• Tidak ada hasil yang ditemukan

SINOPSIS ROMAN LARASATI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

A. RIWAYAT HIDUP PRAMOEDYA ANANTA TOER

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925. Blora merupakan kota kecil yang sangat bersejarah bagi Pramoedya. Banyak dari cerita-ceritanya berlatar belakang geografis kota tersebut, misalnya Cerita dari Blora, roman Perburuan dan Bukan Pasarmalam. Karena di kota Blora itu ia dilahirkan dan dibesarkan, maka Pramoedya sangat paham mengapa dan bagaimana peristiwa-peristiwa yang menjadi inspirasi cerita-ceritanya itu terjadi.

Pramoedya Ananta Toer adalah anak sulung dari sebuah keluarga Islam nasionalis. Ayahnya, Pak Mastoer (nama ini kemudian hanya disingkatnya menjadi “Toer” saja dengan pertimbangan bahwa kata “Mas”

dalam “Mastoer” sangat feodal), adalah seorang guru HBS (Holandsch Islandsche School) sebelum kemudian pindah dan mengajar di sekolah partikelir IBO (Institut Boedi Oetomo). Ketika krisis ekonomi melanda serta datang tekanan pemerintah kolonial Belanda terhadap sekolah-sekolah liar, membuat IBO banyak ditinggalkan murid-muridnya yang tidak sanggup lagi

membayar atau merasa bahwa IBO tidak bisa menjanjikan masa depan karena karena tidak diakui pemerintah. Pak Mastoer akhirnya kembali menjadi guru HIS, walaupun yang terjadi kemudian hari tak lebih dari sekedar berstatus sebagai guru pengganti. Tindakan sang ayah sangat mengecewakan Pramoedya yang menganggap sang ayah telah berkapitulasi atau berkompromi dengan kekuasaan kolonial Belanda, meskipun ia dapat memahami hal tersebut mengingat kondisi yang ada.

Aktivitas Pak Mastoer sendiri sebagai tokoh pergerakan di masa itu cukup dikenal oleh masyarakat sekitar Blora. Pak Mastoer antara lain aktif berpolitik menjadi anggota Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pimpinan Soekarno. Beliau juga seorang aktivis pendidikan yang melalui IBO, banyak mendirikan kursus-kursus kejuruan bagi pribumi serta menerbitkan buku-buku perjuangan dan pelajaran. Aktivitasnya itu dapat diduga sangat berpengaruh pada perwatakan Pramoedya kecil, terutama tumbuhnya jiwa kerakyatan dan kebangsaan dalam dirinya, meskipun hal ini sangat terbatas sejauh pemahamannya sebagai anak kecil.

Selain ayahnya orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masa kecil Pramoedya, sosok ibunya juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit. Ibunya adalah seorang aktivis perempuan bernama Oemi Saidah. Ia adalah anak dari seorang selir penghulu Rembang yang telah melahirkan Oemi Saidah yang diceraikan dan diusir dari kediaman penghulu. Kisah hidup neneknya yang demikian menjadi inspirasi bagi Pramoedya untuk menulis roman Gadis Pantai, sebuah unfinished novel, karena roman itu sebenarnya adalah buku pertama dari sebuah trilogi. Sangat disayangkan

bahwa dua naskah lainnya hilang dalam huru-hara 1965, saat ketika banyak naskah Pramoedya dirampas dan dibakar sebelum sempat diterbitkan.

Ibu Pramoedya sendiri adalah seorang perempuan yang lembut dan pada waktu tertentu bisa berubah menjadi keras dan tegas. Dalam ingatan Pramoedya, ia adalah sosok perempuan satu-satunya di dunia yang ia cintai dengan tulus. Di waktu-waktu kemudian ternyata sosok ibu ditempatkan menjadi ukuran bagi Pramoedya dalam menilai setiap perempuan yang ia kenal. Selain itu, sosok ini pulalah yang nampaknya menjadi figur yang banyak ia citrakan sebagai sosok seorang ibu dalam beberapa ceritanya.

Misalnya dalam cerita pendek Yang Sudah Hilang ataupun Kemudian Lahirlah Dia, seorang ibu yang tegas namun penuh kasih sayang.

Dengan latar belakang keluarga seperti itu, Pramoedya kemudian masuk sekolah dasar yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. Mengenai riwayat pendidikannya ini, Pramoedya kecil bukanlah seorang siswa yang menonjol secara prestasi. Tiga kali ia tidak naik kelas serta harus belajar langsung di bawah pengawasan sang ayah. Dan ketika lulus dari kelas tujuh setelah mengenyam sekolah dasar selama sepuluh tahun, ia justru diharuskan kembali mengulang belajar di kelas tersebut oleh sang ayah yang masih menganggap Pramoedya sebagai anak yang bodoh.

Pramoedya kemudian meneruskan pelajarannya di sebuah sekolah kejuruan radio (Radio Vakschool) di Surabaya atas biaya ibunya, karena sang ayah menolak menyekolahkan Pramoedya di MULO (setingkat SLTP).

Namun pecahnya Perang Dunia II membuat ijazah sekolah itu tak pernah sampai di tangan Pramoedya. Hal ini erat kaitannya dengan wajib militer

yang dikenakan kepada para pelajar oleh pemerintah Jepang yang tidak disukai Pramoedya, sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan kursus tersebut sebelum memperoleh ijazah.

Di awal penjajahan Jepang, Pramoedya menemui kenyataan pahit karena ibu yang sangat dicintainya meninggal pada 3 Juni 1942 akibat TBC.

Kepergian sang ibu sangat mengguncang hati Pramoedya. Setelah ibunya meninggal, Pramoedya berusaha membantu mengurus keluarga, karena ia adalah anak sulung yang masih mempunyai tujuh orang adik. Saat berumur 17 tahun, bersama adiknya Pramoedya diharuskan meninggalkan rumah dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke Jakarta, lalu tinggal di rumah salah seorang pamannya.

Pertama kali datang ke Jakarta, Pramoedya bekerja sebagai juru ketik di kantor berita Jepang, Domei. Di kantor ini Pramoedya mulai mencoba menulis dan mengirimkannya ke koran Pemandangan, namun tak ada satu karya pun dimuat. Selain itu Pramoedya juga pernah mendapat kursus stenografi, ilmu ekonomi, sosiologi, sebelum akhirnya keluar dari pekerjaannya, lalu melarikan diri dengan bersembunyi di sebuah desa bernama Tanjung sampai masa kemerdekaan Indonesia.

Selain sebagai pengarang, Pramoedya juga sangat suka melakukan riset sejarah. Tetralogi Karya Buru dan roman Arus balik bisa disebut sebagai karya yang tak mungkin lahir tanpa dilakukan riset sejarah yang mendalam. Riset sejarah kembali dilakukan Pramoedya untuk penulisan buku Panggil Aku Kartini Saja, serta beberapa rangkaian karangan mengenai Multatuli yang sangat dikaguminya. Karya Multatuli, Max

Havelaar, pernah diterjemahkannya dan secara bersambung dirubrik kebudayaan Lentera, namun pemuatannya tidak selesai.

Kemampuan bahasa Belanda Pramoedya memang cukup baik meski di masa kecilnya Pramoedya tidak begitu serius mempelajarinya. Selain Max Havelaar, ia menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda berjudul Moeder, Waarom Leven Wij? (Ibu, Mengapa Kita Hidup?) karangan Lode Zielends, seorang yang bahasanya bagi orang Belanda sekarang pun tidak mudah dipahami. Hal itu dilakukan Pramoedya di masa mudanya dan masih banyak karya terjemahan Pramoedya yang lain. Semuanya semakin memantapkan sosok Pramoedya bukan hanya sebagai sastrawan, tetapi juga sebagai intelektual peneliti dan penterjemah.

Setelah merasa namanya sebagai pengarang sudah cukup dikenal, akhirnya pada tanggal 13 Januari 1950. Pramoedya menikah dengan seorang gadis yang telah dilamarnya sejak ia masih berada dalam penjara Belanda.

Banyak karya-karyanya yang ditulis di masa itu (sekitar tahun 1950-an).

Integritasnya pada kesusasteraan kemudian membuatnya mendapatkan beasiswa dari Sticusa (Stichting Culturele Samunwerking, sebuah lembaga kebudayaan Indonesia Belanda) untuk bekerja di Nederland. Beasiswa ini hanya dijalaninya selama enam bulan dari rencana satu tahun.

Ternyata kondisi keluarga yang dibangunnya mulai memburuk di tahun kelima perkawinan mereka, akhirnya Pramoedya bercerai dan tidak berapa lama Pramoedya menikah lagi dengan gadis bernama Maimunah, anak H.A. Thamrin, saudara kandung nasionalis terkemuka Mohammad Husni Thamrin. Pramoedya menikah dalam situasi tanpa uang sedikitpun.

Meskipun begitu, dukungan teman-temannya cukup berarti. Rivai Apin, A.S. Dharta, Ajip Rosidi, adalah teman-temannya yang menghadiri pernikahan itu. Bahkan A.S. Dharta kemudian memberinya proyek penerjemahan novel Maxim Gorky berjudul Ibunda, untuk membantu menyelesaikan persoalan ekonomi yang berlarut-larut menimpanya.

Sebelum itu, Pramoedya sempat menerbitkan novel Korupsi (1954) dan Midah Si Manis Bergigi Emas (1954).

Pramoedya juga terlibat dalam penyusunan surat Kepercayaan Gelanggang. Ia juga aktif dalam berpolitik. Ia juga diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Golongan Fungsional Kementrian Putera (Pergerakan Tenaga Rakyat). Selain itu menjadi ketua “Discusi Club Simpati Sembilan”, sebuah kelompok diskusi yang antara lain mencetuskan “kembali ke UUD 1945”, pada tanggal 22-28 januari 1959. Pramoedya juga terpilih sebagai anggota pimpinan pleno dalam Kongres Nasional Lekra yang diadakan di Solo. Saat itulah secara resmi Pramoedya mulai dilibatkan dalam Lekra.

Karena Lekra memiliki kedekatan dengan PKI, maka para aktivis, simpatisan dan siapapun yang diduga terlibat PKI banyak yang dipenjarakan sebelum kemudian dibawa ke Pulau Buru, begitu juga dengan Pramoedya.

Selama Pramoedya diasingkan di Pulau Buru, semangat menulisnya tidak menjadi luntur. Bahkan dari Pulau Buru inilah lahir karya masterpiece Pramoedya. Empat buah buku yang disusun sebagai tetralogi Karya Buru berhasil ditulisnya, begitu juga dengan roman Arus Balik.

Pada hari Minggu pagi 30 April 2006 di Utan Kayu, Jakarta Timur, Pramoedya meninggal dunia karena penyakit infeksi paru-paru dan komplikasi diabetes. Dua hal penting sepeninggal Pramoedya Ananta Toer adalah warisannya untuk dunia dan perlakuan bangsa Indonesia terhadap warisan itu. Warisan Pram terbesar adalah rasa cinta mendalam dari berbagai bangsa pada sebuah negeri bernama Indonesia, sedangkan perlakuan yang paling diharapkan adalah bagaimana warisan itu dapat diterima dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya.

Dokumen terkait