi dari rumpon tersebut, hingga pada tahun 1997 nelayan andon dari Sulawesi Selatan (suku Bugis) datang ke wilayah Sendang Biru menggunakan kapal tonda (sekoci) sebanyak 12-13 unit dengan alat tangkap

handline dilengkapi dengan rumpon sebagai alat bantu penangkapan. Produktivitas nelayan andon tersebut ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan lokal, sehingga menimbulkan kecemburuan yang memicu terjadinya konflik antara nelayan lokal dengan nelayan andon. Konflik mencapai puncaknya antara Juni hingga Agustus 1997, dimana nelayan lokal melakukan unjuk rasa menolak kehadiran nelayan andon yang beroperasi di perairan Sendang Biru. Konflik berhasil diredam oleh tokoh masyarakat setempat dengan melakukan negoisasi terhadap nelayan lokal sehingga nelayan lokal bersedia menerima kembali nelayan andon. Situasi ini ternyata memicu konflik susulan, dimulai dari banyaknya nelayan kapal tonda yang beroperasi di lokasi rumpon dan beberapa nelayan andon yang memasang rumpon di lokasi yang dirahasiakan. Peningkatan jumlah kapal tiap tahunnya akan meningkatkan jumlah upaya penangkapan yang dikhawatirkan mempengaruhi sumberdaya ikan yang menjadi target tangkapan dari kapal tonda. Hermawan (2011) menyatakan bahwa hasil tangkapan tuna dan cakalang yang didaratkan di PPP Pondokdadap sebagian besar didominasi oleh ikan yang berukuran kecil atau tidak layak tangkap, sehingga mempengaruhi keberlangsungan keberadaan sumberdaya ikan yang menjadi target tangkapan di perairan.

Pengaturan mengenai rumpon dan alat penangkapan ikan sebenarnya telah ditetapkan oleh pemerintah dalam peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) PER.02/MEN/2011 tentang jalur penangkapan ikan, penempatan alat penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan Negara Republik Indonesia (KKPb 2013). Kenyataan di lapangan sering

menunjukkan kondisi yang berlawanan. Hal ini akan membawa dampak negatif terhadap kondisi perikanan khususnya perikanan tonda jika dibiarkan terus menerus. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu kajian, khususnya di PPP Pondokdadap untuk melihat seluruh permasalahan secara lebih detail dan menyeluruh, yang dikaji dari aspek teknis, ekologi, sosial, kelembagaan, dan ekonomi sehingga dapat ditemukan model konseptual yang dapat membantu memecahkan permasalahan pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap.

Perumusan Masalah

Peningkatan dan perkembangan permintaan pasar saat ini terhadap komoditas perikanan khususnya jenis TTC membuat pemerintah dan pengusaha perikanan semakin meningkatkan produksinya, seperti yang terjadi di PPP Pondokdadap, Malang, Provinsi Jawa Timur. Peningkatan ini terlihat dari perkembangan jumlah kapal tonda dan alat tangkap pancing di PPP Pondokdadap yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan jenis TTC. Hal tersebut juga akan memacu peningkatan pemanfaatan rumpon yang biasanya digunakan nelayan sebagai alat bantu penangkapan dalam perikanan tonda.

Pengoperasian unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap yang semakin meningkat ternyata menimbulkan permasalahan yang berpengaruh terhadap kondisi perikanan tonda. Konflik horizontal karena perebutan daerah penangkapan dan sumberdaya, tidak berizinnya pengoperasian unit perikanan tonda dan rumpon, berubahnya kondisi sumberdaya ikan yang menjadi target tangkapan, dan adanya permasalahan ekonomi diantara nelayan dengan pengambek menjadi permasalahan yang harus disoroti pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap.

Permasalahan yang terjadi di PPP Pondokdadap memiliki hubungan yang saling terkait. Keterkaitan tersebut membuat permasalahan yang terjadi semakin kompleks, sehingga diperlukan pendekatan sistem untuk membantu menyelesaikan seluruh persoalan yang ada. Salah satu pendekatan sistem yang dapat digunakan adalah Soft System Methodology (SSM). Cara kerja metode ini adalah merinci permasalahan yang terjadi berdasarkan aktor atau pelaku yang terlibat dengan melihat pola dan hubungan diantara para aktor. Pengkajian masalah yang terjadi dalam penelitian ini dibatasi dalam lima aspek, yaitu aspek teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Penyelesaian masalah tersebut dapat dilakukan dengan melihat inti permasalahan yang diuraikan menjadi beberapa pertanyaan, yaitu:

(1) Bagaimana pola dan keterkaitan masalah diantara aspek kajian, meliputi aspek teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan; dan

(2) Bagaimana solusi yang tepat terhadap permasalahan pada seluruh aspek kajian.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

(1) Memformulasikan permasalahan pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap berdasarkan aspek teknis, ekologi, sosial, kelembagaan, dan ekonomi; dan

(2) Membuat model konseptual sebagai solusi terhadap permasalahan pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah daerah setempat sebagai salah satu alternatif untuk dapat mengelola perikanan tonda di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Diharapkan dapat menjadi salah satu masukan bagi pengusaha perikanan yang berkecimpung di bidang perikanan tonda untuk mengoptimalkan usahanya.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan dibatasi dalam beberapa aspek, yaitu aspek teknis, ekologi, sosial, kelembagaan, dan ekonomi. Aspek teknis mengkaji mengenai metode operasi penangkapan dan pemasangan rumpon serta produktivitas rata-rata per kapal dan per nelayan. Analisis jumlah, jenis, dan komposisi hasil tangkapan, serta pengaruh pemasangan rumpon terhadap sumberdaya ikan merupakan kajian dalam aspek ekologi. Analisis pengaruh perikanan tonda dengan rumpon terhadap pendapatan masyarakat sekitar dan hubungan antar masyarakat (ada/tidaknya konflik) termasuk dalam aspek sosial. Sistem perizinan dan pengaturan pengoperasian unit perikanan tonda dengan rumpon secara lebih detail dikaji dalam aspek kelembagaan. Variabel ekonomi berupa pemasaran, analisis usaha, analisis finansial, dan pendapatan nelayan dikaji dalam aspek ekonomi.

Seluruh aspek tersebut dikaji dengan menggunakan pendekatan Soft System Methodology (SSM). Penggambaran permasalahan dengan rich picture

akan dikaji lebih lanjut dengan melihat hubungan diantara aktor yang terlibat dan kondisi yang diinginkan dengan root definition. Root definition tersebut akan digunakan untuk merumuskan model konseptual yang dapat digunakan sebagai solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada sistem perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap Sendang Biru, Malang, Jawa Timur.

Kerangka Pemikiran

Permasalahan yang terjadi pada unit perikanan tonda dengan rumpon seperti telah dijelaskan pada subbab-subbab sebelumnya memerlukan penyelesaian secara menyeluruh. Penyelesaian dengan pendekatan sistem khususnya dengan menggunakan Soft System Methodology (SSM) merupakan salah satu cara yang tepat untuk dilakukan. Hal ini bertujuan agar seluruh masalah yang terjadi dapat ditemukan dengan melihat permasalahan inti pada setiap aspek, yaitu aspek teknis, ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Penemuan dan pengungkapan masalah yang selanjutnya diformulasikan dalam rich picture akan membantu peneliti untuk melihat permasalahan secara lebih detail. Keterlibatan aktor, struktur masalah, dan elemen lainnya diidentifikasi lebih dalam dengan root definition, yang nantinya akan digunakan untuk membuat model konseptual sebagai rekomendasi terhadap pengelolaan unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap, Sendang Biru, Malang (Gambar 1.1)

Gambar 1.1 Kerangka pemikiran penelitian Permasalahan

Peningkatan unit perikanan tonda, pemanfaatan rumpon tidak sesuai aturan, kecilnya ukuran hasil tangkapan, khususnya jenis tuna, dan konflik horizontal diantara nelayan .

Solusi?

Analisis permasalahan dengan pendekatan sistem → Soft System Methodology (SSM)

Penemuan dan pengungkapan masalah pada aspek kajian Mulai

Aspek Kelembagaan

 Pengaruh kelembagaan terhadap unit

perikanan tonda dengan rumpon → analisis

deskriptif;

 Sistem perizinan dan pengaturan

pengoperasian unit perikanan tonda →

analisis deskriptif.

Aspek Ekologi  Jumlah, jenis, dan komposisi

hasil tangkapan, serta pengaruh pemasangan rumpon terhadap sumberdaya ikan → analisis deskriptif.

Aspek Teknis

 Metode operasi unit perikanan tonda

dengan rumpon → analisis deskriptif;  Produktivitas rata-rata per kapal/tahun/trip

dan per nelayan/tahun/trip → analisis

produktivitas.

Aspek Sosial

 Pengaruh perikanan tonda dengan rumpon terhadap pendapatan masyarakat → analisis

deskriptif;

 Pengaruh perikanan tonda dengan rumpon terhadap hubungan antar masyarakat

(ada/tidaknya konflik) → analisis deskriptif.

Aspek Ekonomi

 Pemasaran dan pendapatan

→ analisis deskriptif;  Keuntungan → analisis usaha;  Analisis finansial → NPV, IRR, Net B/C.  nelayan →

Pengidentifikasian masalah berdasarkan elemen pembentuk dengan root definition

Pembuatan model konseptual

Rekomendasi model konseptual

Formulasi masalah pada tiap aspek kajian dengan rich picture

2 GAMBARAN UMUM UNIT PERIKANAN TONDA DENGAN

RUMPON DI PPP PONDOKDADAP

Unit Penangkapan Ikan

Kapal

Pengoperasian kapal tonda atau yang dikenal dengan kapal sekoci oleh nelayan Sendang Biru dilakukan sejak adanya nelayan andon suku Bugis yang beroperasi di perairan sekitar Sendang Biru pada tahun 1997. Sejak saat itu, perikanan tonda mulai berkembang di Sendang Biru. Jenis kapal yang digunakan pada unit perikanan tonda adalah kapal motor berbahan dasar kayu dengan mesin

inboard (Gambar 2.1). Ukuran kapal yang digunakan hampir sama, yaitu memiliki panjang sekitar 16 meter, lebar 3 meter, dan dalam 2 meter, dengan ukuran rata-rata 5-10 (GT). Mesin yang digunakan berjumlah 2-3 buah dengan jenis Yanmar, Jiandong, Kubota atau Mitsubishi dengan kekuatan 300 HP. Setiap kapal memiliki palka 3 buah, dengan kapasitas berkisar antara 1.3-1.6 ton. Palka akan terisi penuh dengan muatan 4.8 ton saat musim puncak.

Gambar 2.1 Kapal perikanan tonda di PPP Pondokdadap

Alat Tangkap

Jumlah alat tangkap pada perikanan tonda berfluktuasi selama 5 tahun terakhir. Jumlah alat tangkap tonda tahun 2008 berjumlah 344 unit, mengalami penurunan pada tahun 2009 dan 2010 masing-masing menjadi 301 unit dan 201 unit. Peningkatan terjadi pada tahun 2011 menjadi 281 unit dan tahun 2012 menjadi 366 unit (UPPPP Pondokdadap 2013). Alat tangkap yang digunakan pada unit perikanan tonda adalah pancing. Jenis pancing yang digunakan memiliki komponen yang hampir sama, yaitu terdiri dari tali pancing, mata pancing, swivel, pemberat, dan umpan (Gambar 2.2).

Nelayan

Nelayan unit perikanan tonda di PPP Pondokdadap terdiri atas nelayan lokal dan nelayan andon. Nelayan lokal adalah nelayan yang menetap di daerah setempat, sementara nelayan andon adalah nelayan yang berasal dari luar daerah dan hanya datang saat musim ikan. Nelayan disetiap kapal berjumlah 5-6 orang, dimana untuk kapal andon sebagian besar nelayan berasal dari luar daerah seperti Kalimantan dan Sulawesi, sementara untuk kapal lokal sebagian nelayan berasal dari daerah setempat dan sebagian lainnya berasal dari luar daerah seperti Banyuwangi. Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD) dan sebagian lainnya memiliki pendidikan tingkat SMP atau SMA.

Rumpon

Penggunaan rumpon sebagai alat bantu pada perikanan tonda sangat diminati oleh nelayan, dikarenakan keberadaan rumpon membantu nelayan untuk memperoleh ikan dengan jumlah yang lebih banyak dan daerah penangkapan menjadi lebih pasti. Rumpon yang dimiliki oleh nelayan tonda biasanya berasal dari modal pribadi (bukan bantuan pemerintah), dengan biaya pembuatan rumpon antara Rp40 000 000-Rp50 000 000. Setiap 1 rumpon biasanya dimanfaatkan oleh 5-9 kapal tonda, dengan jarak antar rumpon berkisar antara 10-15 mil. Rumpon dipasang pada wilayah perairan dengan jarak berkisar antara 50-200 mil dari garis pantai atau pada 80-130 LS. Komponen rumpon terdiri dari tali, pelampung, pemberat, rumbai, dan ban (Tabel 2.1 dan Gambar 2.3), dengan spesifikasi sebagai berikut:

Tabel 2.1 Spesifikasi rumpon perikanan tonda di PPP Pondokdadap Komponen Bahan dan Jumlah

Tali Berbahan serat merek Seagul, tali brebes (ukuran 22-24, berkisar antara 60-100 gulung), dan nylon. Jumlahnya berkisar antara 38- 42 gulung dengan masing-masing gulung sepanjang 220 meter Pelampung Besi baja (berbentuk peluru), gabus (panjang 4 meter, lebar 1

meter, dan tinggi 70 meter)

Pemberat Batu andem (berat 10-25 kg), beton cor (40 blok) Rumbai Tali rafia, daun kelapa

Ban Ban karet (bagian luar)

Pemanfaatan tiap rumpon hanya boleh dilakukan oleh anggota kelompok, dan tiap kelompok tidak boleh memanfaatkan rumpon kelompok lain, kecuali kelompok tersebut mengizinkan. Tidak ada aturan tertulis dalam hal ini, aturan tersebut hanya berdasarkan kesepakatan diantara nelayan tonda saja. Rumpon milik beberapa kelompok nelayan juga tidak dijaga secara khusus, jadi saat musim barat dan banyak nelayan tidak melaut, rumpon hanya dibiarkan di perairan, sehingga terkadang ada rumpon yang hilang. Beberapa kelompok lainnya ada yang membuat kesepakatan untuk menjaga rumpon, yaitu dengan bergantian dalam melakukan operasi penangkapan sehingga rumpon milik kelompok tersebut tetap dapat diawasi oleh anggota kelompok.

Besi baja (berbentuk peluru), sebagai pelampung rumpon

Ban, untuk mengikatkan kapal yang ingin bersandar di dekat rumpon

Daun kelapa atau tali rafia sebagai atraktor

Batu, sebagai pemberat atraktor

Batu andem dan beton cor sebagai pemberat rumpon

Gambar 2.3 Ilustrasi bentuk rumpon perikanan tonda di PPP Pondokdadap

Metode Penangkapan Ikan

Pancing dimodifikasi lagi oleh nelayan ketika dioperasikan, disesuaikan dengan metode penangkapan dan target tangkapan yang diinginkan. Penangkapan yang dilakukan nelayan perikanan tonda di Sendang Biru terdiri atas 7 jenis pancing, yang namanya disesuaikan dengan metode penangkapan pancing tersebut, yaitu pancing tonda, layangan, ulur, batuan, coping, taber, dan tomba/umbar-umbaran. Penggunaan metode-metode tersebut disesuaikan dengan kondisi perairan saat penangkapan berlangsung dan tidak ada urutan pasti dalam penggunaan jenis pancing. Sebagian besar nelayan melakukan operasi penangkapan selama 10 hari, namun jika hasil tangkapan yang diperoleh melimpah nelayan kembali ke pelabuhan dalam waktu yang lebih cepat. Lamanya waktu operasi untuk masing-masing jenis pancing juga tidak pasti, jika nelayan merasa penggunaan suatu jenis pancing tidak efektif untuk menangkap ikan, maka nelayan akan mengganti metode penangkapan dengan menggunakan jenis pancing yang lainnya. Berikut adalah jenis pancing dan metode operasi yang digunakan pada unit perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap:

(1) Pancing tonda

Pancing tonda merupakan jenis pancing yang pengoperasiannya dilakukan dengan cara menonda (menarik) dengan spesifikasi alat seperti pada Tabel 2.2. Penondaan dilakukan dengan mengikatkan tali pancing di bagian belakang (buritan) kapal dan bagian samping kapal, lalu pancing diulurkan ke dalam perairan dan ditonda dengan menyusuri wilayah perairan di sekitar rumpon (Gambar 2.4). Operasi pancing tonda biasanya dilakukan pada pagi hari, sekitar pukul 06.00 WIB dengan target tangkapan cakalang, tongkol, dan tuna kecil.

Tabel 2.2 Spesifikasi pancing tonda di PPP Pondokdadap

Komponen Bahan dan ukuran

Tali pancing Nylon 150 (tali pancing), nylon 250 (tali pegangan di kapal) Mata pancing

Pemberat

Ukuran no. 6 atau 7, 3 buah mata pancing diikatkan menjadi satu sehingga menjadi mata pancing dengan 3 kait

Timbal

Umpan Bulu kain sutera mengkilat (berwarna merah, hijau, atau oranye)

Gambar 2.4 Ilustrasi metode penangkapan pancing tonda

(2) Pancing layangan

Metode operasi pancing layangan adalah dengan mengulurkan pancing yang sudah diikatkan umpan cumi karet ke dalam perairan, lalu layangan yang sudah diikatkan tali diterbangkan. Tali layangan harus ditarik ulur agar menimbulkan percikan-percikan atau gerakan di air yang berfungsi untuk menarik ikan (Gambar 2.5). Pancing layangan biasanya dioperasikan pada pagi hari, setelah matahari terbit, sekitar pukul 06.30 WIB. Hasil tangkapan dominan pancing layangan adalah ikan tuna, marlin, dan albakora.

Tabel 2.3 Spesifikasi pancing layangan di PPP Pondokdadap

Komponen Bahan dan ukuran

Tali pancing Nylon 150 (tali pancing), nylon 250 (tali untuk pegangan nelayan), nylon 70 (tali dari kili-kili ke mata pancing)

Mata pancing

Pemberat

Ukuran no. 2 atau 3, 3 buah mata pancing digabungkan menjadi satu, sehingga memiliki 3 kait

Timbal

Umpan Cumi karet, ikan terbang tiruan (dari kayu) Layangan Kertas manila

arah kapal

Gambar 2.5 Ilustrasi metode penangkapan pancing layangan

(3) Pancing ulur

Pancing ulur dioperasikan sesaat setelah mesin kapal dimatikan dan posisi kapal berada di dekat rumpon. Operasi pancing ulur dilakukan dengan cara mengulurkan mata pancing ke dalam perairan, lalu ditarik ulur untuk menarik perhatian ikan di sekitar rumpon, ketika mata pancing telah mengenai ikan, tali pancing ditarik secara perlahan ke atas kapal. Target tangkapan pancing ulur adalah ikan tongkol dan cakalang. Spesifikasi pancing ulur sangat sederhana, hanya terdiri dari tali pancing, mata pancing, penggulung, dan umpan (Tabel 2.4).

Tabel 2.4 Spesifikasi pancing ulur di PPP Pondokdadap

Komponen Bahan dan ukuran

Tali pancing Nylon 150

Mata pancing Ukuran no 6 atau 7

Pemberat Timbal

Umpan Bulu kain sutera mengkilat

(4) Pancing batuan

Pengoperasian pancing batuan sama seperti pancing ulur, namun pancing batuan memakai batu yang diikatkan pada tali pancing. Operasi dilakukan dengan mengulurkan pancing hingga mencapai kedalaman sekitar 40 meter, lalu dihentakkan (Gambar 2.6). Gerakan karena hentakan dari batu-batu tersebut dianggap dapat menarik perhatian ikan sehingga ikan mendekati mata pancing. Umpan yang digunakan biasanya adalah cumi segar. Hasil tangkapan dominan dari pancing batuan adalah ikan tuna dan marlin. Adapun spesifikasi alat tangkap pancing batuan adalah:

Tabel 2.5 Spesifikasi pancing batuan di PPP Pondokdadap

Komponen Bahan dan ukuran

Tali pancing Nylon 120-150

Mata pancing Pemberat

Ukuran no 3 atau 4 Timbal

Umpan Cumi segar

arah arus arah kapal

arah kapal

Gambar 2.6 Ilustrasi metode penangkapan pancing batuan

(5) Pancing coping

Pancing coping merupakan sebutan nelayan perikanan tonda di Sendang Biru untuk jenis pancing yang menggunakan umpan sendok yang sudah dibengkokkan atau plastik transparan yang diris-iris panjang. Penggunaan pancing dengan metode coping adalah dengan mengulurkan tali pancing ke dalam perairan, lalu digerak-gerakkan. Gerakan dari sendok yang sudah diikatkan pada tali pancing diduga dapat menarik perhatian ikan. Tali pancing akan ditarik ke atas kapal saat ikan sudah mengenai mata pancing. Jenis ikan yang biasanya menjadi target tangkapan pancing coping adalah ikan tongkol dan cakalang. Adapun spesifikasi dari pancing coping sebagai berikut:

Tabel 2.6 Spesifikasi pancing coping di PPP Pondokdadap

Komponen Bahan dan ukuran

Dokumen terkait